PENCATATAN DAN PENGAMALAN SEBAGAI KUNCI ILMU BERMANFAAT
Meraih ilmu yang bermanfaat tidaklah mudah. Ribuan aral melintang siap menghadang. Otak brilian bukanlah jaminan. Malahan, tak sedikit orang-orang pintar yang mendalami ilmu agama bukannya mendapatkan ilmu bermanfaat, melainkan menjadi oknum-oknum ulama yang justru merongrong akidah agama.
Oleh karena itu, seorang murid yang hendak melangkahkan kakinya untuk menuntut ilmu haruslah terlebih dahulu mengetahui metode belajar yang tepat. Dalam hal ini panduan dari orang tua, para guru, atau mereka yang telah sukses sangatlah diperlukan.
Faktor utama penyebab gagalnya seseorang murid meraih ilmu Rasulullah Saw adalah metode belajar yang keliru. Salah guru, salah kitab dan kesalahan lainnya akan menyebabkan seorang murid salah jalan pula. Berikut adalah panduan tepat dalam meraih ilmu yang bermanfaat dari al-Imam Habib Ali bin Hasan al-Attas Shohib al-Masyhad.
“Ketahuilah sesungguhnya ilmu pengetahuan ibarat samudera yang tiada bertepi. Luqman al-Hakim pernah ditanya oleh puteranya, “Siapakah yang mampu menampung semua ilmu itu?” “Seluruh manusia” jawab al-Hakim. “Akan tetapi itu sebatas ilmu yang diberikan kepada manusia. Sedangkan Allah menurunkan ilmu di dunia ini dalam bagian yang sedikit saja.” Lanjutnya.
Oleh karena itu, dalam menuntut ilmu, prioritaskanlah ilmu-ilmu yang penting dan bersifat urgen. Mulailah dengan dengan mempelajari kitab-kitab ringkasan (Mukhtasar). Seperti ringkasan Abu Suja’ yang sudah diakui kualitasnya, disertai kitab Bidayatul Hidayah karya al-Ghazali, kitab al-Adzkar karya Imam an-Nawawi. Kemudian dilanjutkan dengan mempelajari kitab al-Minhaj karya an-Nawawi, disertai syarh-syarahnya juga apabila memungkinkan.
Setelah itu, pelajarilah kitab Risalah Qusyairiyah karya Syaikh Abdul Karim al-Qusyairi yang merupakan kitab pedoman bagi pengikut jalan ahlussunnah wal jama’ah. Demikian halnya kitab-kitab karya Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad. Karya-karyanya sangat bagus dan mendidik, terutama kitab an-Nashaih ad-Dinniyah. Kemudian pelajari pula kitab al-‘Awarif karya Syaikh Umar bin Muhammad as-Suhrawardi dan kita Ihya’ Ulumiddin karya Hujjatul Islam al-Ghazali.
Galilah ilmu-ilmu Al-Qur’an dan ilmu-ilmu alatnya yang akan membuatmu mengerti makna-makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Dan seandainya mampu, berusahalah menghafalkan Al-Qur’an. Karena terdapat keutamaan yang besar di dalam menghafalkannya. Rasulullah s.a.w bersabda, “Barangsiapa menghafalkan Al-Qur’an maka maqam nubuwah diturunkan ke dalam dirinya, hanya saja ia takkan pernah mendapatkan wahyu.” Bahkan Nabi Musa a.s pernah melukiskan sifat-sifat umat Nabi Muhammad s.a.w di dalam munajatnya. “kitab-kitab suci mereka ada di dalam dada mereka, sedangkan selain mereka membaca kitab suci melalui mushaf-mushaf.” Katanya. Imam Syafi’I berkata, “ apabila seseorang bersedekah dengan niat diberikan kepada qurra’ (orang yang ahli membaca Al-Qur’an), maka sedekah itu diberikan kepada orang-orang yang hafal Al-Qur’an. Dan apabila ada seseorang bersedekah dengan niat diberikan kepada orang yang paling berakal, maka sedekah itu diberikan kepada orang-orang yang berzuhud dari dunia.”
Diantara kitab-kitab tafsir yang sangat penting untuk dibaca dan dipelajari adalah tafsir karya Imam al-Husein bin Mas’ud al-Farra’ al-Baghawi. Tafsir al-Baghawi ini adalah bekal untuk menyelami lautan makna Kalamullah. Para imam Bani Alawi sangat menganjurkan para penuntut ilmu agar membaca tafsir al-Baghawi tersebut.
Jika memungkinkan, sempatkanlah diri mempelajari kitab-kitab adab seperti nahwu, lughot dan selainnya. Janganlah enggan membaca dan menelaahi kitab Maqaamaatul Hariri setelah mempelajarinya dan mendapatkan penjelasan dari seorang guru yang kompeten. Kitab tersebut menjadi referensi para salaf. Syaikh Ahmad bin ‘Ujail berkata, “Maqamatul Hariri adalah sepiring manisan. Kami telah mengambil manfaat yang sangat besar darinya.”
Bacalah pula karya al-Hariri yang lain, kitab al-Malhah. Sebagian ulama meyakini bahwa al-Hariri menyimpan sir-nya dalam kitab tersebut. Kitab ini disyarahi oleh Syaikh Abubakar bin Ali al-Qurasyi. Dan kitab mughni al-labib, karya Syaikh Jamaluddin Abdullah bin Yusuf bin Hisyam al-Anshori. Kitab mughni al-labib ini adalah kitab yang mengandung ilmu pengetahuan yang luas.
Dalam bidang sirah, bacalah kitab al-Iktifa’ karya al-Kula’i dan sirah karya Ibnu Sayid an-Nas.
Dalam bidang tarikh, bacalah kitab Mir’atul Janan wa ‘Ibratal Yaqdhan, karya Imam Abu Muhammad Abdullah bin As’ad bin Ali al-Yafi’i. dan kitab al-Khamis karya Imam Abul Hasan al-Bakrie dan kitab Thabaqat al-khawwas karya as-Syarji.
Dalam bidang hadits, bacalah kitab Shahih Bukhori dan Muslim, Sunan Abu Dawud, Turmudzi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Jami’ as-Shaghir karya Imam as-Suyuti dan kitab Taisiirul Wusul karya ad-Diba’i al-Yamani.
Untuk mengetahui hak-haknya Nabi Saw, bacalah kitab as-Syifa’ karya al-Qhadi ‘Iyadh. Sedangkan untuk mengetahui hak-hak keluarga Nabi Saw, bacalah kitab al-Iqdun Nabawi karya Habib Syaikh bin Abdullah al-‘Aydrus, kitab al-Jawharus Saffaf karya Syaikh al-Khatib, kitab al-Masra’ur Rawi karya sayid Muhammad bin Abubakar as-Syilli, dan kitab al-‘Ainiyah karya Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.
Selain kitab-kitab yang telah disebutkan, bacalah juga kumpulan-kumpulan kasidah yang dilazimi oleh para salaf. Diantaranya kasidah al-Hamaziyah dan Burdah karya Imam al-Bushiri beserta syarahnya yang ditulis oleh Syaikh Ibnu Hajar dan Imam al-Mahalli. Dan tatkala kalian mendapatkan permasalahan atau hujan yang tak kunjung diturunkan, bacalah kasidah al-Munfarijah karya Imam al-Bushiri. Maka dengan seizin Allah, segala permasalahan kalian akan mendapatkan jalan keluar dan hujan akan diturunkan.
Janganlah kalian menuntut ilmu kepada sembarangan orang. Akan tetapi carilah seorang guru (syaikh) yang memenuhi tujuh kriteria. Pertama, ilmu pengetahuannya luas. Kedua, sikapnya arif dan rendah hati. Ketiga, memiliki pemahaman yang dalam. Keempat, akhlak dan nasabnya mulia. Kelima, memiliki mata hati yang tajam. Keenam, berhati baik dan riwayat hidupnya baik. Ketujuh, memiliki mata rantai keilmuwan yang bersambung kepada rasulullah s.a.w. dan apabila ada seorang sayid (cucu nabi Saw) memenuhi tujuh kriteria tersebut , maka ia adalah seorang guru yang sempurna. Rasulullah s.a.w bersabda, “Ulama dari golongan Quraiys, ilmunya memenuhi seluruh penjuru bumi.”
Jika kalian mendapatkan seorang guru yang memenuhi kriteria di atas, maka serahkanlah diri kalian kepadanya, sandarkan semua urusan-urusanmu yang penting pada keputusannya, bersikaplah tawadhu kepadanya, jadikanlah ia sebagai perantara kalian untuk sampai kepada Allah, ambillah ijazah riwayat ilmu secara menyeluruh darinya, dapatkanlah ilbas khirqah dan talqin kalimat la ilaaha illallah darinya, ketahui dan penuhilah hak-haknya seperti yang tersebut dalam kitab Ihya’ ulumiddin karya Imam al-Ghozali dan kitab at-Tibyan karya Imam an-Nawawi.
Dan sudah sepantasnya apabila kalian menghormati guru kalian melebihi ulama-ulama yang lain. Dan janganlah sesekali menentang keputusan gurumu dalam setiap persoalan baik yang dhahir maupun yang bathin, agar kalian sampai ke tujuan. Abdullah bin Abbas berkata, “Aku menghinakan diri sewaktu menuntut ilmu, dan diriku menjadi mulia setelah meraihnya.” Bahkan ia tak malu mencium telapak kaki gurunya, Zaid bin Tsabit al-Khazraji.
Diceritakan pula bahwa kedua putera kesayangan Harun ar-Rasyid, al-Amin dan al-Makmun saling berebutan memasangkan sandal guru mereka, al-Kasa’i. sampai-sampai al-Kasa’i menengahi mereka dengan memberikan jalan keluar, yaitu masing-masing memasangkan satu sandal.
Dan janganlah lupa, apabila kalian telah mendapatkan ilmu, maka amalkanlah semampu kalian, disertai selalu memohon pertolongan kepada Allah Swt. “
Faedah Ilmu Terletak Pada Pengamalan dan Pencatatannya
Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi yang kita kenal sebagai penyusun kitab Maulid Simthud Duror, memiliki kepedulian tinggi dan amat bangga terhadap para penuntut ilmu. Sehingga semasa hidupnya, tidak jarang beliau menyempatkan diri duduk di serambi rumahnya untuk menyaksikan para pelajar yang berlalu-lalang di depan kediamannya, berangkat menuju ke tempat mereka menunut ilmu.
Dalam kumpulan kalam beliau yang disusun Habib Umar bin Muhammad Maula Khela, berjudul “Jawahirul Anfas Fii Maa Yurdli Rabban Naas” disebutkan, karena begitu bangganya kepada para penuntut ilmu Al Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi Ra pernah berkata, “Aku doakan agar kalian berumur panjang dan memperoleh fath. Ketahuilah setiap orang yang mengajar sesuai dengan ilmu yang dimiliki, kelak di hari kiamat akan mendapatkan syafaat Rasulullah SAW”.
Habib Ali tak dapat menyembunyikan kegembiraannya bila melihat para pelajar, sampai-sampai beliau berucap, “Jika aku bertemu pelajar yang membawa bukunya, ingin aku mencium kedua matanya”.
Suatu ketika, tepatnya pada hari Ahad, 11 Syawal 1322 Hijriyah, Al- Habib Ali mengundang dan menjamu para pelajar di suatu tempat yang dikenal dengan nama Anisah, yakni tempat yang rindang dan sejuk karena banyaknya pepohonan, sekitar 2 Km dari kota Sewun. Kepada para pelajar itu beliau berkata, “Ketahuilah, hari ini aku mengundang kalian untuk membangkitkan semangat kalian menuntut ilmu. Giatlah belajar, semoga Allah memberkahi kalian”
Tidak itu saja, beliau mengajak para pelajar itu serius menuntut ilmu, sebagaimana dilakukan para salafus shaleh. Dikatakannya, “Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut ilmu. Perhatikan para salaf kalian, mereka menghafal berbagai matan (naskah). Mereka telah hafal kitab Az-Zubad, Mulkah I’rob dan Al-Fiyah di masa kecilnya. Setelah dewasa ada yang telah hafal kitab Al Minhaj, Ihya’ Ulumiddin, dan lainnya”.
Beliau mengingatkan agar ketika menuntut ilmu, para pelajar tidak melalaikan peralatan tulisnya. Sebab, itu sudah menjadi kelengkapan bagi seorang penuntut ilmu yang dapat mendatangkan banyak kemanfaatan. Bahkan, menurutnya, jika tidak memperhatikan kelengkapan tersebut bisa mendatangkan aib baginya.
“Aku ingin setiap pelajar membawa alat-alat tulisnya ketika mengikuti pelajaran. Ketahuilah, keuntungan (faedah) ilmu terletak pada pengamalan dan pencatatannya. Sebaliknya, menjadi aib bagi seorang pelajar jika saat mengikuti pelajaran (menuntut ilmu) ia tidak membawa buku dan peralatan tulis lainnya,” tandasnya.
Larang Remehkan Anak-anak
Pada kesempatan tersebut, Al-Habib Ali benar-benar ingin menuntaskan nasehatnya kepada para pelajar yang amat dicintainya itu. Termasuk tidak sekali pun meremehkan nasihat yang diucapkan anak-anak. Beliau menuturkan, “Pelajarilah cara membunuh atau mengendalikan hawa nafsu, adab dan tata krama. Tuntutlah ilmu baik dari orang dewasa maupun anak-anak. Jika yang mengajarkan ilmu jauh lebih muda dari mu janganlah berkata, “Kami tidak mau belajar kepadanya, aib bagi kami”.
Habib juga mengingatkan pelajar agar tidak segan-segan mengulang pelajaran yang telah diterima dari gurunya. Malah, sebaiknya para pelajar dianjurkan untuk membacanya berkali-kali, sebelum guru pembimbing datang mengajarkan ilmunya. “Pelajarilah pelajaran yang hendak kalian bacakan di hadapan guru. Dengan demikian kalian akan memetik manfaatnya. Tauladani apa yang telah dilakukan oleh kebanyakan salaf kita, saat menuntut ilmu,” ajak beliau.
Beliau juga mencontohkan beberapa ulama besar dari kalangan aslafunas shaleh ketika mereka menuntut ilmu, diantaranya Al Habib Ahmad bin Zein Al-Habsyi yang membaca pelajarannya sebanyak 25 kali sebelum mengikuti pelajaran yang disampaikan gurunya. Setelah itu mempelajari lagi sebanyak 25 kali seusai menerima pelajaran dari gurunya. Bahkan, syeikh Fakhrur Razi mengulang-ulang pelajarannya sebanyak 1000 kali. “Sementara kalian hanya (baru) membuka buku ketika berada di depan guru,” tambah beliau mengingatkan.
Di tengah-tengah para pelajar yang serius mengikuti nasehat-nasehatnya, beliau mengingatkan mereka agar menjauhi sifat dengki dan iri hati. Karena kedua sifat ini dapat mencabut keberkahan ilmu yang telah diperoleh. Beliau juga menceritakan pengalamannya ketika masih belajar.
“Ketika aku masih menuntut ilmu di Mekah. Setiap malam aku bersama kakakku Husein dan Alwi Assegaf mempelajari 12 kitab Syarah dari Al Mihaj, lalu menghafalkan semuanya. Pernah pada suatu hari saat nisful lail (akhir malam) ayahku Al Habib Muhammad keluar dari kamarnya dan mendapati kami sedang belajar. Beliau berkata, Wahai anak-anakku kalian masih belajar? Semoga Allah SWT memberkati kalian”.
Bahaya Makanan Haram
Pada kesempatan lain Habib Ali menggambarkan betapa gembira Rasulullah SAW jika melihat umatnya bersungguh-sungguh thalabul (mencari) ‘ilmu, kemudian mengamalkannya, dan menyampaikan (menyebarkannya) kepada saudaranya sesama umat Islam.
Beliau berkata, “Tidak ada yang lebih menggembirakan hati Rasulullah Muhammad SAW dari melihat upaya umat beliau menuntut ilmu, lalu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-harinya, dan menyebarkannya kepada saudaranya. Adakah yang lebih berharga dibandingkan kebahagiaan Habibi Muhammad SAW itu ? Dunia dan akhirat beserta segenap isinya tak mampu menyamai kebahagiaan beliau SAW”
Namun, beliau juga mengakui saat itu telah melihat gejala menurunnya semangat menuntut ilmu agama dan mengamalkan serta menyebarluaskannya di kalangan kaum muslimin. Menurutnya, semangat itu telah tidur terlalu lama, bahkan dikhawatirkan akan mati dalam tidurnya. Semangat itu telah hilang, cinta kepada ilmu telah menipis, keinginan berbuat kebajikan semakin melemah. Barangkali itu merupakan gejala awal rusaknya watak manusia. Putra Habib Muhammad Al-Habsyi ini menyatakan, penyebab utama semua itu adalah telah dikonsumsinya makanan haram oleh sebagian, atau bahkan kebanyakan umat Islam.
Diriwayatkan, bahwa Imam Haromain setiap kali ditanya seseorang selalu dapat menjawab. Imam Haromain adalah salah seorang yang menjadi rujukan (tempat bertanya) masyarakat di zamannya. Beliau menghafal ucapan guru beliau, Abu Bakar Al Baqillaniy yang tertulis dalam 12000 lembar kertas mengenai ilmu ushul. Sedangkan, Imam Sufyan bin Uyainah telah menghafal Al Qur’an dan menerangkan makna-maknanya di depan para ulama ketika ia masih usia 4 tahun. Kapan ia membaca Al Qur’an dan menghafalnya, serta kapan ia mempelajari makna-maknanya ?.
Namun suatu kali Imam Haromain ini tidak berkutik dan tidak dapat menjawab ketika menerima pertanyaan. Orang yang bertanya itu kemudian menanyakan mengapa sampai demikian, tidak biasanya beliau tak bisa menjawab. Lalu, Imam Haromain itu kemudian menjawab, “Mungkin ada susu yang masih tersisa di tubuhku”.
Sang penanya semakin penasaran apa yang dimaksud Imam Haromain. Dia kemudian bertanya lagi, “Apa maksudmu wahai Imam ?”. Beliau menjawab, “Dahulu ketika aku masih menyusui, ayahku sangat wara’ (berhati-hati) dalam menjaga kehalalan dan kebersihan minumanku. Beliau tidak membiarkan ibuku makan sesuatu kecuali yang benar-benar halal”.
Al Imam melanjutkan, “Suatu hari seorang budak wanita keluarga Fulan masuk ke rumah kami, tanpa sepengetahuan ibuku. Budak itu meletakkan aku di pangkuannya kemudian menyusuiku. Mengetahui hal itu ayahku sangat marah lalu memasukkan jari tangannya ke dalam mulutku, sehingga aku dapat memuntahkan semua susu yang baru saja kuminum dari budak itu. Namun, rupanya masih ada susu yang tersisa”.
Akhirnya Al Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi berwasiat kepada anak cucu dan keturunannya, termasuk kita semua, agar selalu meniru sikap dan tindakan para salaf ketika mencari ilmu dan beramal ibadah. Beliau berkata, “Wahai anak-anakku sekalian, jika kalian mau berusaha dengan sungguh-sunguh, maka bagimu kesempatan masih amat terbuka. Tauladani amal para salaf. Janganlah kalian menganggap mustahil mujahadah yang telah dilakukan orang-orang terdahulu, sebab mereka diberi kekuatan dhohir-bathin oleh Allah SWT”.
Beliau semakin menekankan perlunya mencontoh amal para salaf. Dituturkannya, “Mereka juga mempunyai niat dan tekad yang kuat untuk mencontoh para pendahulunya dalam berilmu dan beramal. Ketahuilah tidak ada yang menyebabkan manusia rugi, kecuali keengganan mereka mengkaji buku-buku sejarah kehidupan kaum sholihin. Jika riwayat hidup mereka dibacakan kepada orang mukmin, iman mereka akan semakin teguh kepada Allah SWT”.