INILAH BEBERAPA POLA DAN CARA MAKAN YANG DI CONTOHKAN ROSULULLOH SAW.
Makanan dan minuman merupakan kebutuhan dasar dan pasti diperlukan dalam situasi dan kondisi apa pun. Bahkan, keduanya merupakan rahasia kehidupan dan salah satu nikmat besar yang diberikan Allah kepada para hamba-Nya. Dalam banyak ayat, Allah telah menjelaskan bahwa makanan merupakan nikmat dan anugerah besar yang diberikan kepada kita.
Di antaranya adalah ayat yang menyatakan, “Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-mayur, yaitu dan pohon kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu,” (QS Abasa [80]: 24-32).
Untuk memenuhi kebutuhan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan sejumlah pedoman atau acuan perihal makanan, termasuk bagaimana cara makannya yang selayaknya kita pedomani. Sebab sudah barang tentu setiap informasi yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyimpan banyak hikmah dan rahasia.
Cukup banyak hadits yang berbicara tentang pedoman ini. Namun, dalam tulisan ini hanya akan disajikan sebagiannya saja, sedangkan sisanya akan disampaikan pada kesempatan berikutnya.
Di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kepada kita bahwa perut bukanlah wadah yang siap diisi apa saja sesuai keinginan kita. Sekalipun ia diisi, tidak boleh berlebihan sehingga melebihi batas kemampuannya, sebagaimana dalam hadits, “Keturunan Adam tidak dianggap menjadikan perutnya sebagai wadah yang buruk jika memenuhinya dengan beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Karena itu, apa yang dia harus lakukan adalah sepertiga perutnya untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk napas,” (HR Ahmad).
Dengan demikian, yang terpenting perut kita terisi makanan halal yang dapat menjaga kelangsungan hidup. Sebab, bila tidak, kita sendiri yang rugi. Dikala perut kita kekenyangan, misalnya, kita menjadi mengantuk, malas beraktivitas, termasuk malas beribadah, sehingga kemudian kita menjadi kurang poduktif dan dalam jangka panjang berat badan kita menjadi berlebih (obesitas), lebih prihatin lagi di akhirat kekurangan amal.
Kedua, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan agar kita tidak rakus dan tidak memasukkan berbagai jenis makanan ke dalam perut. Hal ini sejalan dengan kebiasaan Nabi yang menyebutkan bahwa beliau tidak pernah makan banyak, tidak pernah makan sampai kenyang, atau tidak memperbanyak ragam makanan. Bahkan, saat istrinya tidak masak makanan beberapa hari, beliau cukup berpuasa dan menyantap roti saja. Hal ini juga ditunjang oleh temuan-temuan dalam dunia pangan dan ilmu gizi bahwa ada beberapa makanan yang tidak boleh dikonsumsi secara bersamaan karena memiliki zat kimia yang justru akan menimbulkan efek negatif dan membahayakan bagi tubuh. Buah-buahan misalnya, sebaiknya tidak dikonsumsi dengan susu. Sebab, umumnya buah-buahan bersifat asam (memiliki PH rendah) sehingga bila bercampur dengan makanan lain dapat menyebabkan fermentasi dalam lambung. Demikian pula kedelai tidak boleh dimakan bersamaan bayam, kedelai dengan bawang hijau, susu kedelai dengan telur, susu dengan cokelat, daging dengan semangka, daging dengan cuka, dan sebagainya.
Ketiga, jika kita menghadiri suatu undangan yang di dalamnya disajikan makanan, sebaiknya tidak mengajak orang lain untuk memenuhi sebuah undangan tersebut kecuali atas izin orang yang mengundangnya.
Abu Mas’ud meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki Anshar yang akrab disapa Abu Syu’aib datang. Kemudian, dia bilang kepada pelayannya yang bernama Qashab, “Sediakanlah makanan untuk lima orang. Aku ingin mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di antara mereka berlima. Sebab, aku mengetahui rasa lapar di raut wajah mereka.”
Abu Syu‘aib pun kemudian mengundang mereka. Namun, ada seorang lelaki yang datang bersama kelima tamu itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, “Lelaki ini ikut bersama kami. Jika menghendaki, engkau boleh mengizinkannya. Dan jika menghendaki, engkau boleh menyuruhnya pulang,” (HR al-Bukhari). Abu Mas‘ud menambahkan, Abu Syu‘aib pun mengizinkannya. Keempat, pada saat makan kita dianjurkan untuk berkumpul, mengerumuni makanan, dan tidak berpencar darinya. Wahsyi ibn Harm mengatakan bahwa sejumlah sahabat bertanya, “Wahai Rasul, kami makan tapi tidak merasa kenyang.” Beliau menjawab, “Mungkin kalian berpencar (saat makan)?” Mereka berkata, “Iya.” Beliau kembali berkata, “Maka berkumpullah di sekitar makanan kalian. Sebutlah asma Allah (basmalah). Dengan begitu, Dia akan memberi keberkahan kepada kalian,” (HR Abu Dawud).
Beliau juga bersabda, “(Jika berkah) makanan untuk seorang pun jadi cukup untuk berdua. Makanan untuk berdua cukup untuk berempat. Dan makanan untuk berempat cukup untuk delapan orang,” (HR Muslim).
Ke empat, jangan makan makanan orang-orang yang sedang berlomba-lomba menyembelih hewan. Dalam hal ini, Ibnu ‘Abbâs meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang makan makanan orang-orang Arab yang berlomba menyembelih hewan (HR Abu Dawud). Maksudnya, mereka berlomba di sini adalah adu banyak menyembelih hewan. Ketika itu ada dua orang laki-laki yang bersaing dalam hal kebaikan dan kedermawanannya. Salah seorang dari mereka menyembelih unta dan lelaki yang lain juga menyembelihnya, sampai salah satu di antara mereka tidak mampu melakukannya. Namun, perbuatan itu hanya sekadar riya dan mencari popularitas. Dengan menyembelih untanya, mereka tidak bermaksud mencari keridaan Allah, sehingga perbuatan itu serupa dengan orang yang menyembelih hewan bukan karena Allah. (HR Abu Dawud dan al-Tirmidzi). Termasuk ke dalam kategori ini adalah daging hewan yang disembelih tidak menyebut asma Allah dan sembelihan orang-orang musyrik, sebagaimana dalam ayat, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah,” (QS al-Nahl [16]: 115).
Kelima, jika kita memiliki makanan, sangat dianjurkan yang memakan makanan kita adalah orang yang saleh dan bertakwa. Abu Sa’id al-Khudzrî meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah engkau berteman kecuali dengan orang yang beriman, dan janganlah ada yang makan makananmu kecuali orang yang bertakwa.” Sudah barang tentu, makanan yang diberikan kepada mereka akan menolong ketaatan dan ibadah mereka. Dan hendaknya tidak makan di khawân atau tempat tinggi yang dipersiapkan untuk makan, seperti meja makan. Anas ibn Mâlik meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Nabi Allah tidak pernah makan di khawân dan sakrajah. Tidak pula ia makan roti yang dikeringkan,” (HR al-Bukhari).
Sakrajah adalah wadah kecil yang memuat makanan ringan, seperti lalapan atau makanan penambah selera. Namun, hadits ini bukan berarti mengharamkan makan di meja makan atau di tempat tinggi lainnya, melainkan sebatas sunah bahwa makan sebaiknya dilakukan di atas tanah sebagaimana yang biasa dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Keenam, tidak makan sambil terlentang atau makan di tempat yang tersedia makanan yang haram. ‘Umar meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang makan di tempat yang disajikan minuman keras. Begitu pula beliau melarang seseorang makan sambil menelungkupkan perutnya. (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim).
Ketujuh, tidak bersandar pada saat makan. A
bu Juhaifah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku tidak pernah makan sambil bersandar.” Ibnu ‘Amr juga menyebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah terlihat makan sambil bersandar,” (HR Abu Dawud dan al-Tirmidzi).
Istilah “bersandar” ini tentu mencakup segala bentuk duduk yang dilakukan sambil bersandar atau menyandarkan bagian tubuh tertentu kepada sesuatu yang lain. Cara ini dimakruhkan atau dianggap kurang baik karena memperlihatkan duduknya orang yang sedang lahap dan nafsu makan. Akibatnya seseorang tidak bisa mengontrol daya tampung perutnya sehingga jadi membesar atau membuncit. (Lihat: Abdul Basith Muhammad al-Sayyid, al-I’jâz al-‘Ilmi fî al-Tasyrî‘ al-Islâmî, [Darul Kutub: Beirut], hal. 353).
Karena itu, posisi duduk yang dianjurkan pada saat makan adalah menekuk kedua lutut dan menduduki bagian dalam telapak kaki, atau menegakkan betis dan paha kanan dan menduduki kaki yang kiri. (Ibnu Hajar, Fath al-Bari, Beirut: Darul Ma‘rifah], 1379 H, jilid 9, hal. 542).
Kedelapan, duduklah dengan rendah hati dan makanlah dari bagian pinggir makanan.
Abdullah ibn Basar meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki sebuah mangkuk besar yang disebut dengan al-gharrâ’ dan cukup untuk dipakai makan oleh berempat. Usai shalat dhuha dan setelah mangkuk diisi makanan, sejumlah sahabat berkerumun di sekitar mangkuk tersebut, dan Rasulullah ﷺ pun terlihat duduk berlutut. Seorang Arab pedesaan bertanya, “Duduk apa ini?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah menjadikanku sebagai hamba yang mulia dan tidak menjadikanku sebagai hamba yang sombong dan penentang.” Setelah itu beliau memerintah para sahabat, “Makanlah makanan yang ada di pinggir mangkuk ini dan biarkanlah bagian tengahnya. Dengan begitu, makanan itu akan berkah” (HR Abu Dawud).
Kesembilan, membasuh kedua tangan sebelum makan.
Siti ‘Asiyah meriwayatkan bahwa ketika hendak tidur dalam keadaan junub, Rasulullah ﷺ selalu berwudhu; dan sewaktu hendak makan, beliau selalu mencuci tangan (HR al-Nasai dan Ahmad).
Kesepuluh, jangan pernah mencela makanan.
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ sama sekali tidak pernah mencela makanan.
Jika menyukai suatu makanan, beliau memakannya. Namun ketika tidak menyukainya, beliau meninggalkannya. (HR al-Bukhari).
Kesebelas, Rasulullah melarang makan atau minum dalam wadah emas atau perak. Dalam kaitan ini, Hudzaifah menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Janganlah kalian minum dalam wadah emas atau perak. Janganlah pula kalian makan dalam wadah emas atau perak. Jangan memakai pakaian berbahan sutera, sebab sutera adalah pakaian mereka (orang-orang kufur) di dunia, tapi pakaian kalian di akhirat” (HR al-Bukhari).
Keduabelas, membaca basmalah sebelum makan. Dan jika lupa membacanya, bacalah di saat ingat. Ibnu Mas‘ûd meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Siapa yang lupa mengucap nama Allah sebelum makan, maka bacalah setelah ingat, bismillâhi fî awwalihi wa âkhirihî, sebab doa itu menyambut makanan yang baru dan mencegah keburukan yang menimpa makanan yang masuk” (HR Ibnu Hibban).
Siti ‘Aisyah meriwayatkan, Rasulullah ﷺ pernah makan bersama keenam sahabatnya. Tiba-tiba datanglah seorang warga Arab pedesaan. Akibatnya beliau hanya makan dua suap saja. Beliau lantas bersabda, “Seandainya dia membaca basmalah, tentu makanan itu cukup bagi kalian.”
Ketigabelas, Rasulullah ﷺ juga selalu makan dan minum dengan tangan kanannya.
Hafshah meriwayatkan bahwa beliau menggunakan tangan kanannya untuk makan, minum, wudhu, berpakaian, mengambil sesuatu, memberi sesuatu, dan menggunakan tangan kirinya untuk selain itu (HR Ahmad).
Jabir juga meriwayatkan, Rasulullah ﷺ melarang makan dan minum menggunakan tangan kiri.. Dalam riwayat al-Akwa‘ disebutkan ada seorang pria yang makan dengan tangan kirinya di hadapan Rasulullah ﷺ Beliau pun langsung menegur, “Makanlah dengan tangan kananmu.” Pria itu menjawab, “Aku tidak bisa.” Beliau menjawab, “Tidak. Engkau sesungguhnya mampu. Sebab, tidak ada yang menghalangi hal itu kecuali kesombongan.” Namun, sang pria tetap menggunakan tangan kirinya. Beliau akhirnya bersabda, “Jika salah seorang kalian makan, maka makanlah dengan tangan kanan. Jika minum, maka minumlah dengan tangan kanan. Sesungguhnya setan, selalu makan dan minum dengan tangan kiri” (HR Muslim).
Keempatbelas, makan dengan tiga jari.
Dalam kaitan ini, Ka‘b ibn Mâlik meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ biasanya makan dengan tiga jari (HR Muslim). Menurut Ibnu Hajar tiga jari yang dimaksud adalah ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah. Kemudian, Ibnu al-Qayyim menjelaskan, Rasulullah ﷺ selalu makan dengan tiga jarinya dan cara ini lebih baik. Sebab, makan dengan banyak jari atau dengan dua jari tidak memberikan kenikmatan kepada pelakunya, tidak pula memberikan rasa kenyang kecuali setelah waktu lama. Selain itu, makan dengan lima jari, misalnya, membuat makanan yang diambil terlalu banyak atau penuh, sehingga tidak memberikan rasa nikmat dan nyaman. Karenanya, cara makan yang paling baik adalah cara makan ala Rasulullah ﷺ dan orang-orang yang mengikutinya, yakni dengan tiga jari ( Asyraf al-Wasail, hal. 204; dan Jadul Maad, jilid 4, hal. 322).
Kelimabelas, tidak mengambil bagian pucuk makanan. Dalam riwayat Salmâ disebutkan, Rasulullah ﷺ tidak suka diambilkan pucuk makanan. Kemudian, seorang pelayan Rasulullah ﷺ bernama ‘Umar ibn Abu Salamah mengisahkan, “Sewaktu aku menjadi pelayan di rumah beliau, tanganku tak sengaja merogoh mangkuk. Beliau lalu menegurku, ‘Wahai sang pelayan, sebutlah nama Allah. Makanlah dengan tangan kananmu. Dan makanlah makanan yang ada di dekatmu” (HR al-Bukhari).
Ibnu ‘Abbas juga meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Keberkahan itu turun di tengah makanan. Karenanya, makanlah di pinggir-pinggirnya, jangan tengah-tengahnya” (Abu Dawud dan al-Tirmidzi).
Keenambelas, Rasulullah ﷺ mengajarkan agar makan makanan sampai habis. Anas meriwayatkan, “Rasulullah ﷺ memerintah kami untuk tidak menyisakan makanan di wadah. Sebab, beliau pernah menyampaikan, ‘‘Sesungguhnya kalian tidak tahu pada makanan manakah keberkahan itu berada,’” (HR Al-Tirmidzi).
Ketujuhbelas, mengambil makanan yang terjatuh. Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Ketika suapmu terjatuh, ambillah. Buanglah kotoran yang ada padanya. Dan janganlah engkau menyisakannya untuk setan” (HR Muslim).
Kedelapanbelas, tidak bersendawa di saat makan.
Ibnu ‘Umar meriwayatkan, ada seorang pria yang bersendawa di hadapan Nabi ﷺ Beliau lalu menegurnya, “Hentikan sendawamu. Sebab orang yang paling sering kenyangnya di dunia adalah orang yang paling lama laparnya di hari Kiamat,” (HR al-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Kesembilanbelas, di antara petunjuk Nabi ﷺ adalah menunggu makanan yang panas sampai dingin. Ketika memberi kuah suatu makanan, Asma binti Abu Bakar selalu menunggu rasa panas dan asapnya menghilang. Kemudian, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Cara itu adalah cara yang lebih agung untuk memperoleh keberkahan,’” (HR Ahmad). (Lihat: Abdul Basith Muhammad al-Sayyid, al-I’jâz al-‘Ilmi fî al-Tasyrî‘ al-Islâmî, [Darul Kutub: Beirut], hal. 359).
Kedua puluh, Rasulullah ﷺ mengajarkan agar kita tidak mengambil napas atau mengeluarkannya dalam gelas minum, sebagaimana dalam hadits, “Jika salah seorang kalian minum, maka janganlah bernapas di dalam gelas. Namun, jauhkanlah gelas itu dari mulutnya,” (HR Ibnu Majah). Ibnu ‘Abbâs meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ melarang mengambil atau mengeluarkan napas dalam gelas minum (HR al-Tirmidzi). Dalam riwayat selanjutnya, Ibnu Abbas menyebutkan bahwa Nabi ﷺ juga melarang mengeluarkan napas pada makanan dan minuman kecuali ada kebutuhan (HR Ahmad dan al-Thabrani). Kemudian jika minum dengan satu napas tidak puas, lakukan sampai tiga kali, selain cara itu lebih mampu menghapus rasa haus. Anas ibn Malik meriwayatkan bahwa di saat minum, Rasulullah ﷺ mengambil napas sampai tiga kali. Beliau juga bersabda, “Cara ini lebih baik dan lebih mampu menghilangkan rasa haus,” (HR Ahmad). Ibnu al-Qayyim berkomentar, maksud bernapas saat minum adalah memisahkan gelas dari mulut lalu mengambil napas di luar gelas. Lalu kembali menempelkan gelas pada mulut.
Hal itu juga pernah ditanyakan oleh seorang pria, “Wahai Rasul, aku tidak merasa puas minum dengan satu napas.” Beliau menjawab, “Pisahkanlah gelas air minummu dari mulut, lalu ambillah napas,” (HR al-Baihaqi).
Keduapuluh satu, makan dan minumlah dengan tidak berlebihan (HR Ibnu Majah).
Hal ini juga sudah diperingatkan dalam Al-Qur’an, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan, (QS al-A’raf [7]:31).
Keduapuluh dua, melumat sisa-sia makanan yang masih menempel pada jari-jari. Hal ini diriwayatkan oleh Anas. Riwayat ini menyebutkan bahwa bila makan sesuatu, Rasulullah ﷺ selalu melumat ketiga jarinya (HR al-Tirmidzi). Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Ketika salah seorang dari kalian makan, maka lumatlah (semua) jari-jarinya. Sebab dia tidak tahu di jari manakah keberkahan itu berada,” (HR Muslim).
Dijelaskan oleh Ibnu Hajar, keberkahan itu tidak diketahui di jari yang mana ia berada. Karena itu, hendaknya seseorang melumat seluruh jarinya secara berurutan. Ketiga jarinya dilumat sampai tiga kali (jika makannya dengan tiga jari). Dimulai dari jari tengah, sebab ia paling panjang jadi mungkin paling kotor dan paling banyak makanan yang menempel. Setelah itu, jari telunjuk, lalu ibu jari. Dan itu bukan perbuatan yang kotor, sebagaimana anggapan sebagian orang (lihat: Asyraf al-Wasa’il, h. 203).
Keduapuluh tiga, jika dibawakan makanan oleh seseorang atau mungkin oleh pelayan, hendaknya kita menerima makanan itu dengan senang hati dan menikmatinya. Jika perlu ajak pula ia memakannya. Kendati ia tidak mau duduk bersama kita, ambillah satu atau dua suap makanan darinya sebagai penghormatan, sebagaimana yang disampaikan Rasulullah ﷺ, “Jika pelayanmu datang membawa makanan maka terima dan nikmatilah. Duduklah engkau bersamanya. Jika engkau tidak duduk bersamanya, maka ambillah satu atau dua suap darinya,” (HR al-Bukhari).
Keduapuluh empat, Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada kita untuk selalu berbagi makanan dengan siapa saja, sebagaimana sabdanya, “Jika kalian memasak dalam sebuah wajan, maka perbanyaklah airnya agar tetangga kalian dapat turut menikmatinya,” (HR al-Bukhari).
Keduapuluh lima, hendaknya kita menghabiskan makanan yang sudah dalam piring kita.
Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah terkejut karena al-tsufl. Maksud dari al-tsufl adalah makanan yang tersisa (HR Ahmad dan al-Hakim).
Keduapuluh enam, Rasulullah ﷺ mengajarkan bilamana makanan kita terkena lalat, maka celupkanlah seluruh lalat itu, “Ketika ada lalat masuk ke dalam minuman kalian, maka celupkanlah seluruh tubuh lalat itu lalu angkat kembali. Sebab, dalam salah satu sayapnya ada penyakit, sedangkan pada sayap yang lain ada penawarnya,” (HR al-Bukhari).
Keduapuluh tujuh, Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada kita agar menghindari makanan-makanan berbau, seperti bawang, kecuali setelah dimasak sempurna sehingga hilang baunya. “Siapa yang makan bawang merah atau bawang putih, hendaklah dia menjauhi kami, menjauhi masjid kami, dan tetap berada di rumahnya,” (HR al-Bukhari).
Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Siapa yang makan sayuran ini, yakni bawang merah, bawang putih, dan bawang bakung, hendaklah dia tidak mendekati masjid kami. Sebab para malaikat terganggu seperti halnya terganggunya keturunan Adam,” (HR Muslim).
Dalam riwayat berikutnya, beliau bersabda, “Siapa yang makan keduanya, maka sempurnakanlah memasaknya.” (HR Abu Dawud). Selain masjid, juga tentu tempat-tempat umum atau keramaian lainnya, seperti pasar, tempat resepsi, dan sebagainya. Demikian pula semua makanan yang beraroma tidak sedap dan mengganggu orang banyak dapat diperlakukan seperti bawang merah dan bawang putih. Contohnya jengkol dan petai (lihat: Abdul Basith Muhammad al-Sayyid, al-I’jâz al-‘Ilmi fî al-Tasyrî‘ al-Islâmî, [Darul Kutub: Beirut], hal. 353).
Keduapuluh delapan, Rasulullah ﷺ melarang makan atau minum sambil berdiri kecuali dalam keadaan darurat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Sa‘id.
Dalam hadits ini disebutkan bahwa Nabi ﷺ melarang minum sambil berdiri (HR. Muslim). Bahkan, dalam hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah, siapa saja yang lupa makan atau minum sambil berdiri, disuruh memutahkannya, “Siapa saja yang lupa, maka muntahkanlah.” (HR Muslim).
Keduapuluh sembilan, Rasulullah ﷺ mencontohkan bila menggilir makanan atau minuman kepada orang lain, maka dirinya mengambil giliran yang terakhir.
Abdullah ibn Ubayy Aufa menuturkan, “Sewaktu bersama Rasulullah saw, para sahabat kehausan. Beliau pun memberikan minum kepada mereka. Salah seorang sahabat bertanya, ‘Apakah engkau tidak minum, wahai Rasul?’ Dijawabnya, ‘Pemberi mimum suatu kaum adalah yang paling terakhir,’” (HR al-Baihaqi).
Ketiga puluh, yang makan makanan kita adalah orang-orang yang saleh.
Sebab, selain sebagai bentuk syukur, juga tentu akan menolong ketaatan mereka. Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Hendaklah yang makan makanan kalian adalah orang yang baik, orang yang sedang berbuka puasa, dan orang yang bershalawat.”
Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Siapa yang tidak bersyukur kepada sesama manusia, tidak dianggap bersyukur kepada Allah,” (HR al-Hakim).
Ketigapuluh satu, Rasulullah ﷺ mengajarkan agar selalu membersihkan sisa-sisa makanan yang ada di mulut, sebagaimana yang diriwayatkan Abu Hurairah, “Siapa saja yang makan suatu makanan dan mendapati sisa-sisanya dari mulut, maka buanglah segera. Dan jika makanan itu masih bisa terkunyah, maka telanlah. Siapa saja yang melakukannya, itu lebih baik. Dan siapa saja yang tidak melakukannya, maka tidak ada salahnya.”
Ketigapuluh dua, bersiwak setelah makan.
Dalam hal ini, Rasulullah ﷺ bersabda, “Bersiwak itu membersihkan mulut dan menarik keridaan Tuhan,” (HR al-Nasai).
Ketigapuluh tiga, mencuci tangan setelah makan.
Nabi ﷺ menyatakan, “Siapa yang tidur di malam hari, sedangkan dalam tangannya terdapat kotoran, (seperti bekas lemak) maka dia akan ditimpa sesuatu. Dan janganlah dia menyalahkan siapa-siapa kecuali kepada dirinya sendiri.”
Ketigapuluh empat, berdoa setelah makan, sebab hal itu mengundang ampunan dari Allah swt.
Itu pula yang diajarkan dan biasa dilakukan Rasulullah ﷺ, sebagaimana dalam sabdanya, “Siapa saja yang makan suatu makanan, lalu membaca doa berikut:
الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِى أَطْعَمَنِى هَذَا الطَّعَامَ وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّى وَلاَ قُوَّةٍ
“Segala puji hanya milik Allah, Zat yang telah memberikan makanan ini kepadaku dan memberikanya sebagai rezeki bagiku tanpa daya dan kekuatan dariku.” Maka dia akan diampuni dosanya yang telah lalu,” (HR Abu Dawud).
Se Usai makan, beliau juga selalu berdoa dengan doa ini:
الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي يُطْعِمُ وَلَا يُطْعَمُ، مَنَّ عَلَيْنَا فَهَدَانَا، وَأَطْعَمَنَا وَسَقَانَا، وَكُلَّ بَلَاءٍ حَسَنٍ أَبْلَانَا . الْحَمْدُ لِلَّهِ غَيْرَ مُوَدَّعٍ رَجَاءَ رَبِّي وَلَا مُكَافَئٍ وَلَا مَكْفُورٍ ، وَلَا مُسْتَغْنًى عَنْهُ . الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَ مِنَ الطَّعَامِ، وَسَقَى مِنَ الشَّرَابِ، وَكَسَى مِنَ الْعُرْيِ، وَهَدَى مِنَ الضَّلَالَةِ ، وَبَصَّرَ مِنَ الْعَمَى، وَفَضَّلَ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَهُ تَفْضِيلًا . الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Segala puji hanya milik Allah, Dzat yang selalu memberi makanan dan tak pernah diberi makanan, Dzat yang telah memberi anugerah kepada kami, lalu memberi petunjuk, Dzat yang telah memberi makanan dan minuman kepada kami, Dzat yang telah memberikan ujian yang baik kepada kami. Segala puji hanya Allah, dengan pujian yang tidak pernah berakhir, dengan penuh harapan kepada Tuhanku, dengan pujian yang tak tertandingi, pujian yang tak bisa diingkari. Segala puji hanya milik Allah, Dzat yang telah memberikan makanan dan minuman, Dzat yang telah memberi pakaian kepada hamba yang telanjang, Dzat yang telah memberikan petunjuk dari kesesatan, Dzat yang telah memberikan penglihatan kepada hamba-Nya yang tunanetra, Dzat yang telah memberikan banyak karunia kepada makhluk yang telah dicipta-Nya. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam” (HR al-Baihaqi).
Dalam riwayat lain, Rasulullah ﷺ menyabdakan, “Sesungguhnya Allah akan senantiasa rida kepada hamba-Nya yang apabila menyantap suatu makanan, dia lalu memuji-Nya atas nikmat makanan tersebut. Dan apabila minum suatu minuman, dia memuji-Nya atas nikmat minuman tersebut,” (HR Muslim).
Wallahu a’lam. Inilah beberapa pola dan cara makan yang dicontohkan Rasulullah ﷺ Semoga bermanfaat (Abdul Basith Muhammad al-Sayyid, al-I’jâz al-‘Ilmi fî al-Tasyrî‘ al-Islâmî, [Darul Kutub: Beirut], hal. 353).
Wallahu‘lam ‘alam.