MENGETAHUI ILMU HATI AGAR BISA MENJAGANYA DARI KEJELEKAN DAN KERACUNAN

MENGETAHUI ILMU HATI AGAR BISA MENJAGANYA DARI KEJELEKAN DAN KERACUNAN

Hati seorang hamba terkadang sehat, sakit, sakit parah, bahkan mati. Parahnya lagi, sakit dan matinya hati adakalanya tidak diketahui pemiliknya. Itu akibat si pemilik tidak tahu tanda-tanda sehat, sakit, dan matinya.

Maka dari itu, penting sekali kita mengetahui tanda-tanda tersebut. Adapun dalil sehat, sakit, dan matinya adalah sebagai berikut: “(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (sehat),” (QS Asy-Syu‘ara [26]: 88-89).

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta,” (QS Al-Baqarah [2]: 10).

 “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat,” (QS Al-Baqarah [2]: 7).

Ketahuilah, hati yang sakit tak akan merasakan perihnya kemaksiatan, tak menyadari pedihnya kebodohan, dan tak menghiraukan batilnya aqidah. Tak hanya itu, hati yang sakit begitu “alergi” terhadap pahitnya obat. Sehingga ia lebih memilih bertahannya penyakit dibanding dengan pahitnya obat.

Sebaliknya, hati yang sehat akan merasakan sakitnya hal-hal tercela yang datang kepadanya, menyadari pedihnya kebodohan, dan mendeteksi penyakit dan aqidah yang batil. Sebaliknya, hati yang sehat adalah hati yang mudah menerima obat dan berusaha menyingkirkan penyakit. Selanjutnya, di antara tanda-tanda hati yang sakit adalah berpaling dari makanan yang bermanfaat kepada makanan yang membahayakan, dari obat yang menyehatkan kepada obat yang mencelakakan.

Sebaliknya, hati yang sehat adalah hati yang mementingkan obat yang menyehatkan walaupun pahit daripada harus bertahan dalam perihnya penyakit. Sesungguhnya, sebaik-baiknya makanan bagi hati adalah keimanan, dan sebaik-baiknya obat adalah Al-Qur’an.

Tanda hati yang sehat berikutnya adalah bergerak meninggalkan dunia dan menuju akhirat. Walau tinggal di dunia, ia menempatkan diri sebagai ahli dan peraih akhirat. Sementara di dunia, ia tinggal seperti yang asing. Mengambil dunia hanya sekadar memenuhi kebutuhan, bukan memenuhi keinginan, lalu bersiap kembali kepada negeri kepulangan yang abadi.

Hal ini sesuai dengan tutur ucap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sambil memegangi bagian tubuhnya:

 يَا عَبْدَ اللَّهِ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ، وَاعْدُدْ نَفْسَكَ مَعَ الْمَوْتَى

Artinya, “Wahai Abdullah, jadilah kalian di dunia seperti orang asing atau seperti orang yang melintasi perjalanan. Lalu persiapkanlah dirimu menghadap kematian!” (HR. Ahmad).

Sebaliknya, hati yang sakit adalah hati yang mementingkan urusan dunia, mengikuti keinginan nafsu, lupa akhirat saking betahnya di dunia, sehingga seolah-olah akan terus hidup di dunia selamanya. Kemudian, tanda hati yang sehat adalah selalu mengingatkan pemiliknya, hingga berpulang kepada Allah, rendah hati di hadapan-Nya, bergantung kepadanya seperti bergantungnya seorang pecinta kepada kekasihnya. Dengan mencintainya, dia merasa tak perlu mencintai kepada yang lain, tak perlu mengingat yang lain, tak perlu melayani yang lain. Kendati harus mencintai, mengingat, dan melayani sesuatu, maka dia mencinta, mengingat, dan melayani karena Allah.

Tanda hati yang sehat berikutnya adalah ketika melewatkan satu kebaikan atau satu ketaatan, ia akan menyesal melebihi penyesalan karena melewatkan dan kehilangan harta.

Hati yang sehat juga selalu merindukan kebaikan dan kemuliaan akhirat layaknya orang yang lapar dan haus merindukan makanan dan minuman. Ia merasa senang saat mengabdi dan melayani Allah. Sehingga apa pun yang datang dari-Nya, selalu diterimanya dengan sabar dan penghambaan.

Kaitan dengan ini, Yahya ibn Mu‘adz pernah berkata, “Orang yang senang melayani Allah, maka apa pun dan siapa pun akan senang melayaninya. Orang yang senang hatinya dengan Allah, maka segala sesuatu akan senang melihat kepadanya.”

Selain itu, perhatian hati yang sehat hanya satu, yaitu selalu bersama Allah dalam ketaatan. Takut kehilangan waktu bersama-Nya. Ia takut waktunya terbuang percuma. Tatkala datang waktu shalat, hilanglah perhatiannya terhadap dunia karena ingin segera memasuki ketenangan, kenikmatan, dan kekhusyuan di dalamnnya. Tidak pernah lalai mengingat Allah, tidak pernah bosan menghamba kepada-Nya, tidak pernah bersahabat kecuali dengan orang yang mampu menunjukkan dan mengingatkan dirinya kepada Allah. Perhatiannya tertuju kepada cara memperbaiki amal dan menunaikan sebaik-baiknya amal. Setelah itu, ia menyusulnya dengan keikhlasan di dalamnya. Tidak pernah sungkan meminta nasihat. Tak ragu berbuat baik dan taklid kepada orang-orang saleh. Ia melihat segala sesuatu sebagai pemberian dan karunia Allah, sementara melihat dirinya penuh dengan kelalaian dalam memenuhi hak-hak-Nya. Adapun perkara yang merusak kesehatan hati setidaknya ada empat: banyak bicara yang tak berguna, banyak melihat yang tidak halal, banyak makan walaupun makanan yang halal, dan banyak bergaul dengan lingkungan yang tidak baik.

Sementara perkara yang dapat menghidupkan dan menyehatkan hati adalah membaca Al-Qur’an, berzikir, berdoa, bershalawat, memperbanyak istigfar, menunaikan shalat malam, banyak bergaul dengan orang-orang saleh, dan sebagainya. (Lihat: Syekh Ahmad Farid, Tazkiyatun Nafsi, [Al-Iskandariyyah: Darul ‘Aqidah], 1993, hal. 21-46).

Rasulullah ﷺ pernah menyatakan bahwa dalam tubuh kita ini ada segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik maka baiklah seluruh tubuh kita. Namun jika segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh tubuh kita. Segumpal daging dimaksud adalah hati. Demikian seperti yang diriwayatkan al-Bukhari. Berdasarkan hadits di atas, kita tahu bahwa baik-buruknya perilaku dan amal perbuatan kita sangat ditentukan oleh baik dan buruknya kondisi hati. Karena itu, kita dituntut untuk memperbaiki dan merawatnya. Untuk merawat hati agar tetap hidup, jernih, dan tidak rusak, dan tidak teracuni, para ulama telah memberikan beberapa rambu kepada kita.

Di antaranya dengan menghindari empat hal berikut ini.

Pertama, banyak bicara. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah ﷺ yang menyatakan, “Siapa saja yang banyak bicaranya maka banyak kesalahannya. Siapa yang banyak kesalahannya, maka sedikit wara’-nya. Siapa saja yang sedikit wara-nya, maka mati hatinya. Siapa saja yang mati hatinya, maka Allah haramkan surga untuknya.”

Nabi Isa ‘alaihissalam pernah berpesan, “Sedikitlah bicara kecuali dengan berdzikir. Sebab, banyak bicara hanya akan mengeraskan hati.”

Namun tentunya, maksud banyak bicara di sini adalah bicara yang tanpa makna, sedangkan bicara yang memberi manfaat dan hikmah justru sangat dianjurkan.

Rasulullah ﷺ sendiri menganjurkan agar selalu bicara yang baik, bahkan anjuran itu dikaitkan dengan keimanan, “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka katakanlah yang baik-baik atau diam,” (HR Malik). (Lihat: Ibnu Abi ‘Ashim, al-Zuhd, Daru al-Rayyan: Kairo], 1408 H, hal. 38).

Kedua, banyak makan, terlebih makanan yang haram. Para ulama menyatakan, di antara perkara yang dibenci adalah penuhnya perut dengan perkara halal. Ini artinya, diisi yang halal saja sudah dibenci, apalagi diisi dengan haram. Adapun rahasia larangan memenuhi perut, salah satunya yang dipesankan oleh Luqman al-Hakim kepada putranya, “Wahai anakku, jika perutmu penuh, maka pikiranmu akan tidur, hikmah jadi tertutup, dan anggota tubuh akan lemah dibawa ibadah.”

Seorang ahli hikmah juga menuturkan, “Siapa saja yang banyak makannya, pasti banyak minumnya. Siapa saja yang banyak minumnya, pasti banyak tidurnya. Siapa saja yang banyak tidurnya, pasti banyak dagingnya (gemuk). Siapa saja yang banyak dagingnya, pasti keras hatinya. Siapa saja yang keras hatinya, maka ia akan tenggelam dalam kubangan dosa.”

Ahli hikmah yang lain menyatakan, “Siapa yang banyak kenyang di dunia, maka ia akan banyak lapar di akhirat.” Karenanya, berbicara soal perut, Rasulullah ﷺ telah mengingatkan kepada kita bahwa perut bukanlah wadah yang siap diisi apa saja sesuai keinginan kita. Sekalipun ia diisi, tidak boleh berlebihan sehingga melebihi batas kemampuannya, sebagaimana dalam hadits, “Keturunan Adam tidak dianggap menjadikan perutnya sebagai wadah yang buruk jika memenuhinya dengan beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Karena itu, apa yang dia harus lakukan adalah sepertiga perutnya untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk nafas,” (HR Ahmad).

Ketiga, banyak bergaul dengan orang-orang buruk. Dikecualikan jika keyakinan dan akhlak kita sudah kuat, dan tujuan kita bergaul adalah memperbaiki akhlak mereka. Namun, sekiranya kita masih lemah, tinggalkanlah pergaulan dengan mereka. Sebab biasanya, bukan mereka yang berubah baik karena bergaul dengan kita, tetapi justru kita yang tergerus mereka. Sebaiknya, jika keyakinan dan karakter kita masih lemah, bersahabatlah dengan orang-orang saleh, terlebih persahabatan itu akan berlanjut hingga hari akhir. Salah satu hadits Rasulullah menyatakan, “Sesungguhkan engkau akan dikumpulkan bersama orang-orang yang engkau cintai.” Artinya, jika seseorang cinta kepada orang saleh, maka kelak ia akan dibangkitkan bersama orang-orang saleh.

Demikian pula sebaliknya. Luqman al-Hakim pernah berpesan kepada putranya, “Bergaullah dengan orang-orang saleh hamba Allah. Sebab, dari kebaikan-kebaikan mereka, engkau akan mendapatkan kebaikan. Boleh jadi, di akhir pergaulan dengan mereka, rahmat akan turun. Dan engkau mendapat rahmat itu bersama mereka. Wahai anakku, janganlah engkau bergaul dengan orang-orang buruk. Sebab, dengan bergaul dengan mereka, engkau tidak akan mendapat kebaikan. Boleh jadi di akhir pergaulan dengan mereka, siksaan turun kepada mereka. Dan engkau tertimpa siksaan itu bersama mereka.” (Ahmad ibn Hanbal, al-Zuhd, (Darul Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut], 1999, hal. 87). Dari bergaul dengan orang-orang saleh, diharapkan kita pun menjadi orang saleh. Sebab, orang saleh yang dijanjikan Allah akan beruntung, “Aku berjanji kepada hamba-hamba-Ku yang saleh dengan sesuatu yang belum pernah terlihat mata, belum pernah terdengar oleh telinga mana pun, dan belum pernah terbesit dalam hati siapa pun.” Demikian janji Allah kepada orang-orang saleh dalam salah satu hadits qudsi. Menjauhi orang-orang buruk dan mendekati orang-orang saleh ini tak lain demi menjaga hati kita agar tidak keruh dan terkotori.

Keempat, banyak memandang. Ketahuilah bahwa pangkal segala keburukan adalah banyak memandang. Kendati tidak seluruhnya, namun umumnya berbagai keburukan dan kejahatan, seperti perzinaan, perkosaan, pencurian, pembunuhan, dan sebagainya, baik secara langsung maupun tidak, dimulai dari pandangan. Tentu saja pandangan-pandangan yang buruk, terlebih di zaman modern seperti sekarang ini dimana segala informasi dan gambar apa saja mudah diakses. Pandangan-pandangan buruk itulah yang kemudian bersarang dalam hati dan mengotorinya. Sedangkan jika hati sudah kotor, maka yang timbul adalah kemalasan, kekikiran, niatan-niatan jahat, kesombongan, sikap keras menerima nasihat, dan jauh dari kebaikan. Mengingat pentingnya menjaga atau menundukkan pandangan ini, maka Allah memerintahkannya langsung dalam Al-Quran, sebagaimana ayat berikut, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’,” (QS al-Nur [24]: 30). Bahkan perintah ini tidak hanya ditujukan kepada kaum laki-laki, tetapi juga kepada kaum perempuan, “Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya’,” (QS al-Nur [24]: 31).

Walau konteks ayat di atas adalah menjaga pandangan dari aurat, tetapi selayaknya diterapkan terhadap hal-hal negatif yang dapat melahirkan rasa iri, dengki, panas hati, mengundang syahwat, dan seterusnya. Demikian empat hal yang dapat meracuni hati. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang mampu menghindarinya dan termasuk orang yang mampu menata hati menjadi lebih jernih. Wallahu a’lam.

Leave your comment here: