BENARKAH MEREKA TIDAK MEMBAWA PAHAM BARU DALAM PENDAPATNYA
Para pembela ajaran ulama Muhammad bin Abdul Wahhab atau ajaran Wahabi ada kita jumpai mengatakan hal seperti berikut:
“Wahabiyah” tidak membawa paham baru, namun mengikuti dan melanjutkan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang orisinil, yaitu menyeru kepada tauhidullah dan ittiba’ kepada Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan dalam persoalan fikih mereka lebih banyak mengambil dari mazhab Hanbali yang dinisbatkan kepada Ahmad bin Hanbal, murid kesayangan dari Imam al-Syafi’i rahimahullah Ta’ala. Kecuali jika didapatkan dalam beberapa persoalan mazhab Hanbali menyalahi pendapat ulama yang arjah (lebih kuat), yakni berdasarkan dalil yang mendukungnya, maka mereka mengambil dalil. Dan ini merupakan intisari dari mazhab imam yang empat. “Jika hadits itu jelas shahih maka itulah mazhabku” kata imam al-Syafi’i.
Jika seorang ulama menyampaikan sesuatu berdasarkan Al Qur’an dan Hadits namun apa yang disampaikannya berbeda dengan apa yang disampaikan oleh para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat maka ulama tersebut dapat dikatakan telah menyampaikan paham baru.
Contohnya :
Pembagian tauhid terbagi jadi tiga yakni Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah, Tauhid Asma’ was Shifaat adalah sebuah paham baru karena pembagian seperti itu tidak pernah dikenal oleh generasi salaf dari masa Sahabat, Tabi’in maupun Tabi’it Taabi’in. Bahkan, pembagian dengan format seperti itu tidak terdapat dalam al Qur’an atau Sunnah Nabawiyyah.
Imam Mazhab yang empat yang merupakan pemimpin ijtihad dan istinbat kaum muslim tidak pernah menyampaikan adanya pembagian tauhid jadi tiga.
Mereka lebih memilih mengikuti ajaran Wahabi dengan mengutip perkataan Imam Syafi’i ra seperti
إذا صح الحديث فهو مذهبي
“Jika suatu hadits shahih maka itulah madzhabku”
dan juga,
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت
” Jika kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallahu ‘alayhi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah itu dan tinggalkan perkataanku itu”
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.
Al-Imam Nawawi menyebutkan dalam Majmu’ Syarh Al Muhadzab , tidak bisa sembarang orang mengatakan demikian.
Al-Imam Nawawi menyebutkan beberapa syarat. “Sesungguhnya untuk hal ini, dibutuhkan seseorang yang memiliki tingkatan sebagai mujtahid dalam mazhab yang telah dijelaskan sebelumnya, dan dan ia harus berbaik sangka bahwa Imam Syafi’i belum sampai kepada hadits tersebut, atau belum mengetahui keshahihan hadits itu, dan ini hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang telah menela’ah semua kitab-kitab milik Imam Syafi’i dan kitab-kitab para sahabat yang mengambil darinya, dan syarat ini sulit, serta sedikit orang yang sampai pada tingkatan ini. Syarat ini kami sebutkan karena, Imam Syafi’i tidak mengamalkan dhahir hadits yang telah beliau ketahui, akan tetapi ada dalil lain yang mencacatkan hadits itu, atau yang menasakh hadits itu, atau yang mentakhish atau yang menta’wilkan hadits itu.
Pernah ada seorang bermazhab Syafi’i, Abu Walid Musa bin Abi Jarud mengatakan:” Hadits tentang berbukanya orang yang membekam maupun yang dibekam shahih, maka aku mengatakan bahwa Syafi’i telah mengatakan: “Orang yang berbekam dan dibekam telah berbuka (batal)”. Maka para ulama Syafi’i mengkritik pendapat itu, karena Imam Syafi’I sendiri mengatahui bahwa hadits itu shahih, akan tetapi beliau meninggalkannya, karena beliau memiliki hujjah bahwa hadits itu mansukh.
Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“
Mereka mengaku bermazhab Hambali namun pada kenyataannya mereka lebih bersandar kepada upaya pemahaman mereka sendiri terhadap Al Qur’an dan Hadits secara otodidak (upaya atau belajar sendiri) dengan muthola’ah (menelaah) kitab yang umumnya berdasarkan makna dzahir/harfiah/leksikal/tertulis/tersurat atau pemahaman dengan metodologi “terjemahkan saja” dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja. Mereka kurang memperhatikan alat bahasa seperti Nahwu, Shorof, Balaghoh (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu fiqih maupun ushul fiqih
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab diketahui tidak mau mempelajari ilmu fiqih sebagaimana informasi yang disampaikan oleh ulama madzhab Hanbali, al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi berkata dalam kitabnya al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi, sebagai berikut:
عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ سُلَيْمَانَ التَّمِيْمِيُّ النَّجْدِيُّ وَهُوَ وَالِدُ صَاحِبِ الدَّعْوَةِ الَّتِيْ انْتَشَرَشَرَرُهَا فِي اْلأَفَاقِ لَكِنْ بَيْنَهُمَا تَبَايُنٌ مَعَ أَنَّ مُحَمَّدًا لَمْ يَتَظَاهَرْ بِالدَّعْوَةِ إِلاَّ بَعْدَمَوْتِ وَالِدِهِ وَأَخْبَرَنِيْ بَعْضُ مَنْ لَقِيْتُهُ عَنْ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ عَمَّنْ عَاصَرَ الشَّيْخَ عَبْدَالْوَهَّابِ هَذَا أَنَّهُ كَانَ غَاضِبًا عَلىَ وَلَدِهِ مُحَمَّدٍ لِكَوْنِهِ لَمْ يَرْضَ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالْفِقْهِكَأَسْلاَفِهِ وَأَهْلِ جِهَتِهِ وَيَتَفَرَّسُ فِيْه أَنَّهُ يَحْدُثُ مِنْهُ أَمْرٌ .فَكَانَ يَقُوْلُ لِلنَّاسِ: يَا مَا تَرَوْنَ مِنْ مُحَمَّدٍ مِنَ الشَّرِّ فَقَدَّرَ اللهُ أَنْ صَارَ مَاصَارَ
(ابن حميد النجدي، السحب الوابلة على ضرائح الحنابلة، ٢٧٥).
“Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Tamimi an Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah, yang percikan apinya telah tersebar di berbagai penjuru. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Padahal Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-terangan berdakwah kecuali setelah meninggalnya sang ayah. Sebagian ulama yang aku jumpai menginformasikan kepadaku, dari orang yang semasa dengan Syaikh Abdul Wahhab ini, bahwa beliau sangat murka kepada anaknya, karena ia tidak suka belajar ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-orang di daerahnya. Sang ayah selalu berfirasat tidak baik tentang anaknya pada masa yang akan datang. Beliau selalu berkata kepada masyarakat, “Hati-hati, kalian akan menemukan keburukan dari Muhammad.” Sampai akhirnya takdir Allah benar-benar terjadi.” (Ibn Humaid an-Najdi, al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah, hal. 275).
Mereka mengatakan akan meninggalkan pendapat dalam mazhab Hambali jika menyalahi pendapat ulama yang arjah (lebih kuat), yakni berdasarkan dalil yang mendukungnya.
Siapakah yang mereka maksud dengan pendapat ulama yang arjah (lebih kuat) ? apakah seperti ulama Al Albani ?
Ulama Al Albani tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak sehingga tidak ada nama mazhab yang dinisbatkan kepada namanya. Pendapatnya tidak dapat dibandingkan dengan pendapat ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak seperti Imam Mazhab yang empat.
Ulama Al Albani adalah ulama yang mengaku-ngaku sebagai ahli hadits namun tidak diketahui mempunyai ilmu riwayah dan dirayah dari para ahli hadits terdahulu. Beliau lebih mendalami hadits secara otodidak di balik perpustakaan.
Ulama Al Albani adalah ulama yang mengaku-ngaku ahli hadits sehingga “berani” membuat kitab cara sholat berdasarkan upaya pemahamannya sendiri dan dinisbatkan sebagai cara sholat Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Bagaimana kalau upaya pemahamannya keliru tentu akan menyesatkan orang banyak. Kemungkinan pemahamannya keliru semakin besar karena beliau tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Ahli hadits berbeda dengan ahli fiqih (fuqaha). Ahli hadits pada umumnya mereka bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat. Bahkan Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak juga membuat kitab cara sholat.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawa Al-Hadithiyyah menisbahkan kepada Imam Ibn ‘Uyainah, beliau berkata: “Hadits itu menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)”
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab tersebut lalu mensyarahkan perkataan itu:
“Sesungguhnya hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sama seperti Al-Qur’an dari sudut bahwa keduanya mengandung lafaz umum yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya, bahkan ada juga yang mengandung nasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal dengannya. Bahkan dalam hadits juga mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… yang mana tidak diketahui maknanya melainkan golongan fuqaha’ (ahli fiqh). Berbeda dengan mereka yang sekedar mengetahui apa yang dzahir daripada hadits-hadits (khususnya mutasyabihat) sehingga akhirnya dia (yang hanya faham hadits-hadits mutasyabihat dengan makna dzahir) pun sesat seperti yang berlaku pada sebahagian ahli hadits terdahulu dan masa kini seperti Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.” (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 202)
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah : Aku bertanya pada bapakku : “Ada seorang lelaki yang memiliki kitab-kitab mushannaf, di dalam kitab tersebut ada perkataan Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam, para sahabat dan tabi’in, akan tetapi ia tidak meliliki ilmu untuk bisa mengetahui hadits yang lemah yang matruk dan tidak pula bisa membedakan hadits yang kuat dari yang lemah, maka bolehkah mengamalkan sesuai dengan apa yang dia inginkan dan memilih sekehendaknya lantas ia berfatwa dan mengamalkannya?” Beliau menjawab : “Tidaklah boleh mengamalkannya sehingga ia bertanya dari apa yang ia ambil, maka hendaknya ia beramal di atas perkara yang shahih dan hendaknya ia bertanya tentang yang demikian itu kepada ahli ilmu” (lihat i’lamul muwaqi’in 4/179)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Masalah otodidak ini sudah ada sejak lama dalam ilmu hadis. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengomentari seseorang yang otodidak berikut ini: “Abu Said bin Yunus adalah orang otodidak yang tidak mengerti apa itu hadits” (Tahdzib al-Tahdzib VI/347)
Habib Munzir Al Musawa berkata “Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya (dengan akal pikirannya sendiri), maka oleh sebab itu jadi tidak boleh baca dari buku, tentunya boleh baca buku apa saja boleh, namun kita harus mempunyai satu guru yang kita bisa tanya jika kita mendapatkan masalah”
Apakah mereka meninggalkan pendapat dalam mazhab Hambali jika menyalahi pendapat Imam Mazhab yang lainnya ?
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat bukanlah perbedaan yang saling menyalahi atau saling bertentangan.
Di antara Imam Mazhab yang empat, mereka berbeda semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya berbeda. Zanni juga terbagi dua: dari sudut datangnya dan dari sudut lafaznya. Ayat Qur’an mengandung sejumlah ayat yang lafaznya membuka peluang adanya beragam penafsiran.
Contoh dalam soal menyentuh wanita ajnabiyah dalam keadaan wudhu’, kata “aw lamastumun nisa” dalam al-Qur’an terbuka untuk ditafsirkan. Begitu pula lafaz “quru” (QS 2:228) terbuka untuk ditafsirkan. Ini yang dinamakan zanni al-dilalah.
Selain hadis mutawatir, hadis lainnya bersifat zanni al-wurud. Ini menunjukkan boleh jadi ada satu ulama yang memandang shahih satu hadis, tetapi ulama lain tidak memandang hadis itu shahih. Ini wajar saja terjadi, karena sifatnya adalah zanni al-wurud. Hadis yang zanni al-wurud itu juga ternyata banyak yang mengandung lafaz zanni al-dilalah.
Jadi, sudah terbuka diperselisihkan dari sudut keberadaannya, juga terbuka peluang untuk beragam pendapat dalam menafsirkan lafaz hadis itu.
* zanni al-wurud : selain hadis mutawatir
* zanni al-dilalah : lafaz dalam hadis mutawatir dan lafaz hadis yang lain (masyhur, ahad)
Nah, Syari’ah tersusun dari nash qat’i sedangkan fiqh tersusun dari nash zanni.
Contoh praktis:
1.
(a) kewajiban puasa Ramadlan (nashnya qat’i dan ini syari’ah),
(b) kapan mulai puasa dan kapan akhi Ramadlan itu (nashnya zanni dan ini fiqh)
Catatan: hadis mengatakan harus melihat bulan, namun kata “melihat” mengandung penafsiran.
2.
(a) membasuh kepala saat berwudhu itu wajib (nash qat’i dan ini Syari’ah)
(b) sampai mana membasuh kepala itu? (nashnya zanni dan ini fiqh)
Catatan: kata “bi” pada famsahuu biru’usikum terbuka utk ditafsirkan.
3.
(a) memulai shalat harus dengan niat (nash qat’i dan ini Syari’ah).
(b) apakah niat itu dilisankan (dengan ushalli) atau cukup dalam hati (ini Fiqh)
Catatan: sebagian ulama memandang perlu niat itu ditegaskan dalam bentuk “ushalli” untuk menguatkan hati sedangkan ulama lain memandang niat dalam hati saja sudah cukup
Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya.
Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan di antara bukan ahli istidlal adalah kesalahpahaman semata.
Ataukah mereka meninggalkan pendapat dalam mazhab Hambali dengan barometer al-Qur’an dan As Sunnah berdasarkan pemahaman mereka sendiri ?
Secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat Imam Mazhab yang empat dengan barometer al-Qur’an dan As Sunnah, jelas ia lebih berkompetensi atau lebih pandai dari Imam Mazhab yang empat.
Apakah mereka memiliki kompetensi seperti
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-Quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. Semua itu masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Pada hakikatnya ulama pada masa kini sudah dapat dikatakan mustahil “menghakimi” pendapat Imam Mazhab yang empat karena sumber atau bahan untuk melakukan ijtihad dan istinbat tidaklah mencukupi sebagaimana sumber dan bahan yang dimiliki oleh Imam Mazhab yang empat.
Perlu kita ingat jumlah hadits yang telah dibukukan hanya sebagian kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan, dihafal dan dipahami oleh Imam Mazhab yang empat.
Contohnya kebiasaan Nabi membaca Al Qur’an setiap malam Jum’at atau hari Jum’at yang telah dibukukan adalah surat Al Kahfi
Dari Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ َقَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ
“Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, maka dipancarkan cahaya untuknya sejauh antara dirinya dia dan Baitul ‘atiq.” (Sunan Ad-Darimi, no. 3273. Juga diriwayatkan al-Nasai dan Al-Hakim)
Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak hanya membiasakan membaca surat al Kahfi pada malam Juma’at atau pada hari Jum’at. Masih banyak surat-surat lainnya seperti surat Yasiin, Al Mulk, Waqiah, Ar Rahmaan dan lain lainnya baik pada malam Jum’at atau pada malam-malam lainnya
Kebiasaan-kebiasan Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak semua telah dibukukan dalam kitab hadits namun disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh dan diajarkan dalam bentuk praktek. Untuk itulah kita dapat menanyakan kebiasaan-kebiasan Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang tidak terbukukan dalam kitab-kitab hadits kepada para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena mereka mendapatkan dalam bentuk praktek dari orang tua mereka yang tersambung kepada Imam Sayyidina Ali ra yang mendapatkan pengajaran dari Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam bentuk praktek pula bukan membaca atau muthola’ah kitab.
Begitupula banyak hadits-hadits terkait akhlak atau terkait ihsan yang tidak terbukukan dalam kitab-kitab hadits. Contohnya hadits “Ash-shalatu Mi’rajul Mu’minin”
Hadits-hadits terkait akhlak atau terkait ihsan pada umumnya disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh dalam bentuk nasehat yang umumnya susunan perawi tidak diperhatikan atau tidak lagi diingat.
Hadits-hadits yang perlu diperhatikan susunan perawinya adalah hadits-hadits terkait perkara syariat.
Hadits seperti “Ash-shalatu Mi’rajul Mu’minin” adalah terkait dengan akhlak atau terkait dengan Ihsan sehingga perlu dijelaskan oleh para ulama yang telah sampai (wushul) kepada Allah ta’ala
Hal serupa dengan hadits Qudsi pada umumnya adalah terkait dengan akhlak atau terkait dengan Ihsan dan hanya orang-orang tertentu yang dapat menerima dan memahaminya