ESENSI IBADAH QURBAN DAN PENJELASAN LENGKAP IBADAH QURBAN

ESENSI IBADAH QURBAN DAN PENJELASAN LENGKAP IBADAH QURBAN

Hukum menyembelih hewan qurban adalah sunnah muakkad bagi muslim, yang baligh dan berakal. Tiga hal yang barusan juga menjadi syarat atas setiap perintah yang wajib dan yang sunnah. Khusus untuk melaksanakan ibadah Qurban, disyaratkan pula mampu secara ekonomi untuk melaksanakannya sebagaimana ibadah haji.

Rincian penjelasan mengenai siapa yang dianjurkan berqurban sebagai berikut. Pertama, anak yang telah dapat dikategorikan mumayyiz (anak yang mampu membedakan yang mudarat dan mafsadat) bahkan sudah tergolong murahiq (mendekati usia baligh) belum disunnahkan untuk beribadah qurban, tetapi sah bila melaksanakannya sebagaimana ia belum wajib melaksanakan puasa tetapi sah bila melaksanakannya.;

Kedua, anak kecil yang belum dapat digolongkan mumayyis termasuk juga anak balita tidak sah melaksanakan ibadah qurban, tetapi boleh dan sah bagi ayahnya meniatkan ibadah qurban untuknya.

Ketiga, orang yang dikategorikan mempunyai kemampuan untuk beribadah qurban adalah orang yang pada hari ke 10, 11, 12, 13 mempunyai kelebihan yang cukup untuk beribadah qurban dari kebutuhan primer hidupnya sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.

Penjelasan tersebut antara lain diperoleh dari kitab Muhnil Muhtaj karya Muhammad Khotib As Syarbini, Jilid II hal 283 dan Khowasyi Syrwani karya Abdul Hamid asy-Syarwani, Jilid IX hal 367.

Untuk Siapa Daging Qurban?

Bolehkah orang yang beribadah qurban memakan daging qurbannya sendiri? Menurut mazhab Syafi’ii, Maliki, dan Hanafi, orang yang beribadah qurban boleh hukumnya untuk memakan daging qurbannya sendiri, dan boleh pula bagi keluarganya yang menjadi tanggungjawabnya untuk ikut serta memakannya. Bahkan sunnah untuk memakan daging qurbannya sendiri. Sedangkan menurut mazhab Hanbali adalah wajib memakannya.

Syeikh Muhyiddin bin Syarf an-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzab, Jilid I hal 306, mengutip dua pendapat Imam Syafi’i mengenai berapa bagian yang diperbolehkan bagi orang yang berqurban dan berapa bagian untuk disedekahkan.

Imam Syafi’i, pertama-tama menyatakan, diperbolehkan mengambil setengah bagiannya untuk yang berqurban dan keluarganya. Ini disarikan dari ayat Al-Qur’an:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS Al-Hajj 22: 28)

Pendapat itu diperbaharui oleh Imam Syafi’i (dalam qaul jadid-nya): Orang yang berkurban dan keluarganya hanya boleh mengambil sepertiga dari daging hewan qurbannya. Ini berdasarkan firman Alllah SWT:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرّ

Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. (QS Al-Hajj 22: 36).

Dalam Syarh al-Muhadzab dijelaskan, maksudh dari “al-qani’” dalam ayat diatas adalah warga sekitar rumah orang yang berqurban, sementara “al-mu’tar” adalah orang yang mengharap atau meminta daging qurban itu. Dengan demikian diperoleh tiga bagian dalam ayat di atas, yakni sepertiga untuk orang yang berkurban dan keluarganya, sementara dua pertiganya lagi untuk dibagikan kepada orang lain.

Daging qurban lebih dianjurkan untuk diberikan kepada warga muslim yang fakir dan miskin dengan niat shadaqah. Jikalau daging itu diberikan kepada muslim yang dapat dikategorikan kaya (cukup dan terpenuhi ekonominya) maka daging itu diberikan dengan niat memberikan hadiah, karena sedianya shadaqah atau sedekah itu bukan untuk orang yang sudah kaya.

Ditambahkan, menurut madzhab Syafi’i, tidak boleh memberikan daging qurban kepada selain muslim, sebagaimana zakat fitrah, karena ia tidak digolongkan termasuk orang yang berhak menerimanya. Demikian pula menurut matzhab Malikiyyah.

 

Daging Dibagikan Mentah atau Dimasak?

Tidak boleh memberikan kepada fakir dan miskin daging qurban setelah dimasak atau dalam bentuk jamuan makan bersama secara keseluruhan karena hak mereka adalah hak kepemilikan dan bukan hak untuk makan, sehingga mereka akan dapat memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan, misalnya mereka butuh untuk menjualnya.

Akan tetapi, boleh juga memberikannya sebagiannya dalam bentuk daging mentah dan sebagian lainnya setelah dimasak atau dalam bentuk jamuan makan bersama. Hal ini berbeda dengan pemberian kepada orang kaya (cukup ekonominya), yakni boleh memberikan kepadanya daging qurban setelah dimasak atau dalam bentuk jamuan makan bersama.

Demikian penjelasan Syeikh Muhyiddin bin Syarf an-Nawawi dalam kitab Roudlotut Tholibin, Jilid III hal 222, dan Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Minhajul Qowim, I hal 631.

Syarat-Syarat Sah Qurban

Pelaksanaan penyembelihan hewan qurban telah diatur sedemikian rupa oleh syari’at Islam, mulai dari waktu, tempat, jenis-jenis hewan yang disembelih beserta umurnya dan kepada siapa daging kurban itu dibagikan, semua ini telah dijelaskan oleh para ulama’-ulama’ fiqih terdahulu.

Berbeda dengan penyembelihan hewan biasa yang tidak terikat dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana hewan qurban, karena hal itu bisa dilakukan kapan saja, siapa saja dan untuk siapa saja dibagikan.

Udhiyyah atau berkurban termasuk salah satu syi’ar Islam yang agung dan termasuk bentuk ketaatan yang paling utama. Ia adalah syi’ar keikhlasan dalam beribadah kepada Allah semata, dan realisasi ketundukan kepada perintah dan larangan-Nya. Karenanya setiap muslim yang memiliki kelapangan rizki hendaknya ia berkurban.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

“Barangsiapa yang memiliki kelapangan, sedangkan ia tidak berkurban, janganlah dekat-dekat musholla kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan al-Hakim, namun hadits ini mauquf).

Diantara urusan kurban yang harus diketahui oleh seorang mudhahhi (orang yang hendak berkorban) adalah syarat-syaratnya. Apa yang harus dipenuhi oleh pengorban dari ibadah kurbannya:

Pertama, hewan kurban harus dari hewan ternak; yaitu unta, sapi, kambing atau domba. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka.” (QS. Al-Hajj: 34)

Bahimatul An’am: unta, kambing dan sapi, Ini yang dikenal oleh orang Arab sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hasan, Qatadah, dan selainnya. Atau sejenis hewan sapi seperti kerbau karena hakikatnya sama dengan sapi juga diperbolehkan untuk berkurban, dengan demikian maka tidak sah berkurban dengan 100 ekor ayam, atau 500 ekor bebek dikarenakan tidak termasuk kategori Bahimatul An’am.

Kedua, usianya sudah mencapai umur minimal yang ditentukan syari’at.

Umur hewan ternak yang boleh dijadikan hewan kurban adalah seperti berikut ini;

    Unta minimal berumur 5 tahun dan telah masuk tahun ke 6.

    Sapi minimal berumur 2 tahun dan telah masuk tahun ke 3.

    Kambing jenis domba atau biri-biri berumur 1 tahun, atau minimal berumur 6 bulan bagi yang sulit mendapatkan domba yang berumur 1 tahun. Sedangkan bagi kambing biasa (bukan jenis domba atau biri-biri, semisal kambing jawa), maka minimal berumur 1 tahun dan telah masuk tahun ke 2.

Sebagaimana terdapat dalam kitab Kifayatul Akhyar,

ويجزئ فيها الجذع من الضأن والثني من المعز والثني من الإبل والثني من البقر

Umur hewan kurban adalah Al-Jadza’u (Domba yang berumur 6 bulan-1 tahun), dan Al-Ma’iz (Kambing jawa yang berumur 1-2 tahun), dan Al-Ibil (Unta yang berumur 5-6 tahun), dan Al-Baqar (Sapi yang berumur 2-3 tahun).

Maka tidak sah melaksanakan kurban dengan hewan yang belum memenuhi kriteria umur sebagaimana disebutkan, entah itu unta, sapi maupun kambing. Karena syari’at telah menentukan standar minimal umur dari masing-masing jenis hewan kurban yang dimaksud, jika belum sampai pada umur yang telah ditentukan maka tidak sah berkurban dengan hewan tersebut, jika telah sampai pada umur atau bahkan lebih maka tidaklah mengapa, asalkan tidak terlalu tua sehingga dagingnya kurang begitu empuk untuk dimakan. 

Syarat Syarat Qurban

Pelaksanaan penyembelihan hewan qurban telah diatur sedemikian rupa oleh syari’at Islam, mulai dari waktu, tempat, jenis-jenis hewan yang disembelih beserta umurnya dan kepada siapa daging kurban itu dibagikan, semua ini telah dijelaskan oleh para ulama’-ulama’ fiqih terdahulu. Diantara syarat-syarat sahnya tersebut.Ketiga, syarat yang harus dipenuhi orang yang berkurban adalah hewan kurban terbebas dari aib/cacat, sehingga bisa mengurangi kesempurnaan pelaksanaan ibadah kurban. Di dalam nash Hadits ada ada empat cacat yang disebutkan:

    ‘Aura’ (Buta sebelah) yang tampak terlihat jelas.

    ‘Arja’ (Kepincangan) yang tampak terlihat jelas.

    Maridhah (Sakit) yang tampak terlihat jelas.

    ‘Ajfa’ (kekurusan yang membuat sungsum hilang).

Maka, Jika hewan kurban terkena salah satu atau lebih dari empat macam aib ini, maka hewan tersebut tidak sah dijadikan sebagai hewan kurban, dikarenakan belum memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syari’at Islam.

Dari Al-Bara’ bin ‘Azib berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya, ‘Apa yang harus dijauhi untuk hewan kurban?‘ Beliau memberikan isyarat dengan tangannya lantas bersabda: “Ada empat.” Barra’ lalu memberikan isyarat juga dengan tangannya dan berkata; “Tanganku lebih pendek daripada tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

الْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَجْفَاءُ الَّتِى لاَ تُنْقِى

“(empat perkara tersebut adalah) hewan yang jelas-jelas pincang kakinya, hewan yang jelas buta sebelah, hewan yang sakit dan hewan yang kurus tak bersumsum.” (H.R.Malik)

Dengan demikian seseorang yang akan berkurban hendaklah memilih hewan kurban yang memiliki kondisi fisik sehat, tidak dalam keadaan sakit, tidak pincang, tidak buta sebelah matanya dan tidak kurus tak bersumsum, karena alasan larangan empat kategori cacat hewan diatas adalah berkurangnya daging pada hewan kurban tersebut.

Selain empat cacat diatas, sebagian ulama’ ada yang menambahkan hewan kurban yang anggota badannya ada yang terpotong, misalnya kuping, ekor atau anggota badan yang lain, tidak sah menggunakan hewan tersebut sebagai kurban. Sedangkan untuk hewan yang patah tanduknya atau hewan yang belum tumbuh atau juga tidak bertanduk maka boleh dijadikan hewan kurban, karena hal ini tidak mengurangi daging hewan kurban, sebagaimana penjelasan dalam Kitab Kifayatul Akhyar,

ويجزئ مكسور القرن، وكذا الجلحاء وهي التي لم يخلق لها قرن، لأن ذلك كله لايؤثر في اللحم فأشبه الصوف

Cukuplah berkurban dengan hewan yang patah tanduknya, begitu juga hewan yang belum tumbuh atau tidak bertanduk, karena hal itu tidaklah berpengaruh pada daging hewan kurban, seperti halnya bulu.

 

Melaksanakan Ibadah Qurban Hukumnya Sunnah

Hari raya yang kita peringati atau kita rayakan setiap tanggal 10 Dzulhijjah itu disebut Idul Adha, Idun Nahri atau Idul Qurban. Dikatakan demikian, karena pada hari itu kaum muslimin yang mempunyai kemampuan atau kelebihan rizki dianjurkan (disunnahkan) untuk menyembelih ternak berupa kambing, sapi atau unta dengan niat bertaqarrub/mendekatkan diri atau beribadah kepada Allah SWT.

Waktu penyembelihannya yaitu sejak tanggal 10 Dzulhijjah setelah kaum muslimin selesai melaksanakan shalat ‘Id sampai dengan akhir hari tasyriq/tanggal 13 Dzulhijjah (Terbenamnya matahari), dengan ketentuan seekor ternak kambing hanya cukup untuk qurbannya satu orang, sedangkan sapi atau unta cukup untuk qurbannya tujuh orang. Dalam riwayat sahabat Jabir bin Abdillah disebutkan :

نَحَرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْيَّةِ الْدَنَةَ عَنْ سَعَةٍ وَالْقَرَةَ عَنْ سَعَةٍ. رواه مسلم

Kita para sahabat bersama Rasulullah SAW. pada tahun Hudaibiyah menyembelih qurban berupa seekor unta untuk qurbannya tujuh orang dan seekor sapi juga untuk qurbannya tujuh orang”. (HR. Muslim)

Pelaksanaan ibadah ini hukumnya sunnah muakkadah (Sangat dianjurkan) bagi yang mampu untk melaksanakannya, bahkan sampai ada sebagian Ulama’ Fiqih yang menghukuminya sebagai kewajiban, akan tetapi menurut jumhur ulama’ (Mayoritas) berpendapat sebagai sunnah muakkadah, dikarenakan keutamaannya yang sungguh sangat besar menurut syara’.<>

فصل لرك وانحر (سورة الكوثر: 3)

Dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah

Dalam sebuah Hadits riwayat dari Imam Tirmidzi disebutkan,

أنه عليه الصلاة والسلام قال: أمرت النحر وهو سنة لكم

Rasulullah pernah bersabda: aku diperintahkan untuk berkurban, dan berkurban bagi kalian adalah sunnah.

Maka Ibadah Qurban ini adalah bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan melaksanakan penyembelihan hewan yang dikategorikan sebagai Bahimatul An’am (Unta, Sapi dan Kambing), dengan ketentuan kalau sapi dan unta boleh untuk berkurban tujuh orang, sedangkan kambing hanya cukup untuk satu orang saja.

Dalam setiap keluarga cukuplah berkurban dengan seekor kambing atau seekor sapi jika mampu, melihat kondisi ekonomi yang sedang dialami, jika ia mampu melaksanakan kurban dengan seekor sapi maka laksanakanlah, karena ia lebih utama, akan tetapi jika hanya mampu dengan seekor kambing maka cukuplah bagingya.

Dan janganlah memberatkan diri sendiri dengan memaksakan untuk berkurban dengan sapi ataupun kambing, jika memang kondisi ekonomi tidak memungkinkan, lantas ia berhutang-hutang, atau menggadaikan barang miliknya untuk bisa membeli hewan kurban, maka hal ini tidaklah lebih utama jika dibandingka dengan ia memenuhi kebutuhan keluarga, lalu jika ada harta lebih yang bisa dibuat untuk membeli hewan kurban, maka itu lebih baik baginya.

Ini Doa Lengkap Menyembelih Hewan Kurban

Penyembelihan hewan kurban adalah bagian dari ibadah yang sangat dianjurkan. Untuk menyempurnakan ibadah itu, kita dianjurkan untuk berdoa ketika penyembelihan hewan kurban. Inilah doa yang dibaca sesaat sebelum hewan kurban kita disembelih. Doa ini dibaca dengan harapan Allah menerima ibadah kurban kita.

اَللَّهُمَّ هَذِهِ مِنْكَ وَإِلَيْكَ فَتَقَبَّلْ مِنِّيْ يَا كَرِيْمُ

Allâhumma hâdzihî minka wa ilaika, fataqabbal minnî yâ karîm

Artinya, “Ya Tuhanku, hewan ini adalah nikmat dari-Mu. Dan dengan ini aku bertaqarrub kepada-Mu. Karenanya hai Tuhan Yang Maha Pemurah, terimalah taqarrubku.”

Doa ini bisa kita temukan antara lain di buku Irsyadul Anam fi Tarjamati Arkanil Islam karya Sayid Utsman bin Yahya atau Tausyih ala Ibni Qasim karya Syekh M Nawawi bin Umar Banten.

Namun demikian ada sejumlah doa yang dianjurkan ketika kita mengambil ancang-ancang untuk menyembelih hewan kurban. Hal ini ditunjukkan oleh Syekh M Nawawi Banten dalam Tausyih ala Ibni Qasim.

Menurutnya, sebelum kita menghadapkan hewan kurban ke kiblat dan siap menggoreskan senjata tajam, kita dianjurkan membaca bismillâh, lengkap dan sempurnanya bismillâhir rahmânir rahîm. Setelah itu kita dianjurkan membaca sholawat untuk Rasulullah SAW, bertakbir tiga kali. Setelah menghadap kiblat dan sesaat sebelum menyembelih, kita dianjurkan membaca doa menyembelih seperti di atas.

Berikut ini kami urutkan bacaan doanya.

  1. Baca “Bismillâh”

بِسْمِ اللهِ

Artinya, “Dengan nama Allah”

Lebih sempurna “Bismillâhir rahmânir rahîm”

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Artinya, “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang”

  1. Baca sholawat untuk Rasulullah SAW

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Allâhumma shalli alâ sayyidinâ muhammad, wa alâ âli sayyidinâ muhammad.

Artinya, “Tuhanku, limpahkan rahmat untuk Nabi Muhammad SAW dan keluarganya.”

  1. Baca takbir tiga kali dan tahmid sekali

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ

Allâhu akbar, Allâhu akbar, Allâhu akbar, walillâhil hamd

Artinya, “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji bagi-Mu.”

  1. Baca doa menyembelih

اَللَّهُمَّ هَذِهِ مِنْكَ وَإِلَيْكَ فَتَقَبَّلْ مِنِّيْ يَا كَرِيْمُ

Allâhumma hâdzihî minka wa ilaika, fataqabbal minnî yâ karîm

Artinya, “Ya Tuhanku, hewan ini adalah nikmat dari-Mu. Dan dengan ini aku bertaqarrub kepada-Mu. Karenanya hai Tuhan Yang Maha Pemurah, terimalah taqarrubku.”

Adapun takbir pada poin ketiga bisa juga dibaca sebelum bismillah pada poin pertama. Demikian doa yang dianjurkan dalam rangkaian upacara penyembelihan hewan kurban. Keterangan ini bisa ditemukan antara lain di buku Tausyih ala Ibni Qasim karya Syekh M Nawawi Banten.

Ini Ketentuan Pembagian Daging Kurban

Ulama membagi ibadah kurban ke dalam dua jenis: ibadah kurban yang dinazarkan (wajib) dan ibadah kurban yang tidak dinazarkan (sunnah). Orang yang berkurban nazar tidak boleh mengambil sedikit pun daging kurbannya. Sedangkan orang yang berkurban sunnah justru dianjurkan memakan sebagian dari daging kurbannya.

Orang yang berkurban sunnah berhak memakan maksimal sepertiga dari daging kurbannya sebagaimana keterangan berikut ini:

ـ (ولا يأكل المضحي شيئا من الأضحية المنذورة) بل يتصدق وجوبا بجميع أجزائها (ويأكل) أي يستحب للمضحي أن يأكل (من الأضحية المتطوع بها) ثلثا فأقل

Artinya, “(Orang yang berkurban tidak boleh memakan sedikit pun dari ibadah kurban yang dinazarkan [wajib]) tetapi ia wajib menyedekahkan seluruh bagian hewan kurbannya. (Ia memakan) maksudnya orang yang berkurban dianjurkan memakan (daging kurban sunnah) sepertiga bahkan lebih sedikit dari itu,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Al-Maktabah Al-Asadiyyah: 2014 M/1434 H] halaman 207).

Orang yang berkurban sunnah hanya boleh mengambil bagiannya yang maksimal sepertiga itu. Ia tidak boleh menjual bagian apa pun dari hewan kurbannya. Ini berlaku bagi kurban nazar dan kurban sunnah.

ـ (ولا يبيع) المضحي (من الأضحية) شيئا من لحمها أو شعرها أو جلدها أي يحرم عليه ذلك ولا يصح سواء كانت منذورة أو متطوعا بها

Artinya, “Orang yang berkurban (tidak boleh menjual daging kurban) sebagian dari daging, bulu, atau kulitnya. Maksudnya, ia haram menjualnya dan tidak sah baik itu ibadah kurban yang dinazarkan (wajib) atau ibadah kurban sunnah,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Al-Maktabah Al-Asadiyyah: 2014 M/1434 H] halaman 207).

Adapun daging kurban sendiri diberikan kepada orang-orang fakir dan miskin dalam bentuk daging segar. Berbeda dari ibadah aqiqah, daging kurban dibagikan dalam kondisi daging mentah sebagaimana keterangan berikut ini:

ويطعم) وجوبا من أضحية التطوع (الفقراء والمساكين) على سبيل التصدق بلحمها نيئا فلا يكفي جعله طعاما مطبوخا ودعاء الفقراء إليه ليأكلوه والأفضل التصدق بجميعها إلا لقمة أو لقمتين أو لقما

Artinya, “Orang yang berkurban wajib (memberi makan) dari sebagian hewan kurban sunnah (kepada orang fakir dan miskin) dengan jalan penyedekahan dagingnya yang masih segar. Menjadikan dagingnya sebagai makanan yang dimasak dan mengundang orang-orang fakir agar mereka menyantapnya tidak memadai sebagai ibadah kurban. Yang utama adalah menyedekahkan semua daging kurban kecuali sesuap, dua suap, atau beberapa suap,” (Fathul Mujibil Qarib, Al-Maktabah Al-Asadiyyah: 2014 M/1434 H halaman 208).

Sebagian ulama berpendapat bahwa daging kurban dibagi menjadi tiga bagian: sepertiga untuk orang miskin, sepertiga untuk orang kaya, dan sepertiga untuk orang yang berkurban. Tetapi, ibadah kurban yang utama adalah menyedekahkan semuanya kecuali memakan sedikit daging itu untuk mendapatkan berkah ibadah kurban.

Menyingkap Rahasia Hikmah Ritual Qurban

Jika sudah menapaki bulan Dzulhijjah, tentu yang ada pada pikiran kaum muslim adalah ibadah haji, karena sesuai dengan nama bulannya yaitu bulan Dzulhijjah. Disamping itu juga, selain ibadah haji masih banyak ritual yang tersimpan dalam bulan Dzulhijjah ini yaitu perayaan Idul Adha atau yang lazim disebut dengan idul qurban, mengapa demikian? Karena pada waktu tersebut diadakan qurban. Bagaimana ritual tersebut bisa terjadi? Rahasia apa yang tersingkap didalamnya?

Setiap ibadah yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada hambaNya pasti terkandung hikmah didalamnya, tidak terkecuali ibadah qurban. Kalau kita resapi , banyak makna yang terkandung didalam ibadah qurban ini yang dapat membuat kita merenungi maksud dan tujuan-tujuan baik yang terkandung didalamnya.

Jika digali lebih dalam ada beberapa hal hikmah yang terkandung didalamnya, antara lain Menegaskan konsep ketauhidan, Sebagaimana yang telah diajarkan dan dicontohkan oleh nabi Ibrahim as. dan putranya Ismail as. bahwa “Tiada tuhan selain Allah “yang harus kita jadikan sandaran dalam hidup ini. Mengajarkan untuk berjiwa sosial dan memotivasi untuk kaya, Ibadah qurban mengajarkan kita untuk berbagi dengan sesama yang hidup jauh dari keberuntungan, memotivasi kita untuk bekerja keras dan menabung. Dengan bekerja keras dan mendapatkan materi yang cukup, tentu kita dapat mejalankan ibadah qurban dan berbagi dengan sesama yang kurang beruntung. Menguji tingkat ketakwaan, Dalam menjalankan ibadah ini apakah terbersit rasa sayang atau enggan, karena mahalnya kurban yang ditujukan untuk beribadah kepada Allah.

Dan hikmah berikutnya adalah dalam rangka menghidupkan makna takbir di Hari Raya Idul Adha, dari tgl 10 hingga 13 Dzul-Hijjah, yakni Hari Nahar (penyembelihan) dan hari-hari tasyriq. Memang Syariat agama kita menggariskan, bahwa pada setiap Hari Raya, baik Idul Fitri ataupun Idul Adha, setiap orang Islam diperintahkan untuk mengumandangkan takbir.

Di samping itu semua, Hari Raya Qurban pun merupakan Hari Raya yang berdimensi sosial kemasyarakatan yang sangat dalam. Hal itu terlihat ketika pelaksanaan pemotongan hewan yang akan dikorbankan, para mustahik yang akan menerima daging-daging kurban itu berkumpul. Mereka satu sama lainya meluapkan rasa gembira dan sukacita yang dalam. Yang kaya dan yang miskin saling berpadu, berinteraksi sesamanya. Luapan kegembiraan di hari itu, terutama bagi orang miskin dan fakir, lebih-lebih dalam situasi sulit saat ini, sangat tinggi nilainya, ketika mereka menerima daging hewan kurban tersebut.

Dengan syari’at qurban ini, kaum muslimin dilatih untuk menebalkan rasa kemanusiaannya, mengasah kepekaannya dan menghidupkan hati nuraninya. Ibadah qurban ini sarat dengan nilai kemanusiaan dan mengandung nilai-nilai sosial yang tinggi.

Mari kita manfaatkan momen ini untuk mawas diri dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Fastabiqul-khairat. Maka kita berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.

 

Esensi Ibadah Qurban

Pengorbanan tertinggi manusia adalah mengikhlaskan sesuatu yang sangat dicintai semata-mata untuk dan karena Allah SWT, meskipun sesuatu itu telah lama dinantikan dan baru saja didapatkannya.<>

Khazanah ini, bisa mengambil i’tibar (perumpamaan) dari kisah keikhlasan jiwa besar Nabi Ibrahim AS, Ia  telah lama berdoa dan menantikan kehadiran seorang putra, namun ketika putra yang telah lama Ia nantikan itu, baru saja Ia miliki dan telah  tumbuh berusia tiga belas tahun, malah justru datang perintah baru dari Allah SWT, untuk menyembelih putranya sebagai qurban, Ia pun ikhlas menerimanya. Maka akhirnya, semakin diangkatlah derajatnya di mata Allah swt.

Mengorbankan Kepentingan Keluarga

Nabi Ibrahim AS adalah sang promotor yang mengajak umat manusia untuk mengorbankan kepentingan pribadi dan keluarganya demi untuk kepentingan yang lebih luas atas dasar kebenaran (agama) sehingga Ia pun tanpa ragu, tanpa menunda-nunda, langsung dengan ikhlas menuruti (Kebenaran) perintah Allah swt untuk menyembelih putranya,

Ia bersikap mengedepankan kepentingan agama (kebenaran di ruang publik)  dan untuk ummat, meski harus mengorbankan putranya.- Subhanallah-. Meskipun akhirnya putranya tidak jadi disembelih, karena Allah SWT mengutus malaikat untuk menggantikan Nabi Ismail AS dengan kambing untuk disembelih.

Syeikh Tohir Bin Asyur Sang penggerak lokomotif  Maqashid Syariah modern, dalam magnum opusnya, kitab “Tafsir At-Tahrir wat-Tanwir”, ia mengomentari tentang perintah Allah swt kepada Nabi Ibrahim as untuk menyembelih putranya ,yang dibadikan dalam al-Quran(QS As-Shaafaat 102-109) : “Sejatinya Allah swt tidaklah akan mensyariatkan kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih putra semata wayang kesayangannya yang telah lamadinantikannya itu, tetapi perintah tersebut hanyalah upaya Allah swt menguji kualitas keimanan untuk menetapkan dan mengangkat derajatnya Nabi Ibrahim as, bersedia atau tidakkah mengorbankan putranya itu. Terbukti, setelah Nabi Ibrahim dan putranya pun bersedia(bersabar) untuk melaksanakn perintah tersebut, kemudian  Allah swt pun menggirim kambing untuk disembelih, sebelum Nabi Ibrahim melaksanakan atau menyembelih putranya”.

Inilah esensi disyariatkan ibadah qurban, pada tahun kedua Hijriah, yaitu tahun bebarengan dengan disyariatkan(diperintahkannya) Dua salat Id dan zakat harta, itu,

Ekslusivisme Ibadah Qurban

Faktor yang menjadi pijakan ibadah qurban, setidaknya ada dua hal:

Pertama; Untuk mengenang kebesaran jiwa antara seorang ayah yang bernama Nabi Ibrahim AS yang sangat berjiwa besar dan ikhlas rela mengorbankan kpentingan pribadi dan keluarganya, terbukti Ia pun bersedia melaksanakan perintah meneyemeblih anaknya atas dasar kebenaran (dari perintah agama).

Kedua; Mengenang kesabaran dan ketaatan  Sang anak (birrul walidain) yang sangat berbakti pada orang tuanya, Ia  bernama Nabi Ismail as yang ikhlas mau disembelih sebagai qurban oleh ayahnya dengan landasan kebenaran(Firman Allah swt).

Karena dua faktor ini pula, ibadah Qurban mempunyai ekslusivisme, diantaranya, memotong hewan Qurban, adalah harus dilakukan pada waktu yang telah ditentukan oleh syariat, yaitu empat hari: Tanggal 10 Dzulhijjah (setelah shalat ‘Id) dan tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah (tiga hari sesudahnya) yang dikenal dengan Ayyamutasyriq.

Hal ini, yang membedakan antara penyembelihan hewan Qurban dengan (ibadah) penyembelihan hewan lainnya. seperti menyembelih hewan aqiqah, atau juga memotong hewan ternak untuk pesta pernikahan atau menjamu tamu, atau memotong hewan karena memenuhi nazar, atau hewan Dam(denda) yang disembelih oleh orang yang berhaji Tamattu, atau haji Qiran, namun itu semua berbeda dengan memotong hewan Qurban dalam momentum Idul Adha ini. Karena amalan-amalan trsebut, bisa dilaksanakan kapanpun.

Inilah dimensi ekslusivis Ibadah qurban dari syiar Islam lainnya yang berupa ibadah menyembelih(hewan)

Bagaimana Berqurban di Ruang Publik?

Betapa pun sesuatu hal yang sangat dicintai dan telah lama diharapkan, dan baru saja dimiliki, tetapi ketika Perintah Tuhan(kebenaran di ruang Publik) menyerukan untuk mengorbankan hal itu, maka harus ikhlas dikorbankannya.

Dalam konteks ini, implementasinya, dalam kehidupan sosial sehari-hari, dengan tidak terbatas waktu, musim atau tempat, kapan dan dimanapun, jelas membantu orang-orang membutuhkan adalah sebuah tuntutan kebenaran yang harus dilakukan. Sebagaimana Nabi Ibrahim ikhlas mengorbankan putranya, meski masih dalam keadaan “bulan madu” bersama putra kesayangannya.

Di berbagai  lini aktivitas sosial, hal ekonomi, pendidikan, keadilan, politik dan kebebasan berpikir, itu semua adalah bagian dari hal-hal yang perlu pengorbanan, wajib dilakukan oleh orang-orang  mampu untuk melakukannya , berkewajiban untuk berqurban demi membantu mereka yang membutuhkan. Bukan sebaliknya, orang yang lebih kuat atau berkecukupan  justeru mengorbankan orang yang lebih lemah atau kekurangan dijadikannya sebagai tumbal angkara ambisi mereka yang kuat.

Jika hal ini bisa terlaksana di kancah kehidupan sosial bermasyarakat, maka kronisnya penyakit moral berupa: “Mengorbankan kebenaran yang merugikan publik, demi tercapainya hal-hal ambisi pribadi , keluarga dan golongannya”, secara estafet, penyakit tersebut akan tergusur. Bahkan niscaya event Idul Adha ini, maka secara estafet akan mampu dijadikan Pijakan Strategis Reorientasi Totalitas Moralitas Bangsa, dari keterpurukannya yang kian bertambah akut ini.

Teladan dari Nabi Ibrahim AS ini, memang tentu sangatlah langka untuk kita temukan dalam kehidupan bangsa Indonesia tercinta itu, utamanya yang menjangkit kalang elite pemerintah negeri tercinta dasawarsa ini.

Di sisi lain, skandal moral, yang menjangkit totalitas bangsa kita itu, di berbagai lini aktivitas kehidupan bangsa Indonesia ini, dengan semakin langkanya jiwa-jiwa sosial, egoistis merajalela, mencari rezeki dengan menghalalkan segala cara. Kebenaran dan kemanusian dikorbankan, — parahnya lagi kerap mengklaim sebagai pejuang publik—  meski sejatinya demi hanya untuk mengedepankan tercapainya ambisi pribadi dan keluarga atau maksimal golongannya belaka.

Analisis (tafakkur) berbagai unsur nilai ruhaniah (spiritualitas) yang terkandung, atas disyariatkannya ibadah qurban ini. Adalah sebuah pijakan awal untuk langkah menempa setiap individual manusia (Pasca Idul Adha) dengan hal-hal positif, dengan metode mengambil I’tibar( Teladan) dari apa yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS putranya.

Semangat Idul Adha atau hari raya Qurban ini, sudah semestinya  “menjadi start awal” medan memerangi nafsu angkara ambisi, dan kedzoliman (kesewenang-wenangan) yang telah subur bercokol di ruang publik tanah air kita ini, dengan cara “menyembelih” kenaifan-kenaifan tersebut, dan kembali kepada semangat autentisitas berqurban sejati, yaitu berkorban untuk mengedepankan kebenaran, kepentingan luas, dan meminggirkan kepentingan sempit, demi terwujudnya kemaslahatan yang lebih luas.

Leave your comment here: