KETERANGAN MAKNA BASYAR, A’BDUN DAN KHALIFAH
- BASYAR
Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya nampak jelas, dan berbeda dengan kulit makhluk yang lain.
Dengan demikian istilah basyar merupakan gambaran manusia secara materi yang dapat dilihat, memakan sesuatu, berjalan, dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia dalam pengertian ini disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak 35 kali dalam berbagai surat 25 kali diantaranya berbicara tentang “kemanusiaan” para rasul dan nabi, 13 ayat di antaranya menggambarkan polemik para rasul dan nabi dengan orang-orang kafir yang isinya keengganan mereka terhadap apa yang dibawa oleh para nabi dan rasul, sebab menurut mereka nabi dan rasul adalah manusia biasa seperti mereka.Diantaranya terdapat dalam surat al-Abiya’: 2-3, al-kahfi: 110, Ibrahim: 10, hud: 26, al-Mukminun: 24 dan 33, as-Syu’ara’: 93, yasin: 15, Al-Isra: 93 dan lain-lain. Dalam ayat-ayat tersebut terlihat bahwa manusia dalam arti basyar adalah manusia dengan sifat-sifat kematerianya.
Al-basyar dapat diklasifikasikan menjadi 6 bagian, yaitu:
Menggambarkan Dimensi Fisik Manusia
Ada satu ayat yang menyebutkan basyar dalam pengertian kulit manusia, yaitu (Neraka Saqar) akan membakar kulit manusia/lawwahah li al-basyar (lihat Alquran Surat 74: 27-29)
Menyatakan Seorang Nabi adalah Basyar
Ada 23 ayat yang menyatakan bahwa kata basyar dipakai oleh Alquran yang berhubungan dengan dengan Nabi dan kenabian, dan 12 diantaranya menyatakan bahwa seorang nabi adalah basyar, yaitu secara lahiriah mempunyai ciri yang sama yaitu makan dan minum dari bahan yang sama. Antara lain dinyatakan, bahwa para pemuka orang-orang yang kafir dan mendustakan akan menemui hari akhirat: Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu/basyar mitslukum Lihat Alquran Surat 23: 33-34. Lihat juga 14: 10-11, 18: 110, 21: 3, 23: 24, 26: 154 & 186, 36: 15, 41: 6 dan 11: 27.
Basyar mitslukum di atas ditafsirkan oleh al-Naisaburi sebagai Adami atau anak keturunan Adam yang tidak punya kelebihan apapun atas anak Adam (manusia) lainnya. Namun ayat ini jelas hanyalah klaim orang-orang kafir.
Menyatakan tentang kenabian
Ayat yang menyatakan kata basyar dipakai oleh Alquran dalam kaitannya dengan kenabian sebanyak 11 buah, antara lain: Tidak wajar bagi seorang manusia (basyar) yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu ia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah” (Alquran Surat 3: 79. Lihat juga 6: 91, 42: 51, 74: 31, 12: 31, 17: 93-94, 23: 34, dan 54: 24). al-Thabathaba’i (1972: 275) menafsirkan, tidak patut bagi seorang manusia (dalam hal ini Nabi) yang diberikan Tuhan karunia yang berlimpah, lalu memproklamirkan dirinya agar disembah, hanya karena ia diberikan al-Kitab, hikmah dan kenabian.
Menunjukkan Persentuhan Laki-laki dan Perempuan
Ada 2 ayat yang menyebutkan kata basyar dalam kaitannya dengan per-sentuhan antara laki-laki dan perempuan. Maryam berkata: “Bagaimana mung-kin akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia (wa lam yamsasni basyar) pun menyentuhku, dan akan bukan pula seorang pezina” (lihat Alquran Surat 19: 20, lihat juga 3: 47).
Lam yamsasni basyar, ditafsirkan oleh al-Naisaburi dengan tidak pernah seorang suami pun mendekatiku, wa lam aku baghiyya, bukan pula seorang lacur (mendekatiku), dan aku sendiri bukan seorang pezina. Seorang anak tidak mungkin ada kecuali dari (hubungan) suami isteri atau berzina (al-Naisaburi, 1994: 180).
Menggambarkan Manusia pada umumnya
Alquran yang menggunakan kata basyar dalam pengertian manusia pada umumnya sebanyak 5 ayat, antara lain: “Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia” (In hadza illa qawl al-basyar (Alquran Surat 74: 25, lihat juga 19: 17, 74: 36, 19: 26).
Kebanyakan mufassir tidak mengomentari lagi ayat ini karena sudah sangat jelas kandungannya, namun al-Sayuthi dan al-Mahalli sedikit memberikan penjelasan bahwa ini merupakan rekaman perkataan orang-orang kafir dimana mereka mengatakan sesungguhnya Alquran itu hanya ajaran yang disampaikan oleh manusia biasa (al-Sayuthi dan al-Mahalli, t.t.: 480).
Sementara al-Maraghi (t.t. Jilid X: 1333) menambahkan, bahwa orang-orang kafir mengatakan Alquran itu hanya dikutip dari perkataan orang lain (ma-nusia biasa) saja, bukan kalam Allah sebagaimana dakwaannya (Muhammad).
Menyatakan proses penciptaan dari tanah
Yang menyatakan arti basyar sebagai proses penciptaan manusia dari tanah ada 4 ayat, antara lain: Di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkem-bang biak/basyar tantasyirun (Alquran Surat 30: 29. Lihat juga 38: 71, dan 15: 28).
Dia menciptakan kamu dari tanah, dimaksud adalah basyar (manusia), kemudian menjadi manusia yang terdiri dari daging dan darah yaitu keturunannya yang tersebar di permukaan bumi (al-Naisaburi, 1994: 431)
Menunjukkan manusia akan menemui kematian
Alquran yang menerangkan kata basyar dalam pengertian semua manusia akan menemui kematian hanya 1 ayat, yaitu: Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (wa ma ja’alna li basyar min qablik al-khuld), maka jikalau kamu (Muhammad) mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati … (Alquran Surat 21: 34-35).
Pengertian basyar, tidak lain adalah manusia dalam kehidupannya sehari-hari, yang berhubungan dengan aktivitas lahiriah, yang tentunya dipengaruhi dan mendapatkan dorongan kodrat alamiahnnya, seperti makanan, minuman, bersetubuh dan akhirnya mati mengakhiri kegiatannya. Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan sesuatu yang berhubungan dengan lahiriah, dimana kegunaannya untuk melanggengkan eksistensi tubuh/diri manusia itu sendiri.
Oleh karenanya, melalui aktivitas basyariahnya, yaitu aktivitas tubuhnya, maka gagasan dan pemikiran manusia dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit, yaitu bentuk-bentuk sebagai hasil karya dan cipta manusia, yang menempati ruang tertentu, dapat diraba dan difoto, seperti lukisan, tari-tarian dan kegiatan mengolah besi pada industri logam maupun menggali pertambangan atau membuat bangunan.
Kalau dihubungkan dengan pemakaian kata insan, maka basyar jelas menunjukkan konteks yang berbeda, meskipun sama-sama menunjukkan pengertian manusia. Manusia dalam konteks insan, adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian ideal, sementara kata basyar menun-jukkan manusia sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian material seperti yang tampak pada aktivitas fisiknya (Asy’ari, 1992: 34)
Kata insan dan basyar yang dipakai dalam Alquran untuk sebutan manusia, bukan berarti menunjukkan adanya dua jenis manusia, akan tetapi kata insan dan ba-syar pada dasarnya menunjuk pada manusia yang tunggal dengan bi-dimensionalnya (dua dimensi), dimensi insan pada kapasitas akalnya dan dimensi basyar pada ka-pasitas tindakannya.
Oleh karenanya, dalam kehidupan sehari-hari, kedua sisi gagasan – pemikiran dan kesadaran – dan tindakan hampir tidak bisa dipisahkan, dan jika karena sesuatu hal gagasan dan tindakan itu dipisahkan, maka terlihat manusia berada dalam konflik kepribadian. Kepribadian yang berada dalam konflik tersebut, seringkali disebut pribadi yang tak seimbang atau berkepribadian ganda, sehingga menimbulkan tindakan yang tidak bertanggung jawab dan sia-sia.
- ‘Abdun / Hamba
Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia. Kedudukan manusia yang paling utama adalah sebagai Abdullah yang artinya sebagai Hamba Allah. Oleh karena itu, sebagai hamba Allah maka manusia harus menuruti kemauan Allah, yang tidak boleh membangkan kepada-Nya. Dalam hal ini, manusia mempunyai dua tugas yaitu: pertama ia harus beribadah kepada Allah baik dalam pengertian sempit (sholat, puasa, haji, dsb.) maupun luas (melaksanakan semua aktifitas baik dalam hubungan dengan secara vertikal kepada Allah SWT maupun bermuamalah dengan sesama manusia untuk memperoleh keridoan Allah sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah SWT dan Hadist).
Manusia sebagai Makhluk
Keberadaan manusia di alam semesta ini bukan karena sendirinya, akan tetapi karena rancangan, disain, proses penciptaan dari Allah swt. Keberadaan manusia sebagai hasil ciptaan Allah swt, menyadarkan akan hakekat makhluk yang lemah, bodoh, dan fakir.
Makhluk termulia (Al-Israa’:70)
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. 17:70)
Makhluk yang paling indah bentuk kejadiannya.
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (QS. 95:4).
Makhluk yang diberikan kebebasan memilih dan bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk.
“…dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. 91:7-10)
Makhluk yang diberi kemampuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan dibekali dengan alat-alat yang mendukungnya dalam meraih iptek itu: “Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah,” (QS. 96:1-3).
Manusia Dimuliakan dan Diberikan Potensi
Fitrah
Dari segi bahasa, kata fitrah terambil dari akar kata al-fathr yang berarti belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna lain, seperti “penciptaan” dan “kejadian”. Dalam al-Qur’an kata ini dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali, 14 kali diantaranya dalam konteks uraian tentang bumi dan atau langit. Sisanya dalam konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia. Yang terakhir ini ditemukan sekali yaitu pada QS ar-Rum: 30.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” ( Ar-Rum:30)
Merujuk kepada fitrah yang dikemukukan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadianya, membawa potensi beragama secara lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.
Kalau kita memahami kata la pada ayat tersebut dalam arti “tidak”, maka ini berarti bahwa seseorang tidak dapat menghindari fitrah itu. Dalam konteks ayat ini, ia berarti bahwa fitrah keagamaan akan melekat pada diri manusia untuk selama-lamanya, walaupun boleh jadi tidak diakui atau diabaikanya.
Tetapi apakah fitrah manusia hanya terbatas pada fitrah keagamaan? Jelas tidak. Bukan saja karena redaksi ayat ini tidak dalam bentuk pembatasan tetapi juga karena masih ada ayat-ayat lain yang membicarakan tentang penciptaan potensi mausia – walaupun tidak menggunakan kata fitrah seperti dalam QS Ali Imran [3]: 14.
Oleh karena itu, kesimpulan Muhammad bin Asyur dalam tafsirnya tentang QS ar-Rum [30]: 30, sangat tepat untuk dijadikan rujukan. Beliau menyatakan: “fitrah adalah bentuk dan system yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruhnya)”.
Nafs
Kata nafs dalam al-Qur’an mempunyai banyak makna, sekali diartikan sebagai totalitas manusia (QS al-Maidah [5]: 32), yang lain ia menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku (QS ar-Ra’d [13]: 11), dan kata nafs juga digunakan untuk menunjuk kepda “diri Tuhan” (kalau istilah ini dapat diterima), seperti dalam QS al-An’am [6]: 12.
Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam kontek pembicaraan tentang manusia , menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk.
Qalb
Kata qalb terambil dari akar kata yang bermakna membalik karena sering kali ia berbolak-balik, sekali senang sekali susah, sekali setuju dan sekali menolak. Qalb amat berpotensi untuk tidak konsisten. Al-Qur’an pun menggambarkan demikian, ada yang baik, ada pula sebaliknya. Hal ini seperti terlihat dalam beragam ayat, yaitu: kalbu adalah wadah dari pengajaran (QS Qaf [50}: 37), Wadah dari kasih sayang (QS al-Hadid [57]: 27), wadah dari rasa takut (QS Ali Imran [3]: 151), dan wadah keimanan (QS al-Hujurat [49]: 7).
Dalam keadaanya sebagai kotak, maka tentu saja ia dapat diisi dan atau diambil isinya (QS al-Hijr [15]: 47, Al-Hujurat [49]: 14). Bahkan al-Qur’an menggambarkan bahwa ada kalbu yang disegel: “Allah telah mengunci mati hati mereka” (QS al-Baqarah [2]: 7), sehingga wajar jika al-Qur’an menyatakan bahwa ada kunci-kunci penutup kalbu (QS Muhammad [47]: 7). Wadah kalbu dapat diperbesar, diperkecil, atau dipersempit. Ia diperlebar dengan amal-amal kebajikan serta olah jiwa (QS al-Hujurat [49]: 3, Al-Insyirah [94]: 1), dan dipersempit dengan kesesatan dan kemaksiatan (QS al-An’am [6]: 125).
Ruh
Berbicara tentang ruh, al-Qur’an mengingatkan kita dengan firman-Nya: “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (As-Sajadah : 9)
‘Aql
Kata ‘aql (akal) tidak ditemukan dalam al-Qur’an, yang ada adalah bentuk kata kerja – masa kini, dan lampau. Kata tersebut dari segi bahasa pada mulanya berarti tali pengikat, penghalang. Al-Qur’an menggunakanya bagi “sesuatau yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa”. Apakah seseutu itu? Al-Qur’an tidak menjelaskannya secara eksplisit, namun dari konteks ayat-ayat yang menggunakan akar kata ‘aql dapat dipahami bahwa ia antara lain adalah:
Pertama, daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu (QS al-‘Ankabut [29]: 43. daya manusia dalam hal ini berbeda-beda. Ini diisyaratkan al-Qur’an antara lain dalam ayat-ayat yang berbicara tentang kejadian langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang dan ali-lain. Ada yang dinyatakan sebagai bukti-bukti keesaan Allah swt bagi “orang-orang berakal” (QS al-Baqarah [2]: 164) dan ada juga bagi ulil Albab yang juga dengan makna yang sama, tetapi mengandung pengertian lebih tajam dari sekedar memiliki pengetahuan. Keanekaragaman akal dalam konteks menarik makna dan meyimpulkanya terlihat juga dari penggunaan istilah –istilah semacam nazara, tafakur, tadabbur, dan sebagainya yang semuanya mengandung makna mengantar kepada pengertian dan kemampuan pemahaman.
Kedua, dorongan moral (QS Al-‘An’am [6]: 151).
Ketiga, daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta “Hikmah”. Untuk maksud ini biasanya digunakan kata rusyd. Daya ini menggabungkan kedua daya ini di atas, sehingga ia mengandung daya memahami, daya menganalisis, dan menyimpulkan, serta dorongan moral yang disertai dengan kematangan berfikir. Seseorang yang memiliki dorongan moral, boleh jadi tidak memiliki daya nalar yang kuat, dan boleh jadi juga seseorang yang memiliki daya pikir yang kuat , tidak memiliki dorongan moral. Tetepi seseorang yang memilki rusyd, maka dia telah menggabungkan kedua keistimewaan tersebut. Dari sini dapat dimengerti mengapa penghuni neraka di hari kemudian berkata: “Seandainya kami mendengar dan berakal maka kami pasti tidak termasuk penghuni neraka (QS al-Mulku [67]: 10).
Manusia dibebani Tanggung Jawab
Keberadaan manusia di alam semesta ini dan diberikan potensi oleh Allah bukan tanpa tanggung jawab. Tetapi manusia dengan segala potensi yang dimilkinya untuk menuaikan satu misi hidup yang jelas dan terarah. Misi tersebut adalah menunaikan tugas ibadah dan khilafah.
Tanggungjawab Abdullah terhadap dirinya adalah memelihara iman yang dimiliki dan bersifat fluktuatif ( naik-turun ), yang dalam istilah hadist Nabi SAW dikatakan yazidu wayanqusu (terkadang bertambah atau menguat dan terkadang berkurang atau melemah).
Tanggung jawab terhadap keluarga merupakan lanjutan dari tanggungjawab terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, dalam al-Qur’an dinyatakan dengan quu anfusakum waahliikum naaran (jagalah dirimu dan keluargamu, dengan iman dari neraka).
Allah dengan ajaranNya Al-Qur’an menurut sunah rosul, memerintahkan hambaNya atau Abdullah untuk berlaku adil dan ikhsan. Oleh karena itu, tanggung jawab hamba Allah adlah menegakkan keadilanl, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap keluarga. Dengan berpedoman dengan ajaran Allah, seorang hamba berupaya mencegah kekejian moral dan kenungkaran yang mengancam diri dan keluarganya. Oleh karena itu, Abdullah harus senantiasa melaksanakan solat dalam rangka menghindarkan diri dari kekejian dan kemungkaran (Fakhsyaa’iwalmunkar). Hamba-hamba Allah sebagai bagian dari ummah yang senantiasa berbuat kebajikan juga diperintah untuk mengajak yang lain berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran (Al-Imran : 2: 103). Demikianlah tanggung jawab hamba Allah yang senantiasa tunduk dan patuh terhadap ajaran Allah menurut Sunnah Rasul
Manusia diberikan Pilihan Hidup
Walaupun manusia diberikan satu tanggung jawab untuk menunaikan tugas dan misi kehidupan di alam semesta ini, tetapi Allah masih memberikan pilihan bagi manusia. Pilihan tersebut berupa kepatuhan kepada misi awal penciptaan manusia atau ketidakpatuhan terhadapnya.
Manusia diberikan Balasan
Pilihan hidup yang dipilih oleh manusia akan menjadi tannggung jawabnya sendiri. Tanggung Jawab ini berakibat pada balasan berupa surga atau neraka. Bagi mereka yang tetap patuh pada misi penciptaan awal manusia, akan mendapatkan balasan berupa surga, dan sebaliknya bagi mereka yang tidak patuh juga mendapatkan balasannya berupa neraka.