TANGGUNG JAWAB SIAPA KALAU BARANG PESANAN RUSAK KETIKA DI KIRIM
Beberapa kali kita mendengar adanya musibah. Segala musibah sudah menjadi ketentuan Allah ﷻ. Manusia hanya bisa berencana, namun Allah ﷻ jua yang menjadi penentu akhirnya.
Dalam setiap musibah, selalu ada saja korban. Tidak hanya nyawa, namun harta benda juga terpaksa melayang. Akibat gempa bumi, banyak bangunan rusak berat, termasuk gudang tempat penyimpanan barang dagangan ikut hancur sehingga barang-barang dagangan pun menjadi ikut hancur karenanya.
Pada musibah lain seperti kapal tenggelam, terkadang banyak melibatkan barang dagangan milik pedagang dari pulau seberang juga ikut raib karenanya. Tidak hanya puluhan juta, bahkan kadang mencapai ratusan juta hilang melayang. Itulah takdir Allah ﷻ. Sekali lagi, semua musibah ini mengingatkan kita akan sifat lemah seorang hamba di hadapan kemahakuasaan-Nya.
Yang sering menyisakan persoalan, adalah apabila terjadi musibah kapal tenggelam yang melibatkan raibnya harta pedagang sebelum sampai diterima oleh pemesan adalah siapakah sejatinya yang memiliki tanggung jawab/kewajiban untuk mengganti barang tersebut? Apakah pihak pemesan barang, ataukah pihak pedagang? Inilah yang akan menjadi fokus kajian fiqih muamalah kita kali ini. Tujuan kajian ini hanyalah berusaha mendudukkan fiqih sebagai wasit yang menengahi antara pedagang dan pembeli.
Sebelum kita mengupas mengenai hukum barang yang ikut raib dalam suatu musibah, terlebih dahulu kita perlu memerinci cara-cara pembeli dalam memesan barang. Setidaknya ada beberapa cara yang biasa dilakukan oleh pembeli dewasa ini dalam memesan barang, yaitu:
- Pemesanan via telepon langsung ke pihak pedagang supplier. Pemesanan via ini tidak syak lagi adalah dilakukan dengan jalan akad salam. Pemesan hanya menunjukkan daftar barang yang dipesan, selanjutnya meminta agar pihak supplier mengirimkan barang dagangan lewat jasa layanan transportasi/ekspedisi yang diinformasikan oleh pedagang pembeli.
- Pemesanan via telepon melalui wakil untuk diteruskan via pedagang supplier. Pemesanan via ini biasanya masuk kelompok akad wakalah. Pemesan melalui wakilnya mendatangi pedagang supplier dan menyerahkan daftar harga, kemudian barang diterima oleh wakil untuk dikirimkan via ekspedisi yang ditunjuk oleh pedagang pemesan.
- Pemesanan via telepon melalui makelar. Pemesanan via ini biasanya masuk kelompok akad samsarah. Pemesan biasanya meminta kepada seorang makelar untuk mencarikan barang sebagaimana daftar yang dibutuhkan, yang selanjutnya pihak makelar menentukan harga masing-masing barang tersebut.
Berdasarkan tipologi cara pemesanan pedagang pembeli ke pedagang supplier ini, maka selanjutnya kita bisa memilah hukum dari masing-masing tipologi pemesanan terhadap status barang yang dibeli. Sebelum lebih jauh melangkah ke hukum, ada sebuah kaidah dasar dalam ilmu fiqih, sebagaimana disampaikan Syekh Zainuddin al-Malaibary dalam kitabnya Fathu al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain berikut ini:
المبيع قبل قبضه من ضمان البائع
Artinya: “Barang dagangan sebelum diterima oleh pembeli adalah jaminan penjual.” (Zainuddin al-Malaibary, Fathu al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain, Surabaya: Al-Hidayah, tt., 70).
Berdasarkan kaidah ini, status barang yang masih dalam proses pengiriman, pada dasarnya adalah merupakan tanggung jawab pedagang supplier. Alasan sederhananya adalah karena barang tersebut belum sampai ke tangan pedagang pembeli, sehingga statusnya masih merupakan milik pedagang supplier. Jika suatu ketika terdapat kerusakan yang terjadi pada barang dagangan akibat cacat atau rusak karena pengiriman, maka cacat dan kerusakan itu adalah tanggung jawab dari pedagang supplier. Dan bila pedagang supplier tidak menjamin atas barang tersebut, maka akad jual beli otomatis menjadi fasakh (rusak) sehingga pedagang supplier wajib mengembalikan harganya kepada pembeli. Hal ini berdasar kelanjutan dari Syekh Zainuddin al-Malaibary di atas sebagai berikut:
بمعنى انفساخ البيع بتلفه أو إتلاف بائع وثبوت الخيار بتعيبه أو تعييب بائع أو أجنبي وبإتلاف أجنبي فلو تلف بآفة أو أتلفه البائع: انفسخ البيع
Artinya: “[Barang dagangan yang belum diterima pembeli termasuk jaminan pedagang supplier], maknanya adalah rusaknya akad jual beli adalah sebab rusaknya barang dagangan atau rusak oleh pedagang supplier sendiri. Tetapnya khiyar (mengembalikan barang) adalah (bergantung) pada sebab kecacatan barang, atau kecacatan yang disebabkan pedagang atau cacat akibat keteledoran orang lain atau bahkan cacat akibat dirusak orang lain. Oleh karena itu, bila barang rusak akibat suatu bencana atau rusak akibat keteledoran pedagang sendiri, maka rusaklah akad jual beli.” (Zainuddin al-Malaibary, Fathu al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain, Surabaya: Al-Hidayah, tt., 70).
Ibarat terakhir ini secara tegas menetapkan bahwa barang dagangan yang belum sampai ke pembeli dan rusak akibat adanya bencana (âfât), adalah merupakan bagian dari jaminan pedagang supplier sehingga pihak pedagang pembeli bisa mengajukan khiyar batalnya akad jual beli dan meminta kembali harga yang sudah diserahkan.
Bagaimana bila barang tersebut dibebankan kepada pedagang pembeli? Abu Ishaq Al-Syairazy dalam Al-Tanbīh fi al-Fiqhi al Imâm al-Syâfi’iy menjawabnya sebagai berikut:
لا يدخل المبيع في ضمان المشتري الا بالقبض ولا يستقر ملكه عليه الا بالقبض فان هلك قبل القبض انفسخ البيع
Artinya: “Barang dagangan tidak bisa masuk dalam jaminan pembeli kecuali lewat penerimaan. Status kepemilikan barang belum bisa ditetapkan padanya kecuali lewat penerimaan. Dan jika terjadi kerusakan sebelum penerimaan pembeli, maka rusak akad jual belinya.” (Abu Ishaq al-Syairazy, al-Tanbih fi al-Fiqhi al-Imâm al-Syâfi’iy, Beirut: Daru al-Kutub al-Ilmiyah, tt.: 1/87)
Berdasarkan keterangan ini, maka tetap sudah bahwa barang yang belum diterima oleh pedagang pembeli, adalah tidak bisa dibebankan kepada pedagang pembeli tersebut. Sepenuhnya barang yang masih ada dalam proses ekspedisi atau pengiriman adalah tanggung jawab supplier itu sendiri.
Apakah tanggung jawab pedagang supplier ini berlaku untuk ketiga jenis tipologi pemesanan barang sebagaimana sudah diungkapkan di atas?
Sebagaimana diketahui bahwa tipologi pemesanan barang yang pertama adalah dengan akad salam. Pada akad salam, transaksi jual beli terjadi secara langsung antara pedagang dan pembeli tanpa adanya pihak yang memperantarai. Penerimaan barang disampaikan via jasa ekspedisi pengiriman yang bisa dipilih dan disepakati bersama oleh pedagang ataupun pembelinya. Sifat kepemilikan barang oleh pembeli pemesan, adalah ditetapkan manakala barang tersebut telah sampai ke tangannya. Dengan demikian, selama dalam perjalanan itu, maka barang adalah masih status kepemilikan pedagang supplier, sehingga bila terjadi bencana di tengah pengiriman, maka pedagang supplier-lah yang menjadi penjamin barang tersebut.
Hal ini berbeda manakala pihak pedagang pembeli menyuruh orang sebagai wakilnya untuk membelikan barang. Bilamana hal ini terjadi, maka ketika wakil menerima barang, maka saat itu status kepemilikan barang sudah menjadi milik pihak yang mewakilkan yang diterima lewat tangan wakil. Bila terjadi kerusakan atau bencana dalam masa pengiriman oleh wakil, maka pihak pedagang pembeli sendirilah yang bertanggung jawab atas barang miliknya. Dengan demikian, pihak pedagang supplier bisa lepas tangan terhadap kerusakan barang.
Berbeda manakala pihak pedagang pembeli meminta bantuan makelar (samsarah). Karena pihak samsarah berperan mengambil harga baru terhadap barang dagangan yang dipesan oleh pembeli, maka bila terjadi kerusakan atau bencana dalam pengiriman barang sehingga barang tidak sampai kepada pembeli, pihak makelar-lah yang bertanggung jawab atas jaminan barang tersebut. Hal ini disebabkan kedudukan makelar tidak bisa disamakan dengan wakil. Status wakil adalah sama dengan muwakkil (orang yang mewakilkan). Ia digaji oleh orang yang mengangkatnya sebagai wakil dan hanya bertugas mewakilinya dalam akad transaksi. Sementara pihak samsarah seolah berperan sebagai pedagang baru yang menengahi antara supplier dengan pihak pedagang pembeli.
Wallahhu a’lam bish shawab.