BOLEHKAH DALAM ISLAM MENGHUKUM MATI KORUPTOR

BOLEHKAH DALAM ISLAM MENGHUKUM MATI KORUPTOR

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Sosial RI, Juliari Batubara dan beberapa jajarannya sebagai tersangka kasus korupsi dana bantuan Covid-19 pada Ahad (6/12). Wacana hukuman mati pun menggaung di jagat media. Pasalnya, pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi memungkinkan hal tersebut. Kemungkinan penerapan hukuman mati itu dipertegas dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 sebagai revisi atas UU Nomor 31 Tahun 1999. Pasal 2 ayat 2 memperjelas kondisi tertentu yang dimaksud di antaranya adalah korupsi dana penanggulangan keadaan bahaya.

Berikut selengkapnya. “Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.”

Nahdlatul Ulama juga telah menetapkan agar koruptor dihukum mati. Keputusan ini diambil saat Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama Tahun 2012 di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat. Sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, NU juga memutuskan bahwa penerapan hukuman mati bisa dilakukan jika memenuhi dua hal, pertama, apabila telah melakukan korupsi berulang kali dan tidak jera dengan berbagai hukuman. Kedua, melakukannya dalam jumlah besar yang dapat membahayakan rakyat banyak.

Para kiai mendasari keputusannya pada berbagai rujukan kitab-kitab mu’tabar berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Di antara dasar keputusan tersebut adalah Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 33.

“Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.”

Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir yang dikutip keputusan tersebut, para ulama salaf, di antaranya Said ibn al-Musayyab, menyebutkan bahwa korupsi merupakan bagian dari perbuatan merusak di bumi. Baca

Sementara itu, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyampaikan bahwa keputusan hukuman mati sudah ada aturannya sebagaimana disebutkan di atas. Namun, hakimlah yang akan memutuskannya. “Aturannya sudah ada, berbagai kemungkinan hukuman bisa dijatuhkan hakim, termasuk hukuman mati. Tapi biarlah hakim memutuskan. Berikan kebebasan dan kemerdekaan kepada hakim untuk memutus sesuatu. Jika memang layak dihukum mati, hakim sudah tahu itu,” katanya.

Salah satu isu yang diangkat Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyah pada Muktamar Ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, 1-5 Agustus lalu adalah soal hukuman mati yang dikaitkan dengan hak asasi manusia (HAM) dan pandangan Islam. Dalam Islam, hukuman mati masuk dalam kategori qishash.

Komisi yang diketuai KH Afifuddin Muhajir ini merumuskan bahwa selain menjadi sanksi atas tindak kejahatan pembunuhan, hukuman mati juga diterapkan untuk berbagai tindak kejahatan berat tertentu.

Mengapa Islam menerapkan hukuman mati?

Dalam keputusan yang disahkan pada sidang pleno Muktamar Ke-33 NU, 5 Agustus, itu dijelaskan, hukuman mati merupakan bukti dari upaya serius syariat Islam untuk memberantas kejahatan berat yang menjadi bencana kemanusiaan, seperti pembunuhan. Sanksi tersebut dinilai setimpal dan menjadi pelajaran paling efektif bagi orang lain supaya tidak berbuat hal yang sama.

Muktamirin berpandangan, pada hakikatnya dimaksudkan untuk beberapa hal, antara lain

(1) memberantas tuntas kejahatan yang tidak dapat diberantas dengan hukuman yang lebih ringan,

(2) orang lain akan terkendali untuk tidak melakukannya karena mereka tidak akan mau dihukum mati,

(3) melindungi orang banyak dari tindak kejahatan itu.

Dengan berpijak pada dasar hakikat disyariatkannya hukuman mati ini, hukuman mati dinilai tak dapat dinyatakan melanggar HAM. Justru sebaliknya, hukuman tersebut untuk memberantas pelanggaran HAM dengan membela hak hidup banyak orang. Pandangan tersebut didasarkan pada argumen al-Qur’an, as-Sunnah, dan pendapat para ulama yang tersebar dalam berbagai literatur. Jauh sebelum muktamar, PBNU juga telah mengeluarkan imbauan penerapan hukuman mati bagi koruptor kelas berat dan gembong peredaran narkoba.

HUKUMAN MATI BAGI KORUPTOR

Korupsi atau jelasnya pencurian uang negara dan rakyat di Indonesia baik yang dilakukan secara terang-terangan atau terselubung sejak Republik ini berdiri tetap saja berlangsung. Bahkan nilainya semakin menggelembung, berlipat ganda. Akibatnya sangat merugikan bangsa dan negara. Rakyat jadi miskin, negara hampir bangkrut. Kekayaan dan aset negara terkuras dan tergadaikan. Dari data hasil survei lembaga Internasional PERC, Indonesia adalah negara terkorup di Asia dan menempati nomor satu. Padahal, Indonesia berpenduduk mayoritas Islam.

 Sebenarnya Bagaimana definisi atau konsep syariah mengenai korupsi?

Dalam pandangan syariat, korupsi merupakan pengkhianatan berat (ghulul) terhadap amanat rakyat. Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, korupsi dapat dikategorikan sebagai pencurian (sariqah), dan perampokan (nahb).

Abdullah bin Husain Al-Ba’lawi dalam Is’ad al-Rafiq Syarh Matn Sulam al-Taufiq menerangkan: (Dan) di antara dosa besar adalah (sariqah -pencurian-), dengan dibaca fathah huruf sin dan kasrah huruf ra’nya. Yaitu mengambil harta -yang bukan miliknya) secara sembunyi-sembunyi. Menurut kesepakatan para ulama perbuatan pencurian termasuk dosa besar. Dalam al-Zawajir Ibn Hajar al-Haitami menyatakan: “Itu merupakan pernyataan yang sangat jelas dari beberapa hadits, semisal hadits: “Seorang pezina tidak melakukan perzinahan dalam kondisi ia beriman dan seorang pencuri tidak melakukan pencurian dalam kondisi ia beriman.“ Dalam riwayat lain dengan redaksi: “Jika ia melakukan hal tersebut maka ia telah menanggalkan hukum Islam dari dirinya. Jika ia bertobat maka Allah menerima tobatnya.” Dan hadits: “Allah melaknat seorang pencuri yang mencuri sebiji telur sehingga menyebabkan tangannya dipotong, dan yang mencuri seutas tali sehingga tangannya dipotong.“ Al-A’masy menjelaskan: “Para sahabat Nabi menilai harga telur (helm baja untuk perang) dan tali (kapal) sampai tiga dirham. Dan beberapa hadits lain yang cukup banyak. Ibn Hajar menjelaskan: “Yang jelas sungguh tidak ada perbedaan dalam hal pencurian itu merupakan dosar besar, antara pencurian yang mengakibatkan hukuman potong tangan dan yang tidak, jika yang diambil memang tidak halal baginya. Semisal ia mengambil tikar masjid, maka hukumnya haram, akan tetapi tidak mengakibatkan hukuman potong tangan, karena ia memiliki bagian hak dalam tikar masjid itu. Kemudian saya melihat al-Imam al-Harawi secara jelas menyatakan hal tersebut.” Karena ulama mengqiyaskan korupsi dengan mencur,i maka hukuman bagi pelakunya adalah potong tagan sampai dengan hukuman mati. sekaligus dituntut untuk mengembalikan apa yang telah dikorupnya.

Hal ini jelas diterangkan oleh Muhammad bin Mansur al-Jamal dalam Futuhat al-Wahhab bi Taudih Syarh Manhaj al-Thullab

Imam Malik berkata: “Jika pelaku tindak pencurian merupakan orang kaya, maka ia menanggung pengembaliannya, dan jika ia bukan orang kaya, maka tidak harus. Dan Hukuman potong tangan tetap berlaku pada semua kondisi. Bila ia mengembalikan harta curian ke tempat penyimpanan (semula), maka tidak menggugurkan hukuman potong tangan dan tanggungjawab mengembalikannya.

Begitu pula yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh

Dan kesimpulannya adalah sungguh boleh menghukum mati sebagai kebijakan bagi orang-orang yang sering melakukan tindakan kriminal, pecandu minuman keras, para penganjur tindak kejahatan, dan pelaku tindakan subversif yang mengancam keamanan negara dan semisalnya.

Mengani hal ini sangat baik untuk ditelaah kembali apa yang ditulis oleh Muhammad bin Abi bakar al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an

 Para ulama berkata: “Perbuatan khianat (korupsi) merupakan bagian dari dosa besar berdasarkan ayat ini. Dan hadits yang telah kami sebutkan dari riwayat Abu Hurairah Ra.; ”Sungguh ia akan memikul hutangnya di lehernya.“ Rasulullah Saw. Sungguh telah bersabda tentang Mid’am (seorang budak): “Aku bersumpah demi Dzat yang jiwaku ada dalam kekuasanNya. Sungguh selendang selimut yang ia ambil di hari peperangan Khaibar yang merupakan harta pampasan perang yang diambil oleh pegawai pembagian harta, akan menyalakan api neraka baginya.” Setelah mendengar penjelasan itu lalu ada yang datang kepada Rasulullah Saw. menyerahkan satu atau dua utas tali sandal, lalu beliau Saw. bersabda: “Seutas tali dan dua utas tali sandal dari itu dari api neraka.” Hadits itu diriwayatkan Imam Malik dalam kitab al-Muwaththa’.

Maka sumpah Nabi Saw. dengan kaliamat: “Demi Dzat yang jiwaku ada alam kekuasanNya.” dan penolakannya menyolati orang yang telah melakukan pengkhianatan (korupsi) merupakan dalil atas parahnya perbuatan tersebut, begitu besar dosanya, ia termasuk dosa besar yang terkait dengan hak-hak orang lain dan di dalamnya harus diberlakukan qishash terkait amal kebajikan dan amal jeleknya.

Yang diperlakuakan dalam ajaran islam bagi seorang KORUPTOR adalah :

1. Harus melunasi tanggungannya/mengembalikan harta yang ia korupsi

2. Dihukum dengan potong tangan bahkan hingga hukuman mati.

ثم رأيت فى منهاج العابدين للغزالى أن الذنوب التى بين العباد إما فى المال ويجب رده عند المكنة فإن عجز لفقر استحله فإن عجز عن استحلاله لغيبته أو موته وأمكن التصدق عنه فعله وإلا فليكثر من الحسنات ويرجع إلى الله ويتضرع إليه فى أن يرضيه عنه يوم القيامة اه

“Kemudian aku melihat dalam kitab Minhaj al-‘Aabidiin karya al-Ghozaly dikatakan : Bahwa dosa yang terjadi antar sesama hamba-hamba Allah adakalanya berhubungan dengan harta benda Dan wajib mengembalikan harta tersebut (pada pemilik harta) bila dalam kondisi berkemungkinan, bila tidak mampu karena kefakirannya maka mintalah halal darinya, bila tidak mampu meminta halal karena ketiadaannya atau telah meninggalnya dan (pemilik tanggungan) berkemungkinan bersedekah, maka bersedekahlah dengan atas namanya, dan bila masih tidak mampu maka perbanyaklah berbuat kebajikan, kembalikan segalanya pada Allah, rendahkanlah diri dihadapanNya agar kelak dihari kiamat Allah meridhoi beban tanggungan harta (yang masih belum tertuntaskan)”.Hasyatul Jamal V/388

التعزير هو التأديب بنحو حبس وضرب غير مبرح كصفح ونفى وكشف رأس وتسويد وجه – إلى أن قال – أما التعزير لوفاء الحق المالى فإنه يحبس إلى أن يثبت إعساره وإذا امتنع من الوفاء مع القدرة ضرب إلى أن يؤديه أو يموت لأنه كالصائل .اهـ

Ta’zir adalah bentuk pembelajajaran tatakrama agar bisa menimbulkan efek jera, dapat dilakukan dengan semacam memenjarakan, memukul dengan tanpa merusakkan anggauata tubuh seperti dengan menampar, mengisolisir, membuka penutup kepala dan mencorengi hitam mukanya… Sedang ta’zir yang diberlakukan atas pengembalian harta benda dilakukan dengan mengekangnya hingga ia jatuh miskin, bila dalam kondisi mampu namun tidak mau mengembalikan harta tanggungannya dengan dipukuli hingga menyakitkannya atau membuatnya mati karena ia seperti SHO’IL (orang yang menjarah hak orang lain).

Tanwirul Qulub hal. 392

وَقَالَ مَالِكٌ إنْ كَانَ غَنِيًّا ضَمِنَ وَإِلَّا فَلَا ، وَالْقَطْعُ لَازِمٌ بِكُلِّ حَالٍ وَلَوْ أَعَادَ الْمَالَ الْمَسْرُوقَ إلَى الْحِرْزِ لَمْ يَسْقُطْ الْقَطْعُ وَلَا الضَّمَانُ

Imam Malik berkata “Jika pelaku tindak pencurian merupakan orang kaya, maka ia menanggung pengembaliannyadan jika buka orang kaya maka tidak harus.Dan hukuman potongan tangan tetap berlaku pada semua kondisi, bila ia mengembalikan uang curia ketempat penyimpanan uang (semula) maka juga tidak menggugurkan hukuman potong tangan dan tanggiungjawab mengembalikannya.

Hasyiyah al-Jamal 21/188

والخلاصة: أنه يجوز القتل سياسة لمعتادي الإجرام ومدمني الخمر ودعاة الفساد ومجرمي أمن الدولة، ونحوهم

Dan kesimpulannya adalah sungguh boleh menghukum mati sebagai kebijakan bagi orang-orang yang sering melakukan tindakan kriminal, pecandu minuman keras, para penganjur tindakan kejahatan dan pelaku tindakan subversif yang mengancam keamanan negara dan semisalnya.

Al-Fiqh al-Islam VII/518

WALLOHU A’LAM….