AHLAK BERDANDAN AGAR SESUAI SYARIAT DI TENGAH NEW NORMAL

AHLAK BERDANDAN AGAR SESUAI SYARIAT DI TENGAH NEW NORMAL

Nabiyullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika bersabda:

 الْبَذَاذَةُ مِنَ الْإِيمَانِ “Al-Badzadzah adalah sebagian dari Iman” (Riyadlu al-Shalihin, Nomor Hadits 515).

Hadits ini cukup terkenal dan sering disampaikan oleh para dai dalam berbagai ceramahnya. Sebenarnya, apa yang dikehendaki dari hadits ini? Simak penjelasan berikut ini!

Pertama, terkait dengan status hadits ini, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani memberikan penegasan:

 وَهُوَ حَدِيثٌ صَحِيحٌ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَالْبَذَاذَةُ بِمُوَحَّدَةٍ وَمُعْجَمَتَيْنِ رَثَاثَةُ الْهَيْئَةِ وَالْمُرَادُ بِهَا هُنَا تَرْكُ التَّرَفُّهِ وَالتَّنَطُّعِ فِي اللِّبَاسِ وَالتَّوَاضُعُ فِيهِ مَعَ الْقُدْرَةِ لَا بِسَبَبِ جَحْدِ نِعْمَةِ اللَّهِ تَعَالَى اهـ

“Ini adalah hadits shahih yang ditakhrij oleh Abu Dawud. Lafal “al-Badzazah” berarti keadaan yang serbakusut. Maksudnya, meninggalkan pakaian dan baju yang serbamewah, dan anjuran agar berlaku tawadhu’ meski mampu melakukan. Sikap tawadhu’ ini bukan lahir sebab oleh mengingkari terhadap nikmat Allah SWT.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari, juz 10, hal. 368).

Setidaknya, ada dua sikap para ulama ahli hadits yang lahir dari hadits ini, yaitu:

Pertama, anjuran mengenai sikap tengah-tengah dalam berhias. Setidaknya, pengertian ini hadir dengan mengambil sumber hadits dari Imam Al-Nasai rahimahullah, bahwa suatu ketika datang seorang laki-laki menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan sesampai di hadapan beliau, ia mendapati Rasulullah melarang para sahabat dari sikap berlebih-lebihan dalam melakukan irfah. Apakah itu irfah? Ibnu Buraidah menjelaskan, bahwa irfah itu adalah:

 الْإِرْفَاهُ التَّرَجُّلُ “Irfah itu adalah al-tarajjul (menyisir rambut dengan jari tangan).”

Menurut Syekh Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani, al-Irfah, adalah:

 الْإِرْفَاهُ بِكَسْرِ الْهَمْزَةِ وَبِفَاءٍ وَآخِرُهُ هَاءٌ التَّنَعُّمُ وَالرَّاحَةُ وَمِنْهُ الرَّفَهُ بِفَتْحَتَيْنِ

“Al-Irfah, dengan kasrah hamzahnya, dan fa’ serta diakhiri huruf ha’, adalah kondisi bergelimang nikmat yang disertai dengan kelonggaran dan rehat. Dari kata ini muncul istilah al-rafahu, dengan dua fathah hurufnya.”

Penafsiran Ibnu Hajar ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud rahimahullah, dengan sanad dari sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, yang marfu’ kepada Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Nabi shalllahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 من كان له شعر فليكرمه

“Barang siapa memiliki rambut, maka hendaknya ia menatanya.”

Semua keterangan di atas, dimuat di dalam kitab Fathu al-Bari li Ibn Hajar al-Asqalani, juz 10, hal. 368.

Kedua, hadits al-badzadzah mina al-Iman, berisikan anjuran bahwa tidak di sembarang waktu seorang Muslim itu boleh berhias. Ibnu Bathal menjelaskan kapan bolehnya seseorang berhias.

 Melalui sebuah pernyataannya yang direkam oleh Syekh Ibnu Hajar al-Asqalani, ia menjelaskan:

 والمراد بهذا الحديث – والله أعلم – بعض الأوقات ولم يأمر بلزوم البذاذة فى جميع الأحوال لتتفق الأحاديث، وقد أمر الله تعالى بأخذ الزينة عند كل مسجد، وأمر النبي (صلى الله عليه وسلم) باتخاذ الطيب، وحسن الهيئة واللباس فى الجمع وماشكل ذلك من المحافل

“Entah apa yang dikehendaki dari hadits ini – wallahu a’lam. Jelasnya, hadits ini tidak memerintahkan agar seorang Muslim tidak senantiasa berpenampilan lusuh (al-badzadzah) di semua waktu dan kondisi, karena disepakatinya hadits (diriwayatkan olehal-Bukhari dan Muslim). Sungguh, Allah SWT telah memerintahkan agar memakai perhiasan saat hendak menuju masjid. Bahkan, Baginda Nabi shalllallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar memakai wangi-wangian saat memasukinya, ditambah kondisi tubuh yang baik, dan pakaian yang baik pula, secara umum. (Sudah barang pasti) tiada maksud dari semua kondisi ini bahwa berhias ditujukan untuk berpesta” (Fathu al-Bari Syarah Shahihal-Bukhari, juz 9, hal. 164).

Kedua anjuran di atas, sepakat dalam satu fokus utama tujuan dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai al-Badzadzah mina al-Iman, yaitu bahwasanya Allah dan Nabinya menghendaki agar pribadi seorang Muslim senantiasa menjaga posisi ketawadhu’an dan melarang dari sikap bermegah-megahan (sok keren). Pakaian yang mewah kadang bisa menyeret seseorang dari berlaku kibir (sombong).

Tidak selalu yang dimaksud pakaian itu adalah pakaian dalam pengertian baju. Pakaian yang dimaksud bisa jadi berupa kendaraan, mobil, tempat tinggal yang mewah, dan lain sebagainya. Semua itu dilarang bila dalam ranah bermegah-megahan. Intinya, larangan itu adalah dimaksudkan untuk berhias layaknya hendak ke pesta. Jika berhiasnya adalah dalam rangka kerja, dan dalam batas-batas yang dibenarkan oleh syara’ (tengah-tengah), maka sudah barang tentu, hal ini sangat dianjurkan. Karena Islam menghendaki seorang muslim juga ada dalam kondisi mulia.

Sebagaimana hal itu dapat dipahami dari hadits larangan al-irfah huwa al-tarajjul (menyisir rambut dengan jari tangan). Semata itu semua adalah dalam rangka menjaga kehormatan dan kewibawaan seorang muslim itu sendiri.

Ibn Abdul Barr menjelaskan maksud lain dari hadits al-badzadzah, dengan menyampaikan:

 أَرَادَ بِهِ اطِّرَاحَ الشَّهْوَةِ فِي الْمَلْبَسِ وَالْإِسْرَافَ

“Nabi menghendaki agar seorang Muslim membuang syahwat berlebih-lebihan dalam pakaian dan tempat tinggal” (Al-Istidzkar, juz 1, hal. 330).

 Intinya, pribadi muslim dilarang untuk bersikap sombong dan berlebih-lebihan dalam berhias, sehingga tidak asal keren. Islam mengajarkan agar seorang muslim menjaga kewibawaannya (muru’ah), sebagaimana hal itu dimafhumi dari perintah berhias ketika memasuki masjid. Dengan kata lain, Islam mengajarkan agar perhiasan dan pakaian, adalah dipergunakan sebagaimana perlunya.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Leave your comment here: