WALIMAHAN MEMAKAI DAGING KURBAN BAGAIMANAKAH HUKUMNYA?
Hari raya yang kita rayakan setiap tanggal 10 Dzul Hijjah itu disebut Idul Adlha, Idun Nahri atau Idul Qurban. Dikatakan demikian, karena pada hari itu kaum muslimin yang mempunyai kemampuan/kelebihan rizki dianjurkan (disunnahkan) untuk menyembelih ternak berupa kambing, sapi atau unta dengan niat bertaqarrub/mendekatkan diri atau beribadah kepada Allah SWT.
Waktu penyembelihannya yaitu sejak tanggal 10 Dzul Hijjah setelah kaum muslimin selesai melaksanakan shalat id sampai dengan akhir hari tasyriq/tanggal 13 Dzul Hijjah, dengan ketentuan seekor ternak berupa kambing hanya cukup untuk qurbannya seorang, sedangkan sapi atau unta cukup untuk qurbannya tujuh orang. Dalam riwayat sahabat Jabir bin Abdillah disebutkan :
نَحَرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَّةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ. رواه مسلم
Artinya :
“Kita para sahabat bersama Rasulullah SAW. pada tahun Hudaibiyah menyembelih qurban berupa seekor unta untuk qurbannya tujuh orang dan seekor sapi juga untuk qurbannya tujuh orang”. (HR. Muslim)
Ketentuan lain : menurut sunnah rasul, sebaiknya ternak qurban itu di sembelih sendiri oleh orang yang berqurban jika ia mampu, apabila tidak mampu maka dia boleh mewakilkan kepada orang lain. Selanjutnya mengenai persyaratan untuk ternak yang disembelih, cara menyembelih, aturan membagi-bagi dagingnya serta hikmah berqurban itu semua sudah sangat jelas bagi kita.
Namun warga nahdliyin yang umumnya awam itu masih perlu diberi penjelasan tentang hukum yang terkait dengan masalah-masalah sampingan seputar pelaksanaan penyembelihan qurban. Masalah-masalah itu antara lain :
– Menyembelih qurban untuk orang yang telah meninggal (jawa: ngorbani wong mati)
– Mengqadla qurban
– Daging qurban digunakan untuk walimahan
– Perbedaan antara qurban dan aqiqah
– Ternak betina untuk qurban atau aqiqah.
1. Qurban untuk Orang yang Sudah Meninggal.
Sebagian umat muslim, ketika menyembelih ternak qurban pada saat Idul Adlha itu ada yang berniat qurban untuk dirinya, untuk isterinya, atau untuk anak-anaknya yang semuanya masih hidup. Namun banyak juga dari mereka yang berniat qurban untuk sanak keluarganya yang sudah meninggal. Untuk masalah ini, masih dipertanyakan tentang sah atau tidaknya.
Sehubungan dengan hal tersebut agar warga kita lebih mantap dalam melaksanakan ibadah qurbannya, perlu diberi penjelasan bahwa memang ada ulama yang mengesahkan berqurban untuk orang yang sudah meninggal yaitu Imam Rofi’i.
Keterangan hukum demikian ini bisa kita fahami dari keterangan kitab Qolyubi juz IV hal. 255 :
(وَلاَ تَضْحِيَةَ عَنِ الْغَيْرِ) الْحَيِّ (بِغَيْرِ إذْنِهِ) وَبِإِذْنِهِ تَقَدَّمَ (وَلاَ عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا) وَبِإِيصَائِهِ تَقَعُ لَهُ. (قوله وَبِإِيصَائِهِ) … إلى أن قال: وَقَالَ الرَّافِعِيُّ: فَيَنْبَغِي أَنْ يَقَعَ لَهُ وَإِنْ لَمْ يُوصِ لأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ.
Artinya :
“Imam Nawawi berpendapat bahwa tidak sah berqurban untuk orang lain yang masih hidup tanpa mendapat izin dari yang bersangkutan, tidak sah juga berqurban untuk mayit, apabila tidak berwasiat untuk diqurbani. Sementara itu Imam Rafi’i berpendapat boleh dan sah berqurban untuk mayit walaupun dia tidak berwasiat, karena ibadah qurban adalah salah satu jenis shadaqah”.
2. Mengqadla Qurban.
Di sebagian daerah kita, sewaktu ada warga muslim yang meninggal dunia dan ahli warisnya mampu, biasanya mereka menyembelih ternak dengan niat shadaqah anil mayit. Ada oknum kiyai atau mbah modin setempat yang memberi saran kepada ahli waris agar ternak yang disembelih pada saat kematian keuarganya itu diniati untuk qurbannya si mayit. Dengan alasan : ini sebagai qurban diqadla’ padahal hari kematiannya bukan pada hari raya Idul Adlha/hari-hari tasyriq.
Sebagaimana disebut di awal bahwa qurban ‘anil mayit walaupun tanpa adanya wasiat adalah sah menurut pendapat Imam Rafi’i, akan tetapi jangan terus langsung difahami bahwa hal tersebut boleh dilakukan setiap saat, walaupun dengan niat mengqadla, karena qurban itu salah satu ibadah yang dikaitkan dengan waktu, yakni Idul Adlha dan hari-hari tasyriq.
Sebagaimana yang di sebut dalam kitab Mustashfa juz II hal. 9
(وَلاَ تَقِسْ عَلَيْهِ) أَيْ عَلَى الصَّوْمِ (الْجُمْعَةَ وَلاَ اْلأُضْحِيَّةَ) فَإِنَّهُمَا لاَيُقْضَيَانِ فِيْ غَيْرِ وَقْتِهِمَا.
Artinya :
“Jangan anda mengqiyaskan/menyamakan puasa dengan shalat Jum’at dan penyembelihan qurban, keduanya (Jum’atan dan menyembelih qurban) tidak boleh diqadla’ pada saat-saat yang bukan waktunya”.
Dalam kitab “ats-Tsimarul Yani’ah” hal. 80 juga disebutkan :
(فَمَنْ ذَبَحَ ضَحِيَّتَهُ قَبْلَ دُخُوْلِ وَقْتِهَا) بِأَنْ لَمْ يَمْضِ مِنَ الطَّلُوْعِ أَقَلُّ مَا يُجْزِئُ مِنَ الصَّلاَةِ وَالْخُطْبَةِ (لَمْ تَقَعْ ضَحِيَّةً، وَكَذَا مَنْ ذَبَحَهَا بَعْدَ خُرُوْجِ وَقْتِهَا إِلاَّ إِذَا نَذَرَ ضَحِيَّةً مُعَيَّنَةً)
Artinya :
“Barang siapa menyembelih ternak qurban, sebelum tiba waktunya yakni saat matahari sudah terbit dan setelah pelaksanaan shalat id (dua rakaat) beserta khotbahnya, maka tidak sah qurbannya. Demikian pula tidak sah seseorang yang menyembelih qurban setelah keluar waktunya (10 Dzul Hijjah dan tiga hari tasyriq), kecuali karena nadzar qurban mu’ayyan”.
3. Daging Qurban Digunakan untuk Walimahan.
Sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan umat muslim, bahwa pada hari raya Idul Adlha mereka menyembelih ternak qurban dan di antara mereka banyak pula -pada hari-hari itu- yang mempunyai hajat (menantu, khitan, memperingati seribu hari wafatnya mayit dll). Maka sebagian dari mereka pada waktu menyembelih ternaknya ada yang berniat qurban, namun dalam praktiknya daging ternak tersebut tidak dibagi-bagikan kepada mustahiq tetapi digunakan untuk menjamu para tamu yang mendatangi hajatan mereka pada waktu itu, atau digunakan untuk walimahan.
Apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin di daerah kita tersebut hukumnya boleh, namun tidak secara mutlak, artinya ada beberapa syarat yang harus diperhatikannya, yaitu :
a. Qurbannya itu qurban sunnat. Jadi qurban wajib atau qurban nadzar tidak boleh digunakan untuk keperluan seperti itu.
b. Sebagian dagingnya harus dibagi-bagikan kepada fakir miskin dalam keadaan mentah. Jadi tidak boleh dimasak semuanya.
c. Jika si penyembelih itu sebagai wakil, dia harus meminta kerelaan orang yang mewakilkan tentang digunakannya daging qurban untuk keperluan tersebut.
Syarat-syarat tadi secara rinci telah diterangkan dalam beberapa kitab :
a. Kitab Bughyah hal. 258 :
يَجِبُ التَّصَدُّقُ فِي اْلأُضْحِيَةِ الْمُتَطَوَّعِ بِهَا بِمَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اْلاِسْمُ مِنَ اللَّحْمِ، فَلاَ يُجْزِئُ نَحْوُ شَحْمٍ وَكَبِدٍ وَكَرْشٍ وَجِلْدٍ، وَلِلْفَقِيْرِ التَّصَرُّفُ فِي الْمَأْخُوْذِ وَلَوْ بِنَحْوِ بَيْعِ الْمُسْلَمِ لِمِلْكِهِ مَا يُعْطَاهُ، بِخِلاَفِ الْغَنِيِّ فَلَيْسَ لَهُ نَحْوُ الْبَيْعِ بَلْ لَهُ التَّصَرُّفُ فِي الْمَهْدَى لَهُ بِنَحْوِ أَكْلٍ وَتَصَدُّقٍ وَضِيَافَةٍ وَلَوْ لِغَنِيٍّ، لأَنَّ غَايَتَهُ أَنَّهُ كَالْمُضَحِّي نَفْسِهِ.
Artinya :
“Qurban sunat wajib dishadaqahkan berupa daging, tidak cukup jika berupa lemak, hati babat atau kulit ternak. Bagi orang fakir boleh mentasarufkan -untuk apa saja- daging yang diberikan kepadanya walaupun untuk dijual, karena daging itu sudah menjadi miliknya. Berbeda dengan orang kaya, dia tidak boleh menjual daging qurban akan tetapi boleh mamakannya, menyedekahkannya dan menyuguhkannya kepada para tamu, karena pada prinsipnya orang kaya yang menerima bagian daging qurban itu sama dengan orang yang berqurban sendiri”.
b. Kitab Qolyubi juz IV hal. 254 :
(وَاْلأَصَحُّ وُجُوبُ تَصَدُّقٍ بِبَعْضِهَا) وَهُوَ مَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ الاِسْمُ مِنْ اللَّحْمِ وَلاَ يَكْفِي عِنْهُ الْجِلْدُ وَيَكْفِي تَمْلِيكُهُ لِمِسْكِينٍ وَاحِدٍ، وَيَكُونُ نِيئًا لاَ مَطْبُوخًا.
Artinya :
“Menurut pendapat yang paling shahih, qurban itu wajib disedekahkan sebagiannya berupa daging, tidak boleh berupa kulitnya. Sudah mencukupi walaupun diberikan kepada seorang miskin, dan yang diberikan itu harus berupa daging mentah tidak dimasak”.
c. Kitab Bajuri juz I hal. 286
(قَوْلُهُ وَتَفْرِقَةُ الزَّكَاةِ مَثَلاً) أَيْ وَكَذَبْحِ أُضْحِيَةٍ وَعَقِيْقَةٍ وَتَفْرِقَةِ كَفَّارَةٍ وَمَنْذُوْرٍ وَلاَ يَجُوْزُ لَهُ أَخْذُ شَيْءٍ مِنْهَا إِلاَّ إِنْ عَيَّنَ لَهُ الْمُوَكِّلُ قَدْرًا مِنْهَا.
Artinya :
“Kata-kata kiyai mushonnif : boleh mewakilkan kepada orang lain dalam hal membagi-bagi zakat, demikian pula dalam hal menyembelih qurban dan aqiqah serta membagi-bagi kaffarat dan nadzar. Dan bagi si wakil tidak boleh mengambil bagian sedikit pun dari apa yang dibagikan itu kecuali jika orang yang mewakilkan menyatakan boleh mengambil bagian tertentu dari benda tersebut”.
4. Perbedaan dan Persamaan Antara Qurban dan Aqiqah.
Walaupun dua hal ini sudah cukup jelas hukum dan aturannya, namun masih saja kita melihat adanya kerancuan antara keduanya di kalangan kaum muslimin khususnya yang ada di pedesaan. Sebagian dari mereka ada yang punya pendirian kalau qurban untuk orang yang meninggal diperbolehkan, begitu pula aqiqah untuk orang yang meninggal seharusnya diperbolehkan juga.
Disebutkan dalam kitab Kifayatul Akhyar juz II hal. 243 :
وَقَال الرَّافِعِي وَغَيْرُهُ: وَلاَ تَفُوْتُ بِفَوَاتِ السَّابِعِ، وَفِي الْعِدَّةِ وَالْحَاوِيْ لِلْمَاوَرْدِيْ، أَنَّهَا بَعْدَ السَّابِعِ تَكُوْنُ قَضَاءً، وَالْمُخْتَارُ أَنْ لاَ يَتَجَاوَزَ بِهَا النِّفَاسُ فَإِنْ تَجَاوَزَتْهُ فَيُخْتَارُ أَنْ لاَ يَتَجَاوَزَ بِهَا الرَّضَاعُ، فَإِنْ تَجَاوَزَ فَيُخْتَارُ أَنْ لاَ يَتَجَاوَزَ بِهَا سَبْعُ سِنِيْنَ فَإِنْ تَجَاوَزَهَا فَيُخْتَارُ أَنْ لاَ يَتَجَاوَزَ بِهَا الْبُلُوْغُ، فَإِنْ تَجَاوَزَهُ سَقَطَتْ عَنْ غَيْرِهِ وَهُوَ الْمُخَيَّرُ فِي الْعَقِّ عَنْ نَفْسِهِ فِي الْكِبَرِ، وَاحْتَجَّ لَهُ الرَّافِعِي بِأَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ، وَاحْتَجَّ غَيْرُهُ بِهِ.
Artinya :
“Imam Rafi’i dan ulama lain berpendapat bahwa menyembelih aqiqah yang dilaksanakan setelah hari ketujuh dari kelahiran bayi itu bukan qadla’. Sementara Imam Mawardi mengatakan hal itu adalah sebagi aqiqah yang diqadla’. Boleh juga ditunda sampai saat sebelum tuntasnya nifas (60 hari), boleh sampai saat sebelum lewatnya waktu menyusui (2 tahun) boleh sampai anak belum berusia 7 tahun dan boleh juga sampai saat sebelum usia baligh. Maka kalau sudah melewati usia baligh, wali atau orang lain sudah gugur kesunatan untuk mengaqiqahi dirinya sendiri. Dalilnya -menurut Imam Rafi’i dan ulama lain- adalah bahwa Nabi SAW. Mengaqiqahi pribadinya sendiri setelah beliau menjadi rasul (setelah usia 40 tahun).
5. Ternak Betina untuk Qurban dan Aqiqah.
Ada satu lagi masalah sampingan yang terkait dengan ternak untuk qurban atau aqiqah, masalah itu sumbernya dari methos jawa tanpa adanya alasan yang jelas baik secara syar’i (tuntunan agama) atau secara aqli (rasio), orang-orang jawa itu sangat anti pati (jawa : sirikan) menyembelih ternak betina untuk qurban atau aqiqah, seakan-akan hal yang demikian itu merupakan suatu amalan yang haram.
Padahal para fuqaha’ telah memberikan fatwa, bahwa boleh dan sah menyembelih ternak betina untk qurban atau aqiqah.
Keterangan yang tercantum dalam kitab Kifayatul Akhyar juz II hal. 236 :
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ فَرْقَ فِي اْلإِجْزَاءِ بَيْنَ اْلأُنْثَى وَالذَّكَرِ إِذَا وُجِدَ السِّنُّ الْمُعْتَبَرُ، نَعَمْ الذَّكَرُ أَفْضَلُ عَلَى الرَّاجِحِ، لأَنَّهُ أَطْيَبُ لَحْماً.
Artinya :
“Ketahuilah, bahwa dalam kebolehan dan keabsahan qurban/aqiqah tidak ada perbedaan antara ternak betina dan ternak jantan apabila umurnya telah mencukupi. Dalam hal ini memang ternak jantan lebih utama dari pada ternak betina karena jantan itu lebih lezat dagingnya”.
Berdasarkan fatwa tersebut, kita mengerti bahwa ternak betina dan ternak jantan itu sama-sama boleh dan sah digunakan untuk qurban atau aqiqah. Hanya saja jika dipandang dari segi afdlaliyahnya ternak jantan lebih afdlal dari pada ternak betina.