HUKUM SEWA RAHIM DALAM TINJAUAN FIQH KENTEMPORER

- Pendahuluan
Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan, yang salah satu hikmahnya adalah supaya manusia itu hidup berpasang-pasang membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu di adakanlah ikatan pertalian yang kokoh dan tidak mudah putus dan diputuskan, ialah ikatan pernikahan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Salah satu tujuan dari pernikahan tersebut adalah untuk memperoleh keturunan demi untuk mewujudkan (melestarikan) keturunan yang sah, bersih sekaligus bersangkut-paut laksana rantai yang kuat dan tidak ada putusnya. Dengan demikian tiap-tiap keluarga saling mengenal antara anak dengan bapak dan ibunya, terhindar dari tercampur aduk antara satu keluarga dengan yang lain atau anak-anak yang tidak kenal akan bapaknya.
Lebih dari pada itu pula, Nabi Muhammad SAW. menggambarkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Hurairah bahwa kehadiran anak dapat memberikan kemanfaatan kelak jika orang tuanya sudah meninggal, doa anak yang shaleh adalah salah satu dari tiga hal yang tidak terputus pahalanya bagi orang tua yang telah meninggal dunia.
Meski begitu tidak semua pasangan suami isteri bisa mendapatkan keturunan sebagaimana yang di harapkan keduanya, hal itu di sebabkan banyak faktor, baik faktor tersebut dari fihak suami maupun dari isteri sendiri. Oleh karena itu, mereka akan berusaha mencari jalan supaya bisa mendapat keturunan sebagaimana yang mereka inginkan, baik dengan berobat maupun dengan cara memanfaatkan teknologi sains modern.
Salah satu dari penemuan teknologi sains modern yang sangat bermanfaat bagi manusia adalah penemuan inseminasi buatan pada manusia. Inseminasi buatan yang di maksud adalah penghamilan buatan yang di lakukan terhadap seorang wanita tanpa melalui cara alami, melainkan dengan cara memasukkan sperma laki-laki ke dalam rahim wanita tersebut dengan pertolongan dokter. Istilah yang semakna adalah kawin suntik, penghamilan buatan dan pemanian buatan. Penemuan ini sangat bermanfaat bagi manusia, terutama bagi pasangan suami istri yang tidak bisa mendapatkan anak dengan cara alami.
Dalam kaca mata hukum syari’at, praktek inseminasi buatan ini menuntut kita sebagai sarjana muslim untuk berfikir dan bertindak secara obyektif dalam menetapkan hukum yang sesuai dengan mahsud dan tujuan syari’at agama Islam, karena masalah ini merupakan masalah kontemporer Ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya secara spesifik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, bahkan dalam kajian fiqh klasik sekalipun.
Apalagi ketika inseminasi ini beralih pada penyewaan rahim, yaitu usaha manusia untuk mengadakan pembuahan dengan mempertemukan antara sel telur (ovum) dengan spermatozoa antara suami istri dalam sebuah gelas kemudian di implementasikan ke dalam rahim wanita yang di sewa rahimnya sesuai dengan perjanjian, yang mengakibatkan adanya hubungan kasih sayang antara wanita yang mengandung (disewa rahimnya) dengan anak yang dikandungnya. Hal tersebut dilakukan baik melalui suatu aqad bisnis atau perjanjian dengan persyaratan tertentu maupun berdasarkan sama-sama rela.
Dalam pengertian lain sewa rahim adalah, Menggunakan rahim wanita lain untuk mengandungkan benih wanita (ovum) yang telah disenyawakan dengan benih lelaki (sperma) (yang kebiasaannya suami isteri), dan janin itu dikandung oleh wanita tersebut sehingga dilahirkan. Kemudian anak itu diberikan semula kepada pasangan suami isteri itu untuk memeliharanya dan anak tersebut dikira anak mereka dari sudut undang-undang. Pengertian ini dikenal dengan sewa rahim, kerana lazimnya pasangan suami isteri yang ingin memiliki anak ini akan membayar sejumlah uang kepada ibu yang menguruskan kerja mencari ibu yang sanggup mengandungkan anak dari benih mereka dan dengan syarat ibu sewa tersebut akan menyerahkan anak tersebut setelah dilahirkan atau pada masa yang dijanjikan.
- Beberapa Bentuk Sewa Rahim
- Benih isteri (ovum) disenyawakan dengan benih suami (sperma), kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Kaedah ini digunakan dalam keadaan isteri memiliki benih yang baik, tetapi rahimnya dibuang kerana pembedahan, kecacatan yang teruk, akibat penyakit yang kronik atau sebab-sebab yang lain.
- Bentuk kedua: Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan dibekukan dan dimasukkan ke dalam rahim ibu tumpang selepas kematian pasangan suami isteri itu.
- Bentuk ketiga: Ovum isteri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya) dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini apabila suami mandul dan isteri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi benih isteri dalam keadaan baik.
- Bentuk keempat: Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini berlaku apabila isteri ditimpa penyakit pada ovary dan rahimnya tidak mampu memikul tugas kehamilan, atau isteri telah mencapai tahap putus haid (menopause).
- Bentuk Kelima: Sperma suami dan ovum isteri disenyawakan kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang lain sanggup mengandungkan anak suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil.
Sejauh ini dikenal dua jenis sewa rahim :
- Sewa rahim semata (gestational surrogacy)
Embrio yang lazimnya berasal dari sperma suami dan sel telur istri yang dipertemukan melalui teknologi IVF, ditanamkan dalam rahim perempuan yang disewa.
- Sewa rahim dengan keikut sertaan sel telur (genetic surrogacy)
Sel telur yang turut membentuk embrio adalah sel telur milik perempuan yang rahimnya disewa itu, sedangkan sperma adalah sperma suami. Walaupun pada perempuan pemilik rahim itu adalah juga pemilik sel telur, ia tetap harus menyerahkan anak yang dikandung dan dilahirkannya kepada suami istri yang menyewanya. Sebab, secara hukum, jika sudah ada perjanjian, ia bukanlah ibu dari bayi itu. Pertemuan sperma dan sel telur pada tipe kedua dapat melalui inseminasi buatan, dapat juga melalui persetubuhan antara suami dengan perempuan pemilik sel telur yang rahimnya disewa itu.
Tujuan dilakukannya sewa rahim ini bermacam-macam, diantara tujuan tersebut adalah:
- Seseorang wanita tidak mempunyai harapan untuk mengandung secara biasa kerana ditimpa penyakit atau kecacatan yang menghalangnya dari mengandung dan melahirkan anak.
- Rahim wanita tersebut dibuang kerana pembedahan.
- Wanita tersebut ingin memiliki anak tetapi tidak mau memikul beban kehamilan, melahirkan dan menyusukan anak dan ingin menjaga kecantikan tubuh badannya dengan mengelakkan dari terkesan akibat kehamilan.
- Wanita yang ingin memiliki anak tetapi telah putus haid (menopause).
- Wanita yang ingin mencari pendapatan dengan menyewakan rahimnya kepada orang lain.
Oleh karena itu, melalui makalah ini penulis mencoba untuk menyajikan sebuah makalah yang berjudul “sewa rahim tinjauan fiqh kontemporer”, dan pada pembahasan ini, penulis batasi ke dalam beberapa sub bahasan, pertama pendahuluan yang berisi latar belakang masalah. Kemudian pendapat umum para cendikiawan muslim tentang “sewa rahim”, dilanjutkan dengan Tinjauan Fiqh Kontemporer, termasuk penulis tuangkan analisis penulis terhadap persoalan ini. Terkhir, penutup, sebagai kesimpulan yang penulis ambil dari pembahasan ini.
- Pendapat Cendikiawan Muslim
Berikut penulis sampaikan beberapa pendapat para cendikiawan muslim yang menyampaikan pendapatnya secara kolektif maupun secara kelompok
- Pendapat yang mengharamkan
- Menurut Syaikh Mahmud Syaltut (1963)
Adapun, jika inseminasi itu dari sperma laki-laki lain yang tidak terikat akad perkawinan dengan wanita – dan barangkali ini yang banyak di bicarakan orang mengenai inseminasi- maka sesungguhnya tidak dapat di ragukan lagi, hal itu akan mendorong manusia ketaraf kehidupan hewan dan tumbuh-tumbuhan dan mengeluarkannya dari harkat kemanusiaan, yaitu harkat kemasyarakatan yang luhur yang dipertautkan dalam jalinan perkawinan yang telah disebar luaskan. Dan bilamana inseminasi buatan untuk manusia itu bukan dari sperma suami, maka hal seperti ini sttusnya tidak dapat diragukan lagi adalah suatu perbuatan yang sangat buruk sekali dan suatu kejahatan yang lebih munkar dari memungut anak.
- Menurut Mu’tamar Tarjih Muhammadiyah tahun 1980
Tidak dibenarkan menurut hukum Islam, sebab menanam benih pada rahim wanita lain haram hukumnya sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
” لا يحل لإمرىء يؤمن بالله واليوم الأخر ان يسقى ماءه زرع غيره “
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat menyirami airnya ke lading orang lain”.
Demikian pula di haramkan karena (1) Pembuahan semacam itu termasuk kejahatan yang menurunkan martabat manusia, dan (2) Merusak tata hukum yang telah di bina dalam kehidupan masyarakat.
- Pendapat Munas Alim Ulama’ (NU) Di Sukorejo Situbondo Tahun 1983
Tidak sah dan haram hukumnya menyewakan rahim bagi suami istri yang cukup subur dan sehat menghendaki seorang anak. Namun kondisi rahim sang istri tidak cukup siap untuk mengandung seorang bayi. Selain hadis di atas para ulama’ peserta munas berdasarkan hadis Nabi yang terdapat pada Tafsir Ibnu Katsir Juz 3/326
وقال ابوبكر بن ابي الدّنيا حدّثنا عمّار بن نصر حدّثنا بقيّة عن ابي بكر بن ابي مريمَ عن الهثيم بن مالك الطَّائيِّ عن النّبيّ صلى الله عليه وسلّم : ما من ذنبٍ بعد الشرك اعظمُ من نطفة وضعها رجل فى رحمٍ لايحلّ له.
Rasulullah bersabda: “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik di bandingkan seseorang yang menaruh spermanya di rahim wanita yang tidak halal baginya”.
Jika terdapat kasus semacam itu, peserta munas berpendapat bahwa, dalam hal nasab, kewalian dan hadlanah tidak bisa dinisbatkan kepada pemilik sperma menurut Imam Ibnu Hajar, karena masuknya tidak muhtaram. Yang dimahsud dengan sperma yang muhtaram adalah hanya ketika keluarnya saja, sebagaimana yang dianut oleh Imam Ramli, walaupun menjadi tidak terhormat ketika masuk (ke vagina orang lain).
- Hasil sidang Lembaga Fiqh Islam OKI III di Yordania tahun 1986
Memutuskan bahwa sewa rahim itu adalah haram hukumnya dan di larang mutlak bagi dirinya karena akan mengakibatkan percampuran nasab dan hilangnya keibuan dan halangan-halangan syar’i lainnya. Dan begitu pula tidak di benarkan menitipkannya ke rahim istri yang ke dua, ketiga dan seterusnya bagi yang poligami.
- DR. Yusuf Qardawi, berpendapat bahwa penyewaan rahim tidak diperbolehkan, larangan ini dikarenakan cara ini akan menimbulkan sebuah pertanyaan yang membingungkan, “siapakah sang ibu dari bayi tersebut, apakah si pemilik sel telur yang membawa karakteristik keturunan, ataukah yang menderita dan menanggung rasa sakit karena hamil dan melahirkan?” padahal, ia hamil dan melahirkan bukan atas kemauannya sendiri.
- Musa Shalih Syaraf, cara apapun selain itu (bayi tabung) hukumnya haram secara syara’. Jika seorang suami mandul lalu dia memindahkan sperma laki-laki lain kepada istrinya yang masih bisa memberi keturunan, maka jelas haram. Demikian pula bila isterinya yang mandul sedangkan suaminya masih bisa menurunkan keturunan dengan sperma laki-laki lain, maka tindakan ini jelas haram. Kalau wanita mengandung dengan hasil inseminasi seperti ini, maka anak ini anak yang bukan syar’i, terlebih-lebih ia dihasilkan dari tindakan istri yang buruk sekali.
- Prof. Dr. Said Agil Husin Al-Munawar, MA, beliau berpendapat meskipun sewa rahim ada manfaatnya namun keburukan atau masfadah yang di akibatkan jauh lebih besar dari pada manfaatnya. Di antara keburukannya adalah akan menimbulkan kacaunya status anak. Bahaya lainnya adalah persengketaan yang akan timbul antara kedua ibu. Oleh karena itu beliau berpendapat bahwa hukum penyewaan rahim tidak di benarkan (Haram).
Dari pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan, hukum haram yang terdapat dalam sewa rahim dapat ditinjau dari beberapa segi, diantaranya, dari segi sosial, dapat menarik ketaraf kehidupan seperti hewan dan pencapuran nasab. Segi etika, bahwa memasukkan benih kedalam rahim perempuan lain hukumnya haram berdasarkan hadis Nabi serta bagi seorang wanita bisa menimbulkan hilangnya sifat keibuan dan merusak tatanan kehidupan masyarakat.
Adapun tehnik yang diperbolehkan dalam kasus inseminasi buatan adalah harus memenuhi beberapa syarat, hal itu seperti hasil diantaranya :
Ketetapan المجمع الفقه لرابطة العالم الاسلامى dalam Daurah kedelapan di Makkatul Mukarramah, menjelaskan fatwa berkaitan perkara ini, yaitu, persenyawaan luar rahim yang dilakukan pada benih suami isteri, kemudian dikembalikan kedalam rahim isteri adalah cara yang diterima dari segi prinsipnya tetapi tidak selamat dari keraguan dalam perlaksanaannya. Oleh itu, tidak wajar untuk menggunakan cara ini melainkan ketika darurat yang sangat menuntut dan dengan memenuhi syarat-syarat berikut:
(1) Persenyawaan dilakukan dengan mani suami.
(2) Dilakukan semasa hayat suami dan bukan selepas kematiannya.
(3) Dilaksanakan oleh doktor muslim yang dipercayai.
(4) Dipersetujui oleh kedua pasangan suami isteri.
- Pendapat yang memperbolehkan
- Prof. Dr. Jurnalis Udin, PAK. berpendapat; apabila rahim milik istri peserta program fertilisasi in vitriol transfers embrio itu memenuhi syarat untuk mengandung embrio itu hingga lahir, penyelenggaraan reproduksi bayi tabung yang proses kehamilannya di dalam rahim wanita lain (surrogate mother) hukumnya haram. Sebaliknya apabila; (a) rahim istrinya rusak dan tidak dapat mengandungkan embrio itu, (b) belum di temukan teknologi yang dapat mengandungkan embrio itu di dalam tabung hingga lahir, (c) dan karena itu satu-satunya jalan untuk mendapatkan anak dari benihnya sendiri hanyalah melalui jalan surrogate mother maka hukum menyelenggarakan reproduksi bayi tabung dengan menggunakan rahim wanita lain (surrogate mother) hukumnya mubah, karena hal itu dilakukan selain dalam keadaan darurat juga karena keinginan mempunyai anak sangat besar.
- H. Ali Akbar, menyatakan bahwa: Menitipkan bayi tabung pada wanita yang bukan ibunya boleh, karena si ibu tidak bisa menghamilkannya, disebabkan karena rahimnya mengalami gangguan, sedang menyusukan anak kepada wanita lain di perbolehkan dalam islam, malah boleh di upahkan. Maka boleh pulalah memberikan upah kepada wanita yang meminjamkan rahimnya.
- H. Salim Dimyati berpendapat; Bayi tabung yang menggunakan sel telur dan sperma dari suami yang sah, lalu embrionya di titipkan kepada ibu yang lain (ibu pengganti), maka apa yang di lahirkannya tidak lebih hanya anak angkat belaka, tidak ada hak mewarisi dan di warisi, karena anak angkat bukanlah anak sendiri, tidak boleh di samakan dengan anak kandung.
Pendapat pertama lebih menekankan pada konsep darurat, yaitu keadaan dimana keinginan memperoleh keturunan sangat besar, sedangkan belum ditemukan cara selain menyewa rahim. Pendapat kedua diperbolehkannya karena kandungan sang istri tidak bisa mengandung, pendapat ini menyamakan dengan diperbolehkannya menyusukan anak kepada perempuan lain, bahkan dengan memberikan upah. Sedangkan pendapat terakhir menyatakan bahwa boleh melakukan sewa rahim, namun anak yang dihasilkan tetap tidak seperti anak kandung, bahkan statusnya seperti anak angkat.
- Tinjauan Fiqh Kontemporer
Dalam masalah sewa rahim ada beberapa hal yang perlu di cermati untuk menentukan hukum yang sesuai dengan tujuan dan mahsud syari’at, memperhatikan kemaslahatan serta mempertimbangkan dampak buruknya karena dalam prosesnya sewa rahim melibatkan beberapa fihak yang saling berhubungan, mereka yaitu, pemilik sperma, pemilik ovum (pemilik sel telur) dan pemilik rahim, di samping itu kata sewa dalam hal tersebut merupakan aqad muamalah yang perlu pula ditinjau lagi segi ke legalannya, bahkan jika tetap dilakukan memberikan dampak yang buruk dan rumit, khususnya pada status anak yang dihasilkannya.
- Akad sewa menyewa dalam kasus sewa rahim
Akad adalah pertalian atau perikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syari’ah yang menetapkan adanya akibat hukum pada obyek perikatan. Suatu akad akan sah apabila memenuhi beberapa syarat, diantaranya yaitu, shighat (ijab-qabul), pelaku (aqidain), obyek Akaq (ma’qud ‘alaih).
Sedangkan pada obyek akad harus memenuhi 5 syarat, diantaranya,
- Harus suci, dengan syarat ini berarti obyek akad yang najis ‘ain tidak sah diperjual belikan dan dipersewakan.
- Mempunyai manfaat
- Sudah mempunyai hak milik
- Dapat diserahkan ketika akad
- Harus jelas dan diketahui oleh kedua belah pihak
Dalam kasus sewa rahim memang ketiga syarat tersebut terpenuhi, namun pada obyek akadnya terdapat ‘ilat yang menjadikan syarat tersebut tidak sah. Seperti yang dijelaskan oleh Prof. Dr. Said Agil AL-Munawwar, bahwa memang sperma dan ovum tidak termasuk najis, namun percampuran antara keduanya setelah berubah menjadi alaqah (segumpal darah yang melekat pada dinding rahim), maka ia sudah berubah menjadi najis.
Hal ini erat kaitannya dengan penyewaan rahim. Sebab, pemindahan sel telur yang telah di buahi dalam tabung gelas ke dalam rahim wanita, berlangsung ketika sudah menjadi embrio. Meskipun dalam hal ini yang dipersewakan bukan sperma dan ovum melainkan rahim. Tetapi, dalam kasus seperti ini, ada hubungan timbale balik, yakni pemilik rahim di bayar sesuai dengan perjanjian oleh wanita lain sebagai pemilik ovum. Berarti hukum keduanya sama.
Dalam pandangan Islam, rahim wanita mempunyai kehormatan yang tinggi dan bukan barang hinaan yang boleh disewa atau diperjualbelikan, karena rahim adalah anggota manusia yang mempunyai hubungan yang kuat dengan naluri dan perasaan semasa hamil berbeda dengan tangan dan kaki yang digunakan untuk bekerja dan seumpama yang tidak melibatkan perasaan. Lebih-lebih lagi ia termasuk dalam lingkungan yang diharamkan karena manusia tidak berhak menyewakan rahimnya yang akan melibatkan penentuan nasab. Selain itu, wasilah mendapat anak adalah hak Allah SWT dan menyewa rahim termasuk pada bagian farji sedangkan hukum asal dari farji adalah haram.
Disamping itu rahim adalah organ tubuh manusia, dan organ tubuh manusia itu dilarang untuk disewa dan perjual belikan, karena organ tubuh bukanlah komoditi yang boleh diperjual belikan. Jadi, menyewakan organ tubuh termasuk rahim adalah haram menurut syar’i, karena disamping akan memicu timbulnya problem sosial, juga akan menimbulkan eksploitasi terhadap orang-orang miskin untuk menjual organ tubuhnya demi mendapatkan sejumlah uang untuk memenuhi kebutuhannya.
Diantara syarat sah suatu akad ialah tidak membawa kepada permusuhan antara kedua belah pihak yang melakukan akad. Dalam penyewaan rahim ini, diyakini akan berlakunya berselisihan dalam penentuan hak pemilikan dan nasab anak yang dilahirkan karena wujudnya pihak ketiga selain suami dan isteri pemilik benih. Masalah akan terjadi dalam menentukan ibu sebenarnya bagi bayi tersebut, sama ada ibu pemilik benih dan ciri-ciri warisan pada anak atau ibu yang mengandung serta melahirkannya, juga masalah menentukan nasab bayi kepada bapaknya dan lain-lain. Malah, akan berlaku kerancauan dalam masyarakat, khususnya apabila ibu yang disewa tersebut enggan menyerahkan bayi yang telah dikandungnya dan menafikan perjanjian sebelumnya sekalipun dibayar secara sempurna oleh pihak pasangan suami isteri itu. Ini karena ibu yang disewa tersebut merasakan perasaannya berubah yaitu menyayangi bayi yang dianggap anaknya sendiri setelah melalui masa kehamilan dan melahiran yang sangat berat.
- Konsep darurat dalam sewa rrahim
Makna darurat adalah sebuah kebutuhan yang sangat mendesak, dimana tidak mungkin dihindari yang menyebabkan seseorang menerjang dan melanggar larangan syar’i yang bersifat haram. Dan kalau keharaman itu tidak diterjang maka akan menyebabkan sesuatu yang membahayakan dirinya .
Seperti yang dikatakan oleh ‘Izzuddin Ibn ‘Abd al-Salam bahwa tujuan syari’at adalah untuk meraih kemashlahatan dan menolak kemafsadahan. Apabila diturunkan kepada tataran yang lebih konkret maka mashlahah membawa manfaat sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudharatan. Kaidah tersebut kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid al-syari’ah dengan menolak mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudlaratan atau setidaknya meringankannya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Ahmad Nadwi menyebutkan bahwa penerapan kaidah darurat meliputi seluruh dari materi fiqh.
Kemudian para ulama’ memberikan persyaratan bagi seseorang bisa dikatakan dalam keadaan darurat harus terdapat 5 syarat, syarat-syarat tersebut adalah;
- Kondisi bahaya besar itu telah benar-benar terjadi atau belum terjadi, namun diyakini atau diprediksi kuat akan terjadi.
- Tidak bisa dihilangkan dengan cara yang halal.
- Ukuran melanggar larangan saat kondisi terpaksa itu harus dilakukan sekadarnya saja.
- Waktu melanggar larangan saat kondisi darurat ini tidak boleh melebihi waktu darurat tersebut.
- Melanggar sesuatu yang terlarang dalam kondisi darurat tersebut tidak akan menimbulkan bahaya yang lebih besar.
Dalam prakteknya para ulama’ memberikan pengecualian pada kaidah ini, diantaranya adalah:
Pertama, apabila menghilangkan kemudlaratan itu mengakibatkan datangnya kemudlaratan yang lain yang sama tingkatannya, maka hal ini tidak diperbolehkan melakukan kemudlaratan tersebut. Seperti seseorang yang kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga dalam kelaparan, meskipun orang yang pertama juga kelaparan.
Kedua, apabila dalam menghilangkan kemudlaratan menimbulkan kemudlaratan yang lain yang lebih besar atau lebih tinggi tingkatannya, maka hal ini lebih tidak diperbolehkan. Selain itu, dalam menghilangkan kemudlaratan, dilarang melampaui batas dan betul-betul tidak ada jalan lain kecuali melakukan perbuatan yang dilarang itulah satu-satunya jalan.
Seperti yang penulis sampaikan bahwa salah satu tujuan dari sewa rahim adalah untuk memperoleh anak dengan bantuan teknologi kedokteran yang disebabkan karena rahim si istri tidak bisa memproses janinnya. Namun dalam sewa rahim harus di bedakan antara hajat dan darurat, jangan sampai orang yang terpaksa itu melanggar prinsip-prinsip syari’at yang pokok, berupa memelihara hak-hak orang lain, menciptakan keadilan, menunaikan amanah, dan menghindari kemudaratan.
Penulis berasumsi bahwa sewa rahim merupakan kebutuhan saja, karena jika tidak dilakukan tidak akan menimbulkan bahaya. Sebaliknya, jika dilakukan akan menimbulkan banyak persoalan kemanusian yang muncul seperti, kerancuan status anak baik dalam hal nasab, kewalian dan kewarisan, dan beban psikologis fihak suami, istri dan wanita yang di sewa. Karena sewa rahim akan memunculkan masalah baru yang lebih rumit, maka sewa rahim di hukumi haram.
- Pengambilan Sperma dan Penempatan Benih Dalam Sewa Rahim
Untuk memperoleh sperma dari laki-laki dapat dilakukan antara lai dengan, istimna’ (onani, masturbasi), ‘azl (senggama terputus), dihisap langsung dari pelir (testis), jima’ dengan memakai kondom, sperma yang di tumpahkan ke dalam vagina yang di hisap secara cepat dengan spuit, dan sperma mimpi malam.
Setelah sperma didapat, kemudian dilakukan pencucian sperma dengan tujuan memisahkan sperma yang motil dengan sperma yang tidak motil/ mati. Sesudah itu antara sel telur dan dan sperma di pertemukan. Jika dengan teknik vitro, kedua calon bibit tersebut dipertemukan dalam cawan petri (tabung). Tetapi jika dengan TAGIT sperma langsung disemprotkan ke dalam rahim.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana hukum memasukkan benih ke dalam rahim wanita lain?, sedangkan ada hadis Nabi yang melarang seseorang menyiramkan atau memasukkan air maninya (sperma) ke dalam rahim wanita lain. Jadi maklum kiranya bahwa memasukkan sperma ke dalam rahim wanita lain hukumnya sama dengan zina, sedangkan hukum zina adalah haram, meskipun bukan merupakan zina yang hakiki, maka demikian pula hukum sewa rahim.
- Konsep Ibu dan Anak Sejati Dalam Islam
Bayi yang benihnya berasal dari pasangan suami istri, namun dikandung dan dilahirkan oleh wanita sewaan, dapat menimbulkan persoalan baru yang sangat rumit, yaitu siapakah orang tua dari bayi itu. Bisa dikatakan bahwa bayi orang tua itu adalah pasangan yang memiliki benih tadi.
Tetapi wanita yang di sewa juga telah menyumbangkan darah dan dagingnya selama mengandung bayi tersebut. Sudah pernah terjadi bahwa seorang wanita sewaan tidak mau mengembalikan bayi yang telah dikandung dan dilahirkannya. Orang tua bayi tersebut menuntut di pengadilan, namun hukum yang dipakai untuk menyelesaikan masalah tersebut belum dibuat. Kalau benih diambil dari seorang donor, maka timbul persoalan juga tentang siapakah orang tua bayi itu. Secara biologis orang tua bayi itu adalah donor yang telah memberikan benihnya, tetapi secara legal, orang tua anak itu adalah orang tua yang menerima dan membesarkannya dalam keluarga.
Islam mengatur bagaimana seorang wanita dapat disebut sebagai ibu sejati, karena dalam Al-Qur’an telah di tegaskan, anatara lain dalam:
- Surat Al-Ahqaf ayat 15 yang berbunyi:
ووصينا الانسان بوالديه احسانا, حملته امه كرها ووضعته كرها, وحمله وفصاله ثلاثون شهرا, حتى بلغ اشده وبلغ اربعين سنة قال رب اوزعنى ان اشكر نعمتك التى انعمت علي وعلى والدى وان اعمل صالحا ترضه واصلح لى فى ذريتى, انى تبت اليك وانى من المسلمين.
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kedua orang ibu bapaknya, Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Sang ibu mengandungnya sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan
- Al-Baqarah ayat 233
ولوالدت يرضعن اولدهن حولين كاملين, لمن اراد ان يتم الرضاعة, وعلى المولود له رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف,
“para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yakni bagi ibu yang ingin menyempurnakan penyusuannya
- Al-Nahl ayat 72
والله جعل لكم من انفسكم ازواجا وجعل لكم من ازواجكم بنين وحفدة ورزقكم من الطيبات, افبالباطل يؤمنون وبنعمت الله هم يكفرون.
“Dan Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenismu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isterimu itu anak dan cucu-cucu, dan member rizki yang baik-baik. Kenapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?”.
- Al-Nahl ayat 78
والله اخرجكم من بطون امّهاتكم لاتعلمون شئا وجعل لكم السمع والابصار والافئدة لعلكم تشكرون.
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati nurani, agar kamu bersyukur”.
- Surah Luqman ayat 14
ووصينا الانسان بوالديه حملته امه وهنا على وهن وفصاله فى عامين ان اشكر لي ولوالديك اليّ المصير
“dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun, bersyukurlah kepada-Ku dan kepada orang tuamu. Hanya kepada aku kembalimu”.
- Surah Az-Zumar ayat 6
خلقكم من نفس واحدة ثمّ جعل منها زوجها وانزل لكم من الانعم ثمانين ازواج, يخلقكم فى بطون امهتكم خلقا من بعد خلق فى ظلمات ثلاث, ذلكم الله ربّكم له الملك, لااله الا هو, فانّى تصرفون
“Dia menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), kemudian darinya Dia jadikan pasangannya dan Dia menurunkan delapan pasang hewan ternak untukmu. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang memiliki kerajaan. Tidak ada tuhan selain Dia, maka mengapa kamu dapat dipalingkan?”.
- Surah Al-Mujadalah ayat 2.
الذين يظاهرون منكم من نسائهم ماهنّ امهاتهم, ام امّهتهم الا التى ولدنهم, وانّهم ليقولون منكرا من القول وزورا, وانّ الله لعفوّ غفور.
“Orang-orang diantara kamu yang mendzihar isterinya, (menganggap isterinya sebagai ibunya), padal isterinya itu bukanlah ibunya, ibu-ibu nereka hanyalah perempuan yang melahirkan. Dan sesungguhnya mereka mengatakan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah maaf pemaaf, Maha pengampun”.
Dari ayat-ayat diatas bisa diambil satu hukum bahwa konsep ibu yang sejati menurut Al-Qur’an adalah:
- Sel telur (ovum)
- Mengandung
- Melahirkan, dan
- Menyusui
Sedangkan anak kandung adalah anak yang dihasilkan dengan melalui keempat proses tersebut diatas.
Lebih jelasnya lagi, seperti hadis Nabi yang dikutip oleh Prof. Dr. Said Agil Al-Munawwar, MA,
“Kepada siapa seharusnya saya berbuat baik? Nabi menjawab: “kepada ibumu.” Kemudian kepada siapa lagi? “Kemudian kepada ibumu.” Kemudian kepada siapa lagi? Nabi menjawab: “Kemudian kepada ibumu.” Kemudian kepada siapa lagi? Nabi menjawab: “Kepada ayahmu”. (HR. Muslim dari Abi Hurairah).
Dari dialog diatas dapat dipahami bahwa perintah berbuat baik kepada ibu diulang sebanyak tiga kali, hal ini menunjukkan tiga peran ibu lebih besar ari pada peran ayah. Tiga peran tersebut adalah ovum, mengandung, dan menyusui. Sedangkan peran ayah hanya satu, yaitu mengeluarkan sperma. Oleh karena itu, jika dikatkan dengan sewa rahim, maka wanita pemilik ovum maupun wanita yang disewa tidak bisa dikategorikan sebagi ibu sejati dari anak yang dilahirkan, karena mereka tidak memenuhi unsur-unsur diatas.
- Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan tentang sewa rahim berikut dengan pendapat-pendapat para cendikiawan muslim berikut analisis syari’atnya, maka penulis menyimpulkan bahwa hukum sewa rahim baik dengan sperma dan ovum dari suami istri yang sah kemudian di tanam dalam rahim wanita lain di tinjau dalam fiqh kontemporer adalah haram, karena dalam pelaksanaannya sama dengan zina, karena terjadi percampuran sperma pria dan ovum wanita tanpa perkawinan yang sah, meskipun bukan zina yang hakiki (memasukkan kelamin ke dalam lubang vagina)
Selain itu, sewa rahim akan menimbulkan kemudaratan yang jauh lebih banyak dari pada manfaat yang di dapat. Juga akan memunculkan problematika baru dalam rumah tangga dan merugikan kedua belah fihak dan anak yang di lahirkan, terutama bagi bayi yang diserahkan kepada pasangan suami istri yang menyewa sesuai dengan kontrak, tidak akan terjalin hubungan keibuan secara alami.
Dipandang dari segi akadnya pula, sewa rahim merupakan akad yang tidak sah, karena rahim merupakan organ tubuh manusia, sedangkan organ tubuh manusia bukan komoditi yang tidak boleh untuk dipersewakan dan diperjual belikan.
Konsep ibu sejati dalam Islam adalah yang memenuhi beberapa unsur, yaitu: sel telur (ovum), hamil, melahirkan dan menyusui. Sedangkan anak kandung adalah anak yang dihasilkan dari keempat proses tersebut. Jadi, sekiranya keempat unsur tersebut tidak terpenuhi, maka baik ibu ataupun anak tidak bisa dikatakan sebagai ibu sejati dari anak tersebut, begitu pula sebaliknya.
Wallahu a’lam bisshawaab.