MENCARI PELAJARAN BESAR DALAM KISAH IBLIS SI LAKNATULLOH
Persoalan-persoalan teologis masa lalu telah melahirkan berbagai perdebatan. Hingga kini, persoalan itu masih diselimuti kabut misteri. Semua intelektual dan teolog (ahli kalam) muslim masing-masing memiliki pendapat dan berhujah masing-masing. Tapi, marilah kita tengok lagi perdebatan masa lampau itu.
Perdebatan ini sepintas tidak relevan dengan masalah kekinian, tapi kisah ini akan bermakna dalam konteks refleksi teologis bagi kepercayaan dan keimanaan masing-masing, atau pertanyaan dan keragu-raguan tentang berbagai realitas ganjil menurut pandangan pribadi masing-masing.
Narasi itu dimulai dari tema al-jabr (tidak bebas/take for granted) dan al-ikhtiyar (bebas/take for option). Keduanya merupakan diksi-diksi teologis yang telah melahirkan aneka manhaj dan pemahaman yang beragam.
Kalangan filsuf, seperti Ibnu Sina berkata, “Min anna al-qodr sirru Allah (dari, sesunggunya al-Qodr ialah rahasia Allah).”
Ibnu Rusyd berkomentar, “Adillat al-aql wa al-naql hiyaal musykilat, al-qodho wa al-qadr mutanaqidlot (bukti-bukti akal dan bukti naqli adalah sesuatu yang sulit, al-qodho dan al-qadr ialah saling berlawanan.
Sementara Ibnu Taimiyah berkata, “Inna mas’alata kholqi af’aal al-ibad musykilatun (sungguh persoalan tentang penciptaan pekerjaan para hamba merupakan sesuatu yang sulit).”
Kisah ini dimulai saat Tuhan memberikan perintah kepada Iblis dan Malaikat untuk sujud kepada Adam. Sebagai yunior, Malaikat masih penasaran dengan sikap yang ditunjukkan Iblis terhadap perintah Tuhan. Karena penasaran dan sedikit rada sungkan bercampur rasa ingin tahu, Malaikat memberanikan diri untuk bertanya kepada Iblis.
Ada sekitar tujuh masalah yang mengganjal dan mengganjil di Iblis.
Iblis: “Sejujurnya aku mengakui bahwa Tuhan Maha Pencipta ialah Tuhan sesungguhnya, dan sungguh dia juga Maha Pencipta, Maha Alim dan Maha Penguasa. Tidak perlu dipertanyakan lagi perihal kuasa dan kehendak-Nya, dan Dia-pun ketika menghendaki sesuatu berkata kun fayakun, dan Dia Maha Bijak. Hanya saja, jika ditinjau dalam perspektif kebajikan dan kebijaksanaan, terdapat beberapa keganjilan dan masalah.”
Malaikat: “ Apa saja itu, dan berapa banyak?”
Iblis: “Ada Tujuh! Pertama, Sesungguhnya Dia telah tahu sebelum menciptakan aku, apa saja yang akan lahir dariku dan apa yang akan aku peroleh. Lantas, mengapa Dia menciptakan aku pertama kali? Apa hikmat dari penciptaan-Nya terhadapku?”
Kedua, Ketika Dia telah menciptakanku sesuai dengan kemauan dan kehendak-Nya, mengapa Dia membebaniku dengan mengenali-Nya serta mentaati-Nya? Apa hikmah taklif tersebut, sementara Dia tidak mendapat manfaat (keuntungan) dari sebuah ketaatan dan tidak mendapat kemlaratan (kerugian) dari sebuah kemaksiatan?.
Ketiga, ketika Dia menciptakanku dan membebaniku, selanjutnya aku memenuhi bebanku (taklif) dengan mengenal dan mentaati-Nya, dan aku pun makrifat dan taat kepada-Nya. Lantas, mengapa Dia membebaniku dengan taat kepada Adam, serta sujud kepadanya? Apa hikmah taklif dalam konteks ketiga ini secara khusus, sementara, hal tersebut tidak akan memberikan peningkatan pada pengetahuan dan ketaatanku terhadap-Nya?
Keempat, saat Dia telah menciptakan dan menugasiku secara umum (mutlak)? Dan menugasiku dengan tugas khusus ini, maka saat aku tidak melakukan sujud, lantas kenapa Dia melaknat dan mengeluarkanku dari surga? Apa hikmah dari kasus tersebut, padahal aku tidak melakukan dosa sama sekali kecuali ucapanku, ‘laa Asjudu Illa laka’ (aku tidak akan bersujud kecuali hanya kepada Engkau)?
IBLIS TIDAK TAHU DIRI BAHWA DIRINYA HANYALH SEBATAS HAMBA ALLOH YANG HARUS TAAT ATAS SEGALA APA YANG DI PERINTAHKAN, MANUSIAPUN AKAN SEBAGAIMANA IBLIS KALAU TIDAK BISA MEMPOSISIKAN DIRI HANYA SEBAGAI HAMBA. WALLOHU ALAM