JUMLAH HARI DIPERBOLEHKANYA QOSHOR SHOLAT BAGI MUSAFIR

JUMLAH HARI DIPERBOLEHKANYA QOSHOR SHOLAT BAGI MUSAFIR

Dalam syariah, seseorang yang melakukan sebuah perjalanan (safar), ia mendapat keringanan (rukhshoh) untuk meng-qashar sholatnya menjadi 2 rokaat, dan sekaligus menjama’-nya (zuhur-ashar dan maghrib-isya).

Tapi beberapa orang banyak yang bertanya, apakah rukhshoh qasahar dan jama’ sholat it uterus bisa dilakukan oleh seorang musafir walaupun waktu safarnya sangat lama. Apakah ada batasan di mana seorang musafir sudah tidak dieprkenankan lagi untuk mendapatkan rukhshoh qashar dan jama’ tersebut?

Berniat Mukim

Jawabannya dilihat dari keadaan musafir itu sendiri. Kalau memang ia melakukan perjalanan dan berniat mukim di lokasi tujuan, seperti orang yang mempunyai rumah lebih dari satu, maka status musafirnya yang mana itu menjadikannya mendapat rukhshoh itu selesai ketika ia sampai rumah tujuan.

Jadi, Ketika sampai lokasi, ia tidak boleh lagi qashar atau pun jama’ sholat, karena statusnya di lokasi tujuan adalah seorang mukim, bukan musafir. Karena bukan musafir, maka tidak ada keringanan baginya untuk men-qashar atau juga men-jama’ sholat.

Tidak Berniat Mukim Hanya Singgah

Tapi ada jenis kedua, yaitu yang melakukan perjalanan tapi tidak berniat mukim di lokasi tujuan, hanya saja mereka berdiam/singgah di lokasi tujuan beberapa hari karena memang ada kebutuhan untuk mereka berdiam di situ. Dan orang yang seperti ini juga tidak semuanya sama, tapi ada 2 jenis;

[1] Tidak tahu dan tidak menentukan berapa hari berdiam di lokasi

[2] Sudah menentukan jumlah hari berdiam/singgah di lokasi

Tidak Menentukan Jumlah Hari

Untuk jenis yang pertama ialah mereka yang berpergian untuk menyelesaikan sebuah urusan atau pekerjaan yang waktunya tidak ditentukan. Karena memang bukan waktu yang menjadi patokannya, akan tetapi urusan atau pekerjaannya yang mereka jadikan ukuran. Berapa hari pekerjaan itu selesai, segitu pula mereka akan singgah.

Jadi sama sekali mereka tidak tahu akan berapa lama mereka berada di lokasi tujuan safar itu. Seperti orang yang berobat, ia tidak boleh pulang sampai keadaannya fit. Atau juga orang yang ditugaskan mencari orang hilang, ia tidak boleh pulang sebelum tugas pencariannya itu selesai.

Jadi memang tidak ada dalam benar mereka berapa hari mereka akan singgah. Untuk orang seperti ini, syariah mempersilahkannya untuk terus menggunakan rukhshoh dalam qashar dan jama’ sholat. Jadi selama apapun itu ia tetap boleh jama’ dan qashar sholat, walaupun tinggalnya di situ dalam waktu yang sangat lama.

Imam Al-Turmudzi dalam kitab sunan-nya meriwayatkan beberapa hadits perihal batasan hari di mana seorang musafir tidak lagi mendapatkan rukhshoh, lalu berliau menutup dengan perkataan bahwa ulama telah berijma’ bahwa bagi siapa yang tidak berniat mukim dan tidak menentukan jumlah hari singgahnya, mereka tetap mendapatkan rukhshoh Qashar dan jama’ sholat, walaupun lamanya sampai tahunan. (Sunan Al-Tirmidzi 2/431)

Sudah Menentukan/Ditentukan Jumlah Hari

Ini seperti orang yang ditugaskan oleh kantor atau perusahaan untuk pergi dinas luar kota, dan pihak kantor sudah menentukan berapa hari ia berada di lokasi tujuan itu.

Atau juga orang yang bepergian berlibur, dan mereka sudah membuat jadwal kapan harus kembali pulang. Berarti mereka juga sudah menentukan akan berapa lama ia berada di lokasi tujuan safar itu.

Intinya pada poin ini adalah seorang yang melakukan perjalanan jauh tidak untuk tujuan mukim dan ia sudah menentukan berapa lama ia akan singgah/tinggal di lokasi tujuannya itu, apapun jenis pekerjaan dan kebutuhan. Intinya jumlah harinya sudah ditentukan.

Untuk jenis safar seperti ini, ulama 4 madzhab sepakat untuk membatasi jumlah hari mereka yang mana mereka boleh qashar dan jama’ sholat, namun terlarang jika mereka sudah melewati batas hari rukhshoh tersebut.

Kenapa dibatasi?

Dalam surat An-Nisa’ ayat 101, Allah swt menyebutkan bahwa seorang yang sedang dalam perjalanan boleh untuk meng­-qashar sholat:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ

“dan jika kalian ‘memukul’ bumi (melakukan perjalanan) maka tidak ada dosa bagi kalian untuk mengqashar sholat”

Dalam ayat ini, Allah swt mengkaitkan kebolehan qashar yang merupakan rukhshoh dengan sifat Dhoroba fil-Ardh (memukul di atas bumi), maksudnya ialah melakukan perjalanan jauh. Artinya kebolehan qasahar itu ada jika ada perjalanan.

Dari ayat ini, ulama menyimpulkan, maka ketika seseorang tidak lagi dhoroba fil-Ard (mumukul bumi), atau tidak lagi dalam perjalanan, maka tidak ada lagi keringanan meng-qashar sholat. Ditambah lagi dengan ayat lain sebelumnya di ayat 103:

فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Kalau kalian sudah dalam keadaan yang tenang, maka kerjakanlah sholat (dengan sempurna), sesungguhnya kewajiban sholat bagi orang mukmin itu sudah ditentukan waktu-waktunya”

Dulu orang yang dalam perang mendapat keringanan untuk melakukan sholat dalam keadaan semampunya yang tidak sempurna. Lalu Allah memerintahkan untuk mengerjakan sholat dengan keadaan yang sempurna jika memang sudah dalam keadaan tenang (tidak berperang). Maka begitu pula orang yang safar yang mendapat keringan potongan rokaat ketika safar, ia tidak lagi mendapat keringanan potongan rokaat ketika sudah tidak safar lagi.

Makin dikuatkan dengan banyaknya riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi saw tidak lagi mengqashar sholat ketika ia sudah di mekkah (bersafar dari madinah) ketika fathu makkah atau juga ketika ia umrah bersama para sahabat.

Batasan Jumlah Hari Rukhshoh

Setelah ulama 4 madzhab ini bersepakat bahwa ada batasan hari di mana seorang musafir tidak boleh lagi mengqashar dan men-jama’ sholatnya setelah melewati batas itu, mereka berselisih pendapat tentang jumlah hari yang menjadi batas rukhshoh itu.

Imam Ibnu Rusy dalam kitabnya bidayah Al-Mujtahid (138-139), menjelaskan perbedaan ulama 4 madzhab dalam hal batasan jumlah hari rukhshoh bagi seorang musafir.

Al-Hanafiyah: 14 hari. Hari ke-15 hilang rukhshoh dan mulai sholat sempurna tanpa jama’ dan qashar.

Al-Malikiyah & Al-Syafiiyah: 3 Hari. Setelah 3 hari (hari keemapat) musafir harus sholat sempurna, tidak jama’ dan tidak qashar.

Al-Hanabilah: 4 hari. Hari Ke-5 tidak ada lagi rukhshoh.

Al-Hanafiyah (14 Hari)

Imam Ibnu Abdin dalam hasyiyahnya (Radd Al-Muhtar 2/125) bahwa batasan seseorang boleh qashar dan jama’ sholat dalam keadaan musafir itu adalah 14 hari. Jadi ketika ia sudah meniatkan untuk singgal lebih dari 14 hari, maka di hari ke-15, ia sudah tidak bisa lagi mendapatkan rukhshoh jama dan juga qasahr sholat.

Ini didasarkan pada apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw ketika datang ke Mekkah dari Madinah untuk pembebasan Mekkah (Fathu Makkah). Bahwa beliau saw meng-qashar sholatnya sampai 14 hari di Mekah. (HR. Abu Daud)

Al-Malikiyah & Al-Syafiiyah (3 Hari)

Dalil yang digunakan ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahih-nya bahwa Nabi saw menjadikan bagi para Muhajirin 3 hari untuk rukhshoh setelah mereka menunaikan hajinya.

لِلْمُهَاجِرِ إِقَامَةُ ثَلَاثٍ بَعْدَ الصَّدَرِ بِمَكَّةَ

“untuk para muhajirin itu bermukim 3 hari di Mekkah setelah Shodr (menunaikan manasik)” (HR Muslim)

Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm (1/215) menjelaskan maksud hadits ini, beliau katakan:

“mukimnya Muhajir di Mekkah itu 3 hari batasnya (sebagai musafir), maka jika melebihi itu, ia telah bermukim di Mekkah (jadi mukim yang tidak bisa dapat rukhshoh)”

Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam fathul-Baari (7/267) mengatakan bahwa istinbath hukum dari hadits Nabi tersebut adalah bahwa seorang musafir jika berniat singgah/tinggal di kota tujuan kurang dari 3 hari, ia masih berstatus sebagai musafir yang boleh jama’ dan qashar sholat. Akan tetapi jika melebihi itu, tidak lagi disebut sebagai musafir.

Al-Hanabilah (4 Hari/21 Sholat)

Uniknya dalam madzhab ini adalah bahwa yang dijadikan ukuran bukanlah hari melainkan sholat. Madzhab ini menetapkan bahwa batasan rukhshoh bagi seorang musafir itu setelah ia melewati 21 kali waktu sholat, atau kalau dihitung dalam hari menajdi 4 hari lebih 1 kali waktu sholat.

Ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/212) dan juga Imam Al-Mardawi dalam Al-Inshaf (2/329). Dalilnya sama seperti yang digunakan oleh madzhab Al-Syafiiyah dan AL-Malikiyah, hanya saja mereka menghitungnya dengan hitungan jumlah sholat.

Imam Ibnu Qudamah Mengatakan:

وَإِذَا نَوَى الْمُسَافِرُ الْإِقَامَةَ فِي بَلَدٍ أَكْثَرَ مِنْ إحْدَى وَعِشْرِينَ صَلَاةً، أَتَمَّ) الْمَشْهُورُ عَنْ أَحْمَدَ – رَحِمَهُ اللَّهُ –

“Jika seseorang musafir berniat untuk tinggal di suatu negeri lebih dari 21 kal waktu sholat, maka ia ketika itu ia harus sempurna sholatnya (tidak jama qashar)” (Al-Mughni 2/212)

Wallahu a’lam

Leave your comment here: