AZAS DASAR KONTEKSTUALISASI HUKUM BERMUSIK DI ABAD MODERN

AZAS DASAR KONTEKSTUALISASI HUKUM BERMUSIK DI ABAD MODERN

MUSAzas Dasar Kontekstualisasi Hukum Bermusik di Abad Modern

                      Runtuhnya kejayaan Islam akibat dari kemelut yang berkepanjangan dalam perang salib selama kurang lebih dua abad (1096 -1297 M.), telah menimbulkan virus sosio-kultural serta ketegangan-ketegangan sosial dan ketimpangan psikologis universal (mafsadah ‘ammah) yang memporak-porandakan bangunan kehidupan politik dan peradaban umat Islam.

Setelah sebelumnya umat Islam mengalami masa keemasannya semenjak berdirinya dinasti Umayyah (kurang lebih 90 tahun: 40-132 H./661-750 M.), kemudian dilanjutkan dengan berdirinya dinasti Abasiyah yang diikuti oleh kekuasaan Islam di Andalusia kurang lebih delapan abad lamanya (711-1492 M.), yang telah mampu menorehkan rinta emas dalam sejarah perkembangan Islam kala itu, dimana kemajuan telah banyak dicapai dalam tatanan kehidupan di segala sektor pendidikan, sosial, ekonomi dan politik, hingga Islam mencapai puncak kejayaannya sebagai pusat bangkitnya peradaban dunia yang menjunjung tinggi falsafah “fitrah kemanusiaan” dan “kedamaian hakiki”. Namun setelah meletusnya perang salib, berbagai tragedi dialami umat Islam. Kehidupan umat Islam yang sarat akan nilai-nilai normatif sudah mulai terkikis oleh bias hegemoni Barat terhadap Islam, karena nilai-nilai anutan lama tergusur dan seiring perkembangannya telah banyak mengalami reduksi nilai-nilai. Dari sinilah terjadi “Akulturasi kebudayaan Barat dengan kebudayaan Islam” yang sangat hebat, yang senantiasa mewarnai wajah peradaban Islam pada dekade selanjutnya.

Kini, di tengah membuncahnya kemajuan teknologi modern, dinamika arus kebudayaan asing/Barat semakin deras menyusup dan langsung menusuk jantung pertahanan budaya kaum muslimin. Bias pengaruh sosio budaya Barat semakin terasa menyusup sendi-sendi kehidupan masyarakat Islam, akibatnya lahirlah generasi Islam yang kebarat-baratan, berfikir, bertingkah dan bergaya hidup ala Barat. Untuk itu, tidak heran bila dunia kesenian juga diwarnai oleh seni kebudayaan Barat termasuk seni musik dan nyanyian.

Dapat kita saksikan generasi muda Islam saat ini, telah sulit melepaskan diri dari seni budaya Barat yang cenderung destruktif (ifsad), bahkan sebagian dari mereka banyak yang keranjingan dan tenggelam dengan ragam tren musik, bahkan juga menggilai dan menjadi fans berat para seniman-senimannya.

Lalu bagaimanakah syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. menyikapi fenomena ini? Apakah seni musik dikenal dalam Islam? Berikut ini kajian rambu-rambu bermusik yang diulas melalui kontekstualisasi hukum seni musik dalam kaca mata yurisprudensi Islam.

5 PANTANGAN DALAM BERMUSIK

Suara Penyanyi (Artis) yang Mengundang Syahwat

              Pesona pita suara yang merdu, lembut dan mendayu-dayu, atau suara yang macho, keren, jantan, merupakan keindahan yang menjadi daya tarik bagi para penikmat musik. Dalam peradaban sekarang akan sangat mudah sekali mengakses musik dengan beragam perangkat elektronik, baik itu yang online maupun offline.

Manusia dengan nurani dan sensitivitas kejiwaannya dapat mengidentifikasi sosok seseorang melalui suaranya. Namun nalurinya jika tidak dijaga akan sangat mudah terpolusi dan terkontaminasi dengan imajinasi dan pikiran-pikiran kotor yang menggoda dalam benak dan bayangannya. Begitu lantunan lagu masuk ke telinga, akan mudah terbayang wajah dan sosok si penyanyi, bahkan caranya bernyanyi dan ber-joget ter-cover sesuai dengan daya imajinasi dan khayalnya.

Faktor inilah yang menjadi rusaknya muda mudi generasi sekarang yang keranjingan dengan musik. Band-band yang tak jarang menonjolkan lagu-lagu romantis, desahan seksi yang mencerminkan nafsu birahi, didukung dengan video klip yang mengumbar aurat, tarian-tarian erotis dan adegan maksiat. Dalam perspektif fikih, para ulama bersilang pendapat tentang suara perempuan, apakah termasuk aurat atau tidak. Namun jika pendengar yang bersangkutan sendiri akan tergoda maka sepakat hukumnya adalah haram.

Fenomena yang menjadi pemandangan yang tidak asing lagi bagi kita, di setiap perhelatan konser musik, akan selalu dibanjiri oleh penonton yang menyambut para idolanya tampil di atas panggung dengan suara histeris, berteriak-teriak dan berjingkat-jingkat seolah menandai datangnya hujan di musim kemarau panjang. Tak pelak realita ini mengundang berbagai dampak ketimpangan sosial yang kompleks dari psikologis, pergaulan dan panutan hidup yang hanya berasaskan kesenangan duniawi semata.

Lirik dan Syair yang Menggoda

                Pesatnya peredaran musik di tanah air seiring pesatnya perkembangan dunia hiburan saat ini telah memosisikan musik sebagai bagian dari kehidupan masyarakat modern yang sulit sekali dilepas dari aktivitas pola hidup masa kini. Bahkan musik dalam pandangan pencintanya adalah sarana “kebebasan berekspresi”, maka dapat kita saksikan karya-karya musik yang lirik dan syairnya melukiskan tema-tema cinta, benci, rindu, kesal, kasmaran, merana, dll. Dalam perpekstif yurisprudensi Islam, terdapat rambu-rambu yang menjadi aturan pembatas dalam membuat bait-bait syair meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

  1. Syair yang memuat kata-kata kotor, jorok, cacian (misuh: Jawa, red)
  2. Syair yang memuat pengingkaran terhadap ajaran-ajaran Islam
  3. Syair yang mengajak berbuat mesum, ciuman, pelukan, pacaran, minuman keras dan segala bentuk kemungkaran
  4. Syair yang menuturkan pesona fisik perempuan (lawan jenis)

Secara psikologis tidak diragukan lagi, menuturkan bentuk lekuk-lekuk fisik dan sifat-sifatnya dapat membangun pubersitas, syahwat dan membangkitkan libido. Para ulama menyikapi sepakat dengan hukum haram jika syair tersebut dengan menyebutkan identitas wanita lain (bukan istri) secara tertentu, sementara jika dialamatkan pada istrinya sendiri atau dituturkan secara umum, masih terjadi pertentangan di kalangan ulama, namun dalam tataran konseptual telah tercapai titik sepakat jika dapat menyebabkan pendengar terangsang dan melakukan tindakan negatif (maksiat) maka hukumnya haram. Selain itu tema-tema lagu cinta yang sering diusung walau terkadang mengadopsi dari syair para sufi yang mengekspresikan kecintaan yang hebat kepada Sang Pencipta, namun interprestasinya akan menjadi lain ketika dikonsumsi oleh publik awam, bahkan bisa disalah fahami kecintaan kepada lawan jenis, hal ini dapat pula mendorong berbuat munkar.

Lagu-lagu cinta yang membanjiri media televisi, kaset, radio dan VCD merupakan bagian dari pemenuhan selera pasar yang bersifat komersil yang orientasinya adalah mengeruk keuntungan finansial sebanyak-banyaknya. Bila terdapat pelanggaran rambu-rambu di atas, tentu hasilnya tidaklah termasuk harta yang halal dan justru membeli, mengedarkan serta mempublikasikannya adalah sikap yang membantu degradasi moral, etika dan maraknya kemaksiatan (I’anah ‘ala ma’shiyah)

Pendengar dalam Kondisi Bergolak Syahwatnya

               Romantisme musik sangat dipengaruhi pula oleh kondisi pendengarnya, utamanya ketika gelombang dahsyat nafsu syahwat sedang memuncak, ketika tekanan emosi dan kejiwaannya adalah lebih dominan untuk pemenuhan nafsu, maka baginya haram menikmati alunan musik, baik ia sedang jatuh cinta pada seseorang ataupun tidak. Sebab dalam kondisi demikian, orientasi semangat perilakunya hanya mengarah pada dasar pikiran dan imajinasi yang negatif, sehingga syair-syair lagu akan mudah diasumsikan pada interpretasi yang menggerakkan bara api syahwatnya. Terlebih bagi anak muda, kaya dan pengangguran.

Seorang ulama pemilik karya kitab al Qut berpendapat bahwa: “Musik terklasifikasi dalam tiga hukum: haram, halal dan syubhat. Untuk tipologi pendengar yang menikmati musik dengan dasar nafsu syahwat maka hukumnya adalah haram. Apabila dengan dasar petunjuk akal sehat sesuai dengan prosedur yang yang dibenarkan seperti musik yang dialamatkan pada istrinya maka tergolong syubhat, sebab masih terdapat aspek al lahwu (bermain-main) dalam tipe ini, dan apabila mendengar musik atas dasar kejernihan hati dengan mengunakan musik sebagai sarana media yang menghantarkan pada sebuah petunjuk jalan ma’rifah, maka hukumnya boleh. Hal ini apabila tidak dengan memakai alat-alat musik yang diharamkan.”

Terlalu Sering Menghabiskan Waktu dengan Bermusik

                  Bagi masyarakat awam, yang psikologi kejiwaannya belum tersirami oleh luapan cinta kepada Allah SWT., akan terpengaruh oleh pesona keindahan duniawi sehingga menjadi gandrung, ngefans berat, hobi yang berlebihan. Efek kecintaan dalam bermusik bagi masyarakat pada level awam ini pada dasarnya bukanlah dilarang, namun apabila berdampak pada eksploitasi waktu keseharian yang banyak habis hanya digunakan untuk mendengar musik, karaoke, ngeband, baik dalam rutinitas keseharian atau dalam event-event kompetisi musik, konser yang digelutinya atau bahkan menjadikan-nya sebagai provesi, maka tindakan itu kategori orang safih (idiot, red) yang menyia-nyiakan waktu dengan aktivitas yang tidak bermutu dan bermanfaat, dalam perspekstif fikih Islam.

Menyukai atau hobi terhadap perkara mubah boleh saja, tapi menggilai yang mencapai ‘maqam’ keranjingan, berteriak-teriak histeris, bahkan kadang sampai pingsan merupakan tindakan yang sudah keluar dari batas-batas naluri dan akal sehat yang tidak diperbolehkan. Sebagaimana kontinu atau terus menerus berbuat dosa kecil dapat menjadi dosa besar, begitu pula kontinu dalam sebagian hal-hal mubah akan menjadi dosa kecil. Untuk itu musik dan permainan hiburan seperti catur dalam perspektif fikih hanyalah sekedar untuk sarana refreshing untuk mengistirahatkan pikiran. Sebab refreshing sangatlah diperlukan dan bisa menjadi peran vital yang tidak tergantikan yang dapat mengobati kepenatan hati dalam suatu waktu, untuk bisa menyusun energi kesemangatan dalam beribadah dan etos kerja yang telah loyo. Namun tidak perlu sampai berlebihan dengan menghabiskan waktu atau menggelar pagelaran hiburan dalam sebuah event-event yang terbungkus dalam kompetisi karaoke atau konser, dll.

Istilah awam yang dimaksudkan adalah selain Ahli Marifah Billah, maka mencakup para ahli hukum fikih, pelajar, pengajar, dan pengarang.

Instrumen atau Atribut yang Menjadi Ciri Khas Kalangan Orang-Orang Fasik atau Kafir

                   Datangnya agama Islam dengan membawa visi moral dalam taraf hidup yang bermartabat (civilized) pada fase sejarah kemanusiaan yang beradab dan bermoral adalah upaya yang sinergis dalam memberi batas sekat pembeda pola hidup Islami dan tidak Islami. Syariah yang telah dibawa Rasulullah SAW. merupakan panduan petunjuk hidup dan tata cara yang menjadi identitas dan ciri khas kaum muslim di seluruh dunia. Untuk itu, datangnya Islam merupakan era baru bagi kehidupan kaum Muslimin yang harus menanggalkan segala bentuk atribut dan gaya hidup yang menjadi ciri khas kalangan non muslim, juga orang-orang fasik yang tidak bermartabat dan bukan Islami, termasuk dalam bermusik terkait dengan instrument, alat-alatnya.

Sebab, ada beberapa faktor yang menjadi ekses negatifya. Antara lain, secara psikologis kejiwaan meniru dan menyerupai ciri khas suatu komunitas tertentu akan sedikit banyak berpengaruh pada perasaan condong, salut serta setuju dengan komunitas hidup mereka, sehingga konsekuensinya akan mudah terbawa arus peradaban mereka. Contoh kecil, orang yang memakai pakaian tentara akan menemukan rasa bangga sebagai tentara yang tertuntut untuk berprilaku sebagaimana layaknya tentara, dan juga mengapa dalam pendidikan sekolah diwajibkan harus berseragam? Tentu untuk menumbuhkan kebersamaan dan kekompakan dalam berperilaku dan bertindak. Faktor inilah yang menjadi elemen esensial (illat al-hukmi) diharamkan memakai instrumen dan atribut bermusik yang menjadi ciri khas kaum fussaq. Zaman boleh berubah tapi manusia tidak boleh terbawa arus oleh tren-tren dan atribut yang mencerminkan sifat arogansi kebebasan pergaulan, mabuk-mabukan seperti banyak aliran musik saat ini yang liriknya dikemas seolah untuk disandingkan dengan goyangan erotis, seperti dangdut koplo, hot music, dll. yang selalu diidentikkan dengan perbuatan negatif, maka jenis musik semacam itu termasuk yang dilarang. Karena menikmatinya sama saja mempopulerkan dan mengampanyekan perbuatan maksiat. Para ulama dengan kepakaran ijtihadnya telah merumuskan beberapa alat musik yang diharamkan antara lain, seruling, gitar, gendang yang kemudian dikontekstualisasikan dengan instrumen-instrumen lain yang memilliki nilai esensial sebagai ciri khas orang fasik.

Musik yang dalam bahasa kitab klasik sering diistilahkan dengan sima’ memiliki artikulasi setiap suara yang terdengar indah di telinga, baik yang datang dari benda hidup seperti manusia atau benda mati seperti instrumen musik. Secara substansial sesuatu yang merdu dan indah bukanlah larangan, namun faktor ketimpangan sosial yang tercermin dari lima pantangan di atas mengakibatkan terjadinya ekses-ekses negatif para penikmat musik. Sejalan dengan formulasi hukum bermusik ini masih perlu adanya pola sosialisasi penerapan yang strategis di tengah- tengah masyarakat, sebab efek negatif yang ditimbulkan dari musik bersifat relatif dan berbeda-beda tergantung pada individu masing-masing. Untuk itu, terdapat dua alternatif pemikiran dalam merespon permasalahan ini, kemudian digunakan mana yang lebih maslahah. Pertama, dengan melihat aspek negatif secara umum. Bila diduga sering menimbulkan mafsadah maka hukumnya haram tanpa kecuali. Pola pikir ini dikenal dengan saddu al-dzaroi’. Kedua, dengan mengembalikan pada kondisi pribadi masing-masing penikmat musik, bila bagi dirinya bisa berdampak negatif, maka haram.

Dari uraian yang termaktub di atas, sebenarnya masih banyak yang belum terakomodir dalam tulisan yang singkat ini, namun setidaknya kita dapat menjadikannya sebagai acuan, barometer aktualisasi hukum di tengah pergulatan pemikiran dan dinamika arus budaya globalisasi yang muncul dewasa ini, selamat berpikir!

 

Leave your comment here: