TIDAK MELAKUKAN AKAD JUAL BELI KETIKA MAKAN DI RUMAH MAKAN
PERTANYAAN:
Dalam mu’amalah seprti jual beli sebagaimana syariat ada salah satu rukunnya, yaitu ijab qabul. Tetapi kebanyakan pada masa sekarang ini, banyak yang tidak memakai ijab qabul, contoh kecilnya saja, kalau makan di warteg atau rumah makan, maka makan dulu setelah selesai baru membayar.
Bagaimana hukumnya makan dulu setelah selesai baru membayar?
JAWABAN:
Hal sebagaimana di atas memang terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama, namun pendapat yang Mu’tamad adalah yang tidak memperbolehkan.
(مسألة: ج): اشترى طعاماً كثيراً وأمتعة من غير صيغة بيع لا صريح ولا كناية جاز ذلك عند من جوّز بيع المعاطاة ولا إثم، وعلى المذهب يحرم ويطالب به في الدنيا لا في الآخرة على الأصح
الثالث ـ مذهب الشافعية والشيعة والظاهرية (2) : لا تنعقد العقود بالأفعال أو بالمعاطاة لعدم قوة دلالتها على التعاقد؛ لأن الرضا أمر خفي، لا دليل عليه إلا باللفظ، وأما الفعل فقد يحتمل غير المراد من العقد، فلا يعقد به العقد، وإنما يشترط أن يقع العقد بالألفاظ الصريحة أو الكنائية، أو ما يقوم مقامها عند الحاجة كالإشارة المفهمة أو الكتابة. ونظراً لما يشتمل عليه هذا المذهب من تشدد وشكلية محدودة ومجافاة لمبدأ المرونة والسماحة واليسر، فقد اختار جماعة من الشافعية منهم النووي والبغوي والمتولي، صحة انعقاد بيع المعاطاة في كل ما يعده الناس بيعاً، لأنه لم يثبت اشتراط لفظ، فيرجع للعرف كسائر الألفاظ المطلقة، وبعض الشافعية كابن سريج والرُّوياني خصص جواز بيع المعاطاة بالمحقَّرات أي غير النفيسة: هي ما جرت العادة فيها بالمعاطاة كرطل خبز، أو رغيف، وحزمة بقل ونحوها
(2) مغني المحتاج: 3/2 ومابعدها، المهذب: 257/1، المختصر النافع في فقه الإمامية: ص142، المحلى لابن حزم: 404/8،
Madzhab Syafi’iyyah, Syi’ah dan Zhohiriyyah :
Sebuah transaksi tidak terjadi dengan perbuatan atau dengan mu’aathah (serah terima tanpa perkataan) karena tidak kuatnya bukti hal tersebut menjadi sebuah transaksi, karena kerelaan adalah hal samar yang tidak dapat dijadikan bukti, kecuali dengan ucapan, sedang perilaku terkadang tidak sesuai kehendak hingga menjadikan ikatan kuat dari sebuah transaksi.
Namun sebagian kalangan Syafiiyyah seperti Imam Nawawy, al-Baghawy, al-Mutawally menyatakan sahnya jual beli secara mu’athah dalam setiap hal yang dipandang masarakat umum sudah dikatakan transaksi jual beli karena tidak terdapat dalil nash yang mensyaratkan dibutuhkan sebuah ucapan dalam terjadinya transaksi, karena segalanya dikembalikan pada kebiasaan orang pada umumnya.
Sebagian kalangan syafi’iyyah lainnya seperti Ibnu Suraij dan ar-Rauyani membatasi dibolehkannya jual beli secara mu’athah hanya sebatas hal-hal yang dianggap remeh oleh khalayak umum seperti ukuran sekati roti, seikat sayur mayur dan lain-lain.
Mughni al-Muhtaj II/3, al-Muhaddzab I/257, Mukhtashar an-Nafi’ al-Imamiyyah hal. 142, al-Mahalli Ibn Hazm VIII/404
Al-Fiqh al-Islamy IV/452-453
Wallahu A’lamu Bis Showab