PENJELASAN SYAKHSIYAH MA’NAWIYAH ATAU I’TIBARIYAH(PT,CV,KOPERASI DLL).
Pada pembicaraan mengenai prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah (entitas spiritual) ini, yang juga dikenal dengan istilah syakhshiyyah ma`nawiyyah, kita semua harus hati-hati, karena prinsip ini mempunyai signifikansi dan pengaruh terhadap kegiatan akuntansi dari satu sisi, dan terhadap hasil-hasil dari kegiatan investasi tersebut dari sisi yang lainnya. Sebab, wajib dibedakan antara entitas spiritual sebagai suatu konsep dari satu sisi, dan pengaruhnya terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban pemilik perusahaan dari sisi yang lainnya. Demikian pula wajib memahami makna syakhshiyyah qanuniyyah dari sisi yang ketiga, dan makna wihdah muhasabiyyah (kesatuan akuntansi) pada sisi yang keempat. Pada akhirnya, haruslah mengetahui pengaruh dari syakhshiyyah qanuniyyah dan kesatuan akuntansi ini terhadap entitas spiritual tersebut. Point-point ini akan menjadi topik kajian kita pada pembahasan ini, dengan seizin Allah Subhanahu Wa Ta`ala.
Entitas Spiritual
Sesungguhnya yang dimaksud dengan konsep entitas spiritual ini adalah adanya pemisahan kegiatan investasi dari pribadi yang melakukan pendanaan terhadap kegiatan investasi tersebut. Contoh dalam hal ini adalah apabila sekelompok pribadi menginvestasikan bagian tertentu dari harta yang Allah Subhanahu Wa Ta`ala titipkan kepada mereka untuk pendirian suatu lembaga perdagangan, maka lembaga ini menjadi terpisah dari para pendirinya, dan memiliki legalitas pribadi yang khusus baginya dan dikenal bahwa dia memiliki syakhshiyyah i`tibariyyah (entitas spiritual). Ini adalah konsep umum. Akan tetapi permasalahannya tidaklah diambil dengan sifat keumuman ini, secara otomatis dan terus menerus. Hal itu karena ada segi-segi syari`at dan undang-undang positip yang mempunyai pengaruh langsung terhadap penerapan konsep ini.
Sesungguhnya penerjemahan dan pencerminan konsep syakhshiyyah i`tibariyyah ini terhadap penerapan praktis dari konsep tersebut haruslah mempengaruhi dan terpengaruh secara langsung dan otomatis terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pemilik perusahaan. Di sini, kita harus membedakan jenis-jenis hubungan yang menyatukan para pemilik perusahaan yang telah menginvestasikan sebagian dari harta yang Allah Subhanahu Wa Ta`ala titipkan kepada mereka. Ada individu yang memiliki –secara lahiriyah– suatu perusahaan atau kegiatan investasi, dan tidak ada sekutu bersamanya pada kepemilikan yang lahiriyah ini. Ada lagi suatu kepemilikan lahiriyah, yang bersekutu padanya dua orang atau lebih dalam pendanaan kegiatan investasi tersebut, dan mungkin juga –ini yang seringkali terjadi– dalam manajemennya. Di samping kedua bentuk kepemilikan yang lahiriyah ini, ada lagi jenis ketiga dari jenis-jenis investasi, yakni persekutuan beberapa individu, dan pada umumnya tidak saling mengenal satu dengan yang lain, dalam pendanaan suatu kegiatan investasi tertentu. Tetapi, mereka tidak memanajnya sendiri, karena hal itu tidak memungkinkan. Biasanya, dimanaj oleh pihak atau badan khusus yang tidak ikut investasi pada proyek itu sendiri. Terakhir, ada lagi jenis investasi keempat tasi yang kepemilikan lahiriyahnya kembali kepada individu tertentu. Yakni, berbentuk hibah atau waqaf atau yang mempunyai kepentingan umum, akan tetapi tidak berhubungan dengan individu atau pribadi-pribadi yang dikenal diri mereka. Kami akan mengkaji bentuk-bentuk kepemilikan lahiriyah yang beraneka ragam itu dalam pembahasan ini, dari segi pengaruhnya dan keterpengaruhannya dengan konsep syakhshiyyah i`tibariyyah yang pada sebagian negeri-negeri Arab dikenal dengan istilah sykhshiyyah qanuniyyah, hanya saja kami akan mempergunakan istilah syakhshiyyah i`tibariyyah pada buku ini.
Apabila kita perhatikan lembaga-lembaga yang bersifat pribadi, yang mewakili jenis pertama dari jenis-jenis sistem investasi, kita dapatkan bahwa di sana ada dua permasalahan yang akan mempengaruhi dan akan terpengaruh dengan konsep syakhshiyyah i`tibariyyah ini. Pertama, berkaitan dengan harta-harta yang dinvestasikan itu sendiri dan kaitannya dengan harta-harta pribadi tersebut. Kedua, berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu, sebagai akibat atau hasil dari kegiatan investasinya.
Ditinjau dari segi harta yang diinvestasikan, akan kita dapatkan bahwa harta-harta ini harus tetap jauh dari tindakan pribadi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut. Ini berarti bahwa harta-harta yang diinvestasikan pada lembaga itu harus dipergunakan pada hal-hal yang ada kaitannya dengan kegiatan lembaga itu saja, tanpa dikaitkan dengan kebutuhan-kebutuhan pribadi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut. Maka, tidak diperbolehkan bagi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu untuk melakukan pembelian kebutuhan-kebutuhan untuk pribadinya atau untuk keluarganya atau kaum kerabatnya atau siapa saja, lalu mencatat transaksi-transaksi tersebut atas tanggungan lembaga. Hal itu karena perhitungan-perhitungan lembaga itu harus dibatasi hanya untuk transaksi-transaksi yang memang dibutuhkan atau diharuskan oleh karakter kegiatan lembaga itu, yang tanpa hal itu niscaya lembaga itu tidak mungkin merealisasikan tujuan-tujuan yang diharapkan dari pendiriannya. Sudah barang tentu, diperkenankan bagi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah ini untuk mengambil dari harta lembaga itu apa yang dia inginkan, dan membeli apa yang dia sukai dan membelanjakannya sesuai yang dia kehendaki, dengan catatan bahwa pencatatan jumlah yang telah diambil untuk keperluan pribadi apa pun itu harus dinyatakan sebagai pengambilan pribadi yang menjadi tanggung jawab pemilik kepemilikan lahiriyah tersebut, bukan sebagai pengeluaran lembaga.
Pembedaaan antara pengeluaran-pengeluaran pribadi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah ini dan pengeluaran-pengeluaran lembaga itu sendiri mempunyai signifikansi, ditinjau dari pandangan syar`i. Sebab, dimasukkannya pencatatan pengeluaran-pengeluaran pribadi bagi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu ke dalam bagian dari pengeluaran-pengeluaran lembaga akan mengakibatkan –tanpa diragukan lagi– bertambahnya pengeluaran-pengeluaran dari kenyataan yang seharusnya terjadi. Pertambahan ini menggambarkan berlebih-lebihan dalam pengeluaran ketika dibandingkan dengan pemasukan, karena pengeluarann yang berlebih-lebihan tersebut tidaklah seluruhnya dipergunakan untuk merealisasikan pemasukan tersebut. Sebagai akibat dari itu semua, maka penerapan prinsip muqabalah perimbangan akan menghasilkan salah satu dari dua hal, yaitu: Pertama, Hasil penerapan prinsip perimbangan itu akan mengakibatkan menurunnya volume keuntungan yang sebenarnya, ini pada sebaik-baik keadaan, yang selanjutnya akan mengakibatkan penurunan jumlah zakat yang wajib untuk dikeluarkan. Sedangkan hal yang kedua adalah tergambarkan dalam bentuk adanya kerugian-kerugian. Kerugian-kerugian ini bisa jadi seluruhnya bukanlah merupakan kerugian-kerugian yang sesungguhnya, bahkan sebenarnya tidak ada kerugian sama sekali. Namun, kegiatan mencampurkan pengeluaran-pengeluaran pribadi tersebut dengan investasi telah menyebabkan tersedotnya keuntungan-keuntungan yang sebenarnya telah ada, dan merubahnya menjadi kerugian. Sebagai akibat dari bercampurnya pengeluaran-pengeluaran itu, hilanglah alokasi bagian untuk zakat, sehingga mengakibatkan tidak dibersihkannya harta-harta tersebut, apakah hal itu disengaja ataupun tidak disengaja. Oleh karena itu, pencatatan seluruh pengambilan pribadi itu, apakah secara tunai ataukah dalam bentuk barang-barang atau jasa, seluruhnya harus menjadi tanggungan pemilik kepemilikan yang lahiriyah tersebut.
Di saat penyiapan dan pengilustrasianan perhitungan-perhitungan tahunan pada akhir tahun keuangan selesai, maka penarikan-penarikan pribadi untuk pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut harus disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi oleh kegiatan investasi lembaga yang bersifat pribadi. Apabila di sana ada keuntungan-keuntungan yang telah terealisir selama tahun keuangan tersebut, jumlah keseluruhan dari penarikan pribadi untuk pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut dipotong dari keuntungan-keuntungan yang telah terealisir. Kemudian, pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu berhak untuk berbuat terhadap keuntungan-keuntungan yang masih tersisa, apakah dengan mengambilnya secara keseluruhan, ataukah sebagiannya saja, ataukah dengan cara menambahkannya kepada pokok modalnya. Adapun apabila hasil-hasil kegiatan lembaga perorangan tersebut selama tahun keuangan yang telah berlalu itu tergambarkan dalam bentuk kerugian, maka pengambilan-pengambilan pribadi untuk pemilik kepemilikan yang bersifar lahiriyah itu harus dikompromikan dengan modal pokoknya, yakni modal pokoknya itu dipotong sesuai dengan besarnya jumlah penarikan yang bersifat pribadi tersebut. Kami akan membahas kondisi-kokndisi ini dengan contoh-contoh penerapannya pada seri kedua dari Serial Referensi Para Akuntan dan Auditor, bi`aunillah.
Telah kami katakan sebelumnya pada pembahasan ini bahwa ada dua permasalahan yang akan mempengaruhi dan terpengaruh dengan konsep syakhshiyyah i`tibariyyah ini. Pertama, berkaitan dengan harta-harta yang diinvestasikan itu sendiri dan kaitannya dengan harta-harta pribadi tersebut. Hal ini telah kita bicarakan pada bagian yang telah lalu. Sedangkan yang kedua, berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut, sebagai akibat atau hasil dari kegiatan investasinya. Hal ini akan kita bicarakan di sini.
Dari segi hak-hak dan kewajiban-kewajiban pribadi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah ini, topik ini akan dibahas dari dua sisi, yaitu: Pertama, hak-hak pribadi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu. Kedua, kewajiban-kewajiban pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut. Hak-hak pribadi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu adalah tidak ditentang dalam pengambilan seluruh keputusan yang mempunyai kaitan dengan karakter kegiatan tempt menginvestasikan harta yang Allah Subhanahu Wa Ta`ala titipkan padanya, atau sebagian darinya. Hak pengambilan keputusan-keputusan ini diiringi oleh hak yang lain, yaitu hak menguasai seluruh keuntungan yang dihasilkan dari kegiatan tersebut, dan tidak ada hak bagi orang lain untuk menyertainya dalam keuntungan-keuntungan yang telah dihasilkan itu. Adapun dari sisi kewajiban-kewajiban pribadi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu, maka kita dapatkan bahwa kewajiban-kewajiban itu berkaitan erat dengan hak-hak yang telah kita jelaskan tersebut.
Karena pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu memiliki hak pengambilan seluruh keputusan yang berkaitan dengan karakter kegiatannya, dan memiliki hak untuk berbuat terhadap seluruh keuntungannya secara sendirian, untuk selanjutnya dia akan menanggung resiko seluruh hasil-hasil yang terwujud sebagai akibat dari keputusan-keputusannya tersebut. Apabila keputusan-keputusan itu menimpakan kerugian kepada lembaga perseorangan tersebut, kerugian-kerugian itu harus terefleksi kepada pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu sendiri. Yaitu, dengan ditutupnya kerugian tersebut melalui pemotongan modal pokok yang diinvestasikan, dan khusus bagi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu, sebagai akibat dari tanggung jawabnya terhadap kondisi akhir yang dihadapi oleh lembaga yang di dalamnya dia berkuasa penuh dalam pengambilan keputusan. Kadangkala, permasalahannya tidaklah berhenti sampai di situ saja, yakni kadang-kadang kerugian-kerugian itu melampaui modal pokok yang dikhususkan untuk investasi pada lembaga tersebut, bahkan menyedot keseluruhannya, sehingga di sana tidak ada lagi sisa-sisa harta yang cukup untuk menutupi hutang-hutang lembaga yang secara lahiriyah dimiliki oleh individu tersebut. Dalam keadaan seperti ini, pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu harus bertangung jawab secara pribadi dan mutlak terhadap hasil-hasil kegiatan lembaganya, dan dia harus menutupi seluruh hutang-hutang yang berakibat pada lembaganya itu dengan harta pribadinya, yang bisa jadi masih tersimpan atau diinvestasikan pada bidang yang lain.
Dari yang telah kami sebutkan sebelumnya itu, kita bisa memperhatikan bahwa tidak ada perbedaan antara hak-hak serta kewajiban-kewajiban pribadi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban lembaganya yang bersifat perseorangan itu. Keduanya adalah pribadi yang satu, yakni diperbolehkan bagi pihak ketiga untuk menuntut individu pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut secara pribadi, sebagai akibat atau hasil dari muamalatnya dengan lembaga yang pada dasarnya kembali kepada individu tersebut. Demikian juga, diperbolehkan bagi individu pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu sebagai, pihak pertama, untuk mengadakan tuntutan –dalam kapasitasnya sebagai pribadi– tehadap pihak ketiga, sebagai akibat dari hubungannya dengan lembaga, sebgai pihak kedua, yang pada dasarnya kembali kepada pihak pertama. Namun, sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya, di sana terdapat perbedaan dari sisi pencampuran harta, yakni tidak diperbolehkan mencampurkan pengeluaran-pengeluaran pribadi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut dengan pengeluaran-pengeluaran yang khusus bagi kegiatan investasi, pada lembaga-lembaga yang bersifat individual.
Penerapan prinsip syakhshisyyah i`tibariyyah terhadap lembaga individual di dalam permasalahan yang seperti ini merupakan sesuatu yang telah disepakati secara syar`i, dan tidak ada perselisihan di seputarnya di kalangan para ulama’, semenjak berdirinya negara Islam pada tahun 622 M. Dan undang-undang positip, dalam segala bentuknya, pada sistem-sistem yang tidak Islami dalam segala jenisnya, juga telah menempuh metoda ini. Hal ini tampak jelas secara khusus semenjak dimulainya sistem usaha investasi, pada permulaan abad XVIII, yakni investasi-investasi pada saat itu telah mengambil karakternya yang pribadi, sebelum munculnya revolusi industri.
Kepemilikan individu itu mengikat pribadi pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah tersebut dengan lembaga atau kegiatan investasinya, maka perkara syakhshiyyah i`tibariyyah tidaklah berdiri sebagai batas pemisah antara keduanya. Oleh karena itu, penghitungan apa-apa yang menjadi milik pemilik kepemilikan yang bersifat lahiriyah itu pada waktu tertentu, diakibatkan oleh penerapan perimbangan akuntansi berikut ini:
Aset-aset – kewajiban-kewajiban = hak-hak pemilik kepemilikan lahiriyah .
Dengan izin Allah Subhanahu Wa Ta`ala, kami akan membahas tentang perimbangan ini, pembentuk-pembentuk dan penerapan-penerapannya pada seri kedua Serial Referensi Para Akuntan dan Auditor.
Adapun jenis yang kedua dari jenis-jenis bentuk sistem investasi tersebut adalah apa yang dikenal dengan istilah syarikat syakhshiyyah (syirkah-sysirkah pribadi). Namun, wajiblah dibedakan antara dua bagian utama dari syirkah-syirkah ini. Demikian juga bahwa masing-masing dari kedua bagian ini memiliki syirkah-syirkah yang berbeda-beda. Kedua bagian yang utama tersebut adalah syirkah-syirkah sistem Islam dan syirkah-syirkah sistem non-Islam.
Sebelumnya telah kita bicarakan tentang ruang lingkup akuntansi pada pembahasan ketiga dari bab III. Yakni, dalam bab tersebut telah kita kemukakan penjelasan secara ringkas mengenai syirkah `uqud atau sebagaimana juga dikenal dengan nama syirkah ikhtiyariyyah, untuk membedakannya syirkah ijbariyyah. Dan telah kami jelaskan pada saat itu bahwa syirkah-syirkah yang dikenal di dalam sistem Islam tersebut adalah syirkah `inan, syirkah mufawadlah, ‘syirkah wujuh, syirkah a`mal atau syirkah abdan, dan terakhir syirkah mudlarabah. Demikian pula telah kami isyaratkan pada saat itu mengenai adanya beberapa perbedaan pendapat dalam hal fiqhnya, yang tentu saja tidak akan kita bahas pada kesempatan sekarang ini karena tidak termasuk dalam topik pembahasan kita saat ini.
Sesungguhnya yang menjadi kepentingan kita dalam pembahasan sekarang ini adalah prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah ditinjau dari segi hubungannya dengan syirkah-syirkah sistem Islam, yaitu syirkah-syirkah yang tumbuh dan berjalan di bawah naungan negara Islam, dan tidak ada seorang pun yang menggugat akan kebolehan pendirian dan pembentukannya, walaupun ada juga yang mempermasalahkan sebagian dari sisi-sisinya yang lain, terutama para pendiri syirkah tersebut. Di sini, dan sebagaimana halnya lembaga-lembaga individual, harus dibedakan antara dua permasalahan yang utama, yang keduanya akan mempengaruhi dan terpengaruh dengan konsep syakhshiyyah i`tibariyyah ini. Kedua permasalahan tersebut adalah: Pertama, hal-hal yang khusus berkaitan dengan harta-harta yang diinvestasikan, yaitu harta-harta syirkah dan hubungannya dengan harta-harta pribadi para sekutu dalam syirkah tersebut. Kedua, hak-hak dan kewajiban-kewajiban para sekutu, ditinjau dari segi hubungan mereka dengan syirkah tersebut dan hasil kegiatan-kegiatannya.
Ditinjau dari segi harta-harta yang diinvestasikan, yaitu harta-harta syirkah yang dijadikan saham oleh para pendiri syirkah, dan hubungannya dengan harta-harta pribadi milik para sekutu yang membentuk syirkah itu, maka kita akan mendapatkan bahwa harta-harta itu –sebagaimana halnya lembaga individual– harus tetap jauh dari jangkauan para sekutu untuk tujuan-tujuan pribadi mereka. Pada syirkah `inan misalnya, tidak diperkenankan bagi setiap sekutu untuk mencampurkan hartanya dengan harta syirkah dan juga dengan harta yang selainnya, karena hal itu akan mengandung pengharusan hak-hak pada harta tersebut. Ini bukanlah termasuk perdagangan yang diperbolehkan. Juga tidak diperkenankan bagi setiap sekutu untuk mengambil harta dengan suftajah (bill of exchange) atau memberikan harta dengan suftajah, karena hal itu mengandung bahaya atau kemudlaratan yang dia tidak diizinkan; tidak diperbolehkan baginya untuk meminta pinjaman terhadap harta syirkah; serta tidak diperkenankan baginya untuk menyatakan suatu pengakuan terhadap harta syirkah. (Ibnu Qudamah, 1403 H./ 1983 M., juz V, halaman 130–131)
Apa yang kami sebutkan di sini mengenai permasalahan syirkah `inan berlaku juga terhadap syirkah wujuh. Sebab, asas syirkah wujuh itu adalah “dua orang berserikat pada apa-apa yang mereka beli dengan modal kredibilitas pribadi mereka dan kepercayaan para pedagang terhadap mereka, tanpa harus memiliki modal pokok sedikit pun….Imam Malik dan Imam Syafi`i berkata bahwa (dalam syirkah wujuh) dipersyaratkan penyebutan syarat-syarat perwakilan, karena syarat-syarat perwakilan itu dipertimbangkan dalam syirkah tersebut, seperti penentuan jenis, dan syarat-syarat perwakilan lainnya, … sedangkan syirkatul `inan mengandung makna perwakilan …. Kedua sekutu (dalam syirkah wujuh), pada tindak-tanduk, hak-hak, kewajiban-kewajiban, persetujuan-persetujuan, dan penolakan-penolakan keduanya, dan lain-lainnya, setaraf dengan dua sekutu pada syirkah `inan….” (Ibid, halaman 122–123)
Demikian juga bahwa syirkah mudlarabah itu hukumnya seperti hukum syirkatul `inan dalam hal bahwa setiap yang diperkenankan bagi salah seorang di antara mereka untuk melakukannya, itu berarti diperkenankan pula bagi pihak yang lainnya untuk melakukannya; dan apa-apa yang dilarang salah seorang dari mereka untuk melakukannya, itu berarti dilarang pula bagi pihak yang lainnya untuk melakukannya. Apa-apa yang diperselisihkan pada syirkah `inan tersebut, pada syirkah mudlarabah juga diperselisihkan; dan apa-apa yang diperbolehkan untuk menjadi modal pokok syirkah tersebut, berarti diperkenankan pula untuk menjadi modal pokok syirkah mudlarabah; dan apa-apa yang tidak diperkenankan padanya, tidak diperkenankan pula di sini sebagaimana yang telah kami jelaskan.” (Ibid, halaman 136)
Adapun syirkah mufawadlah, yang menduduki tingkat pertama dalam menghadapi berbagai macam perbedaan pendapat fiqhiyyah tentang kebolehannya, maka sangat sulit terjun ke dalam perdebatan-perdebatan fiqhiyyah untuk menguatkan salah satu pendapat dari pendapat yang lainnya, karena ini bukan bidang spesialisasi kami. Akan tetapi karena dia memang telah ada, dan untuk tujuan-tujuan prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah, serta secara umum, maka “yang tampak dalam pandangan kami bahwa diperbolehkannya syirkah mufawadlah ini dengan pengertian seperti yang dipahami oleh madzhab Maliki dan Hanbali adalah lebih kuat, dan bahwasanya tidak dipersyaratkan padanya kecuali seperti apa yang dipersyaratkan pada syirkah `inan”, (‘Ali Ahmad Al Qulaishi (A), 1414 H. / 1993 M., halaman 21). Dari sini dapatlah kami ambil suatu kesimpulan bahwa batasan-batasan yang kami kemukakan sebelumnya mengenai syirkah `inan berlaku juga untuk syirkah mufawadlah ini.
Adapun mengenai syirkah a`mal atau abdan –yang juga perselisihkan dalam hal kebolehannya, di samping dalam hal hakikatnya ketika dibolehkan– sesungguhnya berkaitan dengan persoalan kegiatan itu sendiri, dan persoalan harta bukanlah asas atau dasarnya. Hal itu karena hakikatnya adalah pembagian hasil kegiatan, yakni “dua orang atau lebih bersekutu dalam apa yang mereka hasilkan dengan tangan-tangan mereka, seperti persekutuan para pengrajin untuk bekerja pada kerajinan mereka, atau mereka bersekutu dalam apa yang mereka hasilkan dari kegiatan-kegiatan yang diperbolehkan. Madzhab Hanafi mendefinisikannya dengan mengatakan, persekutuan dua orang pengrajin yang sama dalam keahliannya, atau mungkin saja berbeda, untuk mengerjakan suatu kegiatan pekerjaan, dan hasilnya dibagi di antara mereka.” (Ibid, halaman 24) Selanjutnya, kita dapatkan bahwa di sana tidak ada modal pokok yang tetap atau aktif, yakni kegiatannya itu terbatas pada pekerjaan saja, dan pembagian hasilnya berdasarkan apa yang telah disepakati. Maka di sini, sebagai suatu kaidah umum, tidak ada tempat bagi percampuran harta-harta pribadi tersebut dengan yang khusus untuk syirkah.
Adapun permasalahan yang kedua berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para sekutu, dilihat dari segi hubungan mereka dengan syirkah dan hasil-hasil kegiatannya, yakni hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai suatu syakhshiyyah i`tibariyyah (entitas spiritual) dan di bawah naungan syirkah-syirkah sistem Islam. Di sini kita dapatkan bahwa prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah ini tidak dapat diterapkan dan tidak bisa memisahkan syirkah itu dari para sekutunya, lain halnya pada saat bercampurnya harta-harta pribadi dengan harta-harta perusahaan seperti yang telah kita kemukakan sebelumnya. Sesungguhnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban syirkah terhadap pihak lain sebenarnya juga merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para sekutu terhadap pihak lain. Demikian pula, kerugian syirkah itu merupakan kerugian bagi para sekutu itu sendiri, dan keuntungan-keuntungannya merupakan keuntungan bagi para sekutu itu sendiri. Hal itu karena wadl`iyyah wadl dlaman (jaminan) merupakan salah satu keharusan syirkah. Oleh karenanya, dikaitkanlah hal itu kepada para sekutu sebagaimana halnya keuntungan….” (Ibnu Qudamah, 1403 H. / 1983 M., juz V, halaman 128) Hal ini dapat diterapkan kepada seluruh -syirkah yang telah kami isyaratkan sebelumnya, yang berada di bawah naungan sistem Islam.
Dari sini, dapatlah kami simpulkan bahwa dalam hal yang berkaitan dengan syirkah harta yang bebas (ikhtiyariyyah) yang berada di bawah naungan sistem Islam, para sekutu itu bertanggung jawab terhadap kewajiban-kewajiban perusahaan, pada kondisi ketidak-mampuannya, untuk menutupi hutang-hutangnya, sebagaimana mereka itu berhak untuk memperhatikan piutang-piutang syirkah pada pihak lain. Keberadaan para sekutu di sini serupa dengan keberadaan seorang pedagang individual.
Adapun di bawah naungan sistem-sistem non Islami, kita dapatkan bahwa keadaan syirkah yang seperti ini, yang dikenal dengan istilah syarikatul asykhash, secara umum mirip dengan apa yang berlaku di bawah naungan negara Islam sejak zaman Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Hanya saja ada beberapa pengecualian apabila akad syirkah di antara para sekutu itu ada pernyataan bahwa seseorang atau beberapa sekutu tanggung jawabnya atau tanggung jawab mereka terbatas, sesuai dengan apa yang dia atau mereka serahkan dari modal pokoknya. Apabila kesepakatan yang seperti ini terdapat secara jelas di dalam akad pendirian syirkah tersebut, hal itu akan diikuti dengan suatu ketentuan, yaitu individu yang seperti ini, yang memiliki tanggung jawab terbatas, tidak berhak untuk mengatur syirkah dan tidak berhak untuk mengadakan akad atas nama syirkah. Sekutu seperti ini dinamakan sleeping partner atau passive partner.
Demikian juga, sebagian fuqaha’ “memandang bahwa masalah ketidakmandirian jaminan keuangan sekutu pada syirkah yang berada dibawah naungan sistem Islam tidak lain hanyalah suatu bentuk sistem perundang-undangan yang dihasilkan melalui proses ijtihad. Oleh karena itu, dibenarkan untuk berubah sesuai dengan tuntutan-tuntutan muamalat dan perkembangannya, perubahan hukum-hukumnya, serta keaneka-ragamannya, selama hal itu bisa mewujudkan kemaslahatan, dan tidak mengakibatkan suatu bahaya atau kemudlaratan. Dari segi yang lain, syari`at Islam tidaklah mengingkari akan hal itu, dan di dalam Al Qur’an dan As Sunnah tidak terdapat keterangan-keterangan yang melarang bahwa jaminan keuangan diwajibkan kepada selain pribadi-pribadi alami , yakni ditetapkan untuk syirkah-syirkah dan lembaga-lembaga.” (Husein Husein Syahatah, 1993 M., halaman 65). Pendapat ini, walaupun logis masih bersifat umum serta membutuhkan tambahan pembahasan dan penelitian. Namun perlu diingat, permasalahan ini berkaitan dengan sisi-sisi syari`ah, bukan logika pemikiran. Dari itu semua, dapatlah kami ambil suatu kesimpulan bahwa pada hal-hal yang berkaitan dengan syirkah-syirkah, “apakah yang berbentuk mudlarabah atau amwal, terdapat kemungkinan untuk diterapkan kaidah pemisahan jaminan keuangan, dan bahwasanya syirkah itu memiliki syakhshiyyah i`tibariyyah (entitas spiritual) yang tersendiri, selama di dalam hukum-hukum syari`at tidak didapatkan keterangan yang mengingkari akan hal itu. Berdasarkan itu semua, sekutu itu akan bertanggung jawab terhadap pihak lain, sebatas modal yang telah dia serahkan, dengan syarat hal itu tertera secara jelas pada akadnya, dan mungkin juga terdapat kesepakatan yang berbeda dengan hal itu. Dalil bagi semua hal itu adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta`ala:
“…kecuali melalui jalan perniagaan yang terjadi secara suka sama suka di antara kalian…” (An Nisa’:29)
Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam:
“Orang-orang beriman itu (diperlakukan) berdasarkan kesepakatan-kesepakatan mereka, kecuali kesepakatan yang menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal. ” (Ibid, halaman 66).
Di sini kita dapatkan, referensi yang kami kemukakan tersebut mengisyaratkan bahwa syirkah itu, “apakah yang berbentuk mudlarabah atau amwal, terdapat kemungkinan untuk diterapkan kaidah pemisahan jaminan keuangan, dan bahwasanya syirkah itu memiliki syakhshiyyah i`tibariyyah tersendiri.” Sesungguhnya kami mempunyai pandangan yang berbeda dengan apa yang terdapat di dalam referensi tersebut dalam hal syarikat asykhash (usaha-usaha pribadi). Adapun dalam hal syarikat amwal, kami akan mengulasnya pada waktu mendatang. Penyebab dari perbedaan kami dengan apa yang terdapat di dalam referensi tersebut adalah syarikat asykhash itu hanyalah berdiri atas dasar hubungan pribadi dan kepercayaan individual. Sehingga, apabila syirkah ini menghasilkan keistimewaan-keistimewaan melalui hubungan-hubungan pribadi dan kepercayaan orang-orang yang berperan di dalamnya, maka tidak diperkenankan untuk melemparkan tangung jawab hubungan-hubungan pribadi dan kepercayaan individual tersebut kepada entitas spiritual. Berdasarkan hal itu, maka dapatlah kami simpulkan bahwa prinsip entitas spiritual itu tidak boleh diterapkan terhadap syarikat asykhash pada sistem-sistem non Islam. Bahkan, para sekutu itu senantiasa bertanggung jawab terhadap hasil-hasil hubungan mereka yang didasarkan pada hubungan-hubungan pribadi dan kepercayaan individual. Hal itu agar tidak menimbulkan suatu bahaya kepada pihak lain, akibat dari hubungan para sekutu tersebut dengan pihak-pihak lain, yang didasarkan pada hubungan-hubungan pribadi dan kepercayaan individual; serta agar tidak menyerahkan tanggung jawab kepada entitas spiritual yang bisa jadi tidak memungkinkan untuk memenuhi hak-hak pihak lain. Pandangan kami ini merujuk kepada bahwa hubungan antara syirkah tersebut dengan para sekutu atau para pemiliknya adalah hubungan yang di dasarkan pada kepemilikan bersama. Maksudnya adalah ketiadaan kepemilikan bersama ini akan mengakibatkan tidak adanya syirkah tersebut. Berdasarkan hal itu, sesungguhnya entitas spiritual itu tidak ada pada syarikat asykhash, karena manusialah yang mengatur hubungannya dengan Rabbnya, hubungannya dengan manusia lain, dan hubungan di antara sesama mereka. Oleh karena itu, tanggung jawabnya terbatas pada diri manusia itu sendiri, dan diwajibkan atasnya, serta dilekatkan kepada dirinya, bukan kepada yang selainnya.
Adapun jenis yang ketiga dari jenis-jenis bentuk sistem investasi adalah apa yang dikenal dengan istilah syirkah musahamah. Syirkah musahamah ini tumbuh sebagai akibat dari kebutuhan terhadap modal besar yang tidak dapat dipenuhi oleh para sekutu yang jumlahnya terbatas itu. Syirkah musahamah adalah suatu syirkah (perusahaan) yang biasanya para penyandang dananya adalah sekelompok manusia yang jumlahnya sangat besar, tidak saling mengenal di antara sesama mereka, dan yang menyatukan mereka adalah faktor keuntungan, bukan faktor kepercayaan. Bentuk perusahaan yang seperti ini belum pernah dikenal oleh negara Islam dahulu. Pertumbuhannya dalam bentuk yang kita kenal sekarang ini kembali kepada abad XIX, yakni perusahaan-perusahaan yang seperti ini tersebar luas di Inggris, dan pengaturannya berdasarkan pada undang-undang perusahaan. Sebab yang mendorong sejumlah besar manusia tersebut untuk mendirikan atau menanam saham setelah mendirikan perusahan-perusahaan yang seperti ini, kembali kepada tanggung jawab yang terbatas bagi para penanam saham. Hanya saja, hal ini tidaklah berarti bahwa setiap syirkah musahamah itu dia mempunyai tanggung jawab yang terbatas, karena syirkah musahamah itu bisa kita bagi ke dalam dua bagian, yaitu: Pertama, syirkah musahamah yang mempunyai tanggung jawab tidak terbatas (unlimited company). Syirkah ini jumlahnya sedikit dan terbatas ruang lingkupnya. Kedua, syirkah musahamah yang terbatas tanggung jawabnya (limited company). Syirkah ini tersebar secara luas. Demikian pula, syirkah musahamah yang terbatas ini terbagi dua pula, yaitu: pertama, syirkah musahamah yang terbatas tanggung jawabnya secara umum; kedua, syirkah musahamah yang terbatas tangung jawabnya secara khusus. Adapun syirkah musahamah terbatas yang bersifat umum itu adalah suatu perusahan yang saham-sahamnya beredar secara umum dan bebas di pasar-pasar khusus atau bursa saham. Kebebasan peredaran saham-saham ini kadangkala, pada sebagian keadaan, terikat pada apa yang tertera pada akte pendirian perusahaan dan peraturan pokoknya. Syirkah-syirkah musahamah terbatas yang bersifat umum ini, pada negeri-negeri yang berbahasa Inggris, kadangkala dikenal atau dinamakan dengan Public Company atau Listed Company. Nama yang terakhir itu mengisyaratkan peredaran saham-sahamnya di bursa saham. Adapun syirkah musahamah terbatas yang bersifat khusus, dalam seluruh sisi-sisinya mirip syirkah musahamah terbatas yang bersifat umum, dengan pengecualian dalam jumlah anggotanya dan karakter kegiatannya. Hal itu karena jumlah anggota syirkah musahamah terbatas yang bersifat khusus itu sangat terbatas, dan berbeda antara satu negara dan negara yang lainnya. Jumlah yang terbatas ini haruslah saling mengenal di antara sesama mereka.Tidak diperkenankan bagi syirkah musahamah terbatas yang bersifat khusus ini untuk go public. Juga tidak diperkenankan, menjual saham-sahamnya tanpa seizin atau persetujuan para pemegang saham yang lain apabila salah seorang dari pemilik saham tersebut ingin menjual saham-sahamnya, atau jika manajemen perusahaan itu berpikir untuk mengeluarkan saham-saham baru. Demikian juga, kegiatan syirkah musahamah terbatas yang bersifat umum seperti ini hendaknya terbatas, yakni tidak diperkenankan baginya untuk melakukan suatu kegiatan-kegiatan tertentu yang membutuhkan investasi-investasi yang besar. Perusahaan-perusahaan yang seperti ini dikenal dengan istilah Private Company atau Proprietory Company, yang kadangkala setelah namanya ditandai dengan rumus Pty. Ltd.
Di samping perbedaan-perbedaaan ini, sesungguhnya di sana ada perbedaan-perbedaan lainnya, yang terpenting di antaranya adalah adanya kebolehan undang-undang, sebagaimana halnya di Australia, bagi syirkah musahamah terbatas yang bersifat khusus ini untuk meniadakan dari dirinya sebagian dari tuntutan-tuntutan perundang-undangan, seperti mengaudit perhitungan-perhitungannya, dengan syarat peniadaan ini haruslah berdasarkan keputusan dari sekelompok umum para pemegang saham, dan disebutkan pada daftar keuangan. Begitu pula, undang-undang membolehkan auditnya dilakukan oleh para anggotanya, yang hal itu biasanya terlarang pada syirkah musahamah terbatas yang bersifat umum, dengan syarat hal itu harus dipaparkan secara jelas pada daftar keuangan. Kami akan membahas mengenai syirkah-syirkah ini beserta dasar-dasar akuntansinya dengan rinci dan memadai, pada seri IV dari Serial Referensi Para Akuntan dan Auditor, dengan seizin Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Adapun di sini, kami rasa cukup sampai di sini saja pembahasan kita, sesuai dengan tujuan pembahasan ini.Yakni, kami melihat bahwa apa yang telah kita kemukakan tersebut telah memenuhi tujuannya.
Telah kami sebutkan sebelumnya bahwa syirkah musahamah tersebut tidaklah dikenal pada masa negara Islam dahulu, sehingga pendirian atau kemunculannya itu telah menimbulkan perdebatan pada banyak kalangan. Sebelum kami menunjukkan perdebatan tersebut, kami harus menyebutkan bahwa dzimmah (jaminan) itu adalah “suatu diskripsi syar’i yang menjadikan manusia pantas untuk menerima kewajiban dan haknya, apakah yang berbentuk ibadah maupun yang bukan ibadah. Dengan pengertian ini, maka tidaklah akan tergambarkan keberadaannya, kecuali pada diri manusia yang hidup.” (Ali Al Khafif, 1962 M., halaman 22–23). Berdasarkan pengertian dzimmah tersebut, sebagian kalangan memandang bahwa “walaupun para fuqaha’ kaum muslimin belum pernah mendefinisikan atau menjelaskan mengenai istilah syakhshiyyah ma`nawiyyah atau i`tibariyyah, sesungguhnya mereka telah menjelaskan maknanya, tatkala mereka membahas tentang dzimmah, menjelaskan tentang maknanya, dan menjadikannya berada pada diri seorang manusia yang hidup. Tetapi, mereka kemudian terpaksa mengatakan adanya dzimmah bagi apa-apa yang tidak berakal seperti waqaf, masjid, baitul mal dan lain-lainnya, tatkala mereka mendapatkan bahwa banyak dari muamalat tidak berjalan dengan baik, kecuali jika ada padanya suatu dzimmah yang terpisah.” (Abdul Aziz Azzat Al-Khayyath, 1403 H. /1983 M., juz I, halaman 213).
Adapun perdebatan yang kami isyaratkan di atas terfokus pada persoalan ada atau tidak adanya legitimasi tanggung jawab terbatas bagi syirkah tersebut. “Sebab, yang dinamakan syirkah, di dalam literatur kajian fiqh Islam, mempunyai tanggung jawab yang tidak terbatas” (Lembaga Fatwa dan Pengkajian, 1406 H. / 1986 M., halaman 24). Namun, sebagian kalangan memandang bahwa diperbolehkan juga pendirian syirkah musahamah yang memiliki tangung jawab yang terbatas. Pada kenyataannya, kami belum mendapatkan referensi-referensi kajian fiqh yang memandang diperbolehkannya hal tersebut. Namun, salah seorang pakar fiqh dan hadits memandang bahwa ” merupakan suatu ketentuan dan ketetapan syari`at bahwa pihak yang menuntut dan dituntut bisa jadi bukanlah seorang manusia. Maksudnya adalah bisa jadi dia itu berupa suatu badan atau lembaga di dalam istilah kita sekarang ini. Bisa jadi, dia itu berupa baitul mal, atau badan wakaf, atau suatu institusi pendidikan, atau rumah sakit. Berdasarkan hal itu, kita mungkin pernah mendengar suatu riwayat yang menyatakan bahwa baitul mal itu adalah pewaris bagi orang-orang yang tidak mempunyai ahli waris. Hal ini berarti bahwa warisan tersebut merupakan suatu hak yang telah pasti baginya. Demikian juga dikatakan bahwa baitul mal itu wajib memberi nafkah kepada orang-orang yang tidak mempunyai keluarga dari kalangan fakir miskin. Ini berarti bahwa hal itu merupakan suatu kewajiban yang harus diembannya. Oleh karena itu, diperbolehkan memberikan wasiat kepada masjid-masjid dan yang selainnya dari yayasan atau lembaga-lembaga umum. Hal ini secara jelas bermakna terdapatnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban badan-badan atau lembaga-lembaga tersebut. Dengan demikian, terdapat syakhshiyyah ma`nawiyyah yang telah dikenal oleh fiqh Islam, walaupun dia belum mengenal ungkapan yang baru ini.” (Muhammad Yusuf Musa, 1958 M., halaman 221).
Berdasarkan gambaran ini, salah seorang penulis akuntansi pernah berkata bahwa “dimungkinkan untuk menerapkan kaidah pemisahan jaminan keuangan, dan bahwa syirkah itu memiliki syakhshiyyah i`tibariyyah tersendiri, selama di dalam syari`at tidak terdapat keterangan-keterangan yang mengingkari akan hal itu. Berdasarkan hal itu, syarik (sekutu/patner) itu bertanggung jawab terhadap pihak lain sebatas modal yang telah dia serahkan, dengan syarat bahwa hal itu tertera secara jelas di dalam akad”. (Husein Husein Syahatah, 1993 M., halaman 66). Di sini, kita perhatikan bahwa pembicaran ini adalah mengenai ‘syirkah-syirkah, tetapi kata syrarik (sekutu/patner) yang kami ambil dan letakkan di atas itu berasal dari kata-kata Ustadz Dr. Husein Husein Syahatah. Dari situ, tampak bahwa keterangan itu menyatukan antara syirkah-syirkah yang dikenal di dalam sistem Islam dan syirkah-syirkah yang dikenal dengan istilah syirkah musahamah, selama akadnya menjelaskan bahwa tanggung jawabnya terbatas. Kecuali, jika pengarang tersebut tidak bermaksud demikian, dan dia mencantumkan kata syarik di sini secara tidak sengaja, dan mungkin saja yang dia maksudkan adalah musahim (pemilik saham). Demikian juga, terdapat suatu pernyataan yang menunjukkan tentang bolehnya syakhshiyyah i`tibariyyah itu, yang selanjutnya tentang terpisahnya jaminan keuangan bagi syirkah musahamah yang mempunyai tanggung jawab terbatas. Pernyataan tersebut adalah: “Pada prinsipnya, fiqh Islam tidaklah menolak pemikiran tentang adanya syakhshiyyah i`tibariyyah bagi badan-badan atau kegiatan-kegiatan yang independen, dan bersifat kontinyu, seperti syirkah-syirkah.” (Lembaga Fatwa dan Penelitian, 1406 H. /1986 M., halaman 31). Sebagian kalangan menegaskan pandangan Lembaga Fatwa dan Penelitian tersebut, dan bahkan memperluasnya untuk mengatakan bahwa “merupakan suatu kewajiban, sesuai dengan tuntutan-tuntutan kemaslahatan umum, kita memberikan kepada syirkah tersebut syakhshiyyah i`tibariyah, sesuai dengan jenisnya, sehingga dia memiliki tanggung jawab tersendiri dan wujud tersendiri pula, dan juga memiliki nama, tempat dan kebangsaan. Hal itu berimplikasi pada suatu tanggung jawab; dan di dalam syari`at, baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah, memang tidak ada keterangan yang melarangnya. Sementara itu, adat , kemaslahatan, dan keadaan menuntut keberadaannya, agar muamalah-muamalah manusia tersebut dapat berjalan dengan baik.” (Abdul Aziz Azzat Al Khayyath, 1403 H. / 1983 M., juz I, halaman 221)
Apabila kita bisa menerima –berdasarkan uraian tersebut di atas– bolehnya pendirian syirkah-syirkah yang mempunyai tanggung jawab terbatas tersebut, baik yang bersifat umum maupun khusus, dan selanjutnya tentang terpisahnya tanggung jawab keuangannya dari tanggung jawab para pendirinya, maka menurut pandangan kami, haruslah ada keterangan yang tegas dan jelas mengenai keadaan tanggung jawab yang terbatas ini pada seluruh publikasi, korespondensi, dokumentasi, dan produk-produk perusahaan. Hal itu karena setiap yang keluar atau muncul dari syirkah/perusahaan itu, baik yang berupa perkataan, atau perbuatan, atau produk-produk, kesemuanya itu harus mengisyaratkan bahwa perusahaan ini mempunyai tanggung jawab yang terbatas, sehingga orang-orang yang berhubungan dengan perusahaan tersebut dapat menyadari akan permasalahan ini, dan meletakkan hal itu di dalam perhitungan dan pertimbangan mereka, di saat mereka akan mengambil keputusan-keputusan apa saja yang berhubungan dengan muamalah mereka dengan perusahaan yang mempunyai tanggung jawab terbatas ini.
Pada tulisan-tulisan yang sebelumnya, kita telah membicarakan mengenai syirkah musahamah yang mempunyai tnggung jawab terbatas, dan mengenai kebolehan penerapan prinsip syakhshyiyyah i`tibariyyah terhadapnya. Dan kita pun telah menyimpulkan bahwa pandangan yang lebih kuat mengisyaratkan akan sesuainya atau dapat diterapkannya prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah ini terhadap syirkah musahamah. Berdasarkan gambaran tersebut, maka dua permasalahan yang berkaitan dengan keterpisahan harta-harta yang diinvestasikan dari satu sisi, dan yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para penanam atau pemilik saham dari sisi yang lain, lebih utama untuk dapat diterapkan daripada syirkah-syirkah yang lain.
Dari segi harta-harta yang diinvestasikan pada syirkah musahamah tersebut, baik yang bersifat umum maupun khusus, dan sebagai akibat dari ketidakterlibatan para pemilik saham di dalam manajemen pada sebagian besar syirkah-syirkah, khususnya pada syirkah musahamah yang bersifat umum, dan sekalipun sebagian para pemilik saham menjadi angota dewan manajemen perusahaan atau anggota eksekutif perusahaan, baik yang bersifat khusus maupun umum, maka harta-harta syirkah musahamah tersebut harus selalu jauh dari jangkauan para pemilik sahamnya, bagaimanapun keadaannya. Yakni, tidak diperkenankan bagi setiap pemilik saham, bagaimanapun juga tingkat kepemilikan sahamnya atau fungsi manajerialnya pada syirkah musahamah tersebut, mengambil manfaat dari harta-harta syirkah musahamah itu untuk tujuan-tujuan khusus pribadinya.
Adapun dalam hal yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pemilik saham tersebut, dilihat dari sisi hubungan mereka dengan syirkah musahamah itu, baik yang bersifat umum maupun khusus, dan hubungan mereka dengan hasil-hasil kegiatan syirkah, yakni hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai suatu syakhshiyyah i`tibariyyah (entitas spiritual), maka kita dapati bahwa persoalannya di sini lebih jelas darpada keadaan yang terdapat pada perusahaan-perusahaan individual dan perusahaan-perusahan lainnya yang bukan syirkah musahamah, yang telah kita perbincangkan sebelumnya. Sesungguhnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban syirkah musahamah itu selalu khusus dan tersendiri baginya, tidak sama dengan hak dan kewajiban para pemilik sahamnya. Dari segi hak-hak syirkah musahamah tersebut, kita dapati bahwa perusahaan itulah yang menuntut akan hak-haknya melalui manajemennya, atau melalui orang-orang yang melakukan penyelesaian di saat melakukan penyelesaian, yang hal itu tidak ada hubungannya dengan para pemilik saham. Lain halnya jika kita lihat pada perusahaan-perusahaan individu dan perusahaan-perusahaan yang bukan syirkah musahamah. Sebagaimana juga bahwa kewajiban-kewajiban syirkah musahamah tersebut terhadap pihak lain selalu menjadi tangung jawab syirkah musahamah itu sendiri, bukan tanggung jawab para pemilik sahamnya. Para pemilik saham tersebut tidaklah diminta untuk menutupi kewajiban-kewajiban perusahaan tempat mereka menanam saham, kecuali sebatas modal yang masih masih belum disetorkan. Adapun apabila pemilik saham itu ternyata telah melunasi seluruh modal yang tercatat baginya, maka dia tidaklah bertanggung jawab sama sekali mengenai hutang-hutang perusahaan, bagaimanapun juga karakternya dan bagaimanapun juga besarnya.
Masih ada persoalan lain yang menuntut kejelasan, yaitu yang khusus berkaitan dengan keuntungan-keuntungan perusahaan yang telah terealisasikan. Sebagai akibat dari dapat diterapkannya prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah secara mutlak terhadap syirkah musahamah, baik yang bersifat khusus maupun umum, maka keuntungan-kentungan yang telah dapat direalisasikan oleh perusahaan itu selama satu tahun keuangan, sebagaimana yang digambarkan oleh daftar keuangan pada akhir tahun keuangan, menjadi milik khusus syirkah musahamah tersebut. Hal ini berarti bahwa tidak ada hak bagi para pemilik sahamnya terhadap keuntungan-keuntungan yang telah terealisasikan itu, kecuali sebatas yang telah ditetapkan oleh dewan manajemen syirkah musahamah tersebut untuk dibagikan kepada para pemilik sahamnya. Apabila dewan manajemen tidak menetapkan adanya pembagian dari keuntungan-keuntungan yang terealisasikan tersebut, karena adanya kebutuhan-kebutuhan perusahaan terhadap keuntungan-keuntungan itu, dan karena keterkaitan keuntungan-kentungan itu dengan aset-aset yang tidak tunai, yang selanjutnya menimbulkan adanya kesulitan atau kemustahilan untuk merubah aset-aset tersebut menjadi uang tunai, maka para pemilik saham tersebut tidak dapat menuntut perusahaan agar membagikan bagian tertentu dari keuntungan-keuntungan tersebut kepada mereka. Adapun jika dewan manajemen telah menetapkan bagian tertentu dari keuntungan-kentungan itu untuk dibagikan dan telah mengumumkan hal itu dengan sarana apa pun yang bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan, seperti melalui daftar keuangan, atau surat menyurat secara langsung kepada para pemilik saham, maka para pemilik saham berhak untuk menuntutnya, dan syirkah musahamah tersebut mempunyai kewajiban terhadap para pemilik sahamnya. Keuntungan-keuntungan yang telah diputuskan pembagiannya tersebut akan tampak pada sisi kewajiban-kewajiban perusahaan dalam buku-buku catatan dan daftar-daftar keuangannya, sampai selesai penyerahannya kepada para pemilik sahamnya.
Sampai di sini, selesailah ulasan kita tentang tiga buah bentuk dari macam-macam bentuk sistem investasi, dan masih ada jenis yang keempat dari padanya, yaitu khusus mengenai hibah-hibah, waqaf-waqaf dan yang untuk kemaslahatan-kemaslahatan umum, dan yang serupa dengannya yang bisa dikategorikan sebagai bentuk yang keempat ini. Dan inilah satu-satunya bentuk dari bentuk-bentuk sistem investasi yang padanya terdapat Ijma` ‘Am (kesepakatan menyeluruh), dari sisi tinjauan fiqh, mengenai dapat diterapkannya prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah terhadapnya. Hal itu mencakup masjid-masjid, waqaf-waqaf sosial, lembaga-lembaga pendidikan, dan lain-lainnya yang hukumnya dikategorikan dalam ruang lingkup hal-hal tersebut, seperti perkumpulan-perkumpulan, yayasan-yayasan / lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi lainnya yang mencari keuntungan dalam menginvestasikan harta-hartanya. (Muhammad Kamal `Athiyyah, 1409 H / 1989 M., halaman 98; dan Husein Husein Syahaatah, 1993 M., halaman 66).
Setelah kita mengulas tentang keempat bentuk sistem investasi tersebut, dalam hal yang berkaitan dengan konsep syakhshiyyah i`tibariyyah, maka sekarang kita harus membahas tentang apa yang dimaksud dengan syakhshiyyah qanuniyyah dan wihdah muhasabiyyah yang kadangkala dinamakan dengan nama syakhshiyyah muhasabiyyah –kami memandang bahwa yang lebih utama adalah penggunaan istilah wihdah muhasabiyyah– agar tidak rancu bagi para pembaca, konsep keduanya dan hubungan keduanya dengan syakhshiyyah i`ibariyyah, setiap kali mereka menemukan istilah-istilah ini.
Syakhshiyyah Qanuniyyah
Syakhshiyyah Qanuniyyah (legal entity) itu adalah suatu ungkapan mengenai entitas yang terpisah, yang memungkinkannya untuk menuntut pihak lain secara langsung dalam sifatnya sebagai suatu pribadi, sebagaimana dimungkinkan pula bagi pihak lain untuk menuntutnya secara langsung pula, dalam sifatnya sebagai suatu pribadi. Apabila kita perhatikan keempat bentuk sistem investasi terdahulu, untuk mengetahui sejauh mana kesesuaian syakhshiyyah qanuniyyah tersebut terhadap setiap sistem tersebut berdasarkan definisi yang telah kami sebutkan sebelumnya, maka kita dapati beberapa perbedaan yang mendasar di antara bentuk-bentuk sistem tersebut.
Dengan memperhatikan muassasat fardiyyah (sole proprietorship/ lembaga-lembaga individual), telah kami katakan sebelumnya bahwasanya tidak ada perbedaan apa pun antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban pribadi pemilik perusahaan dari satu sisi, dan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perusahaan itu sendiri dari sisi yang lainnya. Yakni, kedua pihak membentuk satu pribadi atau satu badan dilihat dari segi hak dan kewajibannya. Sebab, jika harta perusahaan itu tidak mencukupi untuk menutupi hak-hak pihak lain, maka dimungkinkan bagi pihak yang lain itu untuk menuntut haknya kepada pemilik perusahaan, yang hal itu pada dasarnya merupakan kewajiban-kewajiban perusahaan. Demikian juga, apabila pemilik perusahaan secara lahiriyah tersebut ternyata tidak sanggup menutupi hutang-hutang pribadinya, maka dimungkinkan bagi pihak pengadilan untuk menghentikan kegiatan lembaga investasinya, guna menutupi hak-hak pihak lain. Sebaliknya, apabila ada piutang perusahaan pada pihak lain, dan pihak itu tidak melunasi hutang-hutangnya yang telah jatuh tempo itu kepada perusahaan tersebut, maka pemilik perusahaan tersebut, dalam sifatnya sebagai pribadi, berhak menuntut pihak tersebut agar menunaikan apa yang menjadi tangung jawabnya terhadap perusahaan.
Apabila kita perhatikan, sekarang, apa-apa yang telah kami jelaskan pada bagian terdahulu, akan kita dapatkan bahwa syakhshiyyah qanuniyyah perusahaan yang bersifat individu ini larut atau menyatu dengan pemiliknya, dan tidak terpisah dengannya. Demikian pula, syakhshiyyah qanuniyyah pemilik perusahaan individual tersebut mencakup perusahaannya dan tidak terpisah darinya. Ketercakupan perusahaan individual dan pemiliknya tersebut hanyalah terbatas pada lingkup hak dan kewajiban masing-masing. Berdasarkan hal tersebut, maka bagi perusahan-perusahaan yang bersifat individual tersebut hanya terdapat satu syakhshiyyah qanuniyyah saja, yakni lembaga individu dan pemiliknya secara lahiriyah tersebut, keduanya mewakili satu badan ditinjau dari segi undang-undang. Keduanya tidak mungkin dipisahkan untuk mendapatkan hak-hak dan menunaikan kewajiban-kewajiban.
Adapun pada bentuk yang kedua dari bentuk-bentuk sistem investasi, yaitu syirkah asykhash yang dikenal oleh sistem Islam –yaitu syirkah `inan, syirkah mufawadlah, syirkah wujuh, syirkah abdan atau a`mal, dan terakhir syirkah mudlarabah, dan yang serupa dengannya yang terdapat di dalam sistem non Islam, yang dikenal dengan nama syirkah tadlamun– maka permasalahan ini menurut pandangan kami serupa dengan apa yang terdapat pada lembaga-lembaga individual. Sebab, syirkah-syirkah ini (partnership) berdiri atas dasar perkenalan pribadi, dan inti hubungan di antara para sekutu adalah adannya saling kepercayaan. Yakni, setiap individu dari pihak-pihak yang berada di dalam syirkah investasi ini sudah barang tentu tidak akan mau menanggung resiko kerugian harta atau usaha, kecuali jika didasarkan pada kepercayaan terhadap kebenaran tindak-tanduk pihak-pihak syirkah yang lain. Karena aktivitas atau kegiatan pada syirkah asykhash di sini berdiri atas dasar tindak-tanduk pribadi, para investor dan orang-orang yang mengatur lembaga mereka tersebut, apakah secara bersama-sama ataukah secara individu, wajib bertanggung jawab secara bersama-sama terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban lembaga mereka itu. Berdasarkan itu semua, dapatlah kita simpulkan suatu pernyataan bahwa para pemilik lembaga dan lembaga mereka, pada syirkah asykhash, membentuk satu syakhshiyyah qanuniyyah, dan tidak diperkenankan memisahkan antara keduanya.
Akan tetapi, di sana terdapat satu kondisi yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh, yaitu apabila salah seorang di antara para sekutu tersebut ada yang memberikan saham hanya modalnya saja, tanpa ikut serta dalam manajemennya, dan akad syirkah tersebut telah menetapkan bahwa individu yang seperti ini tanggung jawabnya hanya sebatas apa telah dia serahkan dari modal pokoknya. Pada kondisi yang seperti ini, maka individu atau pribadi yang seperti ini tidaklah dianggap bertanggung jawab terhadap kewajiban-kewajiban perusahaan, kecuali sebatas apa yang telah dia sahamkan dari modal pokoknya. Namun, pada keadaan seperti ini, dipersyaratkan harus ada keterbukaan mengenai batasan-batasan tangung jawab ini di dalam publikasi, korespondensi, dan dokumentasi perusahaan. Ini di samping pentingnya keterbukaan mengenai karakter tanggung jawab atas nama perusahaan atau lembaga tersebut. Penyebab dari pentingnya keterbukaan itu adalah memberikan terlebih dahulu kepada pihak lain bentuk tanggung jawab yang dipikul oleh para penyandang dana lembaga tersebut. Sesungguhnya keterbukaan yang menyeluruh ini akan mendorong pihak lain untuk berkerja sama dengan lembaga ini, sementara dia telah mengetahui tanggung jawab lembaga dan tanggung jawab para pemilik lembaga tersebut didalamnya. Selanjutnya, dia akan mengetahui terlebih dahulu antisipasinya, di saat terjadi hal-hal yang tidak diharapkan.
Pandangan kami yang terdapat pada paragraf sebelumnya, tampak berbeda dengan apa yang terdapat di dalam keterangan yang menyatakan bahwa syirkah-syirkah syakhshiyah adalah “akad-akad yang akan menumbuhkan aktivitas-aktivitas atau kegiatan-kegiatan investasi yang terus menerus atau hampir terus menerus, yang di dalamnya beberapa pihak saling bersekutu di dalam modalnya. Akad-akad tersebut mendirikan suatu kegiatan perdagangan yang mempunyai syakhshiyyah i`tibariyyah dan tanggung jawab yang tidak terbatas”. (Lembaga Fatwa dan Pengkajian, Jumadil Ula 1406 H. / Januari 1986 M. , halaman 9). Sesungguhnya sebab dari perbedaan itu terletak pada bahwa keterangan dari Lembaga Fatwa dan Pengkajian tersebut menjelaskan bahwa di sana terdapat syakhshiyyah i`tibariyyah, dan pada saat itu juga syakhshiyyah i`tibariyyah ini menghadapi tanggung jawab yang tidak terbatas. Sesungguhnya, tidak mungkin tergambarkan adanya syakhshiyyah i`tibariyyah yang tidak terpisah dari para penyandang dananya, secara undang-undang. Sebab, fungsi syakhshiyyah i`tibariyyah adalah menuntut terhadap lembaga atau perusahaan, dalam sifatnya sebagai suatu pribadi, agar supaya terpisah dari para pemilik lahiriyahnya. Di samping itu, sesungguhnya tidak diperkenankan bagi para pemilik lahiriyah lembaga atau perusahaan tersebut menuntut pihak lain dalam sifatnya sebagai pribadi. Sebagai tambahan dari itu semua, para pemilik lembaga atau perusahaan tersebut tidak memiliki kekuasaan terhadap modal pokok lembaga atau perusahaan tersebut, mereka tidak dapat mengambil darinya untuk penarikan-penarikan pribadi, dan mereka tidak dapat melakukan suatu tindakan terhadap modal pokoknya secara pribadi.
Berdasarkan sebab-sebab ini, maka tidaklah mungkin tanggung jawab para pemilik lahiriyah tersebut tidak terbatas. Hal itu dikarenakan bahwa tanggung jawab itu haruslah setara dengan hak-hak yang diberikan, sebagai imbalan atas tanggung jawab itu. Demikian juga, tanggung jawab itu haruslah diikuti oleh adanya suatu kekuasaan. Karena kekuasaan individu bagi para pemilik lahiriyah tersebut tidak ada di dalam syirkah-syirkah i`tibariyyah, maka hak-hak individu itu juga tidak ada, sebagai akibat dari tidak adanya kekuasaan untuk menghasilkan hak-hak tersebut. Selama keduanya itu tidak ada, maka di sana tidaklah diperkenankan adanya kewajiban yang tidak terbatas.
Sesungguhnya kewajiban-kewajiban itu, baik yang bersifat individu maupun kolektif, haruslah diiringi dengan hak-hak yang disepakati. Di atas itu semua, tanggung jawab itu haruslah sebanding dengan hak-haknya. Sebagai kaidah yang umum, harus tidak ada pemaksaan kewajiban tanpa diiringi dengan hak yang sebanding dengannya, apakah hal itu dalam bentuk keuangan, atau adab, atau yang serupa dengan itu. Hanya saja, pandangan kami yang berbeda dengan pandangan yang kami isyaratkan pada paragraf sebelumnya tidaklah mutlak, akan tetapi terbatas. Sebab dari pembatasan kami terhadap pemikiran kami itu adalah mungkin saja terdapat syakhshiyyah i`tibariyyah yang terpisah dari para pemilik lahiriyah tersebut disertai tidak terbatasnya tanggung jawab para pemilik lahiriyah itu, apabila terwujud beberapa persyaratan tertentu, yang di antaranya adalah:
Pertama, apabila karakter kegiatan syakhshiyyah i`tibariyyah itu menuntut tanggung jawab yang seperti itu.
Kedua, hendaknya terdapat kemaslahatan umum karena tidak adanya pembatasan tangung jawab itu.
Ketiga, hendaknya ketiadaan pembatasan tanggung jawab itu bukannya bersifat mutlak tanpa adanya batasan, tetapi harus tertentu dan teratur.
Keempat, haruslah ada pengetahuan terlebih dahulu, yang tegas dan jelas pada diri orang-orang yang ingin menanamkan sahamnya pada proyek-proyek seperti ini, mengenai tanggung jawab yang tidak terbatas bagi syakhshiyyah i`tibariyyah tersebut.
Apabila persyaratan-persyaratan tersebut dapat diterapkan, kami memandang tidak ada halangan bagi tidak adanya pembatasan tanggung jawab tersebut.
Di seputar bentuk sistem investasi yang ketiga, yang dikenal dengan istilah syirkah musahamah, sesungguhnya topik ini tampak lebih jelas bagi kita, dan undang-undang positip pun telah menetapkan permasalahan ini. Hal itu karena syirkah musahamah dianggap telah mempunyai syakhshiyah i`tibariyyah yang terpisah dari para pemiliknya. Dengan demikian, syirkah tersebut telah mempunyai syakhshiyyah qanuniyyah yang terpisah pula dari pribadi-pribadi para pemilik syirkah tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka syirkah musahamah, baik yang umum (public company) maupun yang khusus (private or proprietory company), benar-benar mempunyai syakhshiyyah qanuniyyah yang terpisah dari pribadi-pribadi yang memegang saham-saham modalnya. Sebagai akibat dari bentuk syirkah ini, maka syakhshiyyah qanuniyyah yang terpisah milik syirkah itu membolehkan kepada pihak lainnya, dan ini mencakup juga para pemilik sahamnya, untuk menuntutnya. Demikian juga, diperkenankan bagi syirkah itu untuk menuntut mereka, tanpa mempengaruhi kondisi hukum pihak-pihak lain yang mempunyai hubungan perjanjian atau bukan perjanjian dengan syirkah.
Adapun bentuk yang keempat dari bentuk-bentuk sistem investasi itu, seperti waqaf-waqaf, lembaga-lembaga pendidikan dan yang serupa dengan itu, baik yang bertujuan mencari keuntungan maupun tidak, hal itu termasuk syakhshiyyah qanuniyyah yang terpisah, sebagai akibat dari pandangan yang sebelumnya, yakni berdasarkan fiqh, bahwasanya bentuk ini mempunyai syakhshiyyah i`tibariyyah, terpisah dari para pendirinya. Bentuk ini termasuk lebih jelas dilihat dari segi penerapan konsep syakhshiyyah qanuniyyah.
Wahdah Muhasabiyyah
Sekarang mari kita bicarakan tentang wahdah muhasabiyyah (kesatuan akuntansi). Sebagaimana yang telah kita temukan di saat membahas tentang konsep syakhshiyyah i`tibariyyah, kemudian syakhshiyyah qanuniyyah, bahwa ternyata di sana ada interferensi di antara konsep-konsep ini, maka pembahasan tentang wahdah muhasabiyyah ini juga tidak terlepas dari interferensi tersebut. Kalau kita perhatikan, banyak kalangan yang mempergunakan istilah syakhshiyyah muhasabiyyah, namun yang mereka maksudkan adalah wahdah muhasabiyyah (kesatuan akuntansi). Sesungguhnya kami memandang bahwa istilah syakhshiyyah muhasabiyyah itu tidaklah tepat, karena istilah itu mengandung beberapa kerancuan yang di antaranya kadang-kadang berkaitan dengan penafsirannya, ini dari satu sisi, dan dari sisi yang lain hubungannya dengan tempat-tempat yang lainnya. Berdasarkan gambaran tersebut, maka kami lebih menyukai penggunaan istilah wahdah muhasabiyyah sebagaimana yang akan kami terangkan di sini.
Sesungguhnya konsep mengenai wahdah muhasabiyyah itu adalah kerangka dasar yang menentukan ruang lingkup kegiatan akuntansi, ditinjau dari sisi apa yang harus dimuat oleh buku-buku akuntansi, dan apa yang harus diangkat oleh laporan keuangan, baik berbentuk data keuangan yang sudah dikenal, ataupun yang lain. Oleh karena itu, permasalahan yang harus dikaji untuk menentukan wahdah muhasabiyyah itu adalah masalah kebutuhan terhadap informasi keuangan. Selama telah tertentu kebutuhan tersebut, akan menjadi mudahlah penentuan kerangka dasarnya. Kebutuhan terhadap informasi keuangan itulah yang akan terealisir pada akhirnya, yang diungkapkan dalam laporan keuangan. Berdasarkan gambaran tersebut, maka apabila wahdah muhasabiyyah itu telah tertentu ruang lingkupnya, maka ruang lingkup tersebut tersebut akan ditetapkan oleh kebutuhannya. Dari gambaran yang sebelumnya itu, maka wahdah muhasabiyyah itu akan menjadi tertentu sebagai akibat dari kebutuhannya. Kebutuhan ini terbagi dua, yaitu yang mempunyai karakter umum, dan yang mempunyai karakter khusus. Di samping itu semua, adalah suatu hal yang mungkin bahwa di sana terdapat wahdah muhasabiyyah yang lebih dari satu bagi suatu perusahaan itu sendiri, di samping juga merupakan sesuatu yang mungkin adanya satu wahdah muhasabiyyah saja bagi beberapa macam perusahaan. Kami akan menjelaskan permasalahan ini secara ringkas pada lembaran-lembaran mendatang.
Kita akan memulai pembicaran mengenai wahdah muhasabiyyah ini pada perusahaan-perusahaan, baik yang mempunyai karakter individual, atau yang bukan individual seperti syirkah-syirkah yang ada di dalam sistem Islam, syirkah-syirkah yang ada di dalam sistem non-Islam, dan syirkah musahamah dalam segala bentuknya, atau yang berkaitan dengan dengan hibah-hibah, waqaf-waqaf, dan kemaslahatan umum. Berkaitan dengan perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga yang seperti ini, apakah yang bersifat mencari keuntungan maupun tidak, maka kita dapati bahwa setiap perusahaan, atau lembaga, atau syirkah, atau kemaslahatan, atau masjid, pada dasarnya merupakan suatu wahdah muhasabiyyah yang sempurna dan integral. Adapun yang dimaksud dengan kesempurnaan dan keintegralan wahdah muhasabiyyah bagi setiap perusahaan dan lembaga yang telah kami sebutkan itu adalah adanya keharusan memegang buku-buku akuntansi khusus bagi setiap perusahaan atau lembaga secara tersendiri, dan buku-buku akuntansi ini mencerminkan hasil dari kegiatan wahdah muhasabiyyah itu selama periode waktu tertentu, serta posisi keuangan bagi wahdah muhasabiyyah itu sendiri pada akhir periode. Dalam keadaan demikian, maka masjid, atau organisasi sosial, lembaga pribadi, atau syirkah tadlamuniyyah’, atau syirkah musahamah, atau kemaslahatan pemerintahan, kesemuanya itu dikategorikan sebagai suatu wahdah muhasabiyyah yang berdiri sendiri. Kadangkala, dia pun dinyatakan mempunyai sifat sempurna dan integral, karena seluruh transaksi yang khusus tentang wahdah muhasabiyyah ini telah dicakup oleh buku-buku wahdah muhasabiyyah. Demikian juga buku-buku wahdah muhasabiyyah ini dinyatakan integral karena mengungkapkan tentang seluruh perusahaan, atau lembaga, atau syirkah, atau kemaslahatan, atau waqaf. Kesempurnaan dan keintegralan ini, harus sejalan, karena pada akhirnya, keduanya akan mengungkapkan tentang kegiatan dan posisi wahdah itu dengan cara yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperkirakan dari penggunaan informasi keuangan yang dihasilkan oleh wahdah muhasabiyyah, yang sebelumnya telah ditentukan kerangka dasarnya, untuk dapat memenuhi tujuan ini, yaitu memenuhi kebutuhan tertentu. Sampai sekarang, kalau kita perhatikan bahwa kebutuhan yang teralisir itu adalah yang mempunyai karakter umum, bukan yang khusus. Hal ini adalah yang telah kami isyaratkan sebelumnya dengan informasi keuangan yang mempunyai tujuan umum, yaitu ketika membahas tentang para pengguna informasi keuangan, pada pembahasan kedua dari bab IV.
Di samping kebutuhan yang mempunyai karakter umum ini, seringkali timbul kebutuhan terhadap informasi keuangan yang bersifat khusus. Sesungguhnya kebutuhan terhadap informasi yang bersifat khusus itu akan mengantarkan kepada penentuan kerangka dasar lain yang khusus, yang akan terlaksana dengan adanya penentuan dan pendefinisian mengenai wahdah muhasabiyyah. Informasi khusus ini kadang-kadang berimplikasi pada penyempitan atau perluasan ruang lingkup wahdah muhasabiyyah berdasarkan kebutuhan terhadap informasi keuangan. Ruang lingkup wahdah muhasabiyyah akan menjadi sempit apabila kebutuhan terhadap informasi itu terbatas pada ruang lingkup yang lebih kecil dari keadaan yang sesungguhnya dari ruang lingkup wahdah muhasabiyyah yang berdiri sendiri, bersifat sempurna dan integral, dan mewakili syakhshiyyah i`tibariyyah yang berdiri sendiri. Misalnya, adalah apabila wahdah muhasabiyyah itu menjadi suatu bagian saja dari syakhshiyyah i`tibariyyah. Ruang lingkup wahdah muhasabiyyah ini akan menjadi luas apabila kebutuhan terhadap informasi keuangan itu melampaui ruang lingkup wahdah muhasabiyyah yang berdiri sendiri itu, bersifat sempurna dan integral, dan mewakili syakhshiyyah i`tibariyyah yang berdiri sendiri, misalnya adalah apabila wahdah muhasabiyyah dalam keadaan ini menjadi beberapa syirkah
Dari pembahasan yang telah lalu, dapatlah kita lihat bahwa wahdah muhasabiyyah itu kadangkala bisa menjadi syakhshiyyah i`tibariyyah secara keseluruhannya. Ini khusus terhadap informasi keuangan yang bertujuan umum. Hasil dari wahdah muhasabiyyah ini menjadi laporan keuangan yang sempurna dan integral, yang mencerminkan hasil kegiatan selama periode waktu tertentu, dan posisi keuangan pada akhir periode waktu itu. Laporan keuangan ini tergambar di dalam perhitungan laba rugi yang menggambarkan hasil kegiatan selama periode waktu tertentu yang biasanya satu tahun keuangan. Demikian juga, tergambar di dalam neraca umum, atau sebagaimana juga dinamakan dengan Qa’imatul Markazil Mali (daftar posisi keuangan) yang akan mencerminkan kondisi keuangan wahdah muhasabiyyah pada saat tertentu, yaitu pada akhir periode yang dicerminkan dalam perhitungan laba rugi.
Wahdah muhasabiyyah ini kadangkala juga bisa menjadi bagian tertentu atau bagian-bagian tertentu dari syakhshiyyah i`tibariyyah, dan ini khusus terhadap informasi keuangan yang bertujuan khusus. Di sini kita akan mendapatkan bahwa informasi keuangan yang khusus bagi wahdah muhasabiyyah yang parsial ini tidak bersifat sempurna dan integral, karena hanya mengungkapkan sebagian atau beberapa bagian saja dari syakhshiyyah i`tibariyyah yang sempurna dan integralitu. Pada keadaan yang seperti ini, kadangkala wahdah muhasabiyyah itu merupakan manajemen produksi atau manajemen penjualan, atau manajemen penggudangan. Bahkan, wahdah muhasabiyyah ini kadangkala sedikit demi sedikit menjadi sempit. Misalnya, yang tadinya adalah manajemen produksi secara keseluruhannya, lalu mulai dibatasi menjadi manajemen bagi produksi tertentu saja dari hasil-hasil produksi keseluruhannya. Informasi keuangan yang seperti ini memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, namun mempunyai signifikansi yang besar untuk pengambilan keputusan-keputusan manajemen. Biaya ini dibenarkan oleh kebutuhan manajemen dalam membuat kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada informasi keuangan yang rinci dan detail tersebut. Seringkali, laporan yang rinci ini selalu bersifat intern dan rahasia, dan tidak diperkenankan bagi pihak lain yang berada di luar syakhshiyyah i`tibariyyah tersebut untuk mendapatkannya. Akan tetapi, kerahasiaan ini kadangkala luntur sedikit demi sedikit apabila informasi keuangan ini diminta oleh pihak pemerintah atau pribadi-pribadi tertentu, apakah mereka itu dari kalangan biasa, ataukah orang-orang yang memang berpengaruh, yang mempunyai signifikansi khusus dan pengaruh yang besar terhadap syakhshiyyah i`tibariyyah.
Di samping kedua jenis wahdah muhasabiyyah yang telah lalu, masih ada lagi jenis yang ketiga, yang mempunyai sifat khusus dan umum secara bersamaan. Juga mempunyai sifat kesempurnaan, tetapi tidak objektif. Wahdah muhasabiyyah inilah yang digambarkan dengan masuknya sejumlah syakhshiyyah i`tibariyyah dalam ruang lingkupnya. Sebagai contoh, ada lima buah syirkah atau perusahaan yang bergerak dalam bidang-bidang yang berbeda-beda, atau bidang-bidang yang integral , yang keseluruhannya didanai oleh satu syirkah atau perusahaan, atau bagian yang tidak bisa diremehkan dari modal perusahaan-perusahaan individu ini berasal dari satu perusahaan. Pada keadaan yang seperti ini, dan pada keadaan-keadaan yang serupa dengannya, maka perusahaan yang memegang atau menguasai modal perusahaan-perusahaan tersebutlah yang akan menyiapkan qowa’im maliyyah (daftar keuangan / neraca umum) yang terpadu bagi seluruh perusahaan-perusahan itu, termasuk di dalamnya perusahaan pemegang modal tersebut, atau yang kadangkala dinamakan sebagai perusahaan induk. Pada kondisi yang seperti ini, kita dapatkan bahwa wahdah muhasabiyyah itu, dalam rangka menutupi kebutuhan perusahaan induk tersebut terhadap keuangan yang bersifat khusus, mengungkapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya kepada perusaaan-perusahaan tersebut. Apabila kita perhatikan dari segi bentuk lahirnya, akan kita dapatkan bahwa wahdah muhasabiyyah ini lebih sempurna dan integral daripada wahdah muhasabiyyah yang khusus bagi satu syakhshiyyah i`tibariyah. Pada hakikatnya, permasalahannya tidaklah demikian. Sebab, laporan keuangan wahdah muhasabiyyah ini, yang mencerminkan seluruh syakhshiyyah i`tibariyyah yang terdapat di dalam ruang lingkupnya, hanyalah laporan kumpulan yang bersandar kepada laporan pribadi tiap-tiap syakhshiyah i`tibariyyah. Laporan keuangan wahdah muhasabiyyah yang seperti ini, yang mencakup beberapa syakhshiyyah i`tibariyyah, memberi manfaat di dalam pembuatan kebijakan-kebijakan yang umum dan dapat mengeluarkan perkiraaan-perkiraan keuangan yang umum pula, namun tidak mungkin dihilangkan, bahkan dipisahkan dari manfaat-manfaat dan pentingnya wahdah muhasabiyyah yang tergambarkan pada satu syakhshiyyah i`tibariyyah.