FATWA DSN MUI TENTANG TABARRU’ DALAM ASURANSI SYARI’AH

FATWA DSN MUI TENTANG TABARRU’ DALAM ASURANSI SYARI’AH

FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL

NO: 53/DSN-MUI/III/2006

Tentang

AKAD TABARRU’ PADA ASURANSI SYARI’AH

Dewan Syari’ah Nasional setelah:

Menimbang : a. bahwa fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum

Asuransi Syariah dinilai sifatnya masih sangat umum sehingga

perlu dilengkapi dengan fatwa yang lebih rinci;

  1. bahwa salah satu fatwa yang diperlukan adalah fatwa tentang

Akad Tabarru’ untuk asuransi;

  1. bahwa oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional memandang

perlu menetapkan fatwa tentang Akad Tabarru’ untuk dijadikan pedoman.

Mengingat : 1. Firman Allah SWT, antara lain:

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig)

harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan

yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama

hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan

memakan) itu, adalah dosa yang besar.

(QS. al-Nisa’[4]: 2).

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang

seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak

yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahtera-

  1. an) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa

kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan

perkataan yang benar.”

(QS. al-Nisa’ [4]: 9).

“Hai orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan

hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat

53 Akad Tabarru’ pada Asuransi Syari’ah

  1. Dewan Syariah Nasional MUI

untuk hari esok (masa depan). Dan bertaqwalah kepada

Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang

kamu kerjakan”

(QS. al-Hasyr [59]: 18).

  1. Firman Allah SWT tentang prinsip-prinsip bermu’amalah, baik

yang harus dilaksanakan maupun dihindarkan, antara lain:

“Hai orang yang beriman! Tunaikanlah akad-akad itu.

Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan

dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak

menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan

haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hokum-hukum

menurut yang dikehendaki-Nya.

(QS. al-Maidah [5]: 1).

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan

amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila

kamiu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah

dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran

yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah

adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

(QS. al- Nisa’ [4]: 58).

“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian memakan

(mengambil)harta orang lain secara batil, kecuali jika

berupa perdagangan yang dilandasi atas sukarela di antara

kalian. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;

sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

(QS. al-Nisa’ [4]: 29).

  1. Firman Allah SWT tentang perintah untuk saling tolong

menolong dalam perbuatan positif, antara lain :

53 Akad Tabarru’ pada Asuransi Syari’ah

3 Dewan Syariah Nasional MUI

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan

dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan

pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesung-

guhnya Allah amat berat siksa-Nya”

(QS. al-Maidah [5]: 2).

  1. Hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang beberapa prinsip bermu’amalah, antara lain:

“Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu

kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan

darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong

hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya”

(HR. Muslim dari Abu Hurairah).

“Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang, saling

mengasihi dan mencintai bagaikan tubuh (yang satu);

jikalau satu bagian menderita sakit maka bagian lain akan

turut menderita”

(HR. Muslim dari Nu’man bin Basyir).

“Seorang mu’min dengan mu’min yang lain ibarat sebuah

bangunan, satu bagian menguatkan bagian yang lain”

(HR Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari).

“Barang siapa mengurus anak yatim yang memiliki harta,

hendaklah ia perniagakan, dan janganlah membiarkannya

(tanpa diperniagakan) hingga habis oleh sederkah (zakat

dan nafakah)”

(HR. Tirmizi, Daraquthni, dan Baihaqi dari

‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Abdullah

bin ‘Amr bin Ash).

53 Akad Tabarru’ pada Asuransi Syari’ah

4 Dewan Syariah Nasional MUI

“Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka

buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau

menghalalkan yang haram.”

(HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh

pula membahayakan orang lain.”

(Hadis Nabi riwayat Ibnu

Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya).

  1. Kaidah fiqh:
  2. “Pada dasarnya, semua bentuk mu’amalah boleh dilakukan

kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

  1. “Segala mudharat harus dihindarkan sedapat mungkin.”
  2. “Segala mudharat (bahaya) harus dihilangkan.”

Memperhatikan : 1. Pendapat ulama:

Sejumlah dana (premi) yang diberikan oleh peserta asuransi adalah tabarru’ (amal kebajikan) dari peserta kepada (melalui) perusahaan yang digunakan untuk membantu peserta yang memerlukan berdasarkan ketentuan yang telah disepakati; dan perusahaan memberikannya (kepada peserta) sebagai tabarru’ atau hibah murni tanpa imbalan.

(Wahbah al-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah

, [Dimasyq: Dar al-Fikr, 2002], h. 287).

 

Analisis fiqh terhadap kewajiban (peserta) untuk memberikan tabarru’ secara bergantian dalam akad asuransi ta’awuni adalah “kaidah tentang kewajiban untuk memberikan tabarru’” dalam mazhab Malik.

(Mushthafa Zarqa’, Nizham al-Ta’min,h. 58-59; Ahmad Sa’id Syaraf al-Din,

‘Uqud al-Ta’min wa ‘Uqud Dhaman al-Istitsmar, h. 244-147; dan Sa’di Abu Jaib, al-Ta’min bain al-Hazhr wa al-Ibahah,h. 53).

 

Hubungan hukum yang timbul antara para peserta asuransi sebagai akibat akad ta’min jama’i (asuransi kolektif) adalah akad tabarru’; setiap peserta adalah pemberi dana tabarru’ kepada peserta lain yang terkena musibah berupa ganti rugi (bantuan, klaim) yang menjadi haknya; dan pada saat yang sama ia pun berhak menerima dana tabarru’ ketika terkena musibah

(Ahmad Salim Milhim, al-Ta’min al-Islami,h, 83).

  1. Hasil Lokakarya Asuransi Syari’ah DSN-MUI dengan AASI

(Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia) tanggal 7-8 Jumadi al-Ula 1426 H / 14-15 Juni 2005 M.

  1. Pendapat dan saran peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada 23 Shafar 1427 H/23 Maret 2006.

MEMUTUSKAN

Menetapkan :

FATWA TENTANG AKAD TABARRU’ PADA ASURANSI

SYARI’AH

Pertama

:

Ketentuan Hukum

  1. Akad Tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi.
  2. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar peserta pemegang polis.
  3. Asuransi syariah yang dimaksud pada point 1 adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi.

Kedua

:

Ketentuan Akad

  1. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong antar peserta, bukan untuk tujuan komersial.
  2. Dalam akad Tabarru’, harus disebutkan sekurang-kurangnya:

a.

hak & kewajiban masing-masing peserta secara individu;

b.

hak & kewajiban antara peserta secara individu dalam akun tabarru’ selaku peserta dalam arti badan/kelompok;

c.

cara dan waktu pembayaran premi dan klaim;

d.

syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

Ketiga:

Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tabarru’

1.

Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa musibah.

2.

Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru’ (mu’amman/mutabarra’ lahu) dan secara kolektif selaku penanggung (mu’ammin/mutabarri’).

3.

Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad wakalah dari para peserta selain pengelolaan investasi.

Keempat:

Pengelolaan

1.

Pengelolaan asuransi dan reasuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah.

2.

Pembukuan dana tabarru’ harus terpisah dari dana lainnya.

3.

Hasil investasi dari dana tabarru’ menjadi hak kolektif peserta dan dibukukan dalam akun tabarru’.

4.

Dari hasil investasi, perusahaan asuransi dan reasuransi syariah dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan akad Mudharabah atau akad Mudharabah Musytarakah, atau memperoleh ujrah (fee) berdasarkan akad wakalah bil ujrah.

Kelima:

Surplus Underwriting

1.

Jika terdapat surplus underwriting atas dana tabarru’, maka boleh dilakukan beberapa alternatif sebagai berikut:

a.

Diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun tabarru’.

b.

Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian lainnya kepada para peserta yang memenuhi syarat aktuaria/manajemen risiko.

c.

Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian lainnya kepada perusahaan asuransi dan para peserta sepanjang disepakati oleh para peserta.

  1. Pilihan terhadap salah satu alternatif tersebut di atas harus

disetujui terlebih dahulu oleh peserta dan dituangkan dalam

akad.

Keenam:

Defisit Underwriting

1.

Jika terjadi defisit underwriting atas dana tabarru’ (defisit tabarru’), maka perusahaan asuransi wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk Qardh (pinjaman).

2.

Pengembalian dana qardh kepada perusahaan asuransi disisihkan dari dana tabarru’.

Ketujuh:

Ketentuan Penutup

  1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada Tanggal : 23 Shafar 1427 H 23 Maret 2006 M

DEWAN SYARI’AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA

 

Leave your comment here: