MENGGILIR ISTRI YANG LEBIH DARI SATU DAN NUSYUZ YANG MENJADIKAN NAFAQOH GUGUR

MENGGILIR ISTRI YANG LEBIH DARI SATU DAN NUSYUZ YANG MENJADIKAN NAFAQOH GUGUR

(Fasal) menjelaskan hukum-hukum qasm (menggilir) dan Nusyuz (purik : jawa).

(فَصْلٌ) فِيْ أَحْكَامِ الْقَسْمِ وَالنُّشُوْزِ)

Yang pertama adalah dari suami dan yang kedua dari istri.

وَالْأَوَّلُ مِنْ جِهَّةِ الزَّوْجِ وَالثَّانِيْ مِنْ جِهَّةِ الزَّوْجَةِ

Makna nusuznya seorang istri adalah ia tidak mau melaksanakan hak yang wajib ia penuhi.

وَمَعْنَى نُشُوْزِهَا ارْتِفَاعُهَا عَنْ أَدَاءِ الْحَقِّ الْوَاجِبِ عَلَيْهَا

Ketika seorang laki-laki memiliki dua istri atau lebih, maka bagi dia tidak wajib menggilir diantara kedua atau beberapa istrinya.

وَإِذَا كَانَ فِيْ عِصْمَةِ شَخْصٍ زَوْجَتَانِ فَأَكْثَرَ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ الْقَسْمُ بَيْنَهُمَا أَوْ بَيْنَهُنَّ

Sehingga, seandainya dia berpaling dari istri-istrinya atau istri satu-satunya, dengan tidak berada di sisi mereka atau di sisi satu istrinya tersebut, maka dia tidak berdosa.

حَتَّى لَوْ أَعْرَضَ عَنْهُنَّ أَوْ عَنِ الْوَاحِدَةِ فَلَمْ يَبِتْ عِنْدَهُنَّ أَوْ عِنْدَهَا لَمْ يَأْثَمْ

Akan tetapi disunnahkan baginya untuk tidak mengosongkan jadwal menginap di sisi mereka, begitu juga di sisi istri satu-satunya. Dengan artian ia berada di sisi mereka atau di sisi istrinya tersebut.

وَلَكِنْ يُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يُعَطِّلَهُنَّ مِنَ الْمَبِيْتِ وَلَا الْوَاحِدَةَ أَيْضًا بِأَنْ يَبِيْتَ عِنْدَهُنَّ أَوْ عِنْدَهَا

Minimal empat hari sekali berada bersama dengan satu orang istri.

وَأَدْنَى دَرَجَاتِ الْوَاحِدَةِ أَنْ لَا يُخَلِّيَهَا كُلَّ أَرْبَعِ لَيَالٍ عَنْ لَيْلَةٍ

Hukum Adil di Dalam Menggilir Istri

Menyetarakan giliran di antara istri-istri hukumnya wajib bagi sang suami.

(وَالتَّسْوِيَةُ فِيْ الْقَسْمِ بَيْنَ الزَّوْجَاتِ وَاجِبَةٌ)

Sama rata adakalanya dipandang dari tempat dan adakalanya dipandang dari waktunya.

وَتُعْتَبَرُ التَّسْوِيَّةُ بِالْمَكَانِ تَارَةً وَبِالزَّمَانِ اُخْرَى

Adapun ditinjau dari sisi tempat, maka hukumnya haram mengumpulkan dua orang istri atau lebih didalam satu rumah kecuali mereka rela.

أَمَّا الْمَكَانُ فَيَحْرُمُ الْجَمْعُ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ فَأَكْثَرَ مِنْ مَسْكَنٍ وَاحِدٍ إِلَّا بِالرِّضَا

Adapun dari sisi waktu, maka bagi suami yang tidak menjadi seorang penjaga (bekerja) di malam hari, maka inti giliran yang harus dia lakukan adalah di waktu malam, sedangkan untuk siangnya mengikut pada waktu malam.

وَأَمَّا الزَّمَانُ فَمَنْ لَمْ يَكُنْ حَارِسًا فَعِمَادُ الْقَسْمِ فِيْ حَقِّهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ تَبِعَ لَهُ

Dan bagi suami yang menjadi penjaga di malam hari, maka inti giliran yang harus ia lakukan adalah waktu siang, sedangkan untuk waktu malamnya hanya mengikut pada waktu siang tersebut.

وَمَنْ كَانَ حَارِسًا فَعِمَادُ الْقَسْمِ فِيْ حَقِّهِ النَّهَارُ وَاللَّيْلُ تَبِعَ لَهُ.

 

Tidak Boleh Melanggar Giliran

Bagi seorang suami tidak diperkenankan berkunjung di malam hari pada istri yang tidak mendapat giliran tanpa ada hajat.

(وَلَا يَدْخُلُ) الزَّوْجُ لَيْلًا (عَلَى غَيْرِ الْمَقْسُوْمِ لَهَا لِغَيْرِ حَاجَةٍ)

Jika berkunjungnya karena ada hajat seperti menjenguk istrinya yang sakit dan sesamanya, maka ia tidak dilarang untuk masuk pada istri tersebut.

فَإِنْ كَانَ لِحَاجَةٍ كَعِيَادَةٍ وَنَحْوِهَا لَمْ يُمْنَعْ مِنَ الدُّخُوْلِ

Dan ketika masuknya karena ada hajat, jika ia berada di sana dalam waktu yang cukup lama, maka wajib mengqadla’ seukuran waktu berdiamnya dari giliran istri yang telah ia kunjungi.

وَحِيْنَئِذٍ إِنْ طَالَ مُكْثُهُ قَضَى مِنْ نَوْبَةِ الْمَدْخُوْلِ عَلَيْهَا مِثْلَ مُكْثِهِ

Sehingga, jika ia sempat melakukan jima’ dengan istri yang ia kunjungi -yang bukan gilirannya-, maka wajib mengqadla’ masa jima’nya, bukan melakukan jima’nya, kecuali jika waktunya sangat pendek, maka tidak wajib untuk diqadla’i.

فَإِنْ جَامَعَ قَضَى زَمَنَ الْجِمَاعِ لَا نَفْسَ الْجِمَاعِ إِلَّا أَنْ يَقْصُرَ زَمَنُهُ فَلَا يَقْضِيْهِ

Ketika Hendak Bepergian

Ketika seorang laki-laki yang memiliki beberapa istri ingin bepergian, maka ia harus mengundi di antara istri-istrinya. Dan ia melakukan perjalanan bersama istri yang mendapatkan undian.

(وَإِذَا أَرَادَ) مَنْ فِيْ عِصْمَتِهِ زَوْجَاتٌ (السَّفَرَ أَقْرَعَ بَيْنَهُنَّ وَخَرَجَ) أَيْ سَافَرَ (بِالَّتِيْ تَخْرُجُ لَهَا الْقُرْعَةُ)

Dan bagi suami yang melakukan perjalanan tidak wajib menqadla’ lamanya masa perjalanan pada para istrinya yang tidak diajak bepergian / yang ditinggal di rumah.

وَلَا يَقْضِيْ الزَّوْجُ الْمُسَافِرُ لِلْمُتَخَلِّفَاتِ مُدَّةَ سَفَرِهِ ذِهَابًا

Jika ia sampai di tempat tujuan dan muqim di sana, dengan artian ia niat muqim yang bisa merubah status musafirnya di awal pemberangkatan, ketika sampai di tempat tujuan atau sebelum sampai, maka ia wajib mengqadla’i waktu muqimnya, jika istri yang menyertainya dalam perjalanan juga muqim bersamanya sebagai mana keterangan yang disampaikan oleh imam al Mawardi. Jika tidak demikian, maka tidak wajib mengqadla’i.

فَإِنْ وَصَلَ مَقْصِدَهُ وَصَارَ مُقِيْمًا بِأَنْ نَوَى إِقَامَةً مُؤَثِّرَةً أَوَّلَ سَفَرِهِ أَوْ عِنْدَ وُصُوْلِ مَقْصِدِهِ أَوْ قَبْلَ وُصُوْلِهِ قَضَى مُدَّةَ الْإِقَامَةِ إِنْ سَاكَنَ الْمَصْحُوْبَةَ مَعَهُ فِيْ السَّفَرِ كَمَا قَالَهُ الْمَاوَرْدِيُّ وَإِلَّا لَمْ يَقْضِ

Adapun waktu perjalanan pulang setelah muqimnya tersebut, maka bagi suami tidak wajib untuk mengqadla’inya.

أَمَّا مُدَّةُ الرُّجُوْعِ فَلَا يَجِبُ عَلَى الزَّوْجِ قَضَاؤُهَا بَعْدَ إِقَامَتِهِ .

 

Pengantin Baru

Ketika seorang suami menikahi wanita yang baru, maka ia wajib mengistimewakannya, walaupun istrinya adalah budak wanita, dan ia memiliki istri lama.

(وَإِذَا تَزَوَّجَ) الزَّوْجُ (جَدِيْدَةً خَصَّهَا) حَتْمًا وَلَوْ كَانَتْ أَمَّةً وَكَانَ عِنْدَ الزَّوْجِ غَيْرُ الْجَدِيْدَةِ

Suami harus menginap di sisi istri barunya tersebut selama tujuh malam berturut-turut, jika istri barunya tersebut masih perawan, dan tidak wajib mengqadla’ untuk istri-istri yang lain.

وَهُوَ يَبِيْتُ عِنْدَهَا (بِسَبْعِ لَيَالٍ) مُتَوَالِيَاتٍ (إِنْ كَانَتْ) تِلْكَ الْجَدِيْدَةُ (بِكْرًا) وَلَا يَقْضِيْ لِلْبَاقِيَاتِ

Dan mengkhususkan pada istri barunya tersebut dengan tiga malam berturut-turut, jika istri barunya tersebut sudah janda.

(وَ) خَصَّهَا (بِثَلَاثٍ) مُتَوَالِيَةٍ (إِنْ كَانَتْ) تِلْكَ الْجَدِيْدَةُ (ثَيِّبًا)

Sehingga, seandainya sang suami memisah malam-malam tersebut dengan tidur semalam di sisi sang istri baru, dan semalam tidur di masjid semisal, maka semua itu tidak dianggap.

فَلَوْ فَرَّقَ اللَّيَالِيَ بِنَوْمِهِ لَيْلَةً عِنْدَ الْجَدِيْدَةِ وَلَيْلَةً فِيْ مَسْجِدٍ مَثَلًا لَمْ يُحْسَبْ ذَلِكَ

Bahkan sang suami harus memenuhi hak istri barunya secara berturut-turut, dan mengqadla’i malam-malam yang telah ia pisah-pisah untuk istri-istri yang lain.

بَلْ يُوْفِيْ الْجَدِيْدَةَ حَقَّهَا مُتَوَالِيًا وَيَقْضِيْ مَا فَرَّقَهُ لِلْبَاقِيَاتِ.

 

Nusuz / Purik

Ketika sang suami khawatir istrinya nusuz, dalam sebagian redaksi dengan ungkapan, “ketika nampak bahwa sang istri nusuz”, maka suami berhak memberi nasihat dengan tanpa memukul dan tanpa diam tidak menyapanya.

(وَإِذَا خَافَ) الزَّوْجُ (نُشُوْزَ الْمَرْأَةِ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ وَإِذَا بَانَ نُشُوْزُ الْمَرْأَةِ أَيْ ظَهَرَ (وَعَظَهَا) زَوْجُهَا بِلَا ضَرْبٍ وَلَا هَجْرٍ لَهَا

Seperti ucapannya pada sang istri, “takutlah engkau pada Allah di dalam hak yang wajib bagimu untukku. Dan ketahuilah sesungguhnya nusuz bisa menggugurkan kewajiban nafkah dan menggilir.”

كَقَوْلِهِ لَهَا “اتَّقِيْ اللهَ فِيْ الْحَقِّ الْوَاجِبِ لِيْ عَلَيْكَ وَاعْلَمِيْ أَنَّ النُّشُوْزَ مُسْقِطٌ لِلنَّفَقَةِ وَالْقَسْمِ”

Mencela suami bukanlah termasuk nusuz, namun dengan hal itu sang istri berhak diberi pengajaran sopan santun oleh suami menurut pendapat al ashah, dan ia tidak perlu melaporkannya pada seorang qadli.

وَلَيْسَ الشَّتْمُ لِلزَّوْجِ مِنَ النُّشُوْزِ بَلْ تَسْتَحِقُّ بِهِ التَّأْدِيْبَ مِنَ الزَّوْجِ فِيْ الْأَصَحِّ وَلَا يَرْفَعُهَا إِلَى الْقَاضِيْ

Jika setelah dinasihati ia tetap nusuz, maka sang suami mendiamkannya di tempat tidurnya, sehingga ia tidak menemaninya di tempat tidur.

(فَإِنْ أَبَتْ) بَعْدَ الْوَعْظِ (إِلَّا النُّشُوْزَ هَجَرَهَا) فِيْ مَضْجَعِهَا وَهُوَ فِرَاشُهَا فَلَا يُضَاجِعُهَا فِيْهِ

Mendiamkan tidak menyapanya dengan ucapan hukumnya haram dalam waktu lebih dari tiga hari.

وَهِجْرَانُهَا بِالْكَلَامِ حَرَامٌ فِيْمَا زَادَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ

Imam an Nawawi berkata di dalam kitab ar Raudlah, “sesungguhnya hukum haram tersebut adalah di dalam permasalan tidak menyapa tanpa ada udzur syar’i. Jika tidak demikian, maka hukumnya tidak haram lebih dari tiga hari.”

وَقَالَ فِيْ الرَّوْضَةِ أَنَّهُ فِيْ الْهَجْرِ بِغَيْرِ عُذْرٍ شَرْعِيٍّ وَإِلَّا فَلَا تَحْرُمُ الزِّيَادَةُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ

Jika sang istri tetap saja nusuz dengan berulang kali melakukannya, maka sang suami berhak tidak menyapa dan memukulnya dengan model pukulan mendidik pada sang istri.

(فَإِنْ أَقَامَتْ عَلَيْهِ) أَيِ النُّشُوْزِ بِتَكَرُّرِهِ مِنْهَا (هَجَرَهَا وَضَرَبَهَا) ضَرْبَ تَأْدِيْبٍ لَهَا

Dan jika pukulan tersebut menyebabkan kerusakan / luka / kematian, maka wajib bagi suami untuk mengganti rugi.

وَإِنْ أَفْضَى إِلَى التَّلَفِ وَجَبَ الْغَرْمُ

Sebab nusuz, giliran dan nafkah bagi sang istri menjadi gugur.

وَيَسْقُطُ بِالنُّشُوْزِ قَسْمُهَا وَنَفَقَتُهَا

Leave your comment here: