LINGKUNGAN HIDUP DALAM KACA MATA FIQH ISLAM

LINGKUNGAN HIDUP DALAM KACA MATA FIQH ISLAM

Kasus pertama

 LIN

Diskripsi Masalah

Sejak setatus kawasan Meru Betiri ditetapkan menjadi taman nasional penggunaan kawasan untuk pertanian atau bercocok tanam telah berlangsung namun kemudian pada tahun 1987 penggunan kawasan tanpa ijin semakin banyak dilakukan. Puncaknya pada tahun 1998 bersama dengan era revormasi, terjadilah penjarahan secara besar-besaran oleh banyak pihak yang berdampak gundulnya kawasan di zona rimba ( Tapi hutan ) yang pada akhirnya lahan yang gundul itu di manfaatkan untuk bercook tanam oleh masyarakat sekitar.

Pertanyaan :

Bagaiman hukumnya orang menepati tanam nasional (kawsan lindung ) untuk tempat tinggal atau mengelola lahan pertanian ?

Jawaban :

Hukumnya dalah boleh jika ada ijin dari imam yang didasarkan atas kemaslahatan umum, jika tidak ada ijin maka hukumnya tidak boleh.

Referensi :

  1. Fath al-Qorib Hamisy al-Bajuri : 2/38
  2. Wafi Ihya’i Mawati Al ‘Aidz Fi Al Islam karya Muhammad Ahmad Ma’bar Al Qathan : 24-25
  3. Mughni Al-Muhtaj juz : 2/368-369

 

Artinya :

Membuka lahan mati (lahan yang belum dimiliki seseorang ) siperbolehkan dengan syarat:

Orang yang membuka lahan harus muslim (di negara islam ), Disunnahkan baginya untuk membuka lahan yang tak bertuan, baik diberi ijin oleh penguasa atau tidak, kecuali yang di lindungi penguasa (untuk kemaslahatan bersama)

Artinya :

Apabila dalam sebuah lahan /daerah terdapat menara atau sesuatu yang menunjukkan bahwa ia sudah memiliki, Maka tida ada seorag punberhak memilikinya, baik karena keberadaanya untuk kemaslahata umum atau untuk hal-hal yang bersifat pribadi.

Artinya :

…………. Seorang penguasa memiliki hak untuk membatalkan keputusan tetang dilindunginya sebuah lahan/daerah, baik keputusan ini dibuat oleh dirinya atau dibuat oleh penguasa sebelumnya, dengan catatan pembatalan keputusan itu untuk suatu kemaslahatan. Seorang tidak boleh membuka lahan tersebut tanpa seizin penguasa karena hal itu berarti melakukan penentangan terhadap kebijakan dan hukum penguasa.

Kasus kedua

 

Diskripsi Masalah

Masyarakat sekitar telah lama hidup dengan bergantung pada kawasan dengan mengambil berbagai potensi dialamnya (flora Fauna) namun sebenarnya kawasan meru betiri telah dilindungi oleh undang-undang sejak jaman Hindia Belanda sampai sekarang.

Pertanyaan

Bagaimana hukumnya mengambil kayu atau binatang dari kawasan yang di lindungi untuk kebutuhan keluarga ?

Jawaban

Hukumnya adalah tidak boleh kecuali ada izin dari imam. Khusus hal-hal yang seperti ikhtitub (mengambil ranting pohon ), ishtiyad (berburu) dan mengambil air maka diperbolehkan selama tidak merusak ekosistem yang ada.

Referensi

  1. Al Fiqh Al Islam Wa Adillatuh : 3/72
  2. Mughni Al Muhtaj : 2/361
  3. Majmu’ Syarh Al Muhaddzab : 15/223

Artinya :

Rimba merupakan kekyaan alam yang mubah, dengan catatan rimba tersebut terdapat dilahan yang tak bertuan, setiap orang berhak untuk menguasai rimba tersebut dan mengambil sesuatu yang di butuhkanya tidak seorangpun yang berhak mencegah manusia dari rimba tersebut. Jika seorang menguasai dengan memeliharanya. Maka ia menjadi pemiliknya. Yang bisa dilakukan oleh negara adalah membatasi kemubahan, misalnya dengan melarang menebang pohon pohon karena memperhatikan kemaslahatan dan melestarikan kekayaan hutan yang terbatas.

 

Artinya :

Ibnu Rif’ah berkata : Untuk menentukan bahwa sebuah lahan masih belum dianggap (dimakmurkan) tidak dipersaratkan adanya tahqquq (sebuah keyakinan bulat yang didasarkan pada penelitian yang mendalam) tidak disyaratkan adanya pembukuan riil, tetapi cukup dengan adanya tanda-tanda adanya bahwa lahan tersebut pernah dimanfaatkan, misalnya dengan adanya batang-batang pohon/tebangan-tebangan, selokan-selokan, bekas-bekas tembok, pasak dan lain sebagainya. Sedang hukum nya adalah jika lahan tersebut ada di negara islam, maka boleh bagi orang muislim untuk memilikinya dengan cara mengolah lahan tersebut, meskipun tidak di perbolehkan oleh penguasa.hal ini disamping ada izin rosulullah, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits-hadits mashur, juga karena membuka lahan merupakan hal yang mubah seperti mecari kayu bakar dan memburu. akan tetapi di sunnahkan bagi orang muslim untuk meminta izin terlebih dahulu pada penguasa. Kasus seperti diatas lain dengan apabila seorang penguasa melindungi sebuah kawasan yang masih mati (belum tersentuh manusia). Kalau pengolahan itu diperuntutkan peternakan maka harus dengan izin penguasa.

Artinya :

Imam romli berkata : dan karena adanya ijma’ (kesepakatan para ulama) atas wajibnya mencegah prilaku menguasai pada jalan-jalan menuju sumber air. Hal ini sama halnya dengan segala persoalan yang berkaitan dengan kepentingan umum, dimana untuk mengambil manfaatnya tanpa dituntut untuk melakukan kerja, begitu juga dilarang untuk menguasai dan mengklaim (Intoleransi) bumi/suatu wilayah untuk maksud mengambil kayu bakarnya dan hewan buruanya, dan mengklaim sebuah empang untuk mengambil ikan nya.

Tampaknya pendapat dikalangan Syafi’iyah menegaskan tidak diperkenankanya untuk memiliki dan mengklaim hak umum. Tapi imam zarkasi hanya mengkoyyidi/membatasi pencegahan tersebut pada maksud untuk memiliki.

Kasus ketiga

 

Diskripsi

Latar belakang pada kasus ketiga ini tidak jauh berbeda dengan fenomena yang terjadi pada kasus yang kedua, aspek perbedaannya adalah segi akibat yang ditimbulkan yakni pada kasus ini lebih besar oleh sebab adanya keharusan dalam melayani dan memenuhi kebutuhan pasar yang sangat besar (pengaruh terhadap daya dukung kawasan yang terbatas).

Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya mengambil kayu astau binatang dari kawasan yang dilindungi untuk dijual ?

Jawaban :

Kembali pada jawaban ke dua

Leave your comment here: