“PEMBUNUHAN KARAKTER” BAGAIMANA KITA MENYIKAPINYA?
Dalam Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, Imam Abu Na’im al-Ashbahânî (330-430 H) memasukkan sebuah riwayat tentang nasihat Sayyidina Ja’far ash-Shadiq untuk orang yang sedang dijelekkan oleh orang lain. Berikut riwayatnya:
حدثنا عبد الله بن محمد، ثنا علي بن رستم، قال: سمعت أبا مسعود يقول: قال جعفر بن محمد: إذا بلغك عن أخيك شيء يسوءك فلا تغتم، فإنه إن كان كما يقول كانت عقوبة عجلت، وإن كان علي غير ما يقول كانت حسنة لم يعملها، قال موسي: يا رب، أسألك أن لا يذكرني أحد إلا بخير، قال: ما فعلت ذلك لنفسي
Terjemah bebas: Abdullah bin Muhammad menceritakan, Ali bin Rustum menceritakan, ia berkata: ‘Aku mendengar Abu Mas’ud berkata: ‘Ja’far bin Muhammad berkata: “Ketika sampai kepadamu suatu (kabar) tentang saudaramu yang menjelek-jelekanmu, maka janganlah kau risau. Karena, jika benar apa yang dikatakannya (tentangmu), itu adalah hukuman yang disegerakan (Tuhan atas dosa tersebut). Jika tidak benar apa yang dikatakannya (tentangmu), itu menjadi kebaikan yang tidak diamalkan (secara langsung olehmu).” (Nabi) Musa (‘alaihissalam) berkata: “Tuhanku, aku memohon kepada-Mu agar tidak ada seorang pun yang menyebutku (atau mengingatku) kecuali dengan kebaikan.” Tuhan menjawab: “Apa kau sudah melakukan hal itu terhadap-Ku?” (Imam Abu Na’im al-Ashbahânî, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, juz 2, h. 477)
Sepanjang hidup, seseorang pasti bertemu dengan orang yang tidak disukai dan menyukainya. Itu wajar. Karena memang begitulah dunia, penuh dengan kejadian dan keadaan yang seketika bisa merubah persepsi seseorang tentang seseorang lainnya. Tidak jarang satu peristiwa membekaskan luka yang mendalam; tidak jarang pula banyak peristiwa yang tidak berbekas apa-apa. Semuanya terjadi begitu saja. Akan tetapi, dengan warna-warni kehidupan yang begitu beragam, ada keindahan aturan Tuhan yang diturunkan melalui wahyu, dan nabi-Nya.
Semacam sabda nabi, “lâ taghdlab, wa lakal jannah” (jangan marah, maka untukmu surga).
Kemarahan tidak akan muncul tanpa sebab. Pasti ada pemicu untuk kemarahan seseorang. Pembunuhan karakter, atau sampainya kabar kepada kita bahwa seseorang menjelek-jelekkan kita, bisa jadi salah satu penyebabnya. Sabda Nabi, “jangan marah”, merupakan cara yang diajarkan Rasulullah kepada kita. Karena manusia ini unik. Untuk keburukan yang kita lakukan saja, kita akan marah ketika seseorang menggunjingkannya, apalagi keburukan yang tidak kita lakukan. Karena itu, menahan amarah adalah cara terbaik agar tidak terjerumus dalam lingkaran kesalahan.
Sayyid Ja’far ash-Shadiq, dengan ucapannya, memberikan rasionalisasi spiritual yang baik kepada kita, agar kita tidak berkecil diri dan terhindar dari keburukan. Ia berujar: “Ketika sampai kepadamu suatu (kabar) tentang saudaramu yang menjelek-jelekanmu, maka janganlah kau risau.”
Kemudian Sayyid Ja’far ash-Shadiq menampilkan ilustrasi spiritual yang menarik. Ia berkata:
“Karena, jika benar apa yang dikatakannya (tentangmu), itu adalah hukuman yang disegerakan (Tuhan untukmu). Jika tidak benar apa yang dikatakannya (tentangmu), itu menjadi kebaikan (meski) tidak diamalkan (secara langsung olehmu).”
Artinya, tidak perlu bersedih mendengar gunjingan orang tentang kita; tidak perlu gundah mendengar pendapat buruk orang tentang kita. Sebab, andaipun itu benar, itu bisa mengurangi dosa kita, karena hukumannya telah disegerakan melalui gunjingan orang-orang; andai itu salah, kita akan mendapatkan pahala tanpa melakukan apa-apa. Dengan kata lain, kita mendapatkan pengurangan dosa dan penambahan pahala secara cuma-cuma.
Di samping itu, kita tidak perlu membenci berlebihan ketika karakter kita dibunuh. Kita sikapi itu sebagaimana yang diajarkan Rasulullah dan Sayyid Ja’far ash-Shadiq. Karena amarah dan kebencian yang berlebihan, bisa membuat kita terjebak dalam permusuhan yang memutus tali silaturahmi. Jangan sampai kita terlibat dalam pemutusan tali silaturahmi itu.
Rasulullah bersabda (HR. Imam Muslim):
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ
“Tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahmi.”
Kita akan sangat rugi jika terjebak dalam kebencian yang berlebihan, apalagi jika kita tidak melakukan apa yang digunjingkan. Kalimat yang paling tepat untuk menggambarkan kerugian ini adalah, “fitnah kita dapatkan, dan surga kita jauhkan.”
Tentu, marah dalam taraf yang wajar adalah normal. Semua orang memiliki amarah dalam dirinya. Persoalannya adalah, sejauh mana kemarahan dapat membutakan dan menghilangkan akal sehat kita. Karena itu, Rasulullah meminta kita agar, “lâ taghdlab” (jangan marah). Artinya, kita harus berjuang menjinakkan amarah dan kebencian kita. Jangan sampai kemarahan dan kebencian yang mengendalikan kita.
Selanjutnya, Sayyid Ja’far ash-Shadiq menceritakan doa yang disampaikan Nabi Musa ‘alaihissalam kepada Allah, “Tuhanku, aku memohon kepada-Mu agar tidak ada seorang pun yang menyebutku (atau mengingatku) kecuali dengan kebaikan.” Doa Nabi Musa’ ini mengandung makna yang dalam, yaitu ketidak-tegaan Nabi Musa jika ada orang yang berdosa karenanya. Jika seseorang menggunjingkannya, atau menceritakan hal-hal yang buruk tentangnya, orang tersebut sudah pasti berdosa. Ini juga berimplikasi pada pentingnya berperilaku baik. Dengan tujuan meminimalisasi sangkaan buruk orang lain kepada kita, sehingga semakin sedikit orang yang berdosa karena menggunjingkan kita. Lalu Allah bertanya: “Apakah kau sudah melakukan hal itu terhadap-Ku?” Ini penting, sangat penting. Sebab, kita sebagai manusia ingin selalu dipandang baik oleh lainnya, atau ingin selalu dipuji. Tapi di sisi lain, kita sangat mudah mengumbar kesalahan orang lain dan menggunjingkannya.
Begitupun hubungan kita dengan Allah. Seringkali kita tidak puas dengan apa yang kita dapatkan dalam hidup. Akhirnya, secara tak sadar kita mempertanyakan Allah dan berprasangka yang tidak-tidak kepada-Nya. Oleh karena itu, Allah menjawab doa Nabi Musa dengan pertanyaan untuk diambil pelajarannya. Agar manusia tidak egois dengan citra baiknya tapi menjatuhkan citra baik selainnya, apalagi jika ketidak-puasan itu menuju kepada Allah. Padahal Allah sudah sangat jelas berfirman, “Anâ ‘inda dhanni ‘abdî bî” (Aku tergantung persangkaan hamba-Ku kepada-Ku).
Wallahu a’lam bish-shawwab