HUKUM MEMBELI ARISAN DSRI YANG MENDAPAT KOCOKAN
Deskripsi Masalah:
Hamid dan Hamdan keduanya menjadi anggota arisan. Pada suatau giliran jatuh di tangan Hamid, lalu giliran tersebut oleh Hamdan dibeli, kemudian setiap undian Hamid ikut lagi.
Pertanyaan:
Bagaimana membeli giliran arisan seperti contoh di atas?
Jawaban:
Boleh dengan aqad jual beli yang jelas, seperti Hamdan membayar sejumlah uang untuk membeli hak giliran Hamid dan giliran Hamid diterima seluruhnya oleh Hamdan karena termasuk transaksi بيع الإستحقاق. Haram/tidak boleh apabila dengan aqad/cara hutang piutang untuk mendapatkan selisih keuntungan karena termasuk dalam كل قرض جر نفعا
Dasar Pengambilan Hukum:
- Bughyatu al-Mustarsyidin, Hlm. 135
إِذِ الْقَرْضُ الْفَاسِدُ الْمُحَرَّمُ هُوَ الْقَرْضُ الْمَشْرُوْطُ فِيْهِ النَّفْعُ لِلْمُقْرِضِ. هَذَا إِنْ وَقَعَ فِى صُلْبِ الْعَقْدِ وَإِنْ تَوَاطَأَ عَلَيْهِ قَبْلَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ فِى صُلْبِهِ أَوْ لَمْ يَكُنْ عَقْدٌ جَازَ مَعَ الْكَرَاهَةِ كَسَائِرِ حِيَلِ الرِّبَا اْلوَاقِعَةِ لِغَرَضٍ شَرْعِيٍّ.
“Karena hutang piutang yang rusak (tidak sah) dan diharamkan, ialah hutang menghutangi yang ada syarat menarik keuntungan bagi yang menghutangi. (letak keharaman ini) apabila persyaratan tadi masuk/terjadi bersamaan di dalam satu aqad (transaksi) namun jika hanya kebetulan saja dengan aqad sebelumnya. Dan persyaratan tadi tidak disebutkan dalam aqad atau memang bukan aqad, maka diperbolehkan dengan hukum makruh. Seperti halnya merekayasa barang riba dilakukan bukan untuk tujuan syara’”.
- Al-Bajuri, Juz I, Hlm. 340
وَالْبُيُوْعُ جَمْعُ بَيْعٍ وَاْلبَيْعُ لُغَةً مُقَابَلَةُ شَيْءٍ بِشَيْءٍ فَدَخَلَ مَا لَيْسَ بِمَالٍ كَخَمْرٍ وَأَمَّا شَرْعًا فَاَحْسَنُ مَا قِيْلَ فِى تَعْرِيْفِهِ أَنَّهُ تَمَلُّكُ عَيْنٍ مَالِيَةٍ بِمُعَاوَضَةٍ بِإِذْنٍ شَرْعِيٍّ أَوْ تَمَلُّكُ مَنْفَعَةٍ مُبَاحَةٍ عَلَى التَّأْبِيْدِ بِثَمَنٍ مَالِيٍّ فَخَرَجَ بِمُعَاوَضَةٍ اْلقَرْضُ وَبِإِذْنٍ شَرْعِيٍّ الرِّبَا وَدَخَلَ فِى مَنْفَعَةٍ تَمَلُّكُ حَقِّ الْبِنَاءِ (قَوْلُهُ وَدَخَلَ فِى مَنْفَعَةٍ الخ) … ِلأَنَّ الْمَنْفَعَةَ تَشْمُلُ حَقَّ الْمَمَرِّ وَوَضْعَ اْلاَخْشَابِ عَلَى الْجِدَارِ… إِلَى اَنْ قَالَ قَوْلُهُ تَمَلُّكُ حَقِّ الْبِنَاءِ وَصُوْرَةُ ذَلِكَ أَنْ يَقُوْلَ لَهُ بِعْتُكَ حَقَّ الْبِنَاءِ عَلَى هَذَا السُّطْحِ مَثَلاً بِكَذَا وَالْمُرَادُ بِالْحَقِّ اْلاِسْتِحْقَاقُ.
ومثله ما فى إعانة الطالبين الجزء الثالث صحيفة ۳۰ والفتاوى الكبرى لابن حجر الجزء الثالث صحيفة ۲٣.
“Buyu’ itu menjadi jama’ dari mufrod bai-in. Bai’ menurut bahasa adalah bandingan (pengganti) sesuatu dengan sesuatu yang lain, maka termasuk di dalamnya adalah sesuatu, meskipun bukan termasuk harta benda, seperti khomer (minuman keras). Adapun menurut syara’ (bai’) adalah (dengan definisi yang lebih baik dikatakan) memberikan milik atas benda yang bernilai dengan saling menukar, dengan ijin yang dianggap boleh syara’. Atau memberikan milik atas kemanfaatan yang mubah (boleh) untuk selama-lamanya dengan tsaman (harga) yang bernilai harta. Kata-kata mu’awadhoh (saling menukar) itu mengecualikan Qordlu (menghutangi). Kata-kata ijin secara syara’, itu mengecualikan riba dan termasuk di dalam kemanfaatan adalah memberikan milik atas hak guna bangunan”.
- I’anatu al-Thalibin, Juz III, Hlm. 30
- Fatawi al-Kubra li Ibni Hajar, Juz III, Hlm. 23