PEMBAHASAN MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH SECARA LENGKAP

PEMBAHASAN MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH SECARA LENGKAP

Tiga Langkah Mudah Menunaikan Zakat Fitri

Wajibnya Membayar Zakat Fitri

Zakat Fitri hukumnya wajib. Allah Ta’ala berfirman,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan itu” (QS. Asy Syams: 9).

Sebagian salaf mengatakan bahwa makna tazakki (mensucikan) dalam ayat ini adalah “menunaikan zakat fitri” (Al-Mulakhash Al-Fiqhi, 1/350).

Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu beliau mengatakan:

فرَض رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم زكاةَ الفِطرِ، صاعًا من تمرٍ أو صاعًا من شعيرٍ، على العبدِ والحرِّ، والذكرِ والأنثى، والصغيرِ والكبيرِ، من المسلمينَ، وأمَر بها أن تؤدَّى قبلَ خروجِ الناسِ إلى الصلاةِ

 “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fitri, berupa 1 sha’ kurma atau satu sha’ gandum kepada hamba sahaya maupun orang yang merdeka, baik laki-laki atau perempuan, baik anak kecil maupun orang dewasa dari kalangan kaum Muslimin. Dan beliau memerintahkan untuk menunaikannya sebelum orang-orang keluar untuk shalat ‘Id” (HR. Bukhari no.1503, Muslim no. 984).

Para ulama juga ijma (sepakat) bahwa menunaikan zakat fitri hukumnya wajib. Namun zakat fitri hanya wajib bagi orang yang memiliki kelebihan makanan sebesar satu sha’ di saat menjelang Idul Fitri. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Durarus Saniyyah:

لا تجِبُ زكاةُ الفِطر على مُعسرٍ وَقتَ الوُجوبِ. الدَّليلُ مِنَ الإجماعِ: نقل الإجماعَ على أنَّ مَن لا شيءَ له، لا فِطرةَ عليه: ابنُ المُنْذِر ، والرمليُّ

 “Tidak wajib zakat fitri bagi orang yang kesulitan makanan di waktu wajibnya mengeluarkan zakat fitri (yaitu menjelang Id). Dalilnya dari ijma: telah dinukil ijma ulama oleh Ibnu Mudzir dan Ar Ramli, bahwa orang yang tidak memiliki makanan maka tidak wajib mengeluarkan zakat fitri.”

Allah Ta’ala berfirman,

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani manusia dengan sesuatu yang di luar kemampuannya” (QS. Al Baqarah: 286).

Tata Cara Menunaikan Zakat Fitri

Langkah 1: Siapkan Zakat Anda

Zakat Fitri dalam Bentuk Apa?

Siapkan zakat Anda, yaitu berupa makanan yang biasa dimakan di negeri tempat Anda tinggal. Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan, “jenis zakat yang dikeluarkan adalah makanan yang secara umum dimakan oleh penduduk negeri, baik itu burr (gandum), sya’ir (gandum), tamr (kurma), zabib, qith atau jenis makanan yang lain yang biasa dimakan dan dimanfaatkan oleh penduduk negeri seperti beras, jagung, dan yang menjadi makanan pokok orang-orang di masing-masing negeri” (Al-Mulakhas Al-Fiqhi, 1/351). Maka di negeri kita Indonesia makanan yang bisa digunakan untuk menunaikan zakat fitri adalah semisal beras atau makanan lainnya yang menjadi makanan pokok di sebagian daerah.

Zakat fitri wajib berupa makanan karena itulah yang disebutkan dalam dalil-dalil. Sebagaimana riwayat lain dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma,

فرضَ رسولُ اللهِ زكاةَ الفِطرِ طُهرةً للصَّائِمِ من اللَّغوِ و الرَّفَثِ وطُعمَةً للمساكينِ

 “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fitri untuk mensucikan orang-orang yang berpuasa dari laghwun dan rafats dan untuk memberi makan orang-orang miskin” (HR. Abu Daud no. 1609, Shahih Abu Daud).

Juga dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu’anhu, beliau berkata,

كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ

“Kami dahulu biasa mengeluarkan zakat fitri berupa satu sha’ makanan” (HR. Bukhari no. 1506, Muslim no. 985).

Oleh karena itu, tidak tepat mengeluarkan zakat fitri dengan uang karena yang disebutkan dalil-dalil adalah makanan. Sedangkan di zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pun sudah ada uang namun mereka tidak menunaikan zakat fitri dengan uang. Tidak bolehnya mengeluarkan zakat fitri dengan uang adalah pendapat jumhur ulama dari Syafi’iyyah, Hanabilah dan Malikiyyah. Sedangkan mengeluarkan zakat fitri dengan qimah (nilai), semisal membayarnya dengan uang, ini pendapat Hanafiyyah.

 

Berapa Kadar Makanan yang Dikeluarkan?

Kadar makanan yang dikeluarkan adalah satu sha’ sebagaimana disebutkan dalam hadits. Satu sha’ adalah empat mud, dan satu mud itu seukuran penuh telapak tangan orang dewasa normal jika digabungkan, atau sekitar 3 kg.

زكاة الفطر مقدارها بصاعنا الآن ثلاثة كيلو تقريبًا؛ لأنه خمسة أرطال بصاع النبي صلى الله عليه وسلم، وهو باليدين الممتلئتين المتوسطتين أربع مرات، كما ذكر في القاموس وغيره

“Kadar zakat fitri zaman sekarang adalah sekitar 3 kg. Karena satu sha’ Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah semisal dengan lima rathl, yaitu seukuran penuh telapak tangan orang dewasa normal sebanyak empat kali.

Ada beberapa perbedaan dalam konversi satu sha kepada ukuran lain seperti kilogram, namun jika seseorang mengeluarkan zakat fitri sebanyak 3 kg itu sudah pasti melebihi kadar yang disyaratkan. Dan jika ada kelebihannya maka teranggap sebagai sedekah.

Langkah 2: Niat Zakat Fitri

Menetapkan niat dalam hati untuk mengeluarkan zakat fitri atas nama diri sendiri dan juga orang-orang yang berada dalam tanggungannya. Sebagimana disebutkan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma:

أمر رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بصدقةِ الفطرِ عن الصغيرِ والكبير ِوالحُرّ والعبدِ ممَّنْ تمونونَ

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengeluarkan zakat fitri bagi anak-anak maupun orang dewasa, orang merdeka maupun hamba sahaya, yaitu orang-orang yang menjadi tanggungannya” (HR. Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya, 2/330, dihasankan Al-Albani dalam Irwaul Ghalil no. 835).

 “orang-orang yang menjadi tanggungannya adalah orang-orang yang wajib dinafkahi”. Maka seorang ayah mengeluarkan zakat untuk anak-anak dan istrinya. Seorang pemilik budak mengeluarkan zakat untuk budaknya. Dan disunnahkan untuk mengeluarkan zakat bagi janin yang belum lahir.

“Orang yang zakat fitrinya menjadi tanggungan orang lain, jika ia mengeluarkan zakat fitrinya dengan harta sendiri tanpa izin orang yang menanggung dia, ini sah dan boleh. Karena memang pada asalnya kewajiban itu ada pada dirinya. Adapun orang lain yang menanggung itu mendapat limpahan kewajiban, namun bukan asal. Lalu jika seseorang membayarkan zakat fitri untuk orang lain yang bukan tanggungannya, dengan seizinnya maka boleh dan sah. Namun tidak boleh jika tanpa izin maka tidak boleh dan tidak sah”.

Langkah 3: Serahkan Zakat Fitri

Kepada Siapa Diserahkan?

Menyerahkan zakat fitri kepada mustahiq (orang yang berhak menerima zakat). Yaitu orang-orang faqir dan miskin. Sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma,

فرضَ رسولُ اللهِ زكاةَ الفِطرِ طُهرةً للصَّائِمِ من اللَّغوِ و الرَّفَثِ وطُعمَةً للمساكينِ

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fitri untuk mensucikan orang-orang yang berpuasa dari laghwun dan rafats, dan untuk memberi makan orang-orang miskin” (HR. Abu Daud no. 1609, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

Atau boleh juga diwakilkan penyerahannya kepada orang yang akan menyalurkannya kepada orang-orang miskin.

Kapan Zakat Diserahkan?

Waktu paling utama dalam mengeluarkan zakat fitri adalah sebelum melaksanakan shalat ‘Id. Sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma,

فرَض رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم زكاةَ الفِطرِ، صاعًا من تمرٍ أو صاعًا من شعيرٍ، على العبدِ والحرِّ، والذكرِ والأنثى، والصغيرِ والكبيرِ، من المسلمينَ، وأمَر بها أن تؤدَّى قبلَ خروجِ الناسِ إلى الصلاةِ

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fitri, berupa satu sha’ kurman atau satu sha’ gandum kepada hamba sahaya maupun orang yang merdeka, baik laki-laki atau perempuan, baik anak kecil maupun orang dewasa dari kalangan kaum Muslimin. Dan beliau memerintahkan untuk menunaikannya sebelum orang-orang keluar untuk shalat ‘Id” (HR. Bukhari no.1503, Muslim no. 984).

Boleh disegerakan satu atau dua hari sebelum Id. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhuma:

كان ابنُ عُمَرَ رضي اللهُ عنهما : يُعطيها الذين يَقبَلونَها، وكانوا يُعطونَ قبلَ الفِطرِ بيومٍ أو يومينِ

“Ibnu Umar radhiallahu’anhuma biasa memberikan zakat fitri kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Dan para sahabat biasa memberikan zakat fitri satu atau dua hari sebelum Idul Fitri” (HR. Bukhari no. 1511).

Tidak boleh mengeluarkan zakat fitri lebih awal dari itu, kecuali dalam kondisi darurat atau ada kebutuhan mendesak. Syaikh Khalid Al-Mushlih mengatakan,

وهذا فيه أنه يجوز تقديم إخراجها للحاجة، فإذا دعت الحاجة إلى إخراجها من أول الشهر فالذي يظهر جواز ذلك

“Dalam hadits ini (hadits Ibnu Umar) bisa diambil faidah bolehnya mengeluarkan zakat fitri lebih awal karena adanya suatu kebutuhan. Jika ada kebutuhan mendesak untuk mengeluarkannya di awal-awal bulan Ramadhan, maka menurutku tidak mengapa” (Sumber: https://ar.islamway.net/fatwa/33657).

Karena tujuannya diberikannya zakat fitri adalah agar orang-orang miskin merasakan kegembiraan di hari raya karena mereka memiliki makanan yang bisa mereka makan di hari raya. Tujuan ini akan terwujud dengan sebenar-benarnya jika makanan dari zakat fitri diberikan mendekati hari raya. Wallahu a’lam.

Perlukah Mengucapkan Lafadz Akad Ijab-Qabul?

Para ulama menjelaskan bahwa dalam transaksi atau muamalah sedekah, tidak diwajibkan lafadz ijab-qabul. Dan zakat fitri termasuk sedekah, yaitu sedekah yang wajib. Maka cukup menyerahkan harta kepada penerimanya, itu sudah sah. Dalilnya hadits berikut,

أخذ الحسن بن علي تمرة من تمر الصدقة فجعلها في فيه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كخ كخ ارم بها أما علمت أنا لا نأكل الصدقة ؟

“Al-Hasan bin Ali mengambil sebuah kurma dari kurma sedekah, lalu meletakkannya di mulutnya. Lalu Rasulullah shallallahu‘alahi wa sallam berkata, “kuh.. kuh.. ayo keluarkan! Tidakkah Engkau tahu bahwa sesungguhnya kita (keluarga Nabi) tidak memakan harta sedekah?” (HR. Muslim).

Al-Hafidz Al-Iraqi, ulama besar madzhab Syafi’i menjelaskan hadits ini. Dalam hadits ini ada faidah bahwa tidak disyaratkan lafadz ijab-qabul pada hadiah dan sedekah. Bahkan cukup dengan menyerahkannya dan memindahkannya. Karena Salman radhi’allahu’anhu hanya sekedar meletakkan (kurma tersebut). Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Salman dalam rangka membedakan kurma tersebut hadiah yang mubah ataukah sedekah yang haram (bagi beliau). Tidak ada lafadz qabul dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika menerimanya. Inilah yang shahih, yang dipegang oleh madzhab Asy-Syafi’i dan ditegaskan oleh lebih dari satu ulama Syafi’iyyah, dan mereka berdalil dengan hadits ini. Dan juga hadits-hadits lain yang menceritakan tentang diberikannya hadiah kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau menerimanya tanpa mengucapkan satu lafadz pun. Dan ini lah yang terjadi di masa Nabi ketika itu. Oleh karena itu, mereka biasa memberikan sesuatu kepada anak kecil yang (lafadz ijab-qabul) tidak ada maknanya bagi mereka. Dan dalam masalah ini tidak benar sisi pandang sebagian ulama madzhab Syafi’i yang mensyaratkan lafadz ijab-qabul seperti dalam jual beli, hibah, dan wasiat. Dan ini merupakan pendapat Syaikh Abu Hamid Al-Ghazali dan murid-murid beliau” (Tharhu At Tatsrib fi Syarh At Taqrib, 4/40).

Membayar zakat fitri tidak diwajibkan adanya lafadz ijab-qabul, hukumnya sah walau tanpa lafadz ijab-qabul. Tetapi ketika di akadi dengan ijab dan qobul akan lebih baik.

 

Siapakah yang Berhak Menerima Zakat Fithri?

 

Para ulama berselisih pendapat tentang siapakah yang berhak menerima zakat fithri. Mereka rahimahumullah terbagi ke dalam dua pendapat.

Pendapat pertama, zakat fithri boleh diberikan kepada delapan golongan penerima zakat yang disebutkan dalam surat At-Taubah,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ

“Sesungguhnya, zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.” (QS. At-Taubah [9]: 60)

Ini adalah pendapat mayoritas (jumhur) ulama. Alasannya, ayat di atas bersifat umum, yang mencakup semua bentuk zakat yang wajib ditunaikan, termasuk zakat fithri.

Pendapat ke dua, zakat fithri hanya boleh diberikan kepada golongan fakir dan miskin saja. Para ulama yang mengemukakan pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

“Rasulullah mewajibkan zakat fithri untuk membersihkan orang-orang yang berpuasa perkataan yang sia-sia dan perkataan kotor, dan juga untuk memberi makan orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat (hari raya), maka zakatnya diterima (sah, pen.). Barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat (hari raya), maka hanya termasuk sedekah dari sedekah-sedekah biasa.” (HR. Abu Dawud no. 1609, hadits hasan)

Dalam riwayat di atas, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan bahwa zakat fithri ditujukan untuk memberi makan orang miskin.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

”Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengkhususkan zakat fithri hanya untuk orang miskin saja. Beliau tidak pernah mebagikannya kepada delapan golongan penerima zakat, beliau tidak pernah pula memerintahkannya. Demikian pula para shahabat dan orang-orang setelah mereka tidak ada seorang pun yang melakukannya. Bahkan salah satu di antara dua pendapat kami mengatakan bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat fithri kecuali hanya untuk orang miskin saja. Pendapat inilah yang lebih kuat daripada pendapat yang menyatakan wajibnya membagi zakat fithri kepada delapan golongan penerima zakat.”

Syaikh Muhammad Nashiruddin berkata,

ليس في السنة العملية ما يشهد لهذا التوزيع بل قوله صلى الله عليه و سلم في حديث ابن عباس : ” . . وطعمة للمساكين ” يفيد حصرها بالمساكين والآية إنما هي في صدقات الأموال لا صدقة الفطر بدليل ما قبلها وهو قوله تعالى : ( ومنهم من يلمزك في الصدقات فإن أعطوا منها رضوا )

”Tidak terdapat dalam sunnah yang diamalkan yang menunjukkan pembagian ini (yaitu pembagian zakat fithri kepada delapan golongan penerima zakat, pen.). Bahkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits (yang diriwayatkan dari) Ibnu ‘Abbas, ‘ … dan memberi makan bagi orang miskin’, menunjukkan pengkhususan zakat fithri hanya untuk orang miskin saja. Adapun surat At-Taubah ayat 60 hanyalah berkaitan dengan masalah zakat mal, bukan berkaitan dengan zakat fithri, dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu firman Allah Ta’ala, ‘Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati (QS. At-Taubah [9]: 58).’”

Pendapat ke dua ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaukani rahimahumallah. Dan pendapat ke dua inilah pendapat yang lebih kuat.

 

Mewakilkan untuk Dibelikan Beras Saat Membayar Zakat Fitrah

Salah satu solusi bagi mereka yang hanya ingin “mengeluarkan uang” untuk membayar zakat fitrah adalah mewakilkannya dengan akad “wakalah” (perwakilan). Perlu dicatat kata: “mengeluarkan uang untuk”, maksudnya bukan membayar zakat fitrah dengan uang, tetapi mengeluarkan uang untuk dititipkan (diwakilkan) kepada pengurus masjid untuk dibelikan beras dan dibayarkan zakat fitrah atas nama orang tersebut (yang mengeluarkan uang dan mewakilkan) serta akan dibagikan kepada orang miskin.

Pendapat terkuat bahwa membayar zakat fitrah tidak boleh dengan uang, karena di zaman Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam sudah ada uang yaitu dinar dan dirham, akan tetapi beliau tidak memerintahkan dengan uang, tetapi dengan makanan pokok saat itu. Seandainya saat itu boleh memakai uang untuk bayar zakat fitrah, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya pada para sahabat saat itu juga.

Hal ini termasuk dalam kaidah:

تَأْخِيرَ البَيَانِ عَنْ وَقْتِ الحَاجَةِ لَا يَجُوزُ

“Mengakhirkan penjelasan dari waktu yang saat itu butuh penjelasan adalah tidak boleh.”

Pendapat yang memperbolehkan menggunakan uang ada syaratnya, yaitu saat itu ada hajat khusus dan darurat, semisal saat itu semua sudah ada makanan pokok (beras) dan sangat kurang uang untuk memenuhi kebutuhan pokok (primer) yang lebih penting.

Pendapat mayoritas ulama bahwa zakat fitrah harus dengan makanan pokok

Hal ini berdasarkan dzahir hadits tentang zakat fitrah. Dari Abu Sa’id Al-Khudri berkata,

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: كنا نخرج في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم الفطر صاعا من طعام. وقال أبو سعيد: وكان طعامنا الشعير والزبيب والأقط والتمر

“Dahulu kami di masa Rasulullahu shallallahu ;alahi wa sallam mengeluarkan/menunaikan zakat (fitrah) pada hari raya idul fitri satu sha’ bahan makanan’, kemudian ia berkata: Makanan kami saat itu ialah gandum, zabib (kismis), susu kering, dan kurma.” [HR. Bukhari]

An-Nawawi menjelaskan bahwa mayoritas ulama tidak membolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan uang. Beliau berkata,

ولم يُجِزْ عامَّةُ الفُقَهاءِ إخراجَ القيمةِ وأجازَهُ أبو حنيفة

 “Mayoritas ulama tidak membolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan uang, yang membolehkan adalah Abu Hanifah.” [Syarh Muslim 7/60]

Demikian juga penjelasan syaikh Abdul Aziz bin Baz, beliau berkata,

الواجب إخراجها طعامًا، هذا الذي عليه جمهور أهل العلم، صاعًا من قوت البلد من تمر أو شعير أو أرز، من قوت البلد صاع، هذا هو الواجب عن كل نفس؛ عن الرجل والأنثى والصغير والكبير، وقال جماعة من أهل العلم: يجوز إخراجها نقدًا. ولكنه قول ضعيف

 “Yang wajib adalah mengeluarkan zakat fitrah dengan makanan (pokok). Ini adalah pendapat jumhur ulama yaitu satu sha’ dari makanan pokok negeri tersebut berupa kurma, gandum atau beras. Zakat ini wajib bagi setiap orang, baik itu laki-laki, wanita, kecil dan besar. Sebagian ulama membolehkan dengan uang, akan tetapi ini pendapat yang lemah.” [Sumber: binbaz.org.sa/fatwas/13879]

Adapun mengeluarkan zakat fitrah dengan uang berdasarkan pendapat beberapa ulama dan perbuatan tabi’in. Misalnya:

Hasan Al-Bashri berkata,

لا بأس أن تعطى الدراهم في صدقة الفطر

“Tidak mengapa mengeluarkan dirham untuk membayar zakat fitrah.”

Abu Ishaq berkata,

أدركتُهم وهم يُعطُون في صدقة الفطر الدراهمَ بقيمة الطعام

 “Saya mendapati mereka membayar zakat fitrah dengan dirham seharga makanan pokok.”

Demikian juga surat Umar bin Abdul Aziz perintah tentang zakat fitrah:

نصف صاع عن كل إنسان أو قيمته نصف درهم

 “Setengah sha’ bagi setiap orang ATAU uang seharga itu yaitu setengah dirham.”

Zakat Fitrah untuk Janin

Sebagaimana kita ketahui bahwa zakat fitrah itu wajib bagi laki-laki dan perempuan baik sudah baligh maupun belum baligh (bayi umur satu hari pun wajib dikeluarkan zakat fitrahnya), kemudian muncul pertanyaan, bagaimana dengan janin yang berada di dalam kandungan? Apakah wajib dikeluarkan zakat fitrah atau tidak?

Jawabannya: Zakat fitrah pada janin hukumnya Sunnah tidak wajib

Sebagian ulama menyebutkan bahwa memberikan zakat pada janin berdasarkan perbuatan sahabat Utsman bin Affan. Ibnu Hazm berkata,

ولا يعرف لعثمان في هذا مخالف من الصحابة

“Tidak diketahui dari perbuatan Utsman (menunaikan zakat fitrah janin) ini menyelisihi sahabat yang lainnya.” [Al-Muhalla 6/132]

Ada pendapat juga yang menyatakan bahwa zakat janin wajib ketika berumur 120 hari karena telah ditiupkan ruh, akan tetapi pendapat ini kurang kuat karena janin belum tentu lahir dengan selamat dan bisa jadi mati dalam kandungan. Dalam Fatwa Al-Hindiyah dijelaskan:

ولا يؤذى عن الجنين لأنه لا يعرف حياته

“Tidak ditunaikan zakat fitrah dari janin, karena tidak bisa dipastikan janin tersebut hidup.” [Fatawa Al-Hindiyyah, kitab zakat hal. 211]

Pendapat terkuat bahwa zakat fitrah pada janin hukumnya sunnah, tidak sampai tahap wajib. Asy-Syaukani menjelaskan bahwa ini adalah ijma’ ulama, beliau berkata,

أن ابن المنذر نقل الإجماع على أنها لا تجب عن الجنين، وكان أحمد يستحبه ولا يوجبه

 “Ibnu Mundzir menukilkan klaim ijma’ bahwa tidak wajib zakat fitrah bagi janin. Imam Ahmad menyatakan hukumnya sunnah dan tidak mewajibkannya.” [Nailul Authar 4/181]

Leave your comment here: