TAFSIR DARI AYAT YANG MENJELASKAN TENTANG SUMPAH LI’AN DAN DZIHAR

TAFSIR DARI AYAT YANG MENJELASKAN TENTANG SUMPAH LI’AN DAN DZIHAR

L

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Menurut sejarah, segala hukum fiqh itu dirumuskan oleh ahli-ahli fiqh melalui penilitian mereka terhadap sumber-sumber Islam yang primer, yaitu Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW.

Dalam hal ini, fiqh tidak hanya mengatur permasalahan yang vertikal, akan tetapi ia mengatur urusan yang horizontal. Ini dikarenakan Alquran dan sunah itu sangat luas pembahasannya, yaitu vertikal dan horizontal.

Salah satu hal horizontal yang diatur oleh Alquran adalah pernikahan. Kaitannya dalam pernikahan, fiqh telah mengatur tatacara pergaulan antara suami dan istri agar kedua-dua hak dari mereka dapat terjaga, baik lahir maupun batin.

Hubungan kedua suami-istri tidak luput dari kekurangan, oleh itu segala konsekwensi dari kekurangan ini telah diatur oleh Allah. Bagian darinya adalah `îlâ` dan dzihâr yang dapat membahayakan hak dan nasib seorang istri. Dalam hal ini, Allah berfirman dan mengaturnya pada al-Baqarah, ayat 226-227 dan Surah al-Mujâdalah, ayat 2-4

  1. Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

  1. Ayat yang mengatur persoalan `îlâ` dan dzihâr serta uraian bagi lafaz ayat ini mengikut ilmu tafsir.
  2. Tafsir-tafsir ulama tentang ayat `îlâ` dan dzihâr mengikut konteks ilmu fiqh dan `ushûlnya.
  3. Filsafat yang dapat diambil dari ayat-ayat `îlâ` dan dzihâr.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Ayat `Îlâ` dan Dzihâr Serta Uraian Lafaznya

Ayat tentang `îlâ` terdapat pada Surah al-Baqarah, ayat 226-227

Terjemahan: 226. Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 227. Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Dalam mengurai ayat ini, inti pembahasannya adalah kata “يؤلون”. Kata ini berasal dari fi’il mâdli “آلى – يؤالى – إيلاء”. Kata nama bagi `îlâ` juga bisa disebut “أَلِيَّة” yang mana keduanya dibaca dengan tasydîd.[1]

Secara bahasa, kata `îlâ` dan pecahannya memiliki arti qasam, yamîn, dan half yang mana semuanya berarti sumpah.[2] Secara istilah, `îlâ` berarti: sebuah sumpah untuk meninggalkan persetubuhan (وطء) terhadap istri.[3] Syaikh Wahbah al-Zuhailî menambah pengertiannya dengan: ketika seorang lelaki bersumpah untuk tidak mensetubuhi istrinya selama empat bulan atau lebih.[4]

Selanjutnya adalah kata “من نسآئهم”. Kata ini secara tafsir diikut sertakan di dalamnya sama ada istri yang berupa merdeka, maupun yang masih `amat.[5]

Kata yang penting setelahnya adalah “تربص”. Tarabbush adalah menunggu (الإنتظار). Makna ini diambil seperti yang terkandung di dalam ayat “قل تربصوا فإني معكم من المتربصين”[6] yang bermaksud: “kamu semua tunggulah! Sesungguhnya Aku bersama orang-orang yang menunggu yang bersama dengan kamu semua”. Sedangkan mensandarkan kata tarabbush pada kata “الأشهر” itu termasuk `idlâfah al-mashdar `ilâ al-dzarf (mensandarkan mashdar terhadap dzarf).[7]

Kata “فآؤوا” pula memiliki arti menarik kembali sumpah tersebut dengan cara melakukan persetubuhan (الوطء).[8] Arti ini berdasarkan makna dari mashdarnya yaitu “الفيء” yang mana secara bahasa adalah “kembalinya sesuatu kepada keadaan semula”.[9]

Makna ayat 226 dari Surah al-Baqarah ini adalah seumpama si suami merujuk kembali dari apa yang telah ia sumpahkan yaitu meninggalkan pergaulan bersama istri-istrinya, maka sesungguhnya Allah SWT maha mengampuni terhadap apa yang telah terjadi yaitu sumpah yang zalim.[10]

Kata “غزموا الطلاق” bermakna si suami tersebut berketetapan hati (berniat dengan mantap) untuk menjatuhkan talak, dan berniat untuk tidak kembali bergaul (الإستمتاع) dengan istri-istrinya.[11]

Sedangkan kata “عليم” (Allah maha mengetahui) menunjukkan bahwa Allah maha mengetahui terhadap niat mereka. Ini memberi arti bahwa tidak ada bagi suami tersebut setelah menunggu selama 4 bulan kecuali kembali menggauli istri mereka atau terjadi talak.[12]

Secara balâghah, kata “فإن الله سميع عليم” itu adalah kalam khabar yang keluar dari lahirnya ayat, yang mana ia bertujuan memberi makna ancaman (الوعيد) dan menakut-nakuti (التهديد).[13]

Ayat tentang dzihâr pula terdapat pada Surah al-Mujâdalah, ayat 2-4

Terjemahan: 2. Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. 3. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. 4. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.

Kata “يظاهرون” itu menunjukkan pada konsep dzihâr di dalam syariat Islam. Dzihâr pula tercetak dari kata “الظهر”. Dzihâr adalah ucapan seorang lelaki kepada istrinya “kamu seperti punggung ibuku”. Akan tetapi maknanya secara asli adalah menyamakan punggung dengan punggung. Lalu ia dipakai untuk mengharamkan seorang istri dengan menjadikannya sebagai perkara yang diharamkan seperti punggung ibunya sendiri.[14]

Secara definitif, Syaikh Wahbah al-Zuhailî menyebutnya dengan “menyamakan seorang perempuan (istri) atau sebagian anggota darinya dengan salah satu dari mahram si suami secara nasab, sesusuan (رضاع), atau hubungan kemertuaan (مصاهرة) disertai niat mengharamkan”.[15]

Kata “اللائي” pula adalah jamak dari kata “اللتي”. Ia boleh dibaca “اللاتي” dan “اللائي” seperti firman Allah “وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ”.[16]

Kata “منكرا” itu bermaksud perkara yang dimunkari dari perintah, yaitu sebaliknya sebuah perkara yang bagus. Batasan munkar adalah segala perkara yang oleh syariat, akal, dan watak (طبع) dianggap jelek.[17]

Sedangkan kata “زورا” itu bermakna penipuan, kebatilan yang jelas. Bagian dari “زور” adalah “شهادة الزور”.[18] Menurut Wahbah al-Zuhailî alasan diberi kata “زورا” karena menunjukkan bahwa kata-kata tersebut adalah sebuah penipuan dan fitnah, karena seorang istri tidak bisa disamakan dengan ibu.[19]

Selanjutnya, kata “تحرير رقبة” adalah dari kata kerja “حَرَّرْتُهُ” yang memberi arti “aku menjadikan ia merdeka demi Allah”. Kata “رقبة” pada asalnya adalah beberapa leher (العنق). Lalu ia dimutlakkan terhadap zat manusia karena menamai sesuatu dengan bagian darinya. Maka yang dimaksud adalah perkara yang dimiliki yaitu hamba lelaki atau perempuan. Menurut al-`Alûsî, kata tersebut adalah penamaan keseluruhan dengan bagiannya.[20]

Kata “يتماسا” itu bermakna memegang (المس) yaitu memegang sesuatu dengan tangan. Lalu ia dipinjamkan maknanya untuk jimâ’ karena jimâ’ meliputi menyentuh dan kontak fisik. Maka “يتماسا” adalah kinâyah dari jimâ’.[21]

Kata “مسكينا” berarti orang yang tidak memiliki apa-apa. Ada pendapat yang mengatakan bahwa orang miskin adalah orang yang tidak memiliki apa-apa untuk mencukupi keluarganya. Akan tetapi, kata miskin dari ayat ini memiliki makna yang lebih umum daripada fakir. Sedangkan miskin itu lebih bagus keadaannya dibandingkan dari fakir.[22]

Kata “حدود” berasal dari “حد” yang bermaksud memisah antara dua perkara agar tidak bercampur atau tidak melewati batas salah satu darinya terhadap yang lain. Jamak “حد” adalah “حدود”. Pengertian “حدود الله” adalah perkara-perkara yang menjelaskan keharaman atau kehalalan sesuatu itu. Allah juga memerintahkan agar tidak melewati batas-batas yang telah ditentukan Allah. Sesuai dengan konteks pembahasan ayat “وتلك حدود الله”, hudûd di sini batasan antara maksiat dan taat. Maksiat adalah dzihâr dan taat adalah membayar kafârah.[23]

  1. Tafsir Ahkam Ayat `Îlâ` dan Dzihâr

Ayat “للذين يؤلون من نسآئهم” ini menunjukkan bahwa `îlâ` dikhususkan bagi para istri. Oleh karena itu, `îlâ` itu ditetapkan bagi orang-orang yang terkena talak. Maka orang merdeka, hamba, dan mabuk itu juga dapat menetapkan `îlâ`. Begitu juga orang idiot, dan yang berada dikuasa orang lain (anak kecil) hanya saja apabila `îlâ` terjadi waktu ia sudah baligh yang tidak gila.[24]

Seperti keterangan di atas, bahwa `îlâ` pada dasarnya adalah sebuah sumpah. Oleh karena itu, konsep `îlâ` apakah harus ada sumpah atau tidak terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh.

Menurut Imam al-Syâfi’î di dalam qaul jadîdnya, bahwa `îlâ` tidak dapat jatuh kecuali disertai dengan sumpah kepada Allah sahaja, karena ada sabda Nabi SAW “من كان حالفا فليحلف بالله أو ليصمت”. Menurut Hanafiyyah dan Mâlikiyyah; `îlâ` sah dengan sumpah atas nama Tuhan, atau sumpah meninggalkan seksual dengan talak atau memerdekakan atau dzihâr, karena ada ucapan Ibn ‘Abbâs: “كل يمين منعت جماعا فهي إيلاء وكل من حلف بالله أو بصفة من صفاته فقال أقسم بالله أو أشهد بالله أو علي عهد الله وكفالته وميثاقه وذمته فإنه يلزمه الإيلاء اتفاقا”. Mâlikiyyah menambah; `îlâ` tidak disyaratkan sumpah di dalam `îlâ`. Apabila seorang lelaki menolak untuk berhubungan seksual dengan tujuan menyakiti perempuan tanpa ada uzur, walaupun tanpa sumpah, maka dia telah melakukan `îlâ` karena terdapat dlarar.[25]

Selain dari ini, Imam al-Râzî berpendapat bahwa ayat ini menetapkan bahwa `îlâ` itu sah sama ada lelaki tersebut dalam tingkah ridha atau marah. Sedangkan menurut Imam Mâlik; `îlâ` hanya sah tatkala dalam keadaan marah melihat secara lahirnya ayat.[26]

Beliau menambahkan, bahwa `îlâ` bisa sah sama ada dalam sebuah pernikahan, atau perempuan yang tertalak raj’î, dengan dalil; bahwa talak raj’î itu masih menetapkan bahwa perempuan tersebut masih menjadi istri si suami. Ini digambarkan dengan ucapan “istri-istriku tertalak” maka jatuhlah talak terhadap mereka. Maka apabila telah tetap bahwa istri-istri si suami masuk di dalam lahir ayat “للذين يؤلون من نسائهم”.[27]

Bagi tafsir ayat “فإن فآءو فإن الله غفور رحيم”, terjadi perbedaan pendapat ulama. Menurut Sa’îd bin Jubair dan Sya’bî mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan al-fai` adalah hubungan seksual, bukan selainnya. Seumpama si suami tidak bersetubuh dengan istri tersebut dan habislah waktu tarabbush `îlâ`, maka tertalak bâ`inlah perempuan tersebut.[28]

Menurut ulama yang lain, al-fai` adalah melakukan seksual bagi orang yang tidak memiliki uzur sama sekali. Maka seumpama orang tersebut sakit, musafir, atau dipenjara; maka cukuplah melakukan rujuk dengan lisan atau hati. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama.[29]

Sedangkan menurut pendapat lain pula, al-fai` adalah melakukan rujuk dengan lisan dalam keadaan apapun. Maka cukuplah apabila si suami berkata: “aku kembali kepada perempuan tersebut”. Pendapat ini adalah pendapat al-Nakha’î.[30]

Untuk permasalahaan jatuhnya talak ketika tidak merujuk (al-fai`), maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut Hanafiyyah; al-fai` haruslah dilakukan sebelum selesainya waktu. Seumpama melewati 4 bulan tanpa ada al-fai`, maka talak pun jatuh sebagai talak bâ`in.

Menurut mayoritas ulama; talak tidak jatuh hanya dengan terlewatnya batas waktu, karena lewat batas waktu tidak menyebabkan jatuhnya talak. Hanya saja si istri harus mengajukan gugatan perkara pada hakim, apakah dirujuk (al-fai`) atau ditalak. Kesimpulannya, talak hanya akan jatuh dengan pentalakan sama ada oleh suami atau hakim apabila perkara itu diangkat ke hakim tersebut.[31]

Titik perbedaan pendapat ini berada dita`wîlan ayat “فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ * وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ”. Menurut Hanafiyyah; ta`wîlan ayat tersebut adalah “seumpama mereka (para suami) merujuk pada bulan-bulan ini, maka Allah Maha Pengampun lagi Maha Mengasihi pada apa yang mereka ajukan yaitu sumpah untuk membahayakan (إضرار) istri. Seumpama mereka tidak merujuk pada bulan-bulan ini, dan tetaplah mereka di dalam sumpah mereka. Maka adanya mereka itu memiliki niat untuk talak, dan jatuhlah talak dengan hukum syara’”. Makna dari ayat “وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ” adalah meninggalkan rujuk (fai`). Hanafiyyah menyamakan waktu `îlâ` dengan iddah. Talak juga disamakan dengan talak raj’î. `Îlâ` pada zaman jahiliyyah adalah talak. Lalu syara’ pula mengakui `îlâ` sebagai talak, hanya saja ditambah tempoh.[32]

Makna ayat ini menurut mayoritas ulama adalah bagi orang-orang yang bersumpah `îlâ`, haruslah menunggu 4 bulan. Seumpama mereka merujuk, setelah habisnya tempoh, maka Allah Maha Pengampun lagi Maha Mengasihi. Seumpama mereka berniat untuk menjatuhkan talak, maka Allah Maha Mendengar terhadap talak mereka, dan Maha Mengerti dengan apa yang keluar dari mereka dari segi baik dan buruknya. Mayoritas ulama menyamakan tempoh `îlâ` dengan tempoh yang dibuat batas bagi kasus impotensi, karena `îlâ` adalah bahaya terhadap istri. Ia hanya jatuh kalau suami mengangkatnya. Kalau tidak diangkat, maka syariat yang mengaturnya secara hukum sebagaimana pada mana-mana bahaya yang berhubungan dengan seksual, dan ini adalah yang zahir. Alasannya adalah ayat “وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ” sebagai dalil bahwa istri tidak dapat ditalak dengan jangka waktu 4 bulan, selagi tidak muncul vonis talak (تطليق) setelah jatuh tempoh.[33]

Untuk masalah dzihâr, ia terdapat sejarah tersendiri. Pada zaman Jahiliyyah, dzihâr merupakan salah satu dari cara talak. Malah ia merupakan cara yang paling kuat talaknya menurut mereka. Lalu Islam datang untuk membetalkan hukum ini. Islam menjadikan dzihâr haram untuk dilakukan, dan diberi konsekwensi kafârah terhadap suami. Juga dzihâr tidak dihukumi talak, seperti apa yang dipercayai orang jahiliyyah. Jadi, seumpama seorang lelaki melakukan dzihâr untuk mentalak istrinya, maka ia adalah dzihâr bukan talak. Begitu juga, kalau ia melakukan talak tapi berkehendak untuk dzihâr , maka yang jadi adalah talak. Yang dianggap adalah lafaz tersebut bukan dengan niat. Tidak boleh salah satu dari perkara tersebut menempati tempat satu yang lain.[34]

Ayat “وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ” menunjukkan bahwa dzihâr adalah haram. Malah Syâfi’iyyah menganggap bahwa dzihâr adalah termasuk dosa besar. Barang siapa melakukan dzihâr, maka ia dianggap penipu dan meremehkan syariat.[35]

Ayat “فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا” ini menetapkan bahwa diharamkan bersetubuh dengan istri selagi belum membayar kafârah dzihâr. Seperti diharamkan bersetubuh, maka diharamkan juga muqaddimahnya yaitu mencium, memeluk, dan lainnya yang searah. Ini menurut pendapat mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Sedangkan menurut Imam al-Tsaurî dan al-Syâfi’î (dari salah satu pendapatnya) bahwa yang diharamkan adalah hubungan seksual sahaja, bukan lainnya. Ini dikarenakan kata “يتماسا” (المسيس) adalah sebuah kinâyah bagi seksual.[36]

Hujah yang diberikan mayoritas ulama akan keharam semua termasuk muqaddimahnya adalah:[37]

  1. Ayat “مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا” adalah sebuah kata yang masih umum. Ia mengandung segala jenis cara mencari kesedapan (الإستمتاع);
  2. Tempat penyamaan yang membuat sebab haram adalah kata “seperti punggung ibuku”. Hal ini juga sama seperti memegang ibu, dan mencari kesedapan (الإستمتاع) dengan ibu dengan berbagai jalan. Maka oleh itu, haram juga mencari kesedapan dengan istri yang telah didzihâr karena beramal dengan konsep penyamaan (التشبيه).
  3. Terdapat hadis yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan lelaki yang mendzihâr istrinya untuk menjauhi istrinya sampai ia membayar kafârah (أَخْبَرَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الْحَكَمِ بْنِ أَبَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ ظَاهَرَ مِنْ امْرَأَتِهِ فَوَقَعَ عَلَيْهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي ظَاهَرْتُ مِنْ امْرَأَتِي فَوَقَعْتُ قَبْلَ أَنْ أُكَفِّرَ قَالَ وَمَا حَمَلَكَ عَلَى ذَلِكَ يَرْحَمُكَ اللَّهُ قَالَ رَأَيْتُ خَلْخَالَهَا فِي ضَوْءِ الْقَمَرِ فَقَالَ لَا تَقْرَبْهَا حَتَّى تَفْعَلَ مَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ).[38]

Hujah yang diberikan Imam al-Tsaurî dan al-Syâfi’î pula adalah sebagai berikut:[39]

  1. Ayat tersebut menyebut kata “يتماسا” (المسيس) yang merupakan kinâyah dari seksual, maka cukup diartikan dengan seksual saja.
  2. Keharaman di sini bukanlah bermakna merusak pernikahan. Maka makna di sini adalah disamakan dengan haid, yang mana diharamkan mencari kesedapan (الإستمتاع) di antara pusat dan lutut.

Ayat “ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا” terjadi perbedaan pendapat dalam menafsiri kata “يعودون” (العود). Menurut Imam Abû Hanîfah, kata “العود” di sini adalah sebuah ibarat dari menyegaja untuk memperbolehkan hubungan seksual dan meraba-raba. Menurut Imam al-Syâfi’î, ia bermakna suami menjaga istri (meneruskan pernikahan) setelah terjadi dzihâr serta mampu untuk menjatuhkan talak. Sedangkan menurut Imam Mâlik dan `Ahmad, ia bermakna berniat untuk melakukan seksual sahaja, atau seksual dan tetap dalam pernikahan. Dari ketiga-tiga versi pendapat ini, jelaslah pada dasarnya memiliki dasar yang sama, yaitu ada penyesalan, dan berkeinginan untuk kembali bergaul dengan istrinya. Huruf “اللام” di sini bermakna “إلى”.[40]

Selanjutnya ayat “فتحرير رقبة من قبل أن يتماسا” menunjukkan ada kafârah bagi dzihâr sebelum menggaulinya seperi keterangan yang telah lewat. Menurut ayat “فتحرير رقبة من قبل أن يتماسا” lalu “فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا” dan “فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ”, kafârah dzihâr adalah memerdekakan budak. Seumpama tidak dapat, maka puasa 2 bulan berturut-turut. Seumpama tidak kuat, maka wajib memberi makan 60 orang miskin[41].[42]

Untuk menentukan jenis hamba dalam konteks ayat ini (yang mana hanya memakai kata رقبة tanpa diberi ketentuan atau قيد), terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut Hanafiyyah, kafârah bagi konteks ini bisa hamba yang kafir atau yang muslim, lelaki atau perempuan, besar atau kecil walaupun yang masih menyusu. Ini dikarenakan kata رقبة itu bisa masuk dari semua jenis ini.[43]

Sedangkan menurut Syâfi’iyyah dan Mâlikiyyah mensyaratkan status iman bagi hamba tersebut. Maka tidak sah memerdekakan selain orang yang mukmin, karena berpegangan pada kemutlakan perkara yang diqayyidi di dalam ayat membunuh yaitu “فتحرير رقبة مؤمنة” yang mana ada persamaan antara kedua ayat ini.[44]

Bagi kafârah dengan puasa dua bulan berturut-turut, ia hanya boleh dilakukan apabila orang tersebut tidak mampu atau tidak menemukan hamba untuk dimerdekakan. Menurut Hanafiyyah kata bulan di sini adalah bulan dalam arti tanggalan hilâl, bukan matahari. Ini tidak dibedakan sama ada bulan tersebut sempurna atau kurang. Seumpama orang tersebut tidak mengitung dengan tanggal hilâl, maka ia wajib puasa selama 60 hari.[45]

Kafârah dengan memberi makan 60 orang miskin diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu/menemukan hamba untuk dimerdekakan, dan tidak mampu puasa 2 bulan berturut-turut. Ulama berbeda pendapat dalam kadar makanan yang wajib diberikan.

Menurut Abû Hayyân; secara lahirnya, makanan tersebut secara mutlak. Ia dikhususkan sesuai dengan adat yang berlaku tatkala ayat tersebut itu turun, yaitu makanan yang membuat kenyang dengan tidak lebih dari satu mud.[46]

Menurut Imam Syâfi’î dan Mâlik, makanan tersebut harus diberikan kepada 60 orang, dan tidak boleh kurang. Akan tetapi menurut Abû Hanîfah dan pengikut-pengikutnya; bahwa kalau orang tersebut memberi makan kepada satu orang saja setiap hari ½ shâ’ sampai jadi sempurna total 60 mud, maka ia sudah mencukupi.[47]

  1. Filsafat Ayat `Îlâ` dan Dzihâr

Secara sejarah ayat `îlâ` ini (Surah al-Baqarah, ayat 226-227), adalah berdasarkan sebuah riwayat, bahwa `îlâ` pada zaman jahiliyyah, adalah merupakan talak. Sa’îd bin al-Musayyab berkata: “apabila ada lelaki yang tidak suka dengan istrinya, dan dia juga tidak mau perempuan tersebut menikahi lelaki selainnya; maka ia bersumpah untuk tidak menggauli istrinya, lalu dia meninggalkannya tanpa menjadikannya janda. Tujuan dari perbuatan tersebut adalah agar menyakiti wanita tersebut. Maka Allah SWT menghilangkan kezaliman tersebut. Allah juga menyerakkan suami sebuah tempoh sehingga dia dapat berfikir-fikir akan pernikahannnya. Seumpama ia merasa lebih baik meninggalkan penyakitan ini, maka ia lakukanlah (kembali), seumpama ia merasa lebih baik berpisah saja, maka ia talak saja istrinya”.[48]

Menurut Ibn ‘Abbâs: “`îlâ` pada zaman jahiliyyah adalah satu tahun atau dua tahun dan lebih dari itu. Maka Allah menetapkan 4 bulan. Maka barang siapa yang `îlâ`nya kurang dari 4 bulan, maka ia tidak disebut dengan `îlâ`”.[49]

Seorang guru dan ahli tafsir di Mekkah, Syaikh Muhammad ‘ Alî al-Shâbûnî mengajarkan filsafat dibalik ayat ini adalah sebagai berikut:

Syariat Islam memerintahkan untuk berbuat baik terhadap istri dan menggaulinya dengan baik. Syariat juga mengharamkan menyakiti istri dan membahayakannya dengan berbagai macam cara dan bentuk. Ini dikuat dengan ayat “وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا”.[50]

Apabila seseorang `îlâ` istrinya dan membiarkannya ditempat tidur dalam waktu yang lama, maka perkara tersebut tidak lain hanya bertujuan untuk menyakitinya sehingga membuatnya tergantung-gantung. Ia bukanlah seorang istri, tapi bukan juga perempuan tertalak. Dan `îlâ` ini juga bukanlah dari perkara yang menjadi nafi serta wajibnya bergaul dengan baik. Perkara ini tidak bisa kolaborasi dengan pengajaran-pengajaran Islam yang benar. Oleh karena itu, Allah memerintahkan suami untuk terikat dengan waktu yaitu 4 bulan. Seumpama lelaki tersebut mulai sadar maka ia dikenakan kafârah atau sumpahnya, dan ia harus memperbagus hubungan dengan istrinya dan menggaulinya dengan baik. Seumpama si suami menolaknya, maka ia haruslah mentalak istrinya dikarenakan menyakitkannya. Konsep hukum ini adalah beberapa perkara yang baik dari syariat yang bagus dalam bentuk syariat itu menolak perempuan dari menanggung sesuatu yang zalim, dan membawanya kepada kebaikan. Syariat juga membuat si suami memiliki pasangan yang bahagia.[51]

Sebab turunya ayat dzihâr ini adalah berdasarkan hadis yang diriwayatkan `Aisyah: “Mahasuci Allah yang Maha Mendengar segala sesuatu. Sungguh aku telah mendengar sebagian perkataan Khaulah binti Sa’labah dan sebagian yang lain: Tidak aku mendengar dia mengatakan suaminya (Rasulullah SAW); Wahai Rasulullah, dia (atau suamiku) telah menghabiskan masa mudaku dan aku telah menyerahkan perutku untuk menabur benihnya, hingga apabila aku telah tua dan aku tidak bisa memberikan anak lagi, dia mendzihârku. Ya Allah menggadukan penderitaanku ini. Dia tetap dalam keadaan seperti itu, sampai Jibril turun dengan membawa ayat-ayat ini: قد سمع….”.[52]

Menurut Ibn Mandzûr; orang Arab zaman jahiliyyah mentalak istri mereka dengan kalimat “أنت علي كظهر أمي”, hanya saja mereka mengkhususkan dengan kata “ظهر” (punggung), bukan perut, peha, dan farj. Dan hal ini lebih dari segi keharamannya, karena punggung adalah tempat dinaiki. Sedangkan perempuan adalah tempat dinaiki apabila digauli. Maka kata-kata “أنت علي كظهر أمي” itu seolah-olah yang dikehendaki adalah tungganganmu untuk nikah bagiku adalah haram seperti tunggangan ibuku dalam pernikahan. Maka orang lelaki tersebut menempatkan punggung sebagai tempat menaiki. Ini adalah termasuk sehalus-halusnya `isti’ârât untuk kinâyah.[53]

Menurut Syaikh Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî, hikmah dibalik ayat ini adalah sebagai berikut:

Islam telah mensyariatkan pernikahan sebagai akad yang abadi dan tidak dibatasi waktu. Tidak ada yang dapat merusaknya kecuali perkara yang memutus kelazatan atau perkara halal yang paling dibenci Allah (talak). Dengan pernikahan, maka halallah bagi lelaki semua perkara dari pasangannya di dalam batasan yang telah diperkenankan Allah baginya. Apabila manusia datang dan berkeinginan untuk merubah apa yang diperkenan Allah baginya, maka manusia membuat sesuatu yang halal menjadi haram. Maka manusia pun terus terkena dosa besar. Apabila si suami telah melewati batas tersebut, maka akibatnya adalah dosa besar. Maka kafârah yang diberi adalah kafârah yang utama yang dapat memberi faedah bagi masyarakat. Ingatlah! Faedah tersebut adalah memerdekakan hamba. Ini adalah salah satu jalan untuk menghilangkan hamba. Apabila ia tidak mampu, baru ia berpuasa 2 bulan berturut-turut. Sedangkan filsafat dari puasa adalah sebuah pelajaran yang dapat membersihkan akhlaknya, dan menjaga diri.

Puasa ini diwajibkan ketika orang tersebut sedang sehat. Allah tidak akan membebankan seseorang kecuali dengan apa yang ia mampu. Maka orang yang sakit yang tidak mampu berpuasa itu kewajibannya dialihkan kepada sosial kembali. Maka dengan ini, ia berkewajiban memberi makan 60 orang miskin. Dengan ini berpindahlah sifat kafârah tadi kepada sosial pula, dan demi kebaikan diri orang itu sendiri. Konsep ini diperuntukkan bagi orang yang mengharamkan sesuatu yang halal pula. Maka ambillah nasihat ini![54]

BAB III

KESIMPULAN

Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:

  1. Dalam kasus `îlâ`, Allah SWT telah mengaturnya di dalam Surah al-Baqarah, ayat 226-227. Sedangkan kasus dzihâr pula pada Surah al-Mujâdalah, ayat 2-4.
  2. `îlâ` adalah sebuah sumpah untuk meninggalkan persetubuhan (وطء) terhadap istri, yang mana diberi batas waktu 4 bulan untuk menentukan sama ada kembali pada pernikahan atau menjatuhkan talak. Sedangkan dzihâr adalah menyamakan seorang perempuan (istri) atau sebagian anggota darinya dengan salah satu dari mahram si suami secara nasab, sesusuan (رضاع), atau hubungan kemertuaan (مصاهرة) disertai niat mengharamkan. Ia adalah dosa besar, dan wajib dikenakan kafârah.
  3. Filsafat dari `îlâ` adalah ditetapkannya 4 bulan bagi seorang lelaki untuk fikir-fikir, lalu memutuskan keinginannya, berbeda dengan jahiliyyah yang tidak membatasinya. Hikmah dibaliknya adalah agar si suami tidak seenak saja mengantungkan nasib istrinya seperti yang banyak dilakukan orang-orang jahiliyyah. Filsafat dzihâr adalah merubah konsep talak yang dibawa jahiliyyah yang bertujuan menghina/menyakiti perempuan. Dalam Islam, ia adalah haram dan dikenakan kafârah sebagai pengajaran. Kafârah yang ditetapkan adalah berfungsi sebagai kepentingan sosial, yaitu memerdekakan budak. Kalau tidak mampu maka demi kemaslahatan orang itu sendiri yaitu puasa 2 bulan berturut-turut. Setelah tidak mampu, maka konsepnya dikembalikan kepada sosial lagi yaitu memberi makan 60 orang miskin.

DAFTAR PUSAKA

al-Bajûrî, `Ibrâhîm bin Muhammad bin `Ahmad al-Syâfi’î. Tuhfat al-Murîd. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2007.

al-Râzî, al-Fakhr. al-Tafsîr al-Kabîr. Beirut: Dâr `Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, t.t..

al-Shâbûnî, Muhammad ‘Alî. Tafsîr Âyât al-Âhkâm. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t..

al-Zuhailî, Wahbah. al-Tafsîr al-Munîr. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005.

‘Athiyyah, ‘Abd al-Haqq bin. al-Muharrir al-Wajîz. Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2002.

al-Baghawî, al-Husain bin Mas’ûd. Tafsîr al-Baghawî. Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2002.

al-Jauzî, Ibn al-Qayyim. Zâd al-Masîr fî ‘Ilm al-Tafsîr. Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2002.

[1] al-Fakhr al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr (Beirut: Dâr `Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, t.t.), vol. 6, 80

[2] Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), vol. 1, 217.

[3] Ibid.; al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 6, 80.

[4] Wahbah al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005), vol 1, 682.

[5] ‘Abd al-Haqq bin ‘Athiyyah, al-Muharrir al-Wajîz (Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2002), 199.

[6] al-Qur’an, 52:31.

[7] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 1, 217.

[8] al-Husain bin Mas’ûd al-Baghawî, Tafsîr al-Baghawî (Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2002), 131.

[9] al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 6, 81.

[10] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 1, 217.

[11] al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 682.

[12] Ibid.

[13] Ibid., vol. 1, 681.

[14] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 2, 371.

[15] al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol. 14, 380.

[16] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 2, 371.

[17] Ibid., vol. 2, 372; al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol. 14, 380.

[18] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 2, 372.

[19] al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol. 14, 380.

[20] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 2, 372.

[21] Ibid.; Ibn al-Qayyim al-Jauzî, Zâd al-Masîr fî ‘Ilm al-Tafsîr (Beirut: Dâr `Ibn Hazm, 2002), 1406.

[22] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 2, 372.

[23] Ibid.; al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol. 14, 381.

[24] Ibid., vol. 1, 684.

[25] Ibid.

[26] al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 6, 82.

[27] Ibid.

[28] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 1, 222

[29] Ibid.

[30] Ibid.

[31] al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 686

[32] Ibid.

[33] Ibid.

[34] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 2, 380.

[35] Ibid.; al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol. 14, 391.

[36] al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 29, 258.

[37] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 2, 381.

[38] al-Nasâ`î, Sunan al-Nasâ`î: Bâb al-Dzihâr, no. 3403, (al-Maktabah al-Syâmilah).

[39] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 2, 381.

[40] Ibid., vol. 2, 381-2; Ibn al-Qayyim al-Jauzî, Zâd al-Masîr, 1405.

[41] Dalam konteks ini, kafârah dzihâr adalah tertib (sesuai urutan), bukan takhyîr.

[42] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 2, 384.

[43] Ibid., vol. 2, 385; al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol. 14, 394.

[44] Ibid.; al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 2, 385.

[45] Ibid.

[46] Ibid.

[47] Ibid.; al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 29, 260.

[48] al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 6, 80; al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 1, 220.

[49] al-Zuhailî, al- Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 682.

[50] al-Qur’an, 4:19.

[51] al-Shâbûnî, Tafsîr Âyât al-Âhkâm, vol. 1, 223.

[52] Ibid., vol. 2, 373.

[53] Ibid., vol. 2, 377.

[54] Ibid., vol. 2 387.

 

Leave your comment here: