BIJAK DALAM FENOMENA DARING DI TENGAH PANDEMI “JANGAN PAKSAKAN ANAK-ANAKMU BELAJAR SEPERTI DIRIMU DULU”

BIJAK DALAM FENOMENA DARING DI TENGAH PANDEMI “JANGAN PAKSAKAN ANAK-ANAKMU BELAJAR SEPERTI DIRIMU DULU”

““Jangan paksakan anak-anakmu mengikuti jejakmu, mereka diciptakan untuk kehidupan di zaman mereka, bukan zamanmu”” – Socrates

Kutipan di atas ditulis oleh Imam Ahmad al-Syahrastani dalam kitabnya yang sangat masyhur terkait sejarah aliran-aliran pemikiran yang hingga saat ini masih menjadi rujukan, al-Milal wa al-Nihal (1404, juz 2: 82). Kitab yang lahir pada masa keemasan Islam ini dapat disebut juga sebagai ensiklopedia pemikiran dan kepercayaan. Banyak yang menyandarkan perkataan tersebut kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Namun, penyandaran ini belum dapat jelas validitasnya. Parahnya, ada yang menyebutnya sebagai hadits.

Hal ini tak masalah jika hadits dimaknai sebagai sinonim dari khabar, karena sejatinya khabar dapat disandarkan kepada Nabi maupun selainnya.

Salah satu yang pernah menyebutnya sebagai hadits ialah Kuntowijoyo dalam buku kumpulan essainya yang berjudul, “Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas” (2002: 60). Dalam bukunya ia menyebutkan, “Didiklah anak-anakmu, sebab mereka akan mengalami zaman yang berbeda dengan zamanmu” (hadits).

Terlepas dari kontroversi kevalidannya, kata-kata di atas sebenarnya memiliki nilai yang dapat kita pegang, yaitu menata sistem pendidikan yang sesuai dengan zamannya. Barangkali kita pernah membaca perkataan sahabat Nabi, Umar bin Khattab radliyallahu ‘anh ketika menulis untuk penduduk daerah Himsh:

 علموا أولادكم السباحة والرماية والفروسية

“Ajarilah anak-anak kalian berenang, memanah, dan menunggang kuda” (Abdullah al-Qayrawâni, al-Nawâdir wa al-Ziyâdât, Dâr el-Garb al-Islâmî, juz 3, hal. 39)

Atau sabda Nabi yang lain, ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani, sebagaimana tertulis dalam kitab Shahîh Muslim:

 مَنْ علِمَ الرَّمْىَ ثُمَّ تَرَكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا أَوْ قَدْ عَصَى

“Siapa pun yang telah diajarkan memanah dan kemudian meninggalkannya maka dia bukan golongan kami, atau telah durhaka terhadap Nabi” (HR Muslim).

Dua nash di atas melambangkan aktivitas yang sangat urgen untuk dipelajari pada masa itu, yaitu berenang, memanah dan menunggang kuda. Peperangan zaman dahulu diwarnai dengan aksi saling panah, dan pasukannya menunggang kuda. Maka tidak heran jika tiga pekerjaan tadi sangat dianjurkan untuk diajarkan, bahkan ada redaksi kecaman bagi orang yang sudah mempelajari memanah kemudian dilupakan.

Hadits di atas sepertinya tidak dapat diamalkan secara harfiah. Namun, makna dan nilainya dapat kita serap untuk disesuaikan dengan kebutuhan di zaman modern ini, misalnya latihan menembak (dalam konteks sistem pertahanan dan keamanan) atau berkendara. Barangkali tembak-menembak tidak berlaku bagi sebagian orang, namun, bagi tentara yang bertugas mendamaikan peperangan, keahlian ini sangat diperlukan. Pun kemampuan berkendara, sangat penting sekali. Tidak hanya soal perang, berkendara adalah soal transportasi yang memudahkan umat manusia untuk bepergian dan beraktivitas ke sana-sini.

Relevan dengan Kebutuhan Zaman Jika kita membaca kitab kuning yang diperuntukkan bagi mubtadi`în (tingkatan pemula pada masanya), selalu terdapat redaksi yang menyebut bahwa teks kitab tersebut diperuntukkan bagi pemula agar mereka mudah menyerap isinya. Misalnya dalam kitab Matn al-Taqrîb karya al-Qâdhi Abû Syujâ’ menyebutkan:

سألني بعض الأصدقاء حفظهم الله تعالى، أن أعمل مختصرا في الفقه على مذهب الإمام الشافعي رحمة الله عليه ورضوانه، في غاية الاختصار ونهاية الإيجازليقرب على المتعلم درسه ويسهل على المبتدئ حفظه ، وأن أكثر من التقسيمات وحصر الخصال

“Aku diminta oleh sebagian teman untuk menyusun ringkasan fiqih mazhab Syafi’i yang sangat ringkas dan sederhana, dan memperbanyak pembagian yang sistematis agar mudah dipelajari dan dihafal oleh mubtadiîn” (Qâdhi Abu Syujâ’, Matan al-Ghâyah wa at-Taqrîb, ‘Alam al-kutub, h. 2).

Begitupun dalam Nadham al-‘Imrîthî, Syekh Syarafuddin menyebutkan:

 نَظَمْتُهَا نَظْمًا بَدِيعًا مُقْتَدِي ۞ بِالْأَصْلِ فِي تَقْرِيبِهِ لِلْمُبْتَدِي

“Kitab tersebut aku jadikan nadham yang indah, dengan mengikuti kitab asalnya untukmemudahkan para pemula yang belajar ilmu nahwu.”

 وَقَدْ حَذَفْتُ مِنْهُ مَا عَنْهُ غِنَى ۞ وَزِدْتُهُ فَوَائِدًا بِهَا الْغِنَى

“Aku telah membuang sebagian yang kurang perlu, dan aku tambahkan beberapa faidah yang cukup penting.”

Dari dua contoh di atas kita dapat mengambil beberapa kesimpulan dalam penyesuaian pendidikan. Pertama, bagi seorang pemula hendaknya pelajaran diringkas dan tidak bertele-tele.

Kedua, bentuknya dibuat pembagian-pembagian supaya sistematis.

Ketiga, menggunakan metode pendekatan sesuai kapasitas pelajar, seperti dikatakan dalam ‘Imrithi, fî taqrîbihi lil mubtadî.

Keempat, melihat dari nadham ‘Imrithi, bagi seorang pelajar ketika itu, nadham merupakan bentuk teks yang memudahkan untuk dipelajari, dihafal, dan dipahami.

Kelima, ajarkan apa yang diperlukan oleh murid. Dua kitab di atas merupakan contoh dari kurikulum yang mengikuti masanya. Dan kurikulum masa lalu belum tentu cocok seluruhnya dengan masa sekarang, dengan banyaknya pergeseran keadaan, tradisi, dan budaya.

Para ulama sekarang mungkin tidak semestinya semuanya menyusun kitab berbentuk nadham, cukup berbentuk natsr (teks biasa) saja, karena sulitnya memahami pelajaran lewat nadham. Sekolah-sekolah umum tidak mesti mewajibkan semua muridnya mempelajari ilmu faraidh yang mendalam dilihat dari kebutuhan para siswa, karena di pesantren ilmu tersebut sudah diajarkan kepada para santri yang dikira lebih membutuhkan. Melihat kepada pendidikan di masa pandemi seperti saat ini, perlu juga adanya penyesuaian pendidikan sebagaimana keadaan yang ada.

Inovasi pendidikan berbasis teknologi atau platform yang mendukung pembelajaran merupakan sebuah keniscayaan. Apalagi ada gejala pelajaran yang makin berkurang di tengah pandemi, karena kurang dekatnya interaksi antara guru dan murid sebagai efek pembelajaran di rumah melalui aplikasi. Di sisi lain, gerakkan penyesuaian pendidikan tidak dapat berjalan tanpa ada bantuan dari pemerintah, entah berupa sistem, pengarahan, maupun dukungan finansial.

Akhir-akhir ini kita sering mendengar keluhan pelajar yang belajar dari rumah, mulai dari tugas yang diberikan begitu berat, tugas hanya menyalin buku sebanyak-banyaknya, jam pelajaran yang sama seperti biasanya, tidak memiliki kuota karena kurang mampu membelinya, bahkan tidak memiliki perangkat untuk pembelajaran daring. Dari fenomena ini masih banyak lagi yang perlu diperhatikan dan diperbaiki dari sistem pembelajaran di tengah pandemi, yang menyesuaikan keadaan dan kebutuhan para pelajar. Sedikit demi sedikit perbaikan dalam sistem pembelajaran dapat melihat dari penyusun kitab seperti contoh di atas, bagaimana mereka menyesuaikan materi kepada para pelajar, yang akhirnya pelajaran tersebut dapat dikuasai para murid dan bermanfaat bagi orang banyak.

Leave your comment here: