SEMUA MENGAKU AHLUS SUNNAH…. SIAPAKAH YANG BENAR?

SEMUA MENGAKU AHLUS SUNNAH…. SIAPAKAH YANG BENAR?

                Ahlu Sunah Asyairoh

Ahlu sunah wal jamaah (Aswaja) merupakan istilah bagi golongan yang senantiasa berada pada jalan salafusholeh, berpegang teguh dengan al-Quran, sunah dan atsar yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW serta para sahabatnya ra. Istilah ini digunakan untuk membedakannya dengan para pengikut bidah dan hawa nafsu.

Ulama terdahulu telah sepakat apabila disebut ahlu sunah maka yang dimaksud adalah Asyairoh (pengikut jalan Imam Abul Hasan al-Asyari) serta aliran lain yang sejalan yakni Maturidiyah dan Atsariyah (pengikut hadits). Rasulullah SAW menyebutkan bahwa kelak Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya tersesat kecuali satu golongan yang selamat, mereka adalah mayoritas umat Islam. Sifat ini hanya sesuai dengan Aswaja. Merekalah mayoritas umat Islam yang dinafikan sesatnya melalui hadits terkenal, “Umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan.”

Al Ijiy dalam kitab Mawaqif -setelah menyebut golongan-golongan yang sesat- menjelaskan bahwa golongan selamat adalah yang disabdakan Nabi SAW, “Mereka adalah orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku” (HR.Turmudzi). Yaitu golongan Asyairoh dan para salaf dari ahli hadits dan ahlu sunah wal jamaah. Madzhab mereka disebut kosong dari berbagai bidah.

Sedangkan Tajudin As-Subki sebagaimana dinukil dalam kitab Ithafus Sadah menyebut bahwa seluruh pengikut Aswaja memiliki keyakinan yang sama namun metode memahami yang berbeda. Di sana ada metode ahlu hadits (atsariyah), metode nadzor (pikir) dan logika yang diwakili Asyairoh dan Maturidiyah, dan metode penyingkapan melalui ilham yang diwakili sufiyah. Pada tahap awal para sufi menggunakan dua metode pertama, namun di puncaknya perjalanannya mereka mendapatkan penyingkapan melalui ilham.

Pada dasarnya pengambilan dasar Asyairoh dan Maturidiyah pun berasal dari hadits shahih, maka tidak heran jika nama Ahlu sunah disebut maka keduanyalah yang dimaksud. Syaikh Murtadho al-Zubaidi dalam kitabnya Ithafusadah mengatakan dengan tegas,“Jika disebut ahlu sunah maka yang dimaksud adalah Asyairoh dan Maturidiyah.” Tak jauh berbeda perkataan Ibnu Abidin al-Hanafi dalam Radul Mukhtar, “Ahlu Sunah wal Jamaah adalah Asyairoh dan Maturidiyah.”

Pada kesempatan kali ini kita hanya akan membahas sekelumit tentang Asyairoh, golongan yang dikatakan oleh Habib Abdullah al-Hadad dalam bait syairnya:

“ Jadilah seorang Asyari dalam akidahmu sebab itulah  jalan yang bersih dari kesesatan dan kekufuran”

Al-Faqih Abdullah al-Aidrus Akbar dalam kitab Kibritul Ahmar pun mengatakan,” Itiqod kami adalah Asyari dan madzhab kami adalah Syafii sesuai dengan ketentuan Al-Quran dan Sunah.”

Asyairoh

Sebutan Asyairoh diperuntukan bagi mereka yang mengikuti jalan Abul Hasan Asyari ¾seorang keturunan sahabat mulia Abu Musa al-Asyari¾dalam masalah akidah. Mengikuti disini bukan dalam artian taklid yakni mengikuti tanpa mengetahui dalil, sebab taklid dalam masalah akidah adalah terlarang. Namun mengikuti dalam artian menapaki petunjuknya dan dalil-dalil yang dibawakannya.

Imam Ali bin Ismail al-Asyari lahir pada tahun 260 H, pada mulanya beliau menganut faham Muktazilah dalam asuhan Ajuba’i selama 40 tahun dan sempat menjadi tokoh penting madzhab tersebut. Beliau mendapati banyak kerancuan dalam akidah Muktazilah, berdialog dengan para gurunya namun tidak mendapatkan jawaban memuaskan. Begitulah keadaannya sampai Allah menunjukan jalan kebenaran. Setelah itu, ia keluar menuju masjid jami, menaiki mimbar dan mengumumkan taubatnya dari faham Muktazilah menuju faham para salaf dan sahabat yang kelak dikenal dengan Ahlu Sunah wal Jamaah.

Ibnu Khalikan dalam Wafiyatul A`yan mengatakan, “Abul Hasan mulanya menganut  Muktazilah kemudian taubat dari pendapat seputar sifat Adil dan bahwa al-Quran adalah makhluk di masjid jami Bashroh pada hari Jumat.” Senada dengan itu yang dikatakan oleh adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala.

Para ulama mengatakan bahwa ahlul bidah sebelum munculnya Imam Abu Hasan al-Asyari berani menegakan kepala namun setelah beliau nampak mereka bersembunyi.

Pada dasarnya Abul Hasan Al-Asyari tidak membuat akidah baru, beliau hanya menegakan bendera bagi jalan para salaf sehingga bisa terlihat dan diikuti setelah sekian lama jalan itu samar tertutup golongan-golongan ahlul bidah terutama Muktazilah yang didukung oleh penguasa kala itu.

Al-Hafidz Abu Bakar al-Baihaqi menyatakan, “Beliau (al-Asyari) tidak membuat hal baru maupun bidah dalam agama Allah. Beliau hanya mengambil pendapat-pendapat para sahabat dan tabiin serta para imam setelahnya dalam masalah ushuludin (akidah) kemudian menguatkan pendapat-pendapat ini dengan penjelasan dan penerangan.”

Imam Murtadho az-Zubaidi dalam Ithafus Sadah juga mengatakan hal serupa, “Ketahuilah bahwa keduanya, yaitu Imam Abu Hasan dan Abi Mansur Al-Maturidi tidak membuat pemikiran baru atau madzhab baru. Mereka hanya menetapkan madzhab salaf dan mendukung apa yang dilakukan sahabat Rasulullah SAW. Keduanya menyanggah ahlu bidah sampai terputus dan berpaling kalah.”

Inilah pula yang dikatakan oleh, Asubki dalam Thobaqot-nya, Ibnu Asakir dalam Tanbih KidzB al Muftari dan ulama lainya. Mereka menyatakan dengan tegas bahwa ajaran Asyari bukan ajaran baru, beliau hanya menyusun dan merumuskan ulang paham akidah salaf secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Ahlu Sunah. Maka tidak berlebihan jika Al-Baihaqi menyatakan bahwa jalan Al-Asyari adalah jalan para salaf seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal, dan bahkan Imam Bukhari dan Muslim.

Imam Asyari dan murid-muridnya dengan tekun mendakwahkan ajaran salaf tersebut dan memberantas bidah sampai ke akar-akarnya. Karena murninya ajaran ini maka bukan hal yang mengherankan apabila hampir semua ulama dan imam rujukan yang hidup setelah beliau menisbatkan diri sebagai pengikut ajarannya atau ajaran yang sesuai dengannya yakni Maturidi. Tidak ada satu fan ilmu syariat pun yang tokohnya bukan Asyari atau Maturidi. Dalam ilmu Tafsir terdapat al-Qurtubi, Ibnu Katsir, Ibnu Athiyah, Abu Hayan, ar-Razi, al-Baghawi, as-Samarqandi, an-Naisaburi, al-Alusi, al-Halabi, asy-Suyuthi, Khatib Syarbini dan lainnya.

Dalam ilmu hadits terdapat ad-Daruqutni, Abu Nuaim, al-Hakim, Ibnu Hiban, al-Baihaqi, Ibnu Asakir, al-Baghdadi, An-Nawawi, Ibn Sholah, al-Kirmani, al-Mundziri, al-Ubi, Ibnu Hajar al-Atsqalani, as-sakhowi, As-Suyuthi, al-Qastalani, al-Munawi dan lainnya. Imam Tajudin as-Subki dalam Thobaqot Kubro pernah berseloroh,” Dan itu (Asyairoh) adalah madzhab ahli hadits sejak masa lampau sampai sekarang.”

Hampir seluruh ulama madzhab yang empat menganut Asyairah. Imam Izudin bin Abdis Salam pernah mengatakan, “Akidah Asyari adalah akidah yang berkumpul di dalamnya para pengikut Syafiiyah, Malikiyah, Hanafiyah dan tokoh-tokoh utama dalam Hanabilah.”

Begitulah pula dalam ilmu lughoh, nahwu, bahasa arab, sejarah, dan semua ilmu syariat lain. Mayoritas tokoh rujukan dalam ilmu-ilmu tersebut adalah Aswaja penganut Asyairoh atau Maturidiyah. Betapa benar apa yang dikatakan oleh al Habib Abdullah bin Alwi al Hadad dalam kitab Nailul Marom:

“”Ketahuilah bahwa madzhab Asyari dalam akidah adalah madzhab yang dianut oleh mayoritas umat Islam, baik ulamanya maupun orang umumnya. Karena yang bernisbat kepadanya dan menapaki jalannya adalah para imam yang ahli dalam seluruh fan ilmu sepanjang masa. Mereka adalah para imam dalam ilmu tauhid, ilmu kalam, ilmu tafsir, ilmu qiroah, ilmu fiqih, Ushul fiqih, hadits, dan fan-fannya, tasawuf, bahasa dan sejarah.”

Asyairoh masa kini

Pada masa ini banyak yang mengaku sebagai Aswaja namun jika diteliti ternyata ajaran mereka sangat bertolak belakang dengan ajaran salaf. Mereka mengaku Ahlu sunah, namun justru mencela bahkan menganggap Asyairoh sebagai madzhab yang sesat. Padahal para ulama sejak dahulu mengatakan apabila disebut ahlu sunah maka yang dimaksud adalah Asyairoh dan Maturidi.

Salah satu tokoh golongan menyimpang ini, Sholeh Fauzan mengatakan dalam kitabnya al-Irsyad, “Yang mengingkari hal ini (sifat Allah) hanya ahlu bid`ah yaitu Jahmiyah, Muktazilah dan Asyairoh yang sejalan dengan orang-orang musyrik Quraisy yang tidak mempercayai Ar Rahman dan mengingkari nama-nama Allah.”

Tuduhan ini dangkal dan tak perlu dibantah sebab justru Asyairohlah yang dahulu menyanggah para ahlu bidah penentang sifat yakni Muktazilah. Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa mengatakan :

“Tiada keraguan bahwa pendapat Ibnu Kulab dan Asyari serta kaum yang sejalan dan menetapkan sifat berbeda dengan pendapat Jahmiyah dan Muktazilah. Justru mereka memiliki tulisan-tulisan dalam menentang Jahmiyah dan Muktazilah serta menjelaskan kesesatan penentang sifat,terkadang mereka mengkafirkan dan terkadang hanya menyesatkan.”

Jadi tuduhan bahwa Asyairoh adalah golongan penentang sifat adalah tuduhan tidak berdasar. Golongan Asyairohlah yang giat menetapkan sifat sama` (Maha Mendengar), Bashor (Maha Melihat) dan sifat Allah lain yang dinafikan oleh aliran Muktazilah.

Sebenarnya alasan mereka menuduh Asyairoh sebagai golongan penentang sifat adalah karena Asyairoh menolak untuk menisbatkan makna dari sifat-sifat yang tidak layak bagi Allah SWT Sedangkan mereka justru menisbatkan sifat-sifat itu kepada Allah SWT.

Di dalam al-Quran dan Hadits banyak disebut bahwa Allah berada di atas Arsy, turun ke bumi, tertawa atau menisbatkan tangan, wajah kepada Allah SWT. Ayat dan hadits tersebut di kalangan ulama dikatakan sebagai ayat atau hadits mutasyabih atau ayat sifat yang jika difahami secara luarnya saja akan menjerumuskan kepada tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk).

Dalam memahami ayat dan hadits yang demikian, mereka yang tersesat menolak untuk mentakwil (memalingkan makna) dan memilih untuk menetapkan makna lafadz dzohirnya. Sehingga mereka mengatakan dzat Allah benar-benar berada di atas, dzat Allah benar-benar turun, Allah benar-benar memiliki tangan dalam arti sebenarnya, dan lainnya. Ini adalah pemahaman yang sangat keliru dan sesat. Sebab seluruh ulama sepakat bahwa Allah tidak dibatasi oleh tempat dan arah serta bukan berupa tubuh seperti makhuk-Nya. Dalam al-Quaran disebutkan :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ [الشورى: 11[

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. (QS asy-Asuara: 11)

Dalam menanggapi ayat tersebut para salaf terbagi menjadi dua golongan. Satu golongan menyerahkan sepenuhnya makna kepada Allah setelah mensucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk. Mereka percaya itu adalah firman Allah namun tidak tahu apa maknanya dan tidak membahasnya. Inilah golongan tafwidh, golongan mayoritas ulama salaf. golongan kedua mentakwil, memalingkan makna kepada makna majasnya yang sesuai dengan keagungan Allah, misalnya hadits mengenai Allah turun ke bumi diartikan bahwa yang turun adalah nikmatnya, Allah beristiwa di atas arsy maksudnya Allah menguasai Arsy, tangan diartikan kekuasaan, wajah diartikan dzat dan seterusnya. Ini dinamakan golongan ahli takwil. Kedua golongan ini adalah sama benar.

Imam Zarkarsyi dalam kitabnya Al Burhan fi Ulumil Quran menyatakan,

“Manusia berselisih mengenai mutasyabihat yang berada dalam ayat dan hadits ke dalam tiga golongan,

1. Tidak ada jalan untuk takwil, ayat itu harus difahami secara dzohir dan tidak ditakwil sedikit pun. Merekalah golongan musyabihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk)

2. Ayat ini memiliki takwil (arti), namun kami tidak menakwilinya dan kami mensucikan Allah dari keserupaan. Kami mengatakan, “Tidak ada yang mengetahui maknanya kecuali Allah.” Ini perkataan salaf

3. Ayat itu ditakwil dan mereka mentakwilnya dengan apa yang layak untuk Allah.

Yang pertama adalah keliru dan yang kedua dan ketiga dinukilkan dari para sahabat.”

Imam Nawawi dalam Syarah Muslim ketika mengomentari salah satu dari hadits tentang sifat mengatakan, “Ini adalah hadits mengenai sifat. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang terkenal di kalangan ulama. Pertama adalah madzhab salaf (tafwidh) dan kedua (takwil) adalah madzhab mayoritas ahli kalam dan sekelompok ulama salaf, telah diceritakan dari Imam Malik dan Auzai bahwa keduanya mentakwil sesuai dengan yang layak dengan-Nya.”

Mayoritas Asyairoh memperbolehkan dua faham tersebut (tafwidh dan takwil) dalam memahami ayat mutasyabihat. Dan memang inilah faham seluruh ulama ahlu sunah. Ibnu Hajar al-Atsqolani menukilkan perkataan Ibnu Daqiil Id, “Yang mensucikan Allah itu ada dua. Golongan yang diam dan tidak mentakwil dan golongan yang mentakwil.”

Jadi justru mereka yang mengartikan ayat mutasyabih secara dzohir adalah aliran yang salah.

Maka, pada masa ini kita harus lebih berhati-hati dalam masalah akidah, ikutilah akidah yang benar yakni akidah para salaf dan sahabat yang sudah dibuktikan kebenarannya oleh para ulama rujukan. Mereka adalah Asyairoh dan Maturidiyah.

Leave your comment here: