ADAB ISTIGHFAR DAN BERUSAHA SHOLAT YANG SEBENAR-BENARNYA
Syaikhah Ash-Shufiyah Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyah pernah berkata, “Sesungguhnya Istighfar kita masih perlu diistighfari.”
Pada saat kita mengucapkan “Astaghfirullah, astaghfirullah” namun hati kita tidak tersambung kepada Allah, maka hal ini tak ubahnya seperti meminta maaf kepada seseorang atas suatu kesalahan dengan berkata sambil tertawa, “Hahaha, maafkan aku, maafkan aku” dan berlalu. Itu namanya kurang ajar. Minta maaf itu artinya merasa bersalah. Jadi harus dilakukan dengan perasaan yang hancur dan penuh malu.
SHALAT?
Shalat merupakan identitas sejati seorang muslim. Shalat inilah yang menjadi pembeda Islam dengan syirik. Lebih dari itu, shalat adalah kendaraan yang disediakan Sang Khalik bagi tiap pribadi muslim agar bisa “terbang” dan berkomunikasi dengan-Nya tiap hari. Sesuai tuntunan baginda Nabi SAW, Shalat adalah kinerja hati dan jasmani yang laras, bukan gerak raga yang kosong, sekalipun masih ditolerir dalam syara’. Berdiri, ruku’, i’tidal dan sujud adalah refleksi ketaqwaan dalam ranah fisik. Adapun khusuk, hudhur dan tadabbur, itulah dialog sebenarnya antara muslim dengan Rabbul ‘Alamiin. Berikut kami ketengahkan ulasan yang dalam mengenai hakikat shalat dari seorang ulama yang telah mencapai puncak pengetahuan pada abad keduabelas Hijriyah, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi. “Ketahuilah, Islam laksana rumah yang dibangun dengan lima pilar utama, syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Pada pilar pertama terdapat satu gerbang dengan dua lorong yang berfungsi sebagai jalan untuk memasuki rumah. Setelah syahadat, shalatlah yang utama. Menyusul puasa ramadhan, zakat dan haji. Tunaikanlah lima kewajiban ini didasari kesadaran hati. Sebab sarana paling utama bagi seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada penciptanya adalah kelima kewajiban ini. Jagalah shalat lima waktu dan kenalilah hak-haknya. Pelajari teori-teori hukum fikihnya, yang wajib maupun yang sunah. Anda harus mengetahui kedudukan shalat dalam agama, laksana kepala dalam rangkaian raga kita. Manusia mustahil hidup tanpa berkepala, begitu pula bila shalat ditinggalkannya, maka cahaya iman di kalbu seorang muslim pun niscaya padam. Sholat adalah tiang agama. Hadis lain menyebutkan bila seorang hamba berdiri untuk shalat, Allah SWT menyingkap tirai penyekat antara diri-Nya dengan hamba. Allah SWT akan menyambutnya dengan hadirat-Nya yang mulia. Sedangkan para malaikat di sekeliling-Nya sontak berdiri, lalu beterbangan ke langit-langit untuk larut bersama si hamba dalam shalat. Kemudian mereka mengamini doa-doa yang dipanjatkan si hamba seusai shalat. Berbagai kebaikan akan dikucurkan dari kolong-kolong langit ke ubun-ubun hamba yang tengah mendirikan shalat. Lalu terdengar seruan lantang, “Andaikata orang yang sedang bermunajat menyadari, kepada siapakah ia bermunajat, niscaya ia takkan menolehkan pandangannya. Sesungguhnya pintu-pintu langit dibuka bagi orang-orang yang melaksanakan shalat. Dan di hadapan para malaikat, Allah SWT senantiasa membangga-banggakan ketulusan orang yang shalat.” Dalam Taurat, Allah SWT berfirman, “Wahai anak Adam, janganlah kalian enggan mendirikan sholat di hadapan-Ku sembari menangis sedu. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah ‘azza wajalla yang senantiasa bersemayam di hati kalian, dan di alam ghaib nanti, kalian akan menyaksikan cahaya-Ku.” Disebutkan pula bahwa ketika seorang muslim melaksanakan shalat dua rakaat, sepuluh ribu jenis malaikat merasa takjub kepadanya, tiap satu jenis terdiri dari sepuluh ribu malaikat. Dan Allah akan membanggakan muslim itu di hadapan seratus ribu malaikat-Nya. Dalam kitab Jami’ Asbabil Khairat, karya Syaikh Muhammad al-‘Imrani, tercantum sebuah hadis riwayat Ibnu Abbas yang berbunyi, “Islam ini ibarat sebatang pohon berbuah rindang di pelataran rumah. Iman adalah akarnya, salat batangnya, puasa dahannya, zakat rantingnya, jihad kuncup bunganya Dan budi pekerti adalah buahnya. Tunaikanlah salat dengan bagus. Raihlah kesempurnaannya dengan memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun, sunah-sunah, serta adab-adabnya. Juga dengan mengetahui kepastian waktunya, senantiasa mengingatnya, dan berupaya melaksanakannya di awal waktu, Dalam shalat kita juga harus khusuk, hudhur dan ikhlas. Jangan memecah fokus shalat kepada hal lain. Tuangkan seluruh pikiran, gerakan, dan konsentrasi pada satu titik, yakni Allah SWT semata. Berusahalah seoptimal mungkin melaksanakan shalat dengan cara demikian seraya memohon kepada-Nya agar selalu diberi petunjuk dan kekuatan.
KESEMPURNAAN SHALAT
Kesempurnaan shalat bertalian pula dengan kesempurnaan thaharah (kesucian) pada pakaian, badan dan tempat shalat. Karenanya, jalankanlah keseluruhan sunah dan adab bersuci tanpa dibayang-bayangi rasa was-was. Sebuah hadis shahih menuturkan, “Barangsiapa berwudu, lalu membaguskan wudunya, maka dosa-dosanya berkeluaran dari anggota wudunya itu. Jadinya, ia akan memasuki shalat dalam keadaan steril (bersih) dari dosa.” Shalat yang sempurna bisa diwujudkan dengan menyegerakan pelaksanaannya. Awal waktu adalah ridha Allah, sedang akhir waktu adalah ampunan-Nya. Terpenting pula, kumandangkanlah azan dan iqamah sebelum shalat. Pasalnya, setan-setan akan lari berhamburan dari kita manakala seruan azan didengungkan, seperti gambaran salah satu hadis. Hati-hatilah. Hindari was-was dan bisikan-bisikan nafs dalam shalat. Hadirkan hati bersama Allah SWT dengan sikap khusuk dan penuh adab. Sejatinya, sholat yang tidak disertai kehadiran hati lebih layak menuai azab dari Allah SWT. Dalam hadis Nabi SAW, “Tiadalah seorang hamba memperoleh faedah shalatnya kecuali bagian yang ia hayati.” Agar bisa khusuk dalam shalat, hindarilah ketergesaan. Shalatlah dengan perlahan dan tenang. Lakukan ruku’ dengan rentang waktu yang lama. Demikian pula sujud serta duduk setelahnya. Perlu diketahui, orang yang tidak menyempurnakan ruku’, sujud, dan khusuknya dalam shalat bisa dikategorikan sebagai “pencuri”. Ingat, laksanakanlah shalat lima waktu secara berjamaah. Nilai shalat berjamaah melebihi shalat sendirian dengan selisih dua puluh tujuh derajat. Tidaklah cenderung meninggalkan jamaah kecuali orang-orang yang hatinya disemayami sifat nifaq. Nabi SAW pernah mewartakan, “Mari, aku beritahukan kepada kalian mengenai hal-hal yang bisa memperkenankan Allah SWT menghapus dosa-dosa dan meninggikan derajat-derajat, diantaranya adalah mengerjakan wudhu’ kala situasi kurang mengenakkan, banyaknya langkah menuju masjid, dan penantian dari satu shalat ke shalat berikutnya. Upayakan selalu shalat pada shaf pertama, dan luruskanlah shafnya. Karena shaf yang lurus adalah bagian dari kesempurnaan fadhilah berjamaah. Berjamaah sangat dianjurkan dalam shalat lima waktu. Khususnya di waktu isyak dan shubuh. Sebuah hadis memaparkan, Siapa yang melaksanakan shalat isyak dengan berjamaah, maka sama artinya ia memakmurkan separuh malam dengan sholat, dan siapa yang melaksanakan shalat shubuh dengan berjamaah, maka sama artinya ia memakmurkan seluruh malam. Sedang hadis yang lain mengimbuhi, siapa yang melaksanakan keduanya dengan berjamaah, maka ia dalam naungan Allah SWT sampai pagi dan petang hari. Shalat lima waktu kian sempurna manakala diiringi sunah rawatibnya, qabliyah maupun ba’diyah. Shalat sunah berfungsi sebagai penambal kekurangan shalat fardu. Shalat-shalat sunah yang muakkad diantaranya adalah shalat witir, shalat dua hari raya, shalat dua gerhana, istisqa’, dhuha, dan shalat sunah antara maghrib dan isya’. Fadhilah-fadhilah shalat-shalat tersebut sangatlah masyhur. Demikian pula shalat tasbih yang berkeutamaan luar biasa dan shalat malam. Nabi SAW berseru, “Laksanakanlah shalat malam, sebab shalat malam adalah tradisi kaum shalihin, sarana pendekatan diri kepada tuhan kalian, penebus dosa-dosa, penangkal maksiat dan pengusir penyakit dari jasmani kita.” Di salah satu hadis shahihnya, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya diantara malam ada satu momen. Tidaklah seorang muslim berdoa baik untuk urusan dunia maupun akhirat tepat pada momen tersebut kecuali Allah SWT pasti akan mengabulkan permintaannya. Momen itu hadir di setiap malam.”
JANGAN MENINGGALKAN SHALAT
Meninggalkan shalat? Wal’iyadzu billahi min zalik. Tidak dimungkiri, perbuatan itu adalah pelanggaran yang serius dalam Islam. Hadis-hadis menghukumi pelakunya kufur dan lepas dari naungan Allah SWT serta rasul-Nya. Orang-orang yang meninggalkan shalat lima waktu, keberkahan umur dan rejekinya akan disirnakan Allah SWT. Doa-doa orang shaleh tidak berlaku untuknya, apalagi doanya sendiri. Amal perbuatan baiknya tidak diganjar. Ia akan mati dalam keadaan haus, lapar dan terhina. Kuburnya menyempit dan gelap gulita. Allah SWT takkan sudi memandangnya apalagi membersihkannya. Dan yang paling menakutkan, sudah sediakan baginya azab yang mahadahsyat. (hadits) Esensi shalat adalah hudhur, tafahum (penghayatan), pengagungan, pengharapan dan ketulus-ikhlasan kepada Allah SWT. Sebuah hadis melukiskan bahwa Allah SWT berkenan menyambut orang yang shalat selama ia tidak menoleh. Hadis yang lain menyebutkan bahwa Allah SWT takkan memandang shalat yang di dalamnya si pelaku tidak menghadirkan hatinya. Hal senada dituturkan oleh Ibnu Abbas, “Dua rakaat dengan durasi sedang disertai tafakur lebih utama daripada berdiri sepanjang malam sedangkan hati dalam keadaan lupa.”
MEMPERBAIKI SHALAT
Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf adalah salah satu ulama dengan kapasitas ilmu pengetahuan dhohir dan bathin yang diakui oleh ulama-ulama sezamanya. Al Arif Billah Habib Abdullah bin Idrus Al Aydrus menyebut beliau sebagai kholifah di masanya.
Pada satu kesempatan di masjid Thoha, Hadramaut, pada tanggal 20 Syawal 1353 Hijriyah, beliau memberikan ceramah ilmiah bertemakan shalat. Beliau berkata, shalat merupakan sarana paling utama bagi manusia untuk dapat selalu berinteraksi dengan Penciptanya. Dahulu Nabi Zakariya a.s. menjadikan shalat sebagai fasilitas ketika beliau meminta kepada Allah untuk diberikan keturunan. Doa beliau dikabulkan dan mendapatkan seorang putra yaitu Nabi Yahya yang merupakan anugerah terbesar dalam hidupnya. Rasul SAW bersabda, ‘Hal yang paling membuatku senang adalah shalat’. Dengan shalat beliau merasakan suatu kenikmatan yang tiada banding, berdialog dengan Allah SWT.
Dalam kitab Nashoih Dinniyah Habib Abdullah Alhaddad mengibaratkan shalat sebagaimana kepala pada manusia. Manusia mustahil dapat hidup tanpa kepala. Demikian halnya semua perbuatan baik manusia akan sia-sia jika tanpa disertai shalat. Shalat merupakan parameter diterima atau tidaknya amal perbuatan manusia. Rasul SAW bersabda, ‘Pertama yang diperhitungkan pada hari kiamat adalah shalat. Jika shalatnya diterima, maka seluruh amal sholehnya diterima, namun jika shalatnya ditolak, maka seluruh amal solehnya ditolak pula.’
Habib Ahmad kemudian bercerita, “Al-walid Sayid Alwi bin Abdurrahman Assegaf berkata, ‘Sesungguhnya pamanku Abdurrahman bin Ali berkata, jika kamu mempunyai hajat baik urusan dunia ataupun akhirat, maka memintalah pertolongan kepada Allah SWT dengan melaksanakan shalat. Bacalah akhir surat Thoha seusai shalat, Insya Allah dengan segala kebesaran-Nya akan dikabulkan hajat dan keinginanmu.’
Namun shalat kita pada masa sekarang ini tidaklah seperti shalat para salaf terdahulu yang penuh khusyu’ dan khidmat. Shalat kita merupakan shalat yang selalu dipenuhi kelalaian dan kealpaan, sehingga sangatlah kecil prosentase diterimanya. Orang-orang sufi terdahulu yang tidak diragukan lagi kedalaman ilmu pengetahuannya, menambahkan tiga rukun pada rukun-rukun shalat yang dikemukakan para ulama fiqih yaitu, khusuk atau tadabbur (hadirnya hati), khudu’(merendahkan diri kepada Allah) dan ikhlas. Firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.”
Penafsiran mereka dalam ayat ini adalah, ‘Janganlah kalian mendekati (mengerjakan) shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk oleh kesenangan dunia hingga pikiran kalian kosong dari dari segala urusan dunia.’
Sekarang kita saksikan orang-orang melaksanakan shalat namun hati mereka masih selalu tertuju pada urusan dunia, baik urusan jual beli maupun pekerjaan mereka. Akibatnya mereka lupa berapa rokaat yang telah mereka kerjakan, tidak mengetahui surat apa yang telah dibacakan imam. Mereka sama sekali tidak menghayati bacaan Alfatihah dan ayat-ayat yang lain dalam shalat, mereka tidak menyadari bahwa mereka berdiri di depan Maha Penguasa dan sedang berdialog dengan Maha Pencipta. Urusan-urusan duniawi benar-benar telah menguasai hati manusia.
Orang yang memikirkan urusan dunia dalam shalat sama halnya dengan orang yang melumuri Al-Qur’an yang suci dengan khomer. Shalat yang seharusnya menjadi wadah yang suci telah mereka penuhi dengan kotoran-kotoran yang menjijikkan. Tanpa ada niat ikhlas yang merupakan ruh dari shalat, orang yang demikian diibaratkan oleh Imam Ghozali seperti seseorang yang menghadiahkan seonggok bangkai dengan kemasan rapi kepada seorang raja. Tentunya perbuatan tersebut bukannya menyenangkan hati raja melainkan membuat dia marah dan murka karena dianggap telah melecehkan kehormatan dan kebesarannya.
Para salaf terdahulu memandang shalat sebagai hal yang sangat sakral dan agung. Mereka selalu berusaha melaksanakan dengan sesempurna mungkin. Hingga diantara mereka acapkali dihinggapi burung saat shalat karena sangat khusyuk dan tenangnya. Ada pula yang sampai tidak merasakan dahsyatnya gempa bumi yang meluluh lantakkan bangunan-bangunan di sekitarnya. Bahkan Imam Ali bin Husein sama sekali tak merasakan panasnya kobaran api yang membumi hanguskan rumah beliau saat beliau tenggelam dalam shalatnya. Saat ditanya beliau hanya berujar, ‘Panasnya api yang lain (api neraka) telah membuatku tak merasakan panasnya api dunia.’
Habib Ahmad kemudian memberikan tausiyah, ‘Rasul SAW bersabda, ‘Ada seorang lelaki di antara kamu, rambut di kedua pipinya telah memutih namun tidak diterima satu pun shalatnya.’ Ini menunjukkan bahwa tak ada satu shalat pun yang dia kerjakan dengan khusyuk. Padahal, mulai usia 15 tahun hingga enam puluh tahun sudah berapa kali dia mengerjakan shalat. Jika tidak ada satu shalat pun yang dia kerjakan dengan khusyuk, itu berarti hatinya benar-benar dikuasai urusan keduniaan.
Ini adalah masalah kompleks di tengah masyarakat Islam yang harus disikapi dengan serius, terutama bagi para ulama dan penuntut ilmu. Adapun orang awam pada zaman sekarang sudah merasa cukup dengan shalat serba praktis seperti yang biasa mereka kerjakan. Bahkan di antara mereka ada yang mengeluh jika mendapati seorang imam shalat terlalu lama. Mereka lebih memilih imam yang lebih cepat dan ringkas sembari mengesampingkan unsur kekhusyukan yang sebenarnya esensial dalam shalat. Bagaimana dengan shalat kita?