ISLAM DAN FENOMENA MANUSIA “SAMPAH”

ISLAM DAN FENOMENA MANUSIA “SAMPAH”

Jalan panjang menuju peradaban manusia yang madani ternyata selalu mengalami kendala yang dramatis karena nafsu yang sering tidak terkendali di dalam diri manusia. Sistem sosial yang baik ternyata harus berjalan terseok-seok karena prilaku negatif warganya. Program sosial yang terarah ternyata harus jatuh tersungkur karena prilaku penentu kebijkan yang tidak konsisten. Dan jalan yang seharusnya bersih dan jauh dari hal-hal yang kotor ternyata banyak di isi oleh orang-orang yang siap mati kapan dan di mana saja karena kemiskinan, gangguan mental dan penyakit menular yang dimilikinya.

Dari sinilah kemudian muncul berbagai prasangka tentang kesalahan manusia sekitar yang sesungguhnya telah kehilangan hati nuraninya dan bahkan menjadi manusia yang lebih tidak beradab. Sikap ini semakin “menggila” ketika harus dikaitkan dengan dunia politik, di mana banyak orang mulai mencari dukungan masyarakat demi terwujudnya kepentingan politik, namun menafikan orang-orang di atas. Seolah-olah mereka tidak boleh dipertanyakan (unquestionable) bahkan tidak boleh untuk dipikirkan (unthinkable).

Ketika para politikus tersebut terpilih dan mulai bekerja, maka orang-orang yang siap mati di atas dicari-cari, ditangkapi, bahkan diperlakukan dengan tidak manusiawi, karena dianggap mengganggu keindahan daerah. Oleh karena sikap yang demikian, maka terkadang mereka lebih layak untuk disebut sebagai manusia “sampah”, di mana selain mereka sering mengkonsumsi sampah, selalu beriteraksi dengan sampah, dan terkadang mereka juga menjadi bagian dari sampah itu sendiri.

Sebut saja Kota Bandar Lampung yang begitu menggebu-gebu untuk menjadi kota terbersih di Provinsi Lampung ini. Namun, hal tersebut belum juga tercapai karena adanya manusia “sampah” yang terus berkeliaran di tengah-tengah kota, tidur di pinggir-pinggir jalan, berkumpul di lorong-lorong dan di bawah jembatan, meminta-minta di sekitar lampu merah, dan terkadang sering dianggap membuat resah masyarakat sekitarnya.

Yang menjadi begitu miris adalah, ketika mereka sering dianggap sebagai virus tersendiri yang perlu di carikan anti-virusnya. Anti-virus yang dapat men-quarantine mereka di lembaga-lembaga sosial, atau jika perlu, anti-virus yang dapat langsung men-delete mereka semua dari bagian masyarakat sekitar. Dalam hal ini, nyawa dijadikan mainan. Nasib manusia seperti dadu yang diputar diatas meja judi. Individu hanya dianggap sebagai angka statistik. Lenyapnya sebuah peradaban dianggap angin lalu.

Siapa yang tidak akan merasakan kepedihan hati dan kesedihan di dalam diri ketika manusia “sampah” ini berjalan di hadapan anda? Namun, kepediahan hati dan kesedihan tersebut akan berubah menjadi kemarahan ketika pertanyaan tersebut harus dialihkan kepada, siapa yang harus bertanggung jawab penuh atas fenomena di atas? Pertanyaan mengenai hal ini akan semakin bertambah, ketika mata dan telinga mulai tertutup, lisan sudah tidak dapat berucap dan hati juga mulai menjadi batu, karena berupaya untuk melupakan dan meninggalkan mereka.

Kesalahan terfatal yang berkemungkinan terjadi akibat dari fenoimena di atas adalah, akan munculya kelompok masyarakat yang menamakan dirinya sebagai NGO (Non Goverment Organisation) atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang berbahasa untuk rakyat miskin, namun sesungguhnya mereka memancing di air keruh. Berpikiran pragmatis, menggunakan manusia “sampah” (melalui data-data statistik yang mereka buat) sebagai sarana untuk mendapat keuntungan materi semata (money oriented) dan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka sesungguhnya apa yang paling bijak untuk dilakukan oleh siapapun yang mengaku sebagai manusia berakal dan berbudi? Apakah tetap mencari-cari siapa yang paling bersalah dan bertanggung jawab akan adanya manusia “sampah” di atas, atau ikut mencarikan solusi konkrit yang layak untuk diterapkan? Perlu diingat, bahwa dengan hanya berpangku tangan pada pemerintah, apalagi menyalahkannya, merupakan perbuatan yang mubazir dan berpotensi rawan konflik antara pendukung pemerintah dengan oposisi, yang pada akhirnya mengakibatkan tidak stabilnya laku pemerintahan daerah.

Selama ini, memang tidak dapat dipungkiri bahwa jalannya pemerintahan karena adanya dana kas. Dan jika dana tersebut tidak ada, maka rencana yang sudah disiapkan secara matang akan mentah kembali, dan kemungkinan gagal total, akhirnya pemerintah hanya menerima apa adanya (taken for granted) dan kemudian cenderung menarik diri (resignasi) dari fenomena sosial di atas.

Pada dasarnya, alasan di atas merupakan alasan klasik yang telah ada solusinya melalui pendekatan klasik pula. Yakni dengan menjadikan zakat sebagai bagian dari sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selama ini sumber PAD dari unsur Islam seolah-olah hanya berasal dari pencatatan perkawinan semata. Padahal, potensi zakat yang begitu besar jika dikelola dengan baik maka hasilnya paling tidak dapat meminimalisir jumlah mereka yang disebut sebagai manusia “sampah”.

Tentunya, pengelolaan dana zakat tersebut harus dibedakan dengan sumber PAD lainnya, karena tujuan zakat hanya untuk delapan bagian saja, yakni fakir, miskin, ‘amilin (petugas zakat), mu’allaf (baru masuk Islam), orang yang memerdekakan budak, orang yang berhutang, fi sabilillah (orang yang berjuang di jalan Allah), dan ibnu sabil (orang yang sedang dalam perjalanan atau musafir). Artinya, dibutuhkan pula para petugas yang profesional dalam mengelolanya, sehingga prakteknya tidak lari dari maksud normatif, yakni QS. al-Taubah ayat 60.

Dengan berlakunya UU No. 32 Ta­hun 2004 hasil revisi dari UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang hakikatnya meru­pakan atmosfir otonomi, maka tentunya pengelolaan za­kat tidak lagi sentralistik, akan tetapi harus didesentralisasikan atau diserahkan pengelolaan­nya ke daerah masing-masing. Dalam hal ini pemerintah daerah dalam posisi fasilitator mendukung kegiatan BAZ (Badan Amil Zakat) atau LAZ (Lembaga Amil Zakat).

Dengan mengikuti pola di atas, maka perasaan miris terhadap fenomena manusia “sampah” yang merupakan akibat dari kemiskinan, akan terkendali sedikit demi sedikit dan step by step. Kedepan, masyarakat tidak perlu lagi resah, apalagi mencerca dan menghina manusia “sampah”, karena kehidupan mereka akan berubah dan bejalan dengan baik. wallahu a’lam

Leave your comment here: