MENGHINDARI KEJUMUDAN PIKIRAN

MENGHINDARI KEJUMUDAN PIKIRAN

    IJM           Wacana “pembaruan Islam” kembali mencuat dengan munculnya serangkaian artikel di media massa yang menyoal, mengukuhkan, bahkan mengaburkan pokok permasalahan. Tulisan ini mencoba menjernihkan isu “pembaruan Islam” dengan menelusuri akar-akar semangat “tajdid” dalam tradisi dan sejarah Islam. Bertolak dari sabda Nabi Muhammad saw bahwa senantiasa akan muncul dalam setiap kurun waktu seratus tahun seorang pembaharu agama yang diutus Allah untuk umat ini (HR Abu Dawud), banyak orang berupaya mengidentifikasi tokoh yang dikaguminya sebagai “mujaddid”. Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Imam as-Syafi’i sering disebut-sebut sebagai penyandang gelar “sang pembaharu”. Lalu di era modern sebagian orang menyematkan predikat tersebut kepada Syekh Muhammad Abduh. Tentu dalam hal ini semuanya tak lebih spekulasi belaka.

Dua pertanyaan penting mendesak untuk dijawab. Pertama, untuk apa dan mengapa perlu ada pembaruan? Kedua, apakah yang perlu diperbarui dari agama ini? Tajdid tidaklah sama dengan mengada-ada (ibtida’). Seorang mujaddid tidak mengubah apalagi sampai membongkar fondasi dan struktur bangunan agama. Laksana gedung, agama ditempati dan dipelihara, lalu secara berkala dibersihkan agar tidak tampak usang dan kembali seperti kondisi semula: kokoh, indah dan nyaman bagi penghuni maupun pengunjung.

Seorang pembaharu adalah renovator, bukan innovator. “Renewer” atau “reformer” dan bukan “deformer”. Ia tidak mengubah-suai dengan mengurangi atau menambah-nambah, membuat agama baru atau mendirikan agama dalam agama. Ia hanya memperjelas yang kabur dan menjernihkan yang keruh, mengangkat yang terabaikan dan memurnikan yang tercemar. Baik dengan meneguhkan (itsbat) ataupun menyanggah (radd), mengurai (syarh) ataupun menoreh (jarh), menyuarakan kritik (naqd) maupun negasi (naqdh). Upaya inilah yang dilakukan oleh ulama semisal Ibn Taymiyyah (w. 728/1328), tokoh yang menjadi subjek kajian Cak Nur dalam disertasi doktornya di Universitas Chicago.

Kita ketahui Ibn Taymiyyah hidup saat imperium Islam di Timur Tengah dan sekitarnya mengalami krisis multi dimensi. Serangan kaum Salib dan ancaman tentara Tatar, perang saudara dan konflik antar mazhab serta maraknya aliran-aliran sesat, jelas banyak memengaruhi pemikiran dan perjalanan hidup beliau. Ibn Taymiyyah berusaha menerobos melawan arus. Tercermin dalam karya-karyanya seperti al-Furqan bayna Awliya’ ar-Rahman wa Awliya as-Syaitan (Perbedaan antara wali Tuhan dan wali setan), Ibn Taymiyyah mengecam keras sakralisasi mazhab dan pengkudusan tokoh. Ia juga menolak dikotomi yang mempertentangkan akal dengan wahyu atau menceraikan politik dari agama.

Akibatnya mudah ditebak, ia berkali-kali diadili dan dibui hingga wafat pun dalam penjara. Para cendekiawan sezaman dan sesudahnya banyak yang berseberangan dengannya, namun tidak sedikit pula yang mengagumi kiprah dan sumbangsihnya. Pandangan-pandangan Ibn Taymiyyah dalam masalah teologi, tafsir maupun fikih menuai kritik tajam dari para ulama besar semisal Al-‘Izz ibn Jama’ah, As-Subki, Ibn Hajar al-Haytami, dan Abu Hayyan al-Andalusi.

Sikap serupa seyogyanya kita kedepankan ketika mendiskusikan gagasan-gagasan almarhum Cak Nur. Cendekiawan yang kerap dijuluki lokomotif gerakan pembaruan Islam di Indonesia itu tentu tidak berkenan jika orang lain mendewakan dirinya atau mendogmakan pikiran-pikirannya. Kritik bukan berarti benci. Sebaliknya, apresiasi tak perlu bertukar jadi venerasi. Seperti kata Aristoteles ketika berbeda pendapat dengan gurunya: amicus Plato sed magis amica veritas, cintaku pada kebenaran melebihi cintaku pada guru. Gagasan-gagasan Cak Nur mungkin tegak dan mungkin tumbang, mungkin timbul dan mungkin tenggelam laiknya pikiran manusia.

Panggung sejarah intelektual Islam sungguh tak pernah sepi dari polemik dan kontroversi. Betapa sengit perdebatan sejak kurun pertama hijriah bisa kita simak misalnya dalam kitab Maqalat al-Islamiyyin yang ditulis Imam al Asy’ari (w. 324/935) dan kitab al Farq baynal Firaq oleh al Baghdadi (w. 429/1037). Direkam dengan sangat rinci bagaimana silang pendapat terjadi antara tokoh-tokoh Mu’tazilah, Rafidhah, Murji’ah dan Ahlus Sunnah. Jelas tergambar tidak hanya kemajemukan tapi juga kedewasaan para cendekiawan pada waktu itu dalam berpendirian dan berargumentasi secara santun lagi rasional.

Di abad selanjutnya Imam Ghazali (w. 555/1111) mengguncang dunia perfilsafatan dengan kitabnya Tahafut al Falasifah. Dengan piawai disingkapnya pelbagai kerancuan dan percanggahan dalam pemikiran al Farabi dan Ibn Sina, dua sosok paling berpengaruh pada zamannya. Menurut beliau, ada tiga nuktah ajaran mereka berimplikasi kufur. Pertama, menyatakan bahwa alam semesta ini kekal abadi. Kedua, mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui perkara-perkara detil. Dan ketiga, mengingkari kebangkitan jasad pada hari kiamat.

Penting dicatat di sini bahwa Imam Ghazali tidak menyebut kedua filsuf tersebut kafir. Sasaran kritiknya semata-mata pemikiran mereka yang dinilainya keliru, bukan isi hati atau pribadi mereka. Sebab, bagi Imam Ghazali, selagi seseorang itu mengakui ketuhanan Allah dan meyakini kenabian Muhammad saw, maka ia tidak boleh dianggap kafir.

Menariknya, penilaian Imam Ghazali itu tidak diterima begitu saja sebagai dogma. Bantahan terhadapnya datang dari Ibn Rusyd (w. 595/1198), filsuf sekaligus faqih yang juga berprofesi sebagai dokter istana Cordoba. Lewat bukunya yang terkenal, Fashlul Maqal fima baynal Hikmah was Syari’ah minal Ittishal, Ibn Rusyd berhasil membuyarkan mitos bahwa kebenaran falsafi mustahil bersanding dengan kebenaran agama.

Nasib yang sama dialami oleh warisan intelektualnya yang lain. Karya-karya Imam Ghazali yang mempelopori simbiosis antara kalam dan filsafat (kitab al-Iqtishad dan al-Maqshad al-Asna), ushul fikih dan logika (kitab al-Mustashfa dan Syifa’ al-Ghalil), oleh Ibn Taymiyyah, Ibn al-Qayyim dan Ibn Qudamah seolah dimentahkan. Sementara karya beliau yang berupaya menawarkan sintesis antara tasawuf, fikih dan sunnah dalam kitab Ihya’ Ulumiddin pun tak luput dari koreksi dan sanggahan. Ini belum termasuk tulisan-tulisan yang khas ditujukan untuk kalangan sufi seperti kitab Misykat al Anwar dan al-Madhmun Bihi ‘ala Ghayri Ahlihi.

Demikian pula di Nusantara. Seandainya ajaran mistik Syamsuddin as-Sumatrani (w. 1630) dikuduskan sedemikian rupa, niscaya tak pernah muncul kitab Hujjatus Shiddiq li Daf’i az-Zindiq karya Nuruddin ar Raniri (w. 1658). Walhasil, khazanah intelektual Islam masa lampau yang kaya dan gamblang menayangkan dialektika sudah semestinya menggugah kita untuk berani bersikap kritis dan objektif agar terhindar dari kejumudan.