FAROIDL: PENJELASAN AHLI WARIS ASHOBAH DAN HAWASYI
■ Ahli Waris Hawasyi dan Ashabah
1. Ahli Waris Hawasyi
Ahli waris hawasyi yaitu saudara dan saudari kandung, jika tidak terdapat saudara dan saudari seayah mereka mendapatkan hak waris sama seperti anak kandung. Artinya saudara yang sendirian atau lebih mendapatkan seluruh harta peninggalan; satu saudari mendapatkan seperdua; dan dua saudari atau iebih mendapatkan duapertiga. Jika dua kelompok ini (saudara-saudari) ada maka saudara mendapatkan dua kali lipat bagian saudari.
Saudari dan saudara seayah berhak menerima waris seperti anak kandung
(walad ash-shulbi) bila tidak terdapat saudara-saudari kandung, kecuali dalam masalah musyarakah yang ahli warisnya terdiri dari suami/istri, ibu, kakek, dua saudara atau lebih yang seibu, dan saudara sekandung.
Saudara kandung mendapatkan bagian yang sama dengan saudara seibu, yaitu sepertiga yang dibagi sama rata. Seandainya di sana terdapat saudara seayah (bukan saudara kandung) maka bagian saudara seibu gugur.
Bilamana dua kelompok tersebut ada, yaitu saudara kandung dan saudara seayah, hukumnya sama seperti ketika anak kandung berkumpul dengan cucu dari anak laki-laki. Apabila di antara saudara kandung itu terdapat laki-laki meski ada yang perempuan maka hak waris saudara seayah gugur. Bila saudara/saudari seayah tersebut terdiri dari seorang perempuan, dia mendapatkan seperdua, dan sisanya diberikan kepada saudara seayah. Jika mereka terdiri dari beberapa saudara dan saudari seayah maka laki-laki memperoleh dua kali lipat bagian perempuan. Bilamana saudara seayah itu hanya seorang atau dua orang perempuan, dia atau mereka mendapatkan seperenam sebagai penyempurna bagian dua pertiga.
Apabila saudari kandung itu hanya terdiri dari dua orang atau lebih, keduanya atau mereka mendapatkan bagian dua pertiga, dan sisanya hanya diberikan kepada saudara seayah. Namun, jika mereka terdiri dari beberapa laki-laki dan perempuan maka khusus bagi perempuan tidak berhak menerima warisan bila ada dua saudari kandung atau lebih.
Hanya saja, cucu perempuan dari anak laki-laki mendapatkan sisa harta warisan jika terdapat orang yang sederajat dengannya (yaitu cucu laki-laki dari anak laki-laki) atau orang yang berada pada derajat nasab di bawahnya. Yang membuat saudari mendapatkan sisa harta warisan adalah saudaranya, bukan anak laki-lakinya saudara bukan pula anak laki-lakinya paman dari ayah.
Bila seseorang wafat dengan meninggalkan dua saudari kandung, satu saudari seayah, dan anak laki-lakinya saudara seayah, maka dua saudari mendapatkan dua pertiga dan sisanya untuk anak laki-lakinya saudara. Dia tidak meng-ashabahi saudari seayah karena dia sendiri tidak bisa mengakibatkan saudarinya mendapatkan ashabah, tidak pula meng-ashabahi bibinya dari pihak ibu.
a. Saudara dan Saudari Seibu
Satu saudara/saudari seibu mendapatkan bagian seperenam; sedangkan dua atau lebih saudara/saudari seibu mendapatkan sepertiga. Allah SWT berfirman, “Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara (seibu) atau seorang saudari (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudari seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu,” (QS. an-Nisa’ [4]: 12).
b. Ashabah ma’al Ghair
Saudari kandung atau seayah bila bersama dengan beberapa anak perempuan atau beberapa cucu perempuan dari anak laki-laki, mereka mendapatkan sisa harta warisan (ashabah), sama seperi saudaranya. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud ra ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan saudari, dia menjawab, “Dalam kasus ini aku pasti menghukumi sesuai keputusan yang telah dikeluarkan oleh Rasulullah, yaitu anak perempuan mendapatkan seperdua, cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam, dan sisanya diberikan kepada saudari mayat.”
Sisi positif saudari kandung mendapatkan sisa harta warisan yaitu, apabila saudari kandung berkumpul dengan anak perempuan kandung atau cucu perempuan dari anak laki-laki, atau bersama keduanya dan beberapa saudari seayah, maka dia menggugurkan hak waris beberapa saudari seayah, seperti halnya saudara kandung.
c. Anak Laki-Laki Saudara (Keponakan)
Hak waris anak laki-laki saudara kandung atau seayah sama seperti ayahnya, baik ketika berkumpul maupun sendiri. Perbedaannya adalaha sebagai berikut.
Pertama, keberadaan mereka tidak mengubah warisan ibu dari sepertiga menjadi seperenam. Karena, Allah SWT memberikan ibu bagian sepertiga jika tidak terdapat para saudara, dan mereka tidak sama dengan anak-anaknya.
Kedua, anak laki-laki saudara kandung tidak berhak menerima warisan bila terdapat kakek, justru hak warisnya gugur oleh kakek. Sebaliknya ayah mereka mendapatkan warisan bersama kakek, karena kakek seperti saudara, mengingat keduanya memperoleh bagian yang sama rata saat ada.
Ketiga, anak laki-laki saudara kandung tidak berhak menerima waris dalam kasus musyarakah, lain halnya dengan ayah mereka yang sekandung. Sebab, landasan tasyrik adalah kerabat ibu.
Demikianlah tiga titik perbedaan antara anak laki-laki saudara dan ayah mereka.
d. Paman dari Ayah (‘Amm)
Hak waris paman dari ayah (‘amm) yang sekandung atau seayah sama dengan saudara dari dua sisi, baik ketika berkumpul maupun sendiri. Hak waris anak laki-laki paman dari ayah yang sekandung atau seayah sama seperti ‘amm sekandung atau seayah, asalkan dia tidak ada, seperti halnya anak-anak saudara.
Ahli waris ashabah lainnya seperti anak laki-laki dari anak laki-lakinya ‘amm, anak laki-laki dari anak lakinya saudara, dan seterusnya bisa diqiyaskan dengan paman dari ayah.
2. Ahli Waris Ashabah
Ashabah secara bahasa adalah jalur kekerabatan laki-laki pada ayahnya seperti paman dari ayah dan anak laki-laki paman dari ayah. Secara syara’ ashabah adalah orang yang tidak mendapatkan bagian pasti (fardan) yang telah ditentukan, melainkan mendapatkan sisa harta warisan. Ahli waris ashabah kadang berhak memperoleh seluruh tirkah (harta warisan) bila jika ahli warisnya hanya dia seorang diri, dan kadang mendapatkan sisa tirkah yang telah dibagikan kepada ashhabul furudh sesuai ketentuan syara’.
Ashabah ada dua macam; sababiyah dan nasabiyah.
a. Ashabah Sababiyah
Ashabah sababiyah adalah hak waris ashabah yang dimiliki oleh tuan karena telah memerdekakan budaknya. Hak waris ini terus berlanjut kepada ahli waris ashabah bin nafsi majikannya secara berurutan. Inilah yang dinamakan waris ‘. Yaitu bila seseorang (mantan hamba sahaya) meninggal dan tidak mempunyai ahli waris ashabah dari jalur nasab namun masih ada tuan yang memerdekannya, maka tuan ini, baik laki-laki maupun perempuan, berhak memperpleh seluruh tirkah atau sisa tirkah yang telah dibagikan kepada ashabul furudh.
Ketentuan di atas mengacu pada hadits yang bersifat umum, “Wala’ bagi tuan yang memerdekakan, Pemberian hak merdeka kepada budak bisa dilakukan oleh tuan laki-laki atau perempuan, karena itu hak mereka dalam waris wala’ pun sama, sesuai ijma’ ulama.
Penerimaan hak waris wala’ ini disyaratkan tidak terdapat ahli waris ashabah dari jalur nasab, sesuai hadits,
“Wala’ adalah segenggam daging seperti daging nasab.” Dalam hadits ini wala’ diserupakan dengan nasab, dan kita tahu bahwa bahwa obyek yang diserupakan (musyabah) bukanlah obyek yang diserupai (musyabah bih) .
b. Ashabah Nasabiyah
Yaitu hak waris ashabah yang murni melalui jalur nasab. Mereka adalah para kerabat laki-laki mayat yang silsilah nasabnya tidak dipisahkan oleh perempuan, semisal anak laki-laki, ayah, saudara, dan paman dari ayah, saudari dengan saudaranya, dan saudari bersama seorang anak perempuan.
Ketentuannya mereka memperoleh sisa tirkah yang telah dibagikan kepada ashabui furudh.
Apabila dalam silsilah nasab kepada mayat ditengahi oleh perempuan, mereka masuk dalam kelompok dzawil arham, seperti ayahnya ibu (kakek), anak laki-laki dari anak perempuan (cucu) atau termasuk ashabul furudh, seperti saudaranya ibu (paman).
Dasar hukum waris ashabah yaitu firman Allah SWT, “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepada kalian tentang (pembagian warisan untuk) anak-anak kalian, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan,” (QS. an-Nisa’ [4]: 11). Kemudian Allah SWT menjelaskan bagian yang diperoleh oleh ayah, ibu, dan lainnya. Penjelasan tersebut mengindikasikan bahwa anak mendapatkan sisa tirkah setelah ayah dan ibu memperoleh bagiannya.
• Ashabah nasabiyah ada tiga macam
Pertama, ashabah bin nafsi yaitu setiap laki-laki yang mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat kepada mayat dan dalam jalur nasabnya tidak diselingi oleh perempuan.
Ashabah bin nafsi ada empat jalur yang derajatnya tidak sama.
Mereka semua berjumlah dua belas orang, dengan perincian sebagai berikut :
(i) Jalur anak (bunuwwah), yaitu keturunan mayat yang mencakup anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki), dan seterusnya ke bawah.
(ii) Jalur ayah (ubuwwah), yaitu orang tua mayat yang meliputi ayah, ayahnya ayah (kakek) dan seterusnya ke atas.
(iii) Jalur saudara (ukhuwwah), yaitu anak-anak dan ayahnya mayat yang mencakup saudara kandung atau seayah dan anak laki-lakinya saudara kandung atau seayah (keponakan).
(iv) Jalur paman (umumah), keturunan dari kakeknya mayat mencakup paman dari ayah yang sekandung atau seayah, anak laki-laki paman dari ayah yang sekandung atau seayah, dan seterusnya ke bawah. Selanjutnya adalah paman dari ayah yang sekandung atau seayah, anak laki-laki paman dari ayah yang sekandung atau seayah, anak laki-laki paman dari ayahnya (anaknya kakek) dari jalur ayah yang sekandung atau seayah kemudian pamannya kakek (buyut) dari jalur ayah lalu anak laki-lakinya.
Secara prioritas ashabah dari jalur anak didahulukan dari jalur bapak, lalu dari jalur saudara, dan terakhir dari jalur paman.
Standar prioritas yang digunakan untuk menentukan ahli waris ashabah mana yang lebih berhak pertama adalah jihhah (kerabat yang bernasab kepada mayat melalui jalur), lalu kedua bi qurbil darajah (kerabat yang bernasab kepada mayat berdasarkan kedekatan derajatnya), dan kemudian bi quwwatil qarabah (kerabat yang bernasab kepada mayat berdasarkan kekuatan kedekatan dengan mayat).
Kedua, ashabah bil ghair yaitu setiap ahli waris perempuan yang mendapatkan bagian pasti dan mendapatkan sisa karena bersama dengan ahli waris laki-laki yang sederajat dengannya.
Ashabah bil ghair ini terjadi pada ahli waris perempuan yang mendapatkan seperdua ketika sendirian dan dua pertiga ketika jumlahnya lebih dari satu orang.
Mereka ada empat kelompok yaitu;
(i) anak perempuan bersama anak laki-laki yang sederajat;
(ii) anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) bersama anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki) yang sederajat,
(iii) saudari kandung bersama saudara kandung, dan
(iv) saudari seayah bersama saudara seayah.
Ketiga, ashabah ma’al ghair, setiap perempuan yang mendapatkan sisa tirkah karena bersama ahli waris perempuan lainnya.
Ashabah ma’al ghair mempunyai dua pola;
(i) saudari kandung bersama dengan anak perempuan atau anak perempuannya anak laki-laki (cucu perempuan); dan
(ii) saudari seayah bersama dengan anak perempuan atau anak prempuannya anak laki-laki (cucu perempuan).
Dalam kasus ini perempuan kandung berhak atas warisan bersama
mu’ashib -nya seperti, saudara seayah, dan menghalangi hak waris saudara-saudara seayah. Demikian pula, saudari seayah mendapat hak waris ashabah bersama mu’ashib -nya seperti saudara seayah, dan menghalangi hak waris anak laki-lakinya saudara kandung dan ahli waris setelahnya.
G. Hak Waris Dzawil Arham
Dzawil arham adalah seluruh kerabat yang tidak mendapatkan bagian pasti dan sisa. Mereka adalah:
1) Kakek dan nenek yang tidak menerima waris karena dihalangi oleh ahli waris lainnya
2) Anak-anak dari anak perempuan (cucu)
3) Anak-anak saudari (keponakan)
4) Anak laki-lakinya saudara seibu
5) Paman dari ayah yang seibu
6) Anak perempuannya paman dari ayah
7) Bibi dari ayah, saudari, dan bibi dari ibu.
Mengenai pewarisan dzawil arham masih diperselisihkan para ulama. Setidaknya ada tiga pendapat tentang masalah ini, yaitu sebaga berikut.
1) Sebagian ulama mengacu pada Madzhab Ahli Tanzil (selain Madzhab Hanafiyah menurut pendapat ma’tamad) bahwa dzawil arham menerima waris dengan cara menempatkan mereka di posisi orang tua (ushul) mereka yang berhak menerima warisan yaitu bapak/ibu, kakek, dan lainnya Dzawil arham memperoleh bagian tirkah atas nama orang tua nya seolah mereka masih hidup, berdasarkan prinsip firman Allah,
“Bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan,” (QS.an-Nisa’ [4]: 11).
2) Ulama lainnya mengacu pada Madzhab Ahli Qarabah, yaitu Madzhab Hanafiyah. Madzhab ini memprioritaskan kerabat terdekat mayatlah yang lebih berhak atas waris, kemudian orang yang setelahnya, diqiyaskan dengan ahli waris ashabah. Pewarisan dalam madzhab ini berdasarkan derajat kedekatan kepada mayat sebagaimana ahli waris ashabah. Tata cara yang kedua ini diberi nama Ahli Qarabah karena yang menerima warisan adalah mereka yang paling dekat kerabatnya, kemudian diikuti oleh ahli waris yang setelahnya.
3) Sebagian ulama lainnya mengacu pada Madzhab Ahli Rahim atau Madzhab Taswiyah yaitu seluruh dzawil arham mendapatkan harta peninggalan secara sama rata. Tidak ada perbedaan antara kerabat yang dekat atau jauh, laki-laki atau perempuan, karena mereka menerima waris atas dasar rahimiyah yang dalam nal ini mereka semua sama.
Imam Nawawi menyatakan bahwa pendapat yang paling benar dan paling tepat qiyasnya adalah Madzhab Ahli Tanzil. Wallahu a’lam.
Ulama sepakat bahwa dzawil arham, dari jalur anak dan jalur saudara mendapatkan seluruh harta peninggalan mayat ketika sendirian, baik laki-laki maupun perempuan. Perbedaan hanya terjadi manakala dzawil arham lebih dari satu orang.
Madzhab Ahli Tanzil mengecualikan
dzawil arham paman dari ibu dan bibi dan ibu. Menurutnya, mereka menempati posisi ibu. Begitu juga paman dari ayah dan bibi dari ayah menempati posisi ayah. Jika seseorang yang wafat dengan meninggalkan bibi dari ibu dan bibi dari ayah, bibi dari ibu mendapatkan sepertiga dengan menempati posisi ibu dan bibi dari ayah mendapatkan dua pertiga dengan mengganti posisi ayah yang juga mendapatkan sisa tirkah.
Kaidah Ahli Tanzil berkonsekuensi menempatkan anaknya anak perempuan (cucu) pada posisi anak perempuan, anak saudara di posisi saudara, dan anak paman diposisi paman. Contoh kasus, orang yang wafat meninggalkan anak perempuannya anak perempuan (cucu perempuan), anak perempuannya saudara, dan anak perempuannya paman dari ayah. Maka, menurut kaidah ini, berarti mayat meninggalkan anak perempuan, saudara, dan paman dari ayah. Jadi, harta peninggalan hanya dibagi kepada anak perempuan dan saudara saja sebab paman tidak berhak menerima waris karena terhalang oleh saudara. Artinya, cucu perempuan mendapat bagian ibunya yaitu seperdua dan anak perempuannya saudara memperoleh bagian ayahnya: seperdua sebagai ashabah.
Seseorang yang wafat dengan meninggalkan anak laki-lakinya anak perempuan (cucu laki-laki), anak perempuan dari anak perempuannya anak laki-laki (cicit perempuan), anak perempuannya saudari kandung, anak perempuannya saudari seayah. Maka, asal masalahnya enam karena kita mengumpamakan mayat meninggalkan anak perempuan, anak perempuannya anak laki-laki (cucu perempuan), saudari kandung, dan saudari seayah.
Anak perempuan mendapatkan seperdua, tiga bagian; cucu perempuan mendapatkan seperenam, satu bagian; dan saudari kandung mendapatkan sisa, dua bagian; sedangkan saudari seayah tidak memperoleh bagian. Seluruh bagian tersebut dibagikan kepada anak-anak mereka (dzawil arham ), seolah mereka wafat dengan meninggalkan anak-anaknya.