PROFESIONALISME GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN PEMEBENTUKAN PRIBADI SISWA

PROFESIONALISME GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN PEMEBENTUKAN PRIBADI SISWA

Oleh KH MA Sahal Mahfudh (IN MEMORIAM)

MBAH SAHAL M
Masalah pendidikan, khususnya yang menyangkut agama Islam selalu menghadapi tantangan dan problematika yang tidak kunjung henti. Ia senantiasa aktual dengan berbagai perkembangan dan perubahan kehidupan manusia, karena ia memang merupakan kebutuhan inheren bagi kehidupan manusia sebagai sarana mempertahankan “karamah” yang diberikan oleh Allah. Meskipun karamah manusia diberikan menyatu dengan eksistensinya, secara fungsional ia tidak bisa berkembang secara alami, melainkan harus melalui proses. Satu-satunya jalan untuk itu adalah melalui pendidikan.

Manusia menurut Rasulullah dilahirkan di atas fitnah, suci dan bersih. Ketika masih di alam arwah, ia telah berikrar mengakui ketuhanan Allah. Tetapi Rasulullah sendiri kemudian mengisyaratkan kemungkinan adanya perubahan, tergantung bagaimana orang tuanya mendidik dan mengarahkan. Pendidikan agama Islam paling tidak mempunyai fungsi esensial, yaitu mempertahankan eksistensi fitrah manusia itu dan mengembangkannya sedemikian rupa.

***

Pendidikan Islam pada dasarnya adalah proses pembentukan watak, sikap dan perilaku Islami yang meliputi iman (aqidah), Islam (syari’at) dan ihsan (akhlaq, etika dan tasawuf). Tujuan pokoknya adalah mempersiapkan peserta didik agar mampu menjadi khalifah Allah yang akram (mulia) yang berarti lebih bertakwa kepada Allah dan yang shalih dalam arti mampu mengelola, mengembangkan dan melestarikan alam.

Fungsi mereka sebagai khalifah adalah pertama, ibadatullah baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, di mana di dalam komunitas berbangsa, mereka juga dituntut oleh ajaran Islam untuk memberikan manfaat kepada orang lain dalam kerangka ibadah sosial. Fungsi kedua ‘imaratul ardli, yakni membangun bumi ini dengan berbagai upaya untuk menunjang kebutuhan hidup sebagai sarana melakukan ibadah dalam rangka mencapai tujuan hidupnya, yakni sa’adatud darain.

Selain itu, dari sudut pandang yang lain, pendidikan keagamaan merupakan manifestasi dan upaya peningkatan kualitas kemanusiaan, sebagaimana dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, manusia yang beriman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab.

Rumusan itu jelas menunjukkan, kualitas manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa serta berbudi luhur menupakan tujuan yang mesti dicapai melalui pendidikan keagamaan. Sementara itu, UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, memilahkan pendidikan agama menjadi dua bentuk yang berbeda, yaitu:

•    Bidang studi pendidikan agama sebagai bagian dari kurikulum/program lembaga pendidikan umum.

•    Lembaga-lembaga pendidikan dengan ciri khas keagamnan, yang dikelola oleh pemerintah mau pun masyarakat.

Pada bentuk pertama, di samping pendidikan agama mempunyai porsi yang relatif kecil, sering pula dipahami dan diimplementasikan sebagai pengajaran agama. Dengan metode tertentu, pengajaran agama itu bersifat kognitif dan kecil sekali sumbangannya dalam membentuk kepribadian peserta didik.

Bila pendidikan dipahami sebagai suatu tindakan sadar untuk membentuk watak dan tingkah laku secara sistematis, terencana dan terarah, maka pendidikan agama Islam harus merupakan sistem yang mengarah pada terbentuknya karakter, sikap dan perilaku peserta didik yang sarat dengan nilai-nilai Islam. Dengan kata lain, pendidikan Islam seharusnya bisa mengembangkan kualitas keberagamaan Islam baik yang bersifat affektif, kognitif maupun psiko-motorik. Pada gilirannya, pendidikan Islam merupakan produk pengembangan kepribadian muslim Indonesia yang sedang menghadapi berbagai bentuk transformasi.

Pengembangan kepribadian muslim yang berarti proses interaksi dari serangkaian kegiatan dan pendukung pendidikan itu, kini menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan yang paling mendasar adalah keterkaitan pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja. Pendidikan selalu dianggap tidak menjanjikan terbentuknya manusia produktif, manusia siap kerja, mampu bersaing dalam mencapai taraf hidup yang memadai. Ini berarti bahwa pertimbangan praktis dan pragmatis lebih mendominasi kehidupan, termasuk juga pendidikan, dengan mengabaikan pertimbangan idealistik spiritual.

Pengembangan sebagai proses seperti dimaksud di atas, dititiktekankan pada perubahan sikap dan wawasan sesuai dengan perkembangan komunitas yang ada. Pengembangan itu harus bisa mendinamisasi gagasan, ide baru dan penyebarannya dengan pendekatan yang tepat. Dan sebagai program, ia harus merupakan kegiatan yang terencana dan tertanam dalam suatu bingkai manajerial yang profesional.

***

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya aku diutus sebagai pengajar”. Dalam hadits lain Rasulullah menegaskan, “Barang siapa mendidik seorang anak kecil hingga ia mampu mengucapkan kalimat laa ilaaha illa Allah, maka Allah tidak akan menghisabnya kelak”. Sementara Allah dalam surat al-Jumu’ah ayat 2 berfirman: “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan benar-benar mereka sebelumnya dalam kesesatan yang nyata”.

Meskipun pengajar dan pendidik mempunyai konotasi yang berbeda, namun masing-masing mempunyai fungsi yang seharusnya tidak bisa terpisah dari guru. Rangkaian dua hadits dan ayat Al-Qur’an di atas, secara esensial menunjukkan hal itu. Dari sini, banyak ulama yang kemudian merumuskan kriteria guru, baik dan sifat, sikap dan kepribadian serta wataknya.

Secara umum, paling tidak seorang guru harus memiliki beberapa sifat, yaitu: zuhud, ikhlas, suka mema’afkan, memahami tabi’at murid, berkepribadian yang bersih, bersikap sebagaimana bapak terhadap anaknya dan menguasai mata pelajaran yang menjadi bidangnya.

Lebih lanjut, Imam al-Ghazali mengembangkan rumusan tersebut, sebagaimana termaktub dalam Ihya ‘Ulumuddin berikut ini. Pertama, kerja mengajar dan membimbing/mendidik adalah tugas seorang guru. Sifat pokok yang harus dimiliki guru adalah kasih sayang dan lemah lembut. Pergaulan murid dengan guru akan melahirkan sikap percaya kepada diri sendiri dan rasa tenteram bersama gurunya. Hal ini sangat membantu murid menyerap pengetahuan sebanyak-banyaknya. Karenanya, guru hendaknya berperan sebagai ayah atas anak didiknya, bahkan hak guru atas anak didiknya lebih daripada hak ayah atas anaknya.

Kedua, meminta upah dalam mengajar adalah sesuatu yang perlu ditinjau lebih lanjut. Dalam sejarah Yunani Kuno, seorang guru yang mendapat gaji ternyata tidak mendapatkan penghormatan yang cukup dari masyarakat. Dalam hal ini al-Ghazali berkata: “Barang siapa mencari harta dengan ilmu pengetahuan, maka ia seperti orang yang mengusap alat penggosok dengan mukanya sendiri untuk membersihkannya. Maka terjadilah penjungkirbalikan, majikan menjadi pelayan dan pelayan menjadi majikan”. Rumusan ini dalam konteks kekinian memang akan menimbulkan kontroversi berkepanjangan, kemudian terjadilah lingkaran setan yang tak pernah selesai. Pertimbangan bahwa guru adalah manusia biasa yang secara ekonomis tidak bisa tidak harus mencari nafkah bagi kehidupannya, adalah merupakan pemikiran tersendiri yang tidak bisa diabaikan. Ia menuntut kita, sebagai insan pendidik untuk merenungkannya lebih lanjut.

Ketiga, hendaknya guru mampu menjadi pembimbing yang jujur dan terpercaya bagi muridnya. Juga hendaknya ia senantiasa menanamkan keyakinan pada hati murid bahwa menuntut ilmu hanyalah semata untuk mendekatkan diri kepada Allalh, bukan kesombongan, mencari harta dan kedudukan, pamer ilmu, bersilat lidah, bertengkar dan berdebat.

Keempat, guru tidak layak menyebarluaskan kekurangan dan kesalahan murid karena akan merangsang timbulnya protes murid secara demonstratif. Mereka akan dihantui rasa bersalah yang bisa membuat mereka protes sebagai cara mempertahankan diri. Arahan, teguran dan juga bimbingan guru dapat disampaikan dengan penuh kasih sayang tanpa emosi.

Kelima, karena guru adalah teladan yang diikuti oleh murid, maka sejadini ia harus memiliki keluhuran budi dan toleransi. Konsekuensinya, seorang guru harus menghormati ilmu-ilmu di luar spesialisasinya. Begitu pula ia tidak boleh fanatik terhadap disiplin ilmunya sendiri.

Keenam, guru harus menyesuaikan kemampuan intelektual murid dalam menyampaikan pengajaran. Nabi Isa AS pernah bersabda: “Jangan mengalungkan seuntai kalung mutiara kepada seekor babi”. Dan Allah sendiri menegaskan: “Dan janganlah kamu memberikan kepada orang yang belum sempurna harta mereka, apa yang ada pada kekuasaanmu”.

Ketujuh, guru harus mendalami faktor-faktor kejiwaan sang murid. Karena itu tidak layak bagi seorang guru untuk menyampaikan pikiran-pikiran kontroversial yang bisa membingungkan murid, utamanya dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama.

Kedelapan, di samping sebagai orang yang ‘alim, guru juga harus ‘amil. Dalam hal ini, guru harus mempunyai kesungguhan untuk merealisasikan apa yang diajarkannya, tidak hanya sanggup berbicara saja. Dalam surat al-Baqarah ayat 44 Allah bersabda: “Apakah engkau suruh orang berbuat baik, sementara engkau lupakan dirimu sendiri”.

***

Dari sudut pedagogis, guru yang ideal itu mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai obyek (terdidik) dan sebagai subyek (pendidik).

Kedua fungsi yang melekat pada diri guru ini harus sama-sama aktif. Oleh karenanya guru dalam posisi atau fungsi apapun dituntut untuk berwatak kreatif, produktif, dan inovatif. Dalam setiap kondisi dan situasi ia haruslah selalu dalam proses yang dinamis, tidak monoton. Sifat monoton dapat menumbuhkan situasi statis.

Di sini peningkatan kemampuan seorang guru jelas hanya akan tergantung pada sejauh mana proses tersebut di atas dapat diwujudkan secara terus menerus untuk mencapai suatu tujuan yang terkait dengan bidang studi mau pun lembaga (sekolah) tempat ia mengajar. Sebagai guru agama Islam ia terikat oleh tujuan bidang studinya, baik tujuan instruksional mau pun tujuan umum termasuk tujuan pribadi. Yang dimaksud tujuan pribadi adalah penanaman atau sosialisasi karakter atau kepribadian (syakhshiyah), sehingga dengan demikian seorang guru agama Islam dituntut berkarakter yang baik.

Watak bagi seorang guru agama Islam seperti di atas sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian anak didik yang Islami, yaitu kepribadian yang diorientasikan pada al-akhlaq al-karimah dan keimanan serta keislaman yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku anak didik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini pendekatan yang paling penting adalah pendekatan keteladanan seorang guru. Unsur pendidikan di sini harus lebih dominan daripada unsur pengajaran, karena pembentukan watak karakteristik yang disebut kepribadian lebih dipengaruhi oleh cara pendekatan persuasif yang berbeda-beda, berdasarkan pluralitas latar belakang ego para peserta didik.

Pembentukan karakter murid kurang tepat menggunakan pendekatan instruksional dengan metodologi pengajaran tunggal. Di sini sering terjadi kerancuan antara pendekatan pendidikan yang mengarah pada pembentukan kepribadian dengan pendekatan pengajaran yang mengarah pada pembentukan intelektualitas. Akibatnya ialah terbentuknya intelektual yang tidak berkepribadian atau terbentuknya kepribadian tanpa daya intelektual. Maka keterpaduan antara keduanya harus ditingkatkan agar terbentuk manusia yang qowiyyun amiinun. Manusia al-amin yang sarat dengan kepribadian Islami sekaligus manusia al-qowiy yang sarat dengan intelektualitas, potensi dan profesi.

*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan pada seminar sehari Guru Pendidikan Agama Islam Sekolah Dasar se-Kabupaten Jepara, 3 Juni 1993. Judul asli “Profesionalisme Guru Pendidikan Agama Islam dan Pembentukan Pribadi Siswa”.

Leave your comment here: