PENJELASAN TENTANG MANAQIB dan TAWASUL YANG DI AMALKAN MASYARAKAT KITA (Selesai).

Tawasul dengan amal
Hadits tentang wasilah berupa amal yang bersumber dari Ibnu Umar ra. . bahwa Rasulullah saw. bercerita dalam hadits ini yang cukup panjang salah satu intinya adalah ada tiga orang yang tersesat di dalam gua, lalu tiba-tiba sebuah batu besar menutupi mulut gua. Namun tiada harapan kecuali berdoa kepada Allah agar batu bisa tersingkir. Ketika satu demi satu orang berdoa, mereka berwasilah dengan amal sholeh masing-masing; orang pertama berwasilah pada amal dimana ia pernah memberikan susu kepada ibudanya padahal anaknya sangat membutuhkan; “Aku lebih menguta¬makan ibu terlebih dahulu dari pada anak-anakku meskipun anaku merengek meminta.” Adapun wasilah amal orang kedua adalah kemampuan orang kedua ini menghentikan niat hendak mau menggauli sepupu perem¬puannya padahal sudah memberikan uang 100 dinar, namun tidak jadi karena sepupu perempuan¬nya meminta menikahkannya, akhirnya membatal¬kan niat jahat tersebut. Sedangkan orang ketiga memiliki wasilah amal dima¬na dia memakan hak gaji pegawai. Ketika ditegur “takutlah kepada Allah dan janganlah mendzalimi aku.” Karena merasa takut kepada Allah, setelah sekian lama orang ini memberikan ganti uang hak pegawai itu berupa peternakan lembu dan anak-anaknya yang telah berkembang biak yang modalnya diambil dari hak pekerja tersebut. Dari ketiga wasilah orang tersebut Allah mengge¬rakkan batu besar yang menutupi gua sehingga mereka bertiga bisa lepas dari musibah. (HR. Bukhari-Muslim)
Dari hadits tersebut di atas, maka sebuah amal adalah wasilah yang dapat mengantarkan kita kepada Allah SWT. Dengan amal ini juga boleh jadi dapat memberikan pertolongan terhadap derita seorang hamba karena tertimpa musibah seperti derita tiga orang yang terjebak di dalam gua.
Dalil Manaqib
Mendekati Allah dengan cara mendekati orang-orang yang dicintai Allah adalah sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Luqman: 15: “…. dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Tafsir al Qurthuby mengartikan “anaba ilayya” kembali kepada-Ku (Allah SWT) yaitu kembali kepada jalan para Nabi dan orang-orang sholeh. Dengan demikian maka mengikuti jalan orang-orang sholeh apalagi para ulama dan aulia merupakan anjuran Allah dan Rasul-Nya. “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekha¬watiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus: 62)
Jadi dengan mengikuti pembacaan manaqib Insya Allah meru¬pakan salah satu jalan tempuh untuk memperoleh rakhmat dan karunia Allah dengan cepat. Sebab dengan manaqib ini kita dapat mengenal, memahami, serta menyelami karakter serta sifat-sifat wali Allah yang tujuan akhirnya dalah untuk diteladani.
Kalau Uwais ra hidup pada zaman Rasulullah saw. maka para Waliullah yang hidup setelahnya patut kita contoh. Salah satu¬nya adalah Syeikh Abdul Qadir al Jilany (Allah telah mensuci¬kan sir nya) yang dikenal dengan sultanul auliaa (Penghulu para wali).
Diantara para pembaca manakib ada yang mengamalkan pembacaan manaqib ini secara berkala mingguan, bulanan tahunan atau kapan saja jika dikehendaki. Atau dalam moement-moment berkumpul seperti dalam acara syukuran lahir anak atau acara walimahan. Tentu saja harapannya adalah agar memperoleh keberkahan dalam kehidupan jasmani dan rohani dunia wal akhirat.
Dalil Tawasul
Banyak pemahaman saudara-saudara kita muslimin yang perlu diluruskan tentang tawassul, tawassul adalah berdoa kepada Allah dengan perantara amal shalih, orang shalih, malaikat, atau orang-orang mukmin.
Tawassul kepada Rasulullah disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, misalnya, firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 64, “Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa Allah SWT mengampuni dosa-dosa orang yang dhalim, disamping do’a mereka tetapi ada juga wasilah (do’anya) Rasulullah SAW.
Soal tawassul seperti itu, disebutkan pula dalam tafsir Ibnu Katsir, “Berkata Al-Imam Al-Hafidz As-Syekh Imaduddin Ibnu Katsir, menyebutkan segolongan ulama’ di antaranya As-Syekh Abu Manshur As-Shibagh dalam kitabnya As-Syaamil dari Al-Ataby; berkata: saya duduk di kuburan Nabi SAW. maka datanglah seorang Badui dan ia berkata: Assalamu’alaika ya Rasulullah! Saya telah mendengar Allah berfirman;
Walaupun sesungguhnya mereka telah berbuat dhalim terhadap diri mereka kemudian datang kepadamu dan mereka meminta ampun kepada Allah, dan Rasul memintakan ampun untuk mereka, mereka pasti mendapatkan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang; dan saya telah datang kepadamu (kekuburan Rssulullah) dengan meminta ampun akan dosaku dan memohon syafa’at dengan wasilahmu (Nabi) kepada Allah, kemudian ia membaca syair memuji Rasulullah, kemudian orang Badui tadi pergi, maka saya ketiduran dan melihat Rasulullah dalam tidur saya, beliau bersabda, “Wahai Ataby temuilah orang Badui tadi sampaikan kabar gembira bahwa Allah telah mengampuni dosanya.”
Tawassul merupakan hal yang sunnah, dan tak pernah ditentang oleh Rasul saw., tak pula oleh Ijma Sahabat radhiyallahuanhum, tak pula oleh Tabiin, dan bahkan para Ulama dan Imam-Imam besar Muhadditsin, mereka berdoa tanpa perantara atau dengan perantara, dan tak ada yang menentangnya, apalagi mengharamkannya, atau bahkan memusyrikkan orang yang mengamalkannya.Pengingkaran hanya muncul pada abad ke 20 ini, dengan munculnya sekte Wahabi Salafi sesat yang memusyrikkan orang-orang yang bertawassul, padahal Tawassul adalah sunnah Rasul saw., sebagaimana hadits shahih dibawah ini :
“Wahai Allah, Demi orang-orang yang berdoa kepada Mu, demi orang-orang yang bersemangat menuju (keridhoan) Mu, dan Demi langkah-langkahku ini kepada (keridhoan) Mu, maka aku tak keluar dengan niat berbuat jahat, dan tidak pula berniat membuat kerusuhan, tak pula keluarku ini karena Riya atau sumah.. hingga akhir hadits. (HR Imam Ahmad, Imam Ibn Khuzaimah, Imam Abu Naiem, Imam Baihaqy, Imam Thabrani, Imam Ibn Sunni, Imam Ibn Majah dengan sanad Shahih).
Hadits ini kemudian hingga kini digunakan oleh seluruh muslimin untuk doa menuju masjid dan doa safar.
Tujuh Imam Muhaddits meriwayatkan hadits ini, bahwa Rasul saw. berdoa dengan Tawassul kepada orang-orang yang berdoa kepada Allah, lalu kepada orang-orang yang bersemangat kepada keridhoan Allah, dan barulah bertawassul kepada Amal shalih beliau saw. (demi langkah2ku ini kepada keridhoan Mu). Siapakah Muhaddits?, Muhaddits adalah seorang ahli hadits yang sudah hafal minimal 40.000 (empat puluh ribu) hadits beserta hukum sanad dan hukum matannya, betapa jenius dan briliannya mereka ini dan betapa Luasnya pemahaman mereka tentang hadist Rasul saw., sedangkan satu hadits pendek, bisa menjadi dua halaman bila disertai hukum sanad dan hukum matannya.
Lalu hadits diatas diriwayatkan oleh tujuh Muhaddits, apakah kiranya kita masih memilih pendapat madzhab sesat yang baru muncul di abad ke 20 ini, dengan ucapan orang-orang yang dianggap muhaddits padahal tak satupun dari mereka mencapai kategori Muhaddits , dan kategori ulama atau apalagi Imam Madzhab, mereka hanyalah pencaci, apalagi memusyrikkan orang-orang yang beramal dengan landasan hadits shahih. Masih banyak hadits lain yang menjadi dalil tawassul adalah sunnah Rasululloh saw., sebagaimana hadits yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim, Thabrani dan Ibn Hibban dalam shahihnya, bahwa ketika wafatnya Fathimah binti Asad (Bunda dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, dalam hadits itu disebutkan Rasul saw. rebah/bersandar dikuburnya dan berdoa : “Allah Yang Menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Hidup tak akan mati, ampunilah dosa Ibuku Fathimah binti Asad, dan bimbinglah hujjah nya (pertanyaan di kubur), dan luaskanlah atasnya kuburnya, Demi Nabi Mu dan Demi para Nabi sebelum Mu, Sungguh Engkau Maha Pengasih dari semua pemilik sifat kasih sayang.”,Maka jelas sudah dengan hadits ini pula bahwa Rasululloh saw. bertawassul di kubur, kepada para Nabi yang telah wafat, untuk mendoakan Bibi beliau saw. (Istri Abu Thalib).
Demikian pula tawassul Sayyidina Umar bin Khattab ra. Beliau berdoa meminta hujan kepada Allah : Wahai Allah.. kami telah bertawassul dengan Nabi kami (saw.) dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman beliau (saw.) yang melihat beliau (saw.), maka turunkanlah hujan”.
maka hujanpun turun. (Shahih Bukhari hadits no.963 dan hadits yang sama pada Shahih Bukhari hadits no.3508).Umar bin Khattab ra melakukannya, para sahabat tak menentangnya, demikian pula para Imam-Imam besar itu tak satupun mengharamkannya, apalagi mengatakan musyrik bagi yang mengamalkannya, hanyalah pendapat sekte sesat ini yang memusyrikkan orang yang bertawassul, padahal Rasululloh saw. sendiri bertawassul.
Apakah mereka memusyrikkan Rasululloh saw.?, dan Sayyidina Umar bin Khattab ra bertawassul, apakah mereka memusyrikkan Umar?, Naudzubillah dari pemahaman sesat ini.
Mengenai pendapat sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa tawassul hanya boleh pada orang yang masih hidup, maka entah darimana pula mereka mengarang persyaratan tawassul itu, dan mereka mengatakan bahwa orang yang sudah mati tak akan dapat memberi manfaat lagi, pendapat yang jelas-jelas datang dari pemahaman yang sangat dangkal, dan pemikiran yang sangat buta terhadap kesucian tauhid. Jelas dan tanpa syak bahwa tak ada satu makhlukpun dapat memberi manfaat dan mudharrat terkecuali dengan izin Allah SWT, lalu mereka mengatakan bahwa makhluk hidup bisa memberi manfaat, dan yang mati mustahil?, lalu dimana kesucian tauhid dalam keimanan mereka?Tak ada perbedaan dari yang hidup dan yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah,
Yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah, dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat bila dikehendaki Allah. karena penafian kekuasaan Allah SWT atas orang yang mati adalah kekufuran yang jelas.Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah Robbil alamin, yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi shalih, hidup atau mati tak membedakan Kudrat ilahi atau membatasi kemampuan Allah, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah tetap abadi walau mereka telah wafat.Contoh lebih mudah nya sbb, anda ingin melamar pekerjaan, atau mengemis, lalu anda mendatangi seorang saudagar kaya, dan kebetulan mendiang tetangga anda yang telah wafat adalah abdi setianya yang selalu dipuji oleh si saudagar, lalu anda saat melamar pekerjaan atau mungkin mengemis pada saudagar itu, anda berkata : “Berilah saya tuan.. (atau) terimalah lamaran saya tuan, saya mohon.. saya adalah tetangga dekat fulan.
Bukankah ini mengambil manfaat dari orang yang telah mati?, bagaimana dengan pandangan bodoh yang mengatakan orang mati tak bisa memberi manfaat??, jelas-jelas saudagar akan sangat menghormati atau menerima lamaran pekerjaan anda, atau memberi anda uang lebih, karena anda menyebut nama orang yang ia cintai, walau sudah wafat, tapi kecintaan si saudagar akan terus selama saudagar itu masih hidup., pun seandainya ia tak memberi,
Namun harapan untuk dikabulkan akan lebih besar, lalu bagaimana dengan Arrahmaan Arrhiim, Yang Maha Pemurah dan Maha Menyantuni?? dan tetangga anda yang telah wafat tak bangkit dari kubur dan tak tahu menahu tentang lamaran anda pada si saudagar,