SEBUAH REFLEKSI YANG BERSUMBER DARI PENDANGKALAN
Oleh KH Abdurrahman Wahid
Pada sebuah diskusi beberapa tahun yang lalu di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, penulis dikritik oleh Dr. Yusril Ihza Mahendra. Kata Bang Yusril, ia kecewa dengan penulis karena bergaul terlalu erat dengan umat Yahudi dan Nasrani. Bukankah kitab suci al-Qur’ân menyatakan salah satu tanda-tanda seorang muslim yang baik adalah “bersikap keras terhadap orang kafir dan bersikap lembut terhadap sesama muslim (asyiddâ’u ‘alâl-kuffâr ruhamâ baynahum)” (QS al-Fath [48]:29). Menanggapi hal itu, penulis menjawab, sebaiknya Bang Yusril mempelajari kembali ajaran Islam, dengan mondok di pesantren. Karena ia tidak tahu, bahwa yang dimaksud al-Qur’ân dalam kata “kafir” atau “kuffar” adalah orang-orang musyrik (polytheis) yang ada di Mekkah, waktu itu. Kalau hal ini saja Bang Yusril tidak tahu, bagaimana ia berani menjadi mubaligh?
Dengan masih adanya pendangkalan pemahaman seperti itu, penulis jadi tidak begitu heran kalau terjadi kekerasan di Maluku, Poso, Aceh dan Sampit. Penulis mengutuk peledakan bom di Legian, Bali, karena itu berarti pembunuhan atas begitu banyak orang yang tidak bersalah. Walau mengutuk, tidak berarti penulis heran atas terjadinya peledakan bom itu. Karena dalam pandangan penulis, hal itu terjadi akibat para pelakunya tidak mengerti, bahwa Islam tidak membenarkan tindak kekerasan dan diskriminatif. Satu-satunya pembenaran bagi tindakan kekerasan secara individual adalah, jika kaum muslimin diusir dari rumahnya (idzâ ukhrijû min diyârihim). Karena itulah, ketika harus meninggalkan Istana Merdeka, penulis meminta Luhut Panjaitan mencari surat perintah dari Lurah sekalipun. Sebabnya, karena ada perintah lain dalam Sunni tradisional yang diyakini penulis, untuk taat pada pemerintah. Berdasar ayat kitab suci al-Quran, “Taatlah kalian pada Allah, pada utusan-Nya dan pada pemegang kekuasaan pemerintahan (athî‘u allâha wa’athî’u arrasûl wa ulîl-amri minkum)” (QS. Al-Nisa [4]:59). Pak Luhut Panjaitan mencarikan surat perintah itu dari seorang Lurah, dan penulis sebagai warga negara dan rakyat biasa –karena lengser dari jabatan kepresidenan- mengikuti perintah tersebut.
Soal bersedianya penulis lengser dari jabatan kepresidenan, karena penulis menganggap tidak layak jabatan setinggi apapun di negeri ini, dipertahankan dengan pertumpahan darah. Padahal waktu itu, sudah ada pernyataan yang ditandatangani 300.000 orang akan mendukung penulis mempertahankan jabatan kepresidenan, kalau perlu mengorbankan nyawa.
***
Tindak kekerasan -walaupun atas nama agama- dinyatakan oleh siapapun dan dimanapun sebagai terorisme. Beberapa tahun sebelum menjabat sebagai presiden, penulis merencanakan berkunjung ke Israel untuk menghadiri pertemuan para pendiri Pusat Perdamaian Shimon Peres di Tel Aviv. Sebelum keberangkatan ke Tel Aviv, penulis menerima rancangan pernyataan bersama, yang disampaikan oleh Rabi Kepala Sevaflim Eli Bakshiloron. Dalam rancangan pernyataan itu, terdapat pernyataan penulis dan Rabi yang menyatakan “berdasarkan keyakinan agama Islam dan Yahudi, menolak penggunaan kekerasan yang berakibat pada matinya orang-orang yang tidak berdosa”. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) mengutus Wakil Rois ‘Am, KH. M.A. Sahal Mahfudz untuk memeriksa rancangan pernyataan itu. KH. M.A. Sahal Mahfudz meminta kata-kata “tidak berdosa” diubah menjadi “tidak bersalah”.
Mengapa demikian? Karena, yang menentukan seseorang itu berdosa atau tidak adalah Allah Swt. Sedangkan salah atau tidaknya seseorang oleh hakim atau pengadilan, berarti oleh sesama manusia. Penulis menerima keputusan itu dan perubahan rancangan pernyataan tersebut, juga diterima oleh Rabi Eli Bakshiloron. Ketika tiba di Tel Aviv, penulis bersama Rabi Eli langsung menuju kantornya di Yerusalem. Di tempat itu, penulis dan Rabi Eli menandatangani pernyataan bersama itu di depan publik dan media massa. Ini menunjukkan bahwa, NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia —bahkan menurut statistik sebagai organisasi Islam terbesar di dunia— menolak terorisme dan penggunaan kekerasan atas nama agama sekalipun. Karena itu, kita mengutuk peledakan bom di Bali dan menganggapnya sebagai “tindak kejahatan/ kriminal” yang harus dihukum.
Keseluruhan penolakan penulis itu, bersumber pada pendapat agama yang tercantum dalam literatur keagamaan (al-kutub al-mu’tabarah), jadi bukannya isapan jempol penulis sendiri. Mengapa demikian? Karena Islam adalah agama hukum, karenanya setiap sengketa seharusnya diselesaikan berdasarkan hukum. Dan karena hukum agama dirumuskan sesuai dengan tujuannya (al-umûru bi maqâshidiha), maka kita patut menyimak pendapat mantan ketua Mahkamah Agung Mesir, Muhammad Sa’id al-Ashmawy. Menurutnya, “hukum Barat” dapat dijadikan “hukum Islam”, jika memiliki tujuan yang sama. Hukum pidana Islam (jarimah), menurut Muhammad Sa’id al-Ashmawy, sama dengan hukum pidana Barat, karena sama berfungsi dan bertujuan mencegah (deterrence) dan menghukum (punishment).
***
Namun, mengapa terorisme dan tindak kekerasan yang lain masih juga dijalankan oleh sebagian kaum muslimin? Kalau memang benar kaum muslimin melakukan tindakan-tindakan tersebut, jelas bahwa mereka telah melanggar ajaran-ajaran agama. Pertanyaan di atas dapat dijawab dengan sekian banyak jawaban, antara lain rendahnya mutu sumber daya manusia para pelaku tindak kekerasan dan terorisme itu sendiri. Mutu yang rendah di kalangan kaum muslimin, dapat dikembalikan kepada aktifitas imperalisme dan kolonialisme yang begitu lama menguasai kaum muslimin. Ditambah lagi dengan, orientasi pemimpin kaum muslimin yang sekarang menjadi elite politik nasional. Mereka selalu mementingkan kelompoknya sendiri dan membangun masyarakat Islam yang elitis.
Apa pun bentuk dan sebab tindak kekerasan dan terorisme, seluruhnya bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah, termasuk oleh para pelaku kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan Islam. Penyebab lain dijalankannya tindakan-tindakan yang telah dilarang Islam itu —sesuai dengan ajaran kitab suci al-Qur’ân dan ajaran Nabi Muhammad Saw— adalah proses pendangkalan agama Islam yang berlangsung sangat hebat. Walau kita lihat, adanya praktek imperialisme dan kolonialisme atau kapitalisme klasik di jaman ini terhadap kaum muslim, tidak berarti proses sejarah itu memperkenankan kaum muslimin untuk bertindak kekerasan dan terorisme.
Harus kita pahami, bahwa dalam sejarah Islam yang panjang, kaum muslimin tidak menggunakan kekerasan dan terorisme untuk memaksakan kehendak. Lalu, bagaimanakah cara kaum muslimin mengkoreksi langkah- langkah yang salah, atau melakukan “responsi yang benar” atas tantangan berat yang dihadapi? Jawabannya, yaitu dengan mengadakan penafsiran baru (reinterpretasi). Melalui mekanisme inilah, kaum muslimin melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat sebelumnya, maupun memberikan responsi yang memadai atas tantangan yang dihadapi. Jelas, dengan demikian Islam adalah “agama kedamaian” bukannya “agama kekerasan”. Proses sejarah berkembangnya Islam di kawasan ini, adalah bukti nyata akan kedamaian itu, walaupun di kawasan-kawasan lain, masih juga terjadi tindak kekerasan -atas nama Islam- yang tidak diharapkan.
*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute). Tulisan ini pernah dimuat di Duta Masyarakat, 8 Februari 2003.