USWAH : AMPLOP DA’I JANGAN JADI TUJUAN

USWAH : AMPLOP DA’I JANGAN JADI TUJUAN

Ada seorang Sayyid sepuh yang sangat mencintai Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliki, beliau biasa dipanggil “Syekh Syu’aib” dan umurnya jauh lebih tua dari Abuya, saya baru tahu kalau beliau itu seorang Sayyid ketika Abuya menyebut nama beliau dengan gelar “Assayyid” saat menulis buku harian, tapi saya lupa marganya. Syekh Syu’aib selalu menghadiri majlis Abuya, beliau juga sering bertamu pada Abuya di siang hari dan selalu membawa hadiah.

Suatu ketika saya sedang bersama Abuya dan datanglah Syekh Syu’aib dengan membawa hadiah, Abuya menerima hadiah itu dan langsung menciumnya dengan wajah gembira, Syekh Syu’aib nampak gembira dengan sambutan Abuya. Namun tiba-tiba wajah Abuya berubah seperti menghawatirkan sesuatu dan kemudian berkata: “Wahai Syekh Syu’aib, saya senang sekali menerima hadiah anda dan saya berterima kasih banyak, tapi saya mohon, kalau ke sini jangan selalu membawa hadiah.”

“Kenapa, wahai Sayyid?” Kata Syekh Syu’aib.

“Saya tidak mau terbiasa menerima hadiah dari Anda dan siapapun, karena saya hawatir ketika suatu saat anda tidak membawa hadiah kemudian hati saya berburuk sangka, misalnya saya akan mengira anda tidak mencintai saya lagi, atau anda tidak dermawan lagi dan sebagainya.”

Setelah mendengar penjelasan Abuya, Syekh Syu’aib tertawa kecil kemudian berkata: “Wahai Sayyid, katakan itu pada orang lain. Kalau saya, jangan halangi saya untuk membawa hadiah.” Mendengar ucapan Syekh Syu’aib itu Abuyapun tertawa terbahak-bahak.

Subhanallah, Abuya begitu ketatnya didalam menjaga hati, saya sendiri belum pernah berfikir akan hal itu, bahwa selalu menerima hadiah dari sesorang itu dapat memunculkan buruk sangka ketika suatu saat orang itu tidak memberi hadiah. Saya yakin orang sekelas Abuya tidak akan berburuk sangka seperti itu, karena, yang saya tahu, beliau orangnya sangat arif dan penyabar, beliau bahkan selalu berbaik sangka pada orang yang jelas-jelas menyakiti beliau. Kalau melihat raut Abuya ketika mengatakan itu, saya merasa Abuya mengatakannya dari hati, itu artinya beliau selalu rendah hati di hadapan Allah dan manusia. Walaupun beliau adalah seorang ulama besar yang sejak kecil sudah terbiasa menjaga hati, namun beliau selalu menghawatirkan keselamatan hati dari sifat-sifat tercela, beliau tidak merasa kebal dan selalu berusaha menghindari hal-hal yang dapat mengotori hati, beliau selalu mencurigai hawa nafsu dan berhati-hati didalam melakukan apapun.

Ucapan singkat Abuya kepada Syekh Syu’aib itu memberi arti yang sangat dalam. Bagi saya, seandainya Abuya hanya berbasa-basi dengan ucapan itu, tetap saja ucapan itu adalah sebuah tarbiyah serius bagi saya yang mendengarnya, apalagi kami (santri beliau) yang dari Indonesia akan mengalami hal itu, dimana para pendakwah di Indonesia umumnya mendapat hadiah ketika menghadiri undangan ceramah. Sebagai manusia biasa, penceramah yang terbiasa menerima amplop ketika berceramah bisa merasa tidak nyaman ketika suatu saat panitia tidak memberinya amplop, perasaan tidak nyaman itupun bisa bermacam-macam, misalnya buruk sangka pada tuan rumah atau panitia. Dalam hal ini, Abuya Ali Karrar mempunyai cara yang bagus dan patut ditiru, beliau tidak pernah membuka amplop yang beliau terima ketika diundang ceramah, beliau langsung menyerahkannya pada bendahara pribadi beliau, beliau juga tidak pernah menanyakan saldo uang yang dipegang bendahara kecuali sedang ada perlu untuk keperluan Pesantren atau program dakwah.

Saya sediri memiliki banyak pengalaman saat berlatih “tidak peduli amplop”, diantaranya ketika saya tinggal di Jakarta, saya pernah diundang ceramah ke Jawa Timur dan panitia salah memberi amplop, dia memberi saya amplop yang semestinya untuk penceramah lokal, isinya hanya beberapa ratus ribu rupiah saja, sementara dari jakarta ke Surabaya saya naik pesawat, dari Bandara Surabaya ke tempat acara menggunakan mobil dan supir sewaan.

Saya harap pembaca memaklumi kalau saya berharap isi amplop itu cukup untuk menutup biaya transportasi, karena biaya itu saya dapat dari berhutang. Hal serupa juga pernah terjadi ketika saya diundang ceramah di sebuah kampung pedalaman di Madura, ketika itu saya juga masih tinggal di Jakarta, setelah berceramah dan hendak pulang, tuan rumah memberi saya amplop isinya lima ratus ribu rupiah, hanya cukup untuk membayar sewa mobil dan supir dari Bandara ke tempat acara.

Ketika melepas saya pulang, tuan rumah berkata pada saya: “Terima kasih, Kiyai. Semoga anda bisa hadir setiap tahun.” Setelah membuka amplop dan menyerahkan isinya ke supir untuk membayar sewa mobil, saya teringat dengan kata-kata tuan rumah tadi, “Semoga anda bisa hadir setiap tahun”, sayapun berjanji di hati, kalau dia mengundang lagi maka saya akan datang walaupun harus berhutang untuk membeli tiketnya.

Saya juga memiliki pengalaman pernah menolak amplop, ketika itu saya marah karena ada seorang “penceramah komedian” yang dengan terang-terangan berkata bahwa dirinya memilih pindah profesi sebagai penceramah karena penghasilannya lebih bagus daripada profesi sebelumnya, sayapun menasehatinya walaupun ketika itu saya baru berumur dua puluh tiga tahun dan dia sudah hampir lima puluh tahun, namun dia malah berkata: “Sampean, kan, juga merima amplop kalau diundang ceramah.” Sayapun -yang ketika itu masih muda dan mudah marah- merasa jengkel dan tidak mau berteman dengannya, sampai-sampai saya menolaknya ketika dia bertamu ke rumah saya, ketika itu dia tidak turun dari mobil dan menyuruh asistennya untuk melihat apakah saya ada di rumah atau tidak, sayapun berkata pada asistennya: “Katakan saja bahwa saya ada di rumah tapi tidak mau menemuinya.”

Begitulah galaknya saya ketika masih muda dan baru pulang dari Makkah. Sejak saat itu, saya memutuskan untuk tidak menerima amplop ketika diundang ceramah atau apapun, saya bahkan berpesan pada tuan rumah atau panitia ketika datang untuk mengundang saya agar saya tidak diberi amplop. Itu adalah perubahan yang cukup berat bagi saya, karena kebiasaan saya sejak kecil adalah memiliki uang dari pemberian orang, baik hadiah dari santri-santri ayah saya maupun amplop ketika menghadiri undangan.

Di tempat saya, putra-putra Kiyai ketika hadir majlis diberi amplop oleh tuan rumah walaupun tidak berceramah atau memimpin doa, cukup hadir saja. Jadi, sejak kecil saya sudah terbiasa menerima amplop, ketika mulai diundang ceramah di umur tujuh belas tahunan sayapun terbiasa menerima amplop yang isinya lumayan banyak. Sebagaimana ayah saya, saya tidak berfikir untuk bekerja atau berwira usaha, karena uang yang saya dapat dari amplop itu sudah cukup untuk memenuhi keperluan saya, apalagi ayah saya yang setiap hari juga banyak tamunya dan setiap tamu pasti memberi amplop.

Nah, begitu saya memutuskan untuk tidak menerima amplop, sayapun mengalami kesulitan dan kemudian mulai sering “ngutang” bensin, tapi saya langsung mencoba untuk bekerja seperti orang biasa dan saya memilih berdagang. Pertama kali saya berdagang adalah berjualan bawang merah, saya nekat meminjam mobil box yang sudah tiga bulan tidak pernah dipakai, mobil box itu saya gunakan untuk mengangkut dua ton bawang merah dari Probolinggo dan saya bawa ke pasar Sukorejo. Setibanya di pasar saya bingung untuk menjual bawang merah itu, saya hanya berdiri di sebelah mobil box di parkiran pasar, namun tiba-tiba ada orang yang mengenal saya dan diapun menghampiri saya seraya berkata: “Sedang apa, Gus?”

“Saya punya bawang merah dan ingin menjualnya di sini.” Jawab saya dengan agak ragu dan malu-malu.

“Oo.. Di mana bawangnya, Gus?”

“Di dalam mobil ini.”

“Baiklah, Gus, saya akan beri tahu teman-teman saya di dalam pasar.” Kata orang itu kemudian bergegas masuk ke dalam pasar. Tidak lama kemudian orang itu kembali bersama beberapa orang penjual sayur dan rempah, sayapun kebingungan karena tidak menyiapkan timbangan dan kantong plastik, akhirnya salah satu dari mereka meminjamkan timbangan dan memberi saya kantong palstik, hanya dalam beberapa puluh menit saja bawang merah sayapun terjual beberapa kwintal.

Itu adalah pengalaman saya ketika baru pulang dari Makkah, ketika itu ayah saya tidak tahu kalau saya menolak amplop saat diundang ceramah, bahkan beliau tidak tahu kalau saya berdagang bawang merah. Hal itu berlangsung beberapa bulan dan kemudian saya keluar dari rumah karena disuruh menikah, ketika itu saya tidak mau menikah karena merasa belum harus “duduk” di rumah, ayah dan paman-paman saya masih sehat, saya pikir, saya masih bisa menambah pengalaman di luar.

Yang saya alami itu mungkin juga dialami oleh orang lain, maka saya berpesan pada adik-adik dan anak-anak didik saya yang mulai terjun di bidang dakwah, kalian boleh menerima amplop ketika berdakwah, yang penting jangan sampai amplop itu menjadi tujuan, walaupun hanya tujuan sampingan. Kalau memang perlu uang untuk transport sebaiknya berterus terang saja pada panitia agar disiapkan, akan lebih baik lagi kalau disiapkan tiketnya bukan dalam bentuk uang, daripada berharap amplop untuk mengganti tiket kemudian kecewa dan rusaklah keikhlasan kalian. Kalau kalian terkenal dan kalian memiliki banyak uang dari manapun, tunjukkan kesederhanaan dan kepedulian pada tetangga kalian. Usahakan mereka melihat kalian suka memberi sehingga kalian tidak hanya dikenal suka menerima. Kalau kalian memiliki banyak jadwal undangan ceramah yang biasanya diberi amplop, maka luangkanlah waktu untuk berdakwah tanpa diundang, misalnya dengan mendatangi kampung-kampung didekat rumah kalian untuk berdakwah model silaturrahim atau majlis kecil-kecilan.

Menurut pengalaman saya, dakwah dengan ceramah di panggung itu tidak banyak hasilnya, majlis seperti itu kadang lebih dipandang sebagai hiburan karena mendatangkan penceramah yang lucu atau terkenal, pengaruhnya lebih kuat dakwah model silaturrahim, dengan interaksi dari hati ke hati dan menunjukkan peduli, apalagi kalau kalian adalah putra guru mereka turun temurun. Jangan malas apalagi gengsi untuk bersilaturrahim pada masyarakat bawah.

Oh ya, mungkin ada yang bertanya, apakah sekarang saya masih menolak amplop? Jawabannya “tidak”, tapi ketahuilah bahwa amplop yang saya terima dari undangan ceramah tidak lebih banyak dari penghasilan saya berjualan buku, kebanyakan biaya pembangunan Pesantren saya juga dari hasil penjualan buku. Kemudian, selain berjualan buku, saya juga memiliki usaha yang penghasilannya cukup untuk keperluan saya dan keluarga saya. Kalau ada yang mengundang saya maka saya hanya minta agar disiapkan stand untuk buku-buku saya, atau agar panitia membantu menjualkan buku-buku saya, bahkan terkadang saya membeli tiket sendiri dengan uang dari hasil penjualan buku-buku itu.

Leave your comment here: