BULAN MUHARRAM DALAM BINGKAI RITUAL DAN SPIRITUAL
Sebagai bulan pertama yang ada dalam kalender Hijriyah, bulan Muharram memiliki beberapa keistimewaan yang begitu banyak. Bulan Muharram dianggap begitu istimewa karena memiliki perbedaan yang menonjol, yaitu hubungannya yang sangat erat dengan praktek spiritual ibadah tuntunan syariat dan ritus tradisi kebudayaan setempat.
Ada beberapa hadis Rasulullah Saw yang menyebutkan tentang keutamaan bulan yang diberi nama Suro menurut masyarakat Jawa tersebut. Salah satunya adalah hadis Rasulullah Saw yang berbunyi:
إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ والأرض السنة اثنى عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبٌ شَهْرُ مضرالَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula pada waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahu itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati, tiga bulan berturut-turut; Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab, terdapat diantara bulan Jumada al-Akhirah dan Sya’ban”, (HR. Muslim).[1]
Meskipun demikian adanya, bulan Muharram sangat berbeda dengan bulan-bulan yang lain, salah satunya adalah bulan suci Ramadhan. Karena di dalam bulan Ramadhan, keseluruhan tradisi dan amaliah yang ada di masyarakat masih bisa dianggap murni syariat. Ibadah puasa, salat Tarawih, tadarus Al-Qur’an, iktikaf di masjid dan lain sebagainya merupakan tuntutan syariat semata. Hal ini tidak seperti apa yang terdapat di bulan Muharram, tradisi dan amaliah yang ada di masyarakat sudah beraroma kebudayaan. Dengan artian, akulturasi syariat dan budaya sangat terasa kental di dalamnya.
Adapun beberapa ritual amaliah Muharram yang berasal dari tuntunan syariat murni diantaranya adalah puasa Tasua’ dan ‘Asyuro, mengusap kepala anak yatim, menyantuni anak yatim, melapangkan nafkah keluarga, dan bersedekah. Begitu juga sebaliknya, beberapa ritual kebiasaan masyarakat di bulan Muharram yang berasal dari budaya setempat diantaranya larung sesaji, Grebeg Suro, memandikan pusaka atau keris, Tapa Bisu, sesajen para Danyang, dan lain sebagainya.
Menurut masyarakat tertentu yang masih memegang teguh prinsip leluhur (Kejawen), bulan Suro memiliki nilai magis yang cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya tradisi kebudayaan yang dilakukan di dalam bulan ini. Karena diakui ataupun tidak, tidak semua tradisi yang berlaku di masyarakat dalam bulan Muharram bersumber dari ajaran syariat Islam murni. Ada beberapa yang bersumber dari budaya secara totalitas. Ada juga yang merupakan asimilasi budaya dan syariat. Bahkan dari beberapa amaliah tradisi tersebut ada yang sangat berpotensi mempengaruhi dan merusak akidah umat Islam.
Menyikapi Budaya
Berpijak pada realita tersebut, lantas apakah tindakan yang seharusnya dilakukan bagi umat Islam. Apakah dengan mengamputasi seluruh budaya yang tidak berasal dari syariat, ataukah mengikuti seluruh budaya dengan sekedar alasan melestarikan kebudayaan bangsa?.
Sebelum lebih jauh menyoal tentang tindakan, perlu adanya analisa yang cermat terhadap praktek budaya yang ada. Hal ini merupakan langkah awal dalam menentukan sikap dan tindakan. Sehingga hasil analisis yang kritis tersebut akan mampu memetakan berbagai praktek budaya dari sisi tujuan, praktek, dan dampak. Maka dari pemetaan itu, akan menumbuhkan sebuah upaya filtrasi dan penyaringan untuk memilih dan memilah amaliah, tradisi, dan budaya yang sejalan dengan spirit tuntunan syariat agar terus dilestarikan keberadaanya.
Namun tidak semua budaya yang berkembang lantas diberangus dan dihapus begitu saja. Jika masih ada budaya yang tidak mengandung unsur negatif dan bisa dipetahankan, maka Islam akan mempertahankannya. Atau jika budaya tersebut melenceng dari asas-asas agama, maka syariat akan mengubahnya, mengislamkannya menjadi lebih baik dari sebelumnya. Atau jika sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan karena bertentangan dengan nilai-nilai pokok agama, maka islam akan menghapusnya. Bahkan tak jarang sampai ke “akar-akarnya”. Hal ini seperti diungkapkan Imam Ad-Dahlawi dalam kitab Hujjah Al-Balighah, “Kedatangan Rasul SAW. adalah dengan misi meluruskan norma-norma yang tidak lagi sesuai dengan agama hanîf sambil tetap melestarikan budaya masyarakat Rab yang masih sejalan dengan nilai-nilai islam.”[2]
Sebagai penganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah, kita dituntut untuk lebih bijak menyikapi hal yang demikian. Terutama dengan menganalisa praktek budaya dengan kacamata syariat. Karena syariat menjadi tolak ukur dalam upaya penerimaan Islam atas budaya. Selain itu, prinsip kemaslahatan menjadi pertimbangan penting dalam menanggulangi dampak atas penerimaan syariat terhadap budaya setempat.
Dalam konteks ini, kecerdikan strategi dakwah dalam mengambil sikap sangat urgen dalam menyikapi realita yang ada. Sikap bijak, ramah, serta toleransi yang dimiliki Islam harus menjadi senjata utama dalam menghadapi kenyataan seperti ini. Karena pada dasarnya, membiarkan perbuatan maksiat dan kemungkaran demi tercapainya kemaslahatan yang besar adalah bagian dari strategi politik Islam yang dapat dibenarkan.[3]
Setidaknya dengan mencontoh metode dakwah yang dilakukan oleh Wali Songo yang berhasil mengislamkan budaya Jawa dengan tanpa menghilangkan dan menghapus tradisi budaya tersebut. [] waAllahu a’lam.
_______________
[1] Syarah An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, juz 11 hal 167.
[2] Hujjah Al-Balighah, juz 1 hal 284.
[3] Qowaid Al-Ahkam fii Mashalih Al’Anam, juz 1 hal 109.