SEPERTI IBLIS DAN CELAKA ORANG YANG TIDAK MENCELA DIRINYA TAPI MALAH MENCELA ORANG LAIN

Imam Ali bin Abi Tholib Ra berkata : Ciri-ciri orang shaleh ada tiga perkara, yaitu:

1. Kuning pucat warna kulitnya, sebab sering tidak tidur di waktu malam hari (dalam istilah taswuf namanya “as-Sahar”) karena taqarrub kepada Allah dengan memperbanyak melaksanakan shalat-shalat sunnah dan ibadah-ibadah lainnya.

2. Rabun kedua matanya, karena banyak menangis dan takut kepada Allah SWT.

3. Pecah-pecah kedua belah bibirnya, karena sering menjalankan puasa-puasa sunnah.

{Kitab “Tanbihul Mughtarrin” karya Syaikhul Islam al-Muhaddits al-Ghauts asy-Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, halaman 256 }.

Kemudian di terangkan dalam kitab Kifayatul Atqiya’ wa Minhajul Ashfiya’, karya Sayyid Bakri al-Makki Ibnu Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, halaman 58.

Ada empat perkara yang dapat menyelamatkan seseorang dari bencana dunia dan penghuninya, yaitu:

1. Memberi ma’af kepada orang lain karena kebodohannya,

2. Jangan merusak kewibawaan orang lain dengan menyakitinya,

3. Jangan mengharapkan pemberian orang lain,

4. Memberi orang lain dengan apa yang dimiliki.

الحسن بن علويه قال سمعت يحيى بن معاذ يقول دواء القلب خمسة أشياء : قراءة القرأن بالتفكر و خلاء البطن و قيام الليل و التضرع عند السحر و مجالة الصالحين

Artinya:

Hasan bin Alawiyah berkata: Aku mendengar Yahya bin Mu’adz (wafat di Naisabur 258 H. / 872 M.) berkata, obat hati ada lima perkara, yaitu:

1. Membaca Al-Qur’an dengan menyimak arti dan maksudnya,

2. Kosong perut (memperbanyak puasa sunnah),

3. Menegakkan shalat sunnah pada waktu tengah malam,

4. Merendahkan diri kepada Allah pada waktu sahur,

5. Bergaul dengan orang-orang yang shaleh.

{Kitab “Sifat ash-Shafwah” karya Imam Ibnu al-Jauzi Jamaluddin Abi al-Faraj Abdurrahman bin Ali al-Jauzi, jilid 2 halaman 62}.

Celalah diri sendiri sebelum mencela orang lain ! Karena, orang yang suka mencela orang lain (termasuk mencela amalan para ulama) dan tidak mencela diri sendiri termasuk orang yang celaka dan berkelakuan seperti Iblis.

Iblis celaka karena lima perkara:

1. Tidak mengakui dosa-dosanya,

2. Tidak menyesali atas dosa-dosanya,

3. Tidak mencela dirinya,

4. Tidak segera bertaubat,

5. Putus asa dari rahmat Allah ta’ala.

{Keterangan dari kitab “Tanbih al-Mughtarrin (Peringatan bagi Orang-orang yang Tertipu)”, karya Imam Abdul Wahab asy-Sya’rani, halaman 49}.

HAL-HAL YANG TIDAK BOLEH DILAKUKAN SAAT BUANG HAJAT

Disebutkan dalam Kitab Bughyatul Al-Mustarsyidin Karya As-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Al-Masyhur Ba’alawi, bahwasannya jika melakukan perkara-perkara di bawah ini ketika buang hajat akan menyebabkan sesuatu yang tidak kita inginkan terhadap diri kita yaitu sebagai berikut :

1. Meludah ke atas kotoran yang dikeluarkan akan menyebabkan orang itu suka was-was dan menyebabkan giginya kuning serta akan terkena penyakit yang berhubungan dengan darah.

2. Bersiwak/sikat gigi sambil buang hajat akan menyebakan penyakit lupa dan kebutaan.

3. Lama duduk ketika buang hajat akan menyebabkan penyakit hati dan wasir.

4. Mengeluarkan hingus ketika buang hajat akan menyebabkan ketulian.

5. Menggerakkan cincin ketika buang hajat akan menyebabkan syaitan tinggal di dalamnya.

6. Berbicara dengan pembicaraan yang tidak diperlukan ketika buang hajat akan menyebabkan kemurkaan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

7. Mematikan kutu rambut saat buang hajat akan menyebabkan syaitan akan tinggal bersamanya selama 40 hari melalaikan dari Allah.

8. Memejamkan mata saat buang hajat akan menyebabkan kemunafikan.

9. Membuang batu istinja’ atau sejenisnya ke arah kotoran yang dikeluarkan, akan menyebabkan orang tersebut terkena penyakit angin.

10. Mengeluarkan gigi palsu saat buang hajat dan meletakkan kedua tangan di atas kepala ketika itu akan menyebabkan keras hati dan hilangnya rasa malu dan dapat menyebabkan penyakit lepra.

11. Bersandar ketika buang hajat akan menyebabkan hilangnya air muka dan dapat membesarkan perut.

والله أعلم بالصواب

Semoga bermanfaat dan mendapatkan keberkahannya.. Amiin…

CARA TERBAIK DALAM MEMANGGIL ROSULULLOH SAW.

Allah berfirman dalam Al Qur’an:
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS An Nur 63).

Komentar para ulama Tafsir tentang ayat: Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).

1. Tafsir Jalalain:
بِأَنْ تَقُوْلُوْا يَا مُحَمَّدُ ، بَلْ قُوْلُوْا : يَا نَبِيَّ اللهِ ، يَا رَسُوْلُ اللهِ ، فِي لِيْنٍ وَتَوَاضُعٍ وَخَفْضِ صَوْتٍ
“Yaitu dengan memanggil: “Wahai Muhammad!” tapi katakanlah: “Wahai Nabi Allah! Wahai Rasulullah!” dengan penuh kelembutan, ketawadhuan dan suara yang rendah.”

2. Tafsir Thobari
عن مجاهد: قال: أمرهم أن يدعوا: يا رسول الله، في لين وتواضع، ولا يقولوا: يا محمد، في تجهم
“Dari Imam Mujahid: “Allah memerintahkan mereka agar menyeru: “Wahai Rasulullah!” dengan penuh kelembutan dan tawadhu, dan tidak mengatakan: “Wahai Muhammad!” dengan penuh kekasaran.”

3. Tafsir Ibnu Katsir
قَالَ الضَّحَّاكُ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: كَانُوْا يَقُوْلُوْنَ: يَا مُحَمَّدُ، يَا أَبَا الْقَاسِمُ، فَنَهَاهُمُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْ ذَلِكَ إِعْظَامًا لِنَبِيِّهِ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ قَالَ: فَقَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، يَا نَبِيَّ اللهِ. وَهَكَذَا قَالَ مُجَاهِدٌ، وَسَعِيْدُ بْنُ جُبَيْرٍ.
وَقَالَ قَتَادَةُ: أَمَرَ اللهُ أَنْ يُهَابَ نَبِيِّهِ صلى الله عليه وسلم، وَأَنْ يُبَجَّلَ وَأَنْ يُعَظَّمَ وَأَنْ يُسَوَّدَ

Imam Dhohhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Mereka mengatakan: “Wahai Muhammad, Wahai Abul Qosim,” maka Allah melarang mereka dari ucapan tersebut, karena mengagungkan nabi-Nya saw. Merekapun lalu mengatakan: “Wahai Rasulullah, wahai Nabi Allah.” Begitulah pendapat Imam Mujahid dan Said bin Jubair.

Qotadah berkata: “Allah memerintahkan agar Nabi-Nya diistimewakan, diagungkan, dibesarkan dan diucapkan kepadanya: “Wahai Sayyid (Sayyidi atau Sayyiduna).”

4. Tafsir Asy Syinqithi:
فَلاَ تَقُوْلُوْا لَهُ : يَا مُحَمَّدُ مُصَرِّحِيْنَ بِاسْمِهِ
“Jangan ucapkan: “Wahai Muhammad!” Jelas dengan namanya saja..”

Puluhan lagi tafsir lainnya yang menuliskan perkara yang sama!!!

DULU, HANYA ORANG YAHUDI DAN ORANG BADUI YANG MEMANGGILNYA DEMIKIAN!

Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya no 742 dari Abu Asma Ar Rahabi bahwa Tsauban Maula Rasulillah bercerita kepadanya:
كُنْتُ قَائِمًا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَاءَ حَبْرٌ مِنْ أَحْبَارِ الْيَهُودِ فَقَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا مُحَمَّدُ. فَدَفَعْتُهُ دَفْعَةً كَادَ يُصْرَعُ مِنْهَا فَقَالَ لِمَ تَدْفَعُنِى فَقُلْتُ أَلاَ تَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَقَالَ الْيَهُودِىُّ إِنَّمَا نَدْعُوهُ بِاسْمِهِ الَّذِى سَمَّاهُ بِهِ أَهْلُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ اسْمِى مُحَمَّدٌ الَّذِى سَمَّانِى بِهِ أَهْلِى ».
“Aku berada di sisi Rasulullah saw, lalu tiba-tiba datanglah seorang pendeta Yahudi seraya berkata: “As Salamu Alaika Ya Muhammad.” Akupun mendorongnya hingga ia hamper jatuh. Iapun berkata: “Kenapa kau mendorongku?” Akupun menjawab: “Tidak bisakah kau ucapkan: “Wahai Rasulullah?!” (Jangan pakai namanya langsung). Pendeta Yahudi itupun berkata: “Kami memanggilnya dengan nama yang diberikan keluarganya. Lalu Nabi saw menyahut: “Sesunggunya nama yang diberikan keluargaku memang Muhammad.”…

Demikianlah yang dilakukan sahabat Nabi saw, saat mendengar ada orang yang memanggil Nabi saw dengan sebutan namanya, ia langsung mendorongnya tanda tidak suka, ia tidak peduli walaupun orang tersebut adalah orang Yahudi yang cenderung memusuhi Nabi saw, yang tidak akan memahami adab kepada baginda nabi saw. Nah bagaimanakah jika yang disaksikan sahabat ini adalah seorang muslim, mungkin bukan dorongan yang dilakukannya, bisa sesuatu yang lebih ekstrem lagi.

Di hadits ini juga dijelaskan ketawadhuan Nabi saw, beliau tanpa ingin memperpanjang masalah dengan sang pendeta, rela mengatakan bahwa memang namanya adalah Muhammad, dan satu hal yang harus menjadi catatan kita, ini dilakukan oleh Nabi saw untuk seorang Yahudi, hal ini bukan pembenaran terhadap bolehnya melakukan ini, Nabi saw tidak menyuruh Tsauban minta maaf dan tidak pernah menyalahkannya karena beliau merasa yang dilakukan Tsauban benar adanya.

Hadits lainnya yang menyebutkan orang yang memanggil Nabi dengan namanya, yang dilakukan oleh seorang muslim dapat dipastikan pelakunya adalah orang arab badui, yang tidak kenal etika dan bodoh, sehingga para sahabatpun memberikan toleransi kepada mereka.

WASIAT SAHABAT NABI SAW
Imam Thobrani meriwayatkan dari Imam Hasan Bashri, dari Qois bin Ashim Al Minqori, dia berkata:

قَدِمْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَآنِي سَمِعْتُهُ، يَقُولُ:”هَذَا سَيِّدُ أَهْلِ الْعَرَبِ

“Aku dating menemui Rasulullah saw, dan saat beliau melihatku beliau bersabda: “Ini adalah Sayyid (pimpinan) bangsa Arab…”.
Dalam riwayat lain:

هَذَا سَيِّدُ أَهْلِ الْوَبَرِ
“Ini adalah Sayyid (pimpinan) bangsa yang berpakaian kulit.”

Dalam kelanjutan hadits ini disebutkan:
فَلَمَّا حَضَرَتْ قَيْسًا الْوَفَاةُ، قَالَ: يَا بنيَّ خُذُوا عَنِّي، لا أَجِدُ أَنْصَحَ لَكُمْ مِنِّي: إِذَا أَنَا مُتُّ فَسَوِّدُوا كِبَارَكُمْ، وَلا تُسَوِّدُوا صِغَارَكُمْ فَيَسْتَسْفِهَكُمُ النَّاسُ فَيَهُونُوا عَلَيْكُمْ،
Saat kematian Qois akan tiba, ia berkata: “Wahai anakku, ambillah (nasihat) dariku, aku tidak menemukan orang yang lebih banyak bernasihat kepada kalian melebihi diriku. Apabila aku telah meninggal maka panggillah pembesar kalian dengan ucapan Sayyid (Tuan) dan janganlah kalian ucapkan Sayyid (tuan) kepada orang kecil dari kalian (yang tidak berpangkat dan istimewa) karena itu artinya meminta orang lain menghina kalian dan mereka akan menghinakan kalian….”

Hadits ini disebutkan oleh Imam Thobrani dalam Mu’jam Kabir no 15263 dari jalur Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Abil Ja’ad, Abu Ya’la dalam Al Mafarid no 106. Harits bin Usamah juga meriwayatkannya sebagaimana yang diriwayatkan Al Hafidz dalam Ithaful Khiyarah. Dalam Sanad Harits ada Daud bin Muhabbir, dia dhoif.
Riwayat Abu Ya’la dan Thobrani juga dhoif, dengan adanya dua sanad untuk riwayat ini maka hadits ini menjadi hasan. Menurut Imam Suyuti semua riwayat dhoif dari Imam Ahmad adalah dhoif yang mendekati hadits hasan.

Jelas sekali perintah yang ada dalam riwayat di atas, kita disuruh untuk meninggikan orang yang mulia dan memanggil mereka dengan ucapan Sayyid (Tuan). Dan kita tidak diperbolehkan memanggil orang-orang hina dengan ucapan tersebut, dalam hadits shahih ditegaskan:
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِلْمُنَافِقِ يَا سَيِّدُ فَقَدْ أَغْضَبَ رَبَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
“Apabila seseorang berkata kepada seorang munafik: “Wahai Sayyidi (Tuanku)!” maka dia telah membuat Allah murka.”
Dalam hadits shahih dari Buraidah:
لَا تَقُوْلُوْا لِلْمُنَافِقِ سَيِّدًا فَإِنَّهُ إِنْ يَكُ سَيِّدًا فَقَدْ أَسْخَطْتُمْ رَبَّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ
“Jangan kalian memanggil orang munafik sebagai Tuan, karena jika ia menjadi seorang Sayyid (Tuan) maka kalian telah membuat murka tuhan kalian.” Shahih At Targhib no 2923.

Dua hadits ini memberi tahukan beberapa hal:
1. Boleh mengucapkan Sayyid kepada orang mulia
2. Haram mengucapkan Sayyid kepada orang munafik
3. Saat suatu penghormatan haram diberikan kepada orang munafik maka sebalikanya wajib memberikan penghormatan kepada orang mulia.
Jika menghormati orang munafik menyebabkan Allah murka, maka tidak menghormati orang yang mulia juga sama, karena inilah makna sebaliknya (mafhum Mukholafah) dari hadits tersebut.

Wallahu a’lam.

PENCATATAN DAN PENGAMALAN ILMU SEBAGAI SARANA MENDAPATKAN MANFAAT

Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi yang kita kenal sebagai penyusun kitab  Maulid Simthud Duror, memiliki kepedulian tinggi dan amat bangga terhadap para penuntut ilmu. Sehingga semasa hidupnya, tidak jarang beliau menyempatkan diri duduk di serambi rumahnya untuk menyaksikan para pelajar yang berlalu-lalang di depan kediamannya, berangkat menuju ke tempat mereka menunut ilmu.

Dalam kumpulan kalam beliau yang disusun Habib Umar bin Muhammad Maula Khela, berjudul “Jawahirul Anfas Fii Maa Yurdli Rabban Naas” disebutkan, karena begitu bangganya kepada para penuntut ilmu Al Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi Ra pernah berkata, “Aku doakan agar kalian berumur panjang dan memperoleh fath. Ketahuilah setiap orang yang mengajar sesuai dengan ilmu yang dimiliki, kelak di hari kiamat akan mendapatkan syafaat Rasulullah SAW”.

Habib Ali tak dapat menyembunyikan kegembiraannya bila melihat para pelajar, sampai-sampai beliau berucap, “Jika aku bertemu pelajar yang membawa bukunya, ingin aku mencium kedua matanya”.

Suatu ketika, tepatnya pada hari Ahad, 11 Syawal 1322 Hijriyah, Al- Habib Ali mengundang dan menjamu para pelajar di suatu tempat yang dikenal dengan nama Anisah, yakni tempat yang rindang dan sejuk karena banyaknya pepohonan, sekitar 2 Km dari kota Sewun. Kepada para pelajar itu beliau berkata, “Ketahuilah, hari ini aku mengundang kalian untuk membangkitkan semangat kalian menuntut ilmu. Giatlah belajar, semoga Allah memberkahi kalian”

Tidak itu saja, beliau mengajak para pelajar itu serius menuntut ilmu, sebagaimana dilakukan para salafus shaleh. Dikatakannya, “Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut ilmu. Perhatikan para salaf kalian, mereka menghafal berbagai matan (naskah). Mereka telah hafal kitab Az-Zubad, Mulkah I’rob dan Al-Fiyah di masa kecilnya. Setelah dewasa ada yang telah hafal kitab Al Minhaj, Ihya’ Ulumiddin, dan lainnya”.

Beliau mengingatkan agar ketika menuntut ilmu, para pelajar tidak melalaikan peralatan tulisnya. Sebab, itu sudah menjadi kelengkapan bagi seorang penuntut ilmu yang dapat mendatangkan banyak kemanfaatan. Bahkan, menurutnya, jika tidak memperhatikan kelengkapan tersebut bisa mendatangkan aib baginya.

“Aku ingin setiap pelajar membawa alat-alat tulisnya ketika mengikuti pelajaran. Ketahuilah, keuntungan (faedah) ilmu terletak pada pengamalan dan pencatatannya. Sebaliknya, menjadi aib bagi seorang pelajar jika saat mengikuti pelajaran (menuntut ilmu) ia tidak membawa buku dan peralatan tulis lainnya,” tandasnya.

Larang Remehkan Anak-anak

Pada kesempatan tersebut, Al-Habib Ali benar-benar ingin menuntaskan nasehatnya kepada para pelajar yang amat dicintainya itu. Termasuk tidak sekali pun meremehkan nasihat yang diucapkan anak-anak. Beliau menuturkan, “Pelajarilah cara membunuh atau mengendalikan hawa nafsu, adab dan tata krama. Tuntutlah ilmu baik dari orang dewasa maupun anak-anak. Jika yang mengajarkan ilmu jauh lebih muda dari mu janganlah berkata, “Kami tidak mau belajar kepadanya, aib bagi kami”.

Habib juga mengingatkan pelajar agar tidak segan-segan mengulang pelajaran yang telah diterima dari gurunya. Malah, sebaiknya para pelajar dianjurkan untuk membacanya berkali-kali, sebelum guru pembimbing datang mengajarkan ilmunya. “Pelajarilah pelajaran yang hendak kalian bacakan di hadapan guru. Dengan demikian kalian akan memetik manfaatnya. Tauladani apa yang telah dilakukan oleh kebanyakan salaf kita, saat menuntut ilmu,” ajak beliau.

Beliau juga mencontohkan beberapa ulama besar dari kalangan aslafunas shaleh ketika mereka menuntut ilmu, diantaranya Al Habib Ahmad bin Zein Al-Habsyi yang membaca pelajarannya sebanyak 25 kali sebelum mengikuti pelajaran yang disampaikan gurunya. Setelah itu mempelajari lagi sebanyak 25 kali seusai menerima pelajaran dari gurunya. Bahkan, syeikh Fakhrur Razi mengulang-ulang pelajarannya sebanyak 1000 kali. “Sementara kalian hanya (baru) membuka buku ketika berada di depan guru,” tambah beliau mengingatkan.

Di tengah-tengah para pelajar yang serius mengikuti nasehat-nasehatnya, beliau mengingatkan mereka agar menjauhi sifat dengki dan iri hati. Karena kedua sifat ini dapat mencabut keberkahan ilmu yang telah diperoleh. Beliau juga menceritakan pengalamannya ketika masih belajar.

“Ketika aku masih menuntut ilmu di Mekah. Setiap malam aku bersama kakakku Husein dan Alwi Assegaf mempelajari 12 kitab Syarah dari Al Mihaj, lalu menghafalkan semuanya. Pernah pada suatu hari saat nisful lail (akhir malam) ayahku Al Habib Muhammad keluar dari kamarnya dan mendapati kami sedang belajar. Beliau berkata, Wahai anak-anakku kalian masih belajar? Semoga Allah SWT memberkati kalian”.

Bahaya Makanan Haram

Pada kesempatan lain Habib Ali menggambarkan betapa gembira Rasulullah SAW jika melihat umatnya bersungguh-sungguh thalabul (mencari) ‘ilmu, kemudian mengamalkannya, dan menyampaikan (menyebarkannya) kepada saudaranya sesama umat Islam.

Beliau berkata, “Tidak ada yang lebih menggembirakan hati Rasulullah Muhammad SAW dari melihat upaya umat beliau menuntut ilmu, lalu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-harinya, dan menyebarkannya kepada saudaranya. Adakah yang lebih berharga dibandingkan kebahagiaan Habibi Muhammad SAW itu ? Dunia dan akhirat beserta segenap isinya tak mampu menyamai kebahagiaan beliau SAW”

Namun, beliau juga mengakui saat itu telah melihat gejala menurunnya semangat menuntut ilmu agama dan mengamalkan serta menyebarluaskannya di kalangan kaum muslimin. Menurutnya, semangat itu telah tidur terlalu lama, bahkan dikhawatirkan akan mati dalam tidurnya. Semangat itu telah hilang, cinta kepada ilmu telah menipis, keinginan berbuat kebajikan semakin melemah. Barangkali itu merupakan gejala awal rusaknya watak manusia. Putra Habib Muhammad Al-Habsyi ini menyatakan, penyebab utama semua itu adalah telah dikonsumsinya makanan haram oleh sebagian, atau bahkan kebanyakan umat Islam.

Diriwayatkan, bahwa Imam Haromain setiap kali ditanya seseorang selalu dapat menjawab. Imam Haromain adalah salah seorang yang menjadi rujukan (tempat bertanya) masyarakat di zamannya. Beliau menghafal ucapan guru beliau, Abu Bakar Al Baqillaniy yang tertulis dalam 12000 lembar kertas mengenai ilmu ushul. Sedangkan, Imam Sufyan bin Uyainah telah menghafal Al Qur’an dan menerangkan makna-maknanya di depan para ulama ketika ia masih usia 4 tahun. Kapan ia membaca Al Qur’an dan menghafalnya, serta kapan ia mempelajari makna-maknanya ?.

Namun suatu kali Imam Haromain ini tidak berkutik dan tidak dapat menjawab ketika menerima pertanyaan. Orang yang bertanya itu kemudian menanyakan mengapa sampai demikian, tidak biasanya beliau tak bisa menjawab. Lalu, Imam Haromain itu kemudian menjawab, “Mungkin ada susu yang masih tersisa di tubuhku”.

Sang penanya semakin penasaran apa yang dimaksud Imam Haromain. Dia kemudian bertanya lagi, “Apa maksudmu wahai Imam ?”. Beliau menjawab, “Dahulu ketika aku masih menyusui, ayahku sangat wara’ (berhati-hati) dalam menjaga kehalalan dan kebersihan minumanku. Beliau tidak membiarkan ibuku makan sesuatu kecuali yang benar-benar halal”.

Al Imam melanjutkan, “Suatu hari seorang budak wanita keluarga Fulan masuk ke rumah kami, tanpa sepengetahuan ibuku. Budak itu meletakkan aku di pangkuannya kemudian menyusuiku. Mengetahui hal itu ayahku sangat marah lalu memasukkan jari tangannya ke dalam mulutku, sehingga aku dapat memuntahkan semua susu yang baru saja kuminum dari budak itu. Namun, rupanya masih ada susu yang tersisa”.

Akhirnya Al Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi berwasiat kepada anak cucu dan keturunannya, termasuk kita semua, agar selalu meniru sikap dan tindakan para salaf ketika mencari ilmu dan beramal ibadah. Beliau berkata, “Wahai anak-anakku sekalian, jika kalian mau berusaha dengan sungguh-sunguh, maka bagimu kesempatan masih amat terbuka. Tauladani amal para salaf. Janganlah kalian menganggap mustahil mujahadah yang telah dilakukan orang-orang terdahulu, sebab mereka diberi kekuatan dhohir-bathin oleh Allah SWT”.

Beliau semakin menekankan perlunya mencontoh amal para salaf. Dituturkannya, “Mereka juga mempunyai niat dan tekad yang kuat untuk mencontoh para pendahulunya dalam berilmu dan beramal. Ketahuilah tidak ada yang menyebabkan manusia rugi, kecuali keengganan mereka mengkaji buku-buku sejarah kehidupan kaum sholihin. Jika riwayat hidup mereka dibacakan kepada orang mukmin, iman mereka akan semakin teguh kepada Allah SWT”.

KORUPSI MENJADI BUKTI GAGAL BERAGAMA?

Di negeri kita ada yang tekun beragama, tetapi juga tekun korupsi. Bahkan ada koruptor yang ditangkap sepulang dari menunaikan ibadah haji atau umrah. Bahkan kementerian diperbincangkan orang banyak karena soal korupsi. Semua itu disebabkan mereka hanya terlihat beragama namun gagal beragama. Gagal beragama dikarenakan tidak mendapatkan pendidikan agama secara kaffah atau menyeluruh.

Pendidikan agama yang menyeluruh adalah sebagaimana perbincangan malaikat Jibril dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di hadapan para Sahabat yakni meliputi aqidah (Iman) , ibadah (Islam/syariat) dan akhlaq (Ihsan/tasawuf)

Laki-laki itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Islam adalah kamu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, mendirikan shalat, membayar zakat, dan berpuasa Ramadlan.’ Dia berkata, ‘Kamu benar.’ Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah iman itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, beriman kepada kejadian pertemuan dengan-Nya, beriman kepada para Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari kebangkitan serta beriman kepada takdir semuanya’. Dia berkata, ‘Kamu benar’. Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu. (HR Muslim 11)

Pada umumnya kaum muslim hanya mendapatkan pengetahuan tentang aqidah (Iman) dan ibadah (Islam/syariat) saja.  Yang luput adalah pengetahuan tentang akhlak (Ihsan/tasawuf).

Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu. (HR Muslim 11)

Bahkan sebagian besar pendidikan agama di wilayah kerajaan dinasti Saudi  dan di  Darul Hadits, Dammaj, Yaman , kurikulumnya tidak mendapatkan pengetahuan tasawuf.

Sebaliknya berdasarkan apa yang disampaikan  ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani dalam makalahnya dalam pertemuan nasional dan dialog pemikiran yang kedua, 5 s.d. 9 Dzulqo’dah 1424 H di Makkah al Mukarromah, menyampaikan bahwa dalam kurikulum tauhid kelas tiga Tsanawiyah (SLTP) cetakan tahun 1424 Hijriyyah di Arab Saudi berisi klaim dan pernyataan bahwa kelompok Sufiyyah (aliran–aliran tasawuf) adalah syirik dan keluar dari agama.

Hal ini karena mereka termakan hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi. Pada hakikatnya upaya kaum Zionis Yahudi menjauhkan kaum muslim dari tasawuf adalah dalam rangka merusak akhlak kaum muslim sebagaimana mereka menyebarluaskan pornografi, gaya hidup bebas, liberalisme, sekulerisme, pluralisme, hedonisme dll.

Lihatlah pengaruh hedonisme yang diusung oleh Zionis Yahudi tersebut di sekeliling Makkah Al Mukaromah. Memang secara dzahir “orang kafir” tidak memasuki tanah suci namun paham tuhan kesenangan (hedonisme) dan tuhan kebebasan (liberalisme) dibiarkan masuk.

Lihatlah pembangunan di sekeliling Makkah Al Mukaromah dipenuhi pembangunan fasilitas bagi jemaah haji yang “lebih dari cukup” yang menjurus hedonisme dan liberalisme. Mereka secara tidak langsung telah memperolok-olok sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam agar kita zuhud di dunia ini.

Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Untuk apa dunia itu!  Hubungan saya dengan dunia seperti pengendara yang mampir sejenak di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya.” (HR At-Tirmidzi)

Abu Bakar radhiallahuanhu berkata, ”Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami, bukan di hati kami.”

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS Al-Ankabuut [29] : 64)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takuti atas kalian, tetapi aku takut pada kalian dibukakannya dunia bagi kalian sebagaimana telah dibuka bagi umat sebelum kalian. Kemudian kalian berlomba-lomba sebagaimana mereka berlomba-lomba, dan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka.”

Ketidak zuhudan di dunia membuat mereka lebih suka menghilangkan jejak-jejak perjalanan hidup Rasulullah shallallahu alaihi wasallam demi perluasan fasilitas yang lebih dari cukup.

Kelak generasi muda muslim berikutnya akan tidak lagi tahu tempat perjanjian Hudaibiyah, mustajabnya Jabal Qubis untuk tempat berdoa bahkan perkampungan kelahiran baginda Muhammad Shallallahu alaihi wasallam akan tinggal “menurut cerita” tidak lagi dalam bentuk fisik aslinya. Patutlah ada yang berpendapat pelayan dua tanah suci, diibaratkan telah merusak agama.

Tujuan beragama adalah untuk menjadi muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang baik, sholihin, muslim yang ihsan , muslim yang bermakrifat yakni muslim yang menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh)

Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).

Firman Allah ta’ala yang artinya,

“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)

Akhlak yang buruk adalah mereka yang tidak takut kepada Allah atau mereka yang berpaling dari Allah karena mereka memperturutkan hawa nafsu.

Firman Allah ta’ala yang artinya

“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 )

“Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56 )

Akhlak yang baik adalah mereka yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla  atau mereka yang selalu memandang Allah setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah

Seseorang  ulama memberikan nasehat kepada seorang pejabat disebuah kementerian, “Silahkan lakukan korupsi namun lakukan di suatu tempat yang tidak dapat dilihat oleh Allah Azza wa Jalla”.

Muslim yang selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla tentulah tidak akan melakukan korupsi.

Para penguasa negeri yang mengaku muslim namun berdusta kepada rakyatnya, mafia pajak, mafia pengadilan, mereka yang mengaku muslim namun berlaku radikalisme atau terorisme, para wakil rakyat yang tidak mewakili rakyatnya, para pejabat pemerintah yang seharusnya abdi rakyat malah menjadi abdi partai politik, para artis yang berzina atau bugil atau setengah bugil di depan kamera, para pendemo yang anarkis bahkan mahasiswa yang masih menggunakan jaket atribut universitas Islam namun berdemo anarkis, para pekerja yang tergabung dalam serikat pekerja berdemo menutup jalan tol dan tindakan anarkis lainnya adalah mereka yang tidak mendapatkan pengetahuan tasawuf (ihsan/akhlak) sehingga mereka tidak mempunyai keyakinan bahwa mereka dalam pengawasan Allah Azza wa Jalla. Seolah azab neraka adalah urusan nanti.

Pengawasan Allah tidak timbul dalam hati para pelaku korupsi atau pelaku kejahatan lainnya, mereka selain karena tidak mendapatkan pengetahuan tentang tasawuf (ihsan/akhlak) juga karena amal ibadah yang mereka lakukan sekedar aktifitas fisik atau amalan fisik (jasmani) tidak sampai kepada amalan batin (ruhani).  Ibadah haji yang mereka lakukan sebatas ibadah fisik bukan lagi perjalanan ruhani.

Keadaan ini dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai “Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan”

Rasulullah bersabda  yang artinya “akan muncul suatu firqah/sekte/kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya” (HR Muslim 1773)

Urutannya adalah Iman -> Ilmu -> Amal -> Akhlak

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)

Barangsiapa tidak khusyuk dalam sholatnya dan pengawasan Allah tidak tertanam dalam jiwanya atau qalbunya, maka ia telah bermaksiat dan berhak mendapatkan siksa Allah ta’ala.

Firman Allah Azza wa Jalla, yang artinya

`…. maka celakalah orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya, dan orang-orang yang berbuat riya” (QS Al-Ma’un 107: 4-6)

“… dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai“(QS Al A’raaf 7: 205)

“Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45)

Sholat yang benar baik ilmu dan amalnya akan terwujud dalam perilaku yang selalu mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang sholeh, muslim yang dekat dariNya, muslim yang meraih maqom disisiNya, muslim yang telah dikaruniakan ni’mat oleh Allah Azza wa Jalla sehingga selalu berada pada jalan yang lurus.

Firman Allah ta’ala yang artinya,

“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….” (QS Al Fatihah [1]:6-7 )

“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )

Muslim yang terbaik untuk bukan Nabi dan meraih maqom disisiNya sehingga menjadi kekasih Allah (wali Allah) dengan mencapai shiddiqin, muslim yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat.

Muslim yang dekat dengan Allah adalah muslim yang berakhlakul karimah.

Ilmu yang banyak pun tidak menjamin semakin dekat denganNya jika terbukti tidak terwujud akhlak yang baik.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“

Semakin banyak mengenal Allah (ma’rifatullah) melalui ayat-ayat-Nya qauliyah dan kauniyah, maka semakin dekat hubungan dengan-Nya. Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah ta’ala semakin dekat sehingga meraih maqom disisiNya.

Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.

Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara syariat sekaligus menjalankan tasawuf agar tidak menjadi manusia yang rusak (berakhlak tidak baik).

Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat) tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar“

Begitupula Imam Syafi’i ~rahimahullah menasehatkan kita agar mencapai ke-sholeh-an sebagaimana salaf yang sholeh adalah dengan menjalankan perkara syariat sebagaimana yang mereka sampaikan dalam kitab fiqih sekaligus menjalankan tasawuf untuk mencapai muslim yang baik, muslim yang sholeh, muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang Ihsan

Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat), maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47]

Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.” Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)” Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”

Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “ Pokok-pokok metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi).

Kesimpulannya muslim yang berhasil dalam beragama adalah muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang baik, sholihin, muslim yang ihsan, muslim yang bermakrifat yakni muslim yang menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh)

Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,

“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”

Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”

“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.

Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”

Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”

Jika belum dapat bermakrifat yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.

Rasulullah bersabda yang artinya “jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)

Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“

Rasulullah shallallahu alaihi wasallm  bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)

Muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.

Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”

Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan“

Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya”.

SEBAIKNYA JANGANLAH BERBICARA YANG TIDAK BERGUNA SETELAH BERWUDLU

Sekedar terlintas dalam fikiran duniawi saja setelah wudhu tidak dianjurkan bila ingin menggapai derajat yang luhur apalagi ngobrol duniawi. Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَوُضُوئِي هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa berwudhu sebagaimana wudhuku ini, lalu shalat dua raka’at, sedang dia tidak berkata-kata dalam hati (tentang urusan dunia) ketika melakukannya, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhāri dan Muslim).

شرح النووي علي مسلم ج ٣ ص ٨٧

فالمراد لا يحدث بشيء من أمور الدنيا وما لا يتعلق بالصلاة، ولو عرض له حديث فأعرض عنه بمجرد عروضه عفى عن ذلك وحصلت له هذه الفضيلة إن شاء الله تعالى لأن هذا ليس من فعله، وقد عفى لهذه الأمة عن الخواطر التي تعرض ولا تستقر

Maksud “tidak berkata-kata dalam hati tentang urusan dunia dan segala yang tidak berkaitan dengan shalat”. Bila terlintas kemudian ia mampu segera menepisnya maka dima’fu dan dia mendapatkan anugrah ini (diampuni dosa-dosanya yang telah lalu) insyaallah karena yang demikian diluar kendalinya dan diampuni untuk umat Muhammad ini segala yang terbersit dalam hati asal tidak menetap.

Senada dengan keterangan di atas pendapat Ibn Hajar dalam kitab Fath al Bari, bahkan menurut beliau bila sulit dikendalikanpun masih diampuni. Namun demikian bila ingin menggapai derajat tertinggi dan ini derajat ahli Zuhud seseorang harus mampu menghilangkan perkataan dalam hati selepas wudhu meskipun berkaitan dengan ukhrowi (tentang akhirat) yang tidak terpaut dengan urusan shalat apalagi tentang urusan duniawi.

فتح الباري ج ١ ص ٣٤٩

قوله: (لا يحدث فيهما نفسه) المراد به ما تسترسل النفس معه ويمكن المرء قطعه، لأن قوله يحدث يقتضي تكسباً منه، فأما ما يهجم من الخطرات والوساوس ويتعذر دفعه فذلك معفو عنه. ونقل القاضي عياض عن بعضهم أن المراد من لم يحصل له حديث النفس أصلاً ورأساً، ويشهد له ما أخرجه ابن المبارك في الزهد بلفظ لم يسر فيهما. ورده النووي فقال: الصواب حصول هذه الفضيلة مع طريان الخواطر العارضة غير المستقرة. نعم من اتفق أن يحصل له عدم حديث النفس أصلاً أعلى درجة بلا ريب. ثم إن تلك الخواطر منها ما يتعلق بالدنيا والمراد دفعه مطلقاً، ووقع في رواية للحكيم الترمذي في هذا الحديث «لا يحدث نفسه بشيء من الدنيا» وهي في الزهد لابن المبارك أيضاً والمصنف لابن أبي شيبة، ومنها ما يتعلق بالآخرة فإن كان أجنبياً أشبه أحوال الدنيا، وإن كان من متعلقات تلك الصلاة فلا

Sebenarnya menjaga lidah dari perkataan yang tidak bermanfaat tidak harus sesudah wudhu saja, sepanjang waktupun ( kapan saja) sebaiknya memang mesti mesti menjaga lisan dan perbanyak dzikir.

 – الثامن: عن أبي هريرة – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم: «مِنْ حُسْنِ إسْلامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ». حديث حسن رواه الترمذي وغيرُه

[النووي، رياض الصالحين ت الفحل، ٤٢/١]

 – حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا أَبُو الأَحْوَصِ، عَنْ أَبِي حَصِينٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ»

[البخاري، صحيح البخاري، ١١/٨]

Surat Ali ‘Imran Ayat 191:

 الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Surat An-Nisa Ayat 103 :

 فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Maka apabila kalian telah menyelesaikan shalat, ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kalian telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

Wallohu A’lamu Bis Showab.

PENGERTIAN DAKWAH DAN MACAM BENTUK BERDAKWAH

Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala sesuai dengan garis aqidah, syari’at dan akhlak Islam. Kata dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da’a yad’u yang berarti panggilan, seruan atau ajakan.

Tujuan utama dakwah ialah mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridai oleh Allah. Nabi Muhammad SAW mencontohkan dakwah kepada umatnya dengan berbagai cara melalui lisan, tulisan dan perbuatan. Dimulai dari istrinya, keluarganya, dan teman-teman karibnya hingga raja-raja yang berkuasa pada saat itu.

Beberapa bentuk da’wah

– Dakwah Ammah merupakan jenis dakwah yang dilakukan oleh seseorang dengan media lisan yang ditujukan kepada orang banyak dengan maksud menanamkan pengaruh kepada mereka. Media yang dipakai biasanya berbentuk khotbah

– Da’wah Bil lisan Dakwah jenis ini adalah penyampaian informasi atau pesan dakwah melalui lisan (ceramah atau komunikasi langsung antara subyek dan obyek dakwah). dakwah jenis ini akan menjadi efektif bila: disampaikan berkaitan dengan hari ibadah seperti khutbah Jumat atau khutbah hari Raya, kajian yang disampaikan menyangkut ibadah praktis, konteks sajian terprogram, disampaikan dengan metode dialog dengan hadirin.

– Dakwah bil al-Hal adalah dakwah yang mengedepankan perbuatan nyata. Hal ini dimaksudkan agar si penerima dakwah (al-Mad’ulah) mengikuti jejak dan hal ikhwal si Da’i (juru dakwah). Dakwah jenis ini mempunyai pengaruh yang besar pada diri penerima dakwah.

Pada saat pertama kali Rasulullah Saw tiba di kota Madinah, beliau mencontohkan Dakwah bil-Haal ini dengan mendirikan Masjid Quba, dan mempersatukan kaum Anshor dan kaum Muhajirin dalam ikatan ukhuwah Islamiyah.

– Da’wah Bi-Tadwin/Tulisan Memasuki zaman global seperti saat sekarang ini, pola dakwah bit at-Tadwin (dakwah melalui tulisan) baik dengan menerbitkan kitab-kitab, buku, majalah, internet, koran, dan tulisan-tulisan yang mengandung pesan dakwah sangat penting dan efektif.

Keuntungan lain dari dakwah model ini tidak menjadi musnah meskipun sang dai, atau penulisnya sudah wafat. Menyangkut dakwah bit-Tadwim ini Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya tinta para ulama adalah lebih baik dari darahnya para syuhada”.

– Dakwah bil Hikmah Yakni menyampaikan dakwah dengan cara yang arif bijaksana, yaitu melakukan pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak obyek dakwah mampu melaksanakan dakwah atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, tekanan maupun konflik. Dengan kata lain dakwah bi al-hikmah merupakan suatu metode pendekatan komunikasi dakwah yang dilakukan atas dasar persuasif.

– Tafsir Qurthuby

قوله تعالى : ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين

[ ص: 182 ] فيه مسألة واحدة – هذه الآية نزلت بمكة في وقت الأمر بمهادنة قريش ، وأمره أن يدعو إلى دين الله وشرعه بتلطف ولين دون مخاشنة وتعنيف ، وهكذا ينبغي أن يوعظ المسلمون إلى يوم القيامة فهي محكمة في جهة العصاة من الموحدين ، ومنسوخة بالقتال في حق الكافرين . وقد قيل : إن من أمكنت معه هذه الأحوال من الكفار ورجي إيمانه بها دون قتال فهي فيه محكمة . والله أعلم  

– Tafsir Thobary

يقول تعالى ذكره لنبيه محمد صلى الله عليه وسلم ( ادع ) يا محمد من أرسلك إليه ربك بالدعاء إلى طاعته ( إلى سبيل ربك ) يقول : إلى شريعة ربك التي شرعها لخلقه ، وهو الإسلام ( بالحكمة ) يقول بوحي الله الذي يوحيه إليك وكتابه الذي ينزله عليك ( والموعظة الحسنة ) يقول : وبالعبر الجميلة التي جعلها الله حجة عليهم في كتابه ، وذكرهم بها في تنزيله ، كالتي عدد عليهم في هذه السورة من حججه ، وذكرهم فيها ما ذكرهم من آلائه ( وجادلهم بالتي هي أحسن ) يقول : وخاصمهم بالخصومة التي هي أحسن من غيرها أن تصفح عما نالوا به عرضك من الأذى ، ولا تعصه في القيام بالواجب عليك من تبليغهم رسالة ربك

وبنحو الذي قلنا في ذلك ، قال أهل التأوي

– Tafsir Baghowi

( ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين ( 125 )

( ادع إلى سبيل ربك بالحكمة ) بالقرآن ، ( والموعظة الحسنة ) يعني مواعظ القرآن

وقيل : الموعظة الحسنة هي الدعاء إلى الله بالترغيب والترهيب

وقيل : هو القول اللين الرقيق من غير غلظة ولا تعنيف

ADAB ATAU AKHLAK HARUS DI DAHULUKAN DARIPADA ILMU

Etika merupakan sebuah gambaran dari sebuah perkataan, pekerjaan, dan perbuatan yang baik. Setiap orang yang ber-etika akan menjadi orang terpuji, Etika itu sendiri penerapannya secara kontinyu kepada siapapun dan kapanpun khususnya kepada orang orang yang lebih mulia dari kita.

Pada kesempatan kali ini saya akan menceritakan tentang kisah tragis dari seorang yang sangat pandai namun ia tidak memiliki Etika kepada gurunya sendiri. Kisah ini saya dapatkan dari guru saya Sidi Syeikh Muhammad bin Ali Ba’atiyah beliau dari gurunya Al Allamah Al Habib Abdullah bin Shodiq Al Habsyi, beliau dari gurunya Al Allamah Al Habib Abdullah bin Umar As Syatiri sekaligus beliau tokoh yang dimaksud dalam cerita ini.

Dikisahkan di Tarim Yaman terdapat suatu pesantren yang bernama “Rubath Tarim”, pesantren ini telah melahirkan puluhan ribu Ulama’ yang tersebar diseluruh dunia. disana para santri diajarkan berbagai macam ilmu, khususnya spesifikasi Ilmu Fiqh sebagai keunggulannya.

Dipesantren itu pula ada seorang santri anggap saja namanya “Fulan”, si Fulan ini merupakan seorang santri yang sangat cerdas, kuat hafalannya, tangkas dan rajin hingga dikatakan bahwa ia menjadi santri yang sudah mencapai derajat Mufti saking pintarnya. ia juga hafal semua mas’alah fiqhiyah yang terdapat dalam kitab “Tuhtatul Muhtaj” sebuah kitab yang tebalnya 13 tiga belas jilid.

Kesehariannya di pesantren, si Fulan ini disukai oleh teman temannya sebab ia dibutuhkan oleh rekannya untuk menjelaskan pelajaran yang belum difahami serta mengajar kitab kitab lainnya. 13 tahun menjadi santri Rubath Tarim tentu saja hampir dipastikan kapasitasnya ia termasuk Ulama’ besar. Namanya pun tersohor hingga keluar pesantren bahwa ia termasuk calon Ulama besar yang akan muncul berikutnya.

Hingga akhirnya Syetan mengelabuhi si fulan, iapun merasa orang yang paling Alim, bahkan ia merasa kualitas dirinya sejajar dengan kealiman guru besarnya. Tidak cukup sampai disitu, kesombongan itu berlanjut hingga ia berani memanggil gurunya dengan namanya saja; “Ya Abdullah / Duhai Abdullah”!!!. Dimata para Ahli ilmu hal ini sungguh ini tindakan yang sangat sangat tercela dan kesombongan yang nyata.

Melihat kesombongan si fulan, Al Habib Abdullah As Syatiri sabar dan memilih diam saja. Sidi Syeikh Muhammad bin Ali Ba’atiyah mengatakan; “Diamnya seorang guru saat muridnya tidak sopan pada gurunya tetap akan mendapatkan Adzab dari Allah s.w.t.”

Kesombongan itupun berlanjut, si fulan pada suatu hari akan keluar dari Rubath Tarim untuk menuju kota Mukalla untuk berdakwah. Iapun keluar dari pesantren begitu saja tanpa izin kepada Al Habib Abdullah As Syatiri, hingga pada saat “Madras Ribath” sebutan untuk pengajian rutinan di rubath tarim, Habib Abdullah menanyakan perihal keberadaan si fulan yang biasanya duduk di depan namun tidak Nampak kelihatan;

“Kemanakah si fulan???”, sebagian murid yang mengetahui menjawab “si fulan sedang berdakwah ke kota Mukalla”, habib berkata “apakah dia izin kepadaku??”, sontak murid yang lain diam saja. Dan Habib Abdullah kemudian berkata “baiklah, kalau begitu biarkan si fulan pergi akan tetapi ilmunya tetap disini!!!.”

Di sisi lain di kota Mukalla Yaman, para ahli ilmu dan tholib ilim yang mendengar bahwa si fulan santri senior rubath tarim akan mengisi ceramah di Masjid Bazar’ah merekapun berbondong-bondong datang, mereka pun mempersilahkan si fulan untuk memberikan ceramahnya.

Si fulan naik kemimbar dan memulai isi ceramahnya, ia memulai dengan basmalah, hamdalah, sholawat kepada nabi amma ba’du. Kemudian ia membaca sebuah ayat dan ingin menjelaskan ayat ini. namun ternyata dia terdiam!!!, kebingungan. Iapun terus berusaha mengingat ilmunya namun tak bisa, ia menoleh ke kanan dan kiri tetap saja begitu, hingga hamper sepuh menit dia terdiam dihadapan jama’ah di hadapannya. Hingga akhirnya dia duduk menangis karena semua ilmu yang pernah ia hafal hilang seketika!!!.

Jama’ah yang melihatnya kaget melihat hal itu, salah satu ahli ilmu di kota Mukalla mengerti bahwa pasti ada sesuatu yang tidak beres dari si fulan. Ia pun bertanya pada si fulan, setelah mendengar penjelasannya si ahli ilmu menasehati agar ia si fulan minta maaf pada sang maha guru.

Memang sudah dikuasai oleh syetan, iapun enggan untuk tawadlu’ dan minta maaf pada sang guru.

Hidupnya pun bertambah tragis, tanpa ada keluarga yang mau menerimanya tanpa teman yang perduli pada nasibnya. Hingga ia hidup dalam keadaan sangat miskin di pinggiran kota Mukalla dan sehari hari menjadi penjual Arang di dekat kuburan Ya’qub.

Hingga akhir hayatnya ia hidup dalam keadaan miskin bahkan untuk sebuah kafan pun ia tak punya dan di beri sedekah oleh tetangganya. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.

Dari kisah ini mari kita semua perbaiki etika kita kepada guru kita dan kepada siapapun disekitar kita meskipun kita sudah memiliki ilmu yang banyak. Begitu pula mari kita saling Tawadlu’, merendahkan diri dan menjaga dari kesombongan yang bisa menghancurkan diri kita sendiri.

MUSTAJABNYA DO’A DI WAKTU HUJAN DAN DO’A IBU LEBIH MUSTAJAB DARIPADA DO’A WALI

Jika kita perhatikan ketika turun hujan, ada sebagian orang yang gelisah dan tidak senang. Hal ini disebabkan karena turunnya hujan itu  dirasa mengganggu aktivitas mereka, mungkin ada yang mau bekerja, ada janji dengan temannya atau karena sebab yang lainnya. Sehingga yang terjadi adalah mengeluh dan mengeluh.

Padahal jika kita merenung dan memahami hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, waktu hujan turun adalah saat mustajabnya do’a, artinya do’a kita semakin mudah terkabulkan.

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni mengatakan:

”Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ

“Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan :

[1] Bertemunya dua pasukan,

[2] Menjelang shalat dilaksanakan, dan

[3] Saat hujan turun.”

Begitu juga terdapat hadits dari Sahl bin Sa’d, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِوَ تَحْتَ المَطَرِ

“Dua do’a yang tidak akan ditolak:

[1] do’a ketika adzan dan

[2] do’a ketika ketika turunnya hujan.”

Do’a yang amat baik dibaca kala itu adalah memohon diturunkannya hujan yang bermanfaat. Do’a yang dipanjatkan adalah:

اللَّهُمَّ صَيِّباً ناَفِعاً

“Allahumma shoyyiban naafi’aa [Ya Allah, turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat].”

Itulah yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ucapkan ketika melihat turunnya hujan.

Hal ini berdasarkan hadits dari Ummul Mukminin, ’Aisyah radhiyallahu ’anha,

إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ « اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً

”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]”.

Air hujan yang mengalir merupakan suatu karunia dan akan membawa berkah dan manfaat bagi kita. Oleh karena itu kita dianjurkan untuk berdo’a ketika turun hujan agar kebaikan, keberkahan dan kemanfaatan senantiasa meliputi diri kata..

Semoga dengan turunnya hujan semakin membuat kita bersyukur, bukan malah mengeluh. Manfaatkanlah moment tersebut untuk banyak memohon segala hajat pada Allah Ta’ala menyangkut urusan dunia dan akhirat. Jangan sia-siakan kesempatan untuk mendoakan kebaikan diri, istri, anak, kerabat serta kaum muslimin.

DOA IBU LEBIH MULIA DARI ULAMA BESAR SEKALIPUN.

Sekedar renungan,

Di Hadromaut (Yaman), Setiap orang yang datang menghadap Habib Salim atau Habaib Sepuh yang Alim di Tarim untuk minta di doakan, selalu mendapat pertanyaan yang sama :

Apakah kamu masih memiliki permata (Ibu) di rumahmu ?. Jika jawabannya, masih.

Maka beliau dengan halus mengatakan :

Tahukah kamu, bahwa doa ibu untukmu, lebih mulia dan Makbul dari pada Doa seorang Wali Besar sekalipun ?. Ketika Habib Umar Bin Hafidz dan

abangnya Habib Ali Masyhur Bin Hafidz masih bayi dan sering menangis,

Ibunda mereka Hubabah Zahra, akan memeluk dan membelai anak anaknya sambil mengusap kepala mereka.

Kepada Habib Ali Masyhur, beliau sering

berbisik “Mufti, Mufti”. dan sekarang Habib Ali Masyhur telah menjadi Mufti Yaman.

Kepada Habib Umar sang ibu selalu berdoa

“Da’i, Da’i”. Dan kini Habib Umar telah menjelma menjadi Da’i Islam terkenal di zaman ini.

Rasulullah ﷺ bersabda :

Orang tua adalah pintu surga yang paling tengah, maka jangan sia-siakan pintu itu atau jagalah ia. (HR. TIRMIDZI). Saudaraku,

Ibu adalah pintu Surga bagi anak2-nya, dan Ayah adalah jembatan menuju kepadanya.

Air susu Ibu yg kita minum adalah saripati makanan hasil jerih payah, keringat Ayah yang mencari nafkah untuk keluarga.

Karena itu Muliakan Mereka.

Mau keluar rumah?. Jangan lupa cium tangan Ibu dan Ayah. (Ingatlah ketika kita masih kecil, kita selalu dipeluk dan diciumnya). Bila kita sudah bekerja/ berkeluarga, atau tak tinggal serumah, sering2-lah mengunjunginya.

Bila tidak memungkinkan,

Telponlah, agar beliau senang dan ridho, atas seluruh jerih payah dan setiap tetesan susu yang telah menjadi darah daging kita.

Setidaknya, memberikan hadiah berupa barang atau uang setiap bulannya.

Semoga ALLAH SWT Meridhoi kita dan keluarga tercinta. Amiin.

CONTOH ADAB YANG BAIK KEPADA AHLI BAIT NABI MUHAMMAD SAW.

Imam Syafi’I RA, seorang imam dan pendiri mazhab Syafiiyyah pernah mengutip satu hadis yang redaksinya berbunyi:

وَأيْمُ اللهِ، لَوْ أَنَّ فلانة بِنْتَ فلان سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

“Demi Allah, sekiranya Fulanah binti Fulan mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.”

Orang-orang yang mendengar ucapan itu terkejut serta mempertanyakan keilmuan Imam Syafi’i . “Wahai Imam, mengapa engkau tidak menyebutkan hadis itu seutuhnya sesuai dengan redaksinya? Mengapa engkau tidak ilmiah mengutip hadis tersebut seperti demikian redaksinya?”

وَأيْمُ اللهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

“Demi Allah, sekiranya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.”

Imam Syafi’i mengatakan: “Hadis itu maklum sudah diketahui umum oleh kebanyakan orang. Semua orang pun sudah mengetahui siapa yang kumaksudkan dengan Fulanah binti Fulan?!”

Redaksi hadisnya benar, “Sekiranya Fathimah mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.” Akan tetapi hal itu tidak mungkin aku ucapkan.

Sebab aku menaruh penghormatan yang sangat tinggi terhadap para ahlu bait keluarga Rasulullah SAW . Meskipun hanya mengucapkan redaksi hadis, aku tidak pantas mengatakan, “Fathimah binti Muhammad mencuri”.

Ada dua alasan yang mendasarinya.

Pertama, hal itu tidak mungkin terjadi pada diri ahlu bait Nabi.

 Kedua, ucapan itu wajar saja diucapkan oleh Rasulullah sebagai ayahnya.

Begitulah tingginya adab dan etika yang dicontohkan Imam Muhamamd bin Idris Syafi’i kepada generasi selanjutnya. Beliau benar-benar memuliakan para ahli bait Rasulullah.

Kecintaan serta penghormatan Imam Syafi’i terhadap para ahlu bait Rasulullah sampai-sampai beliau pernah difitnah serta dituduh ikut terlibat gerakan Syi’ah Rafidhah. Namun, tuduhan itu ternyata tidak pernah terbukti.

Imam Syafii menjawab tuduhan fitnah atas kecintaannya terhadap pada para ahli bait Rasulullah itu dengan ungkapan syairnya yang masyhur:

إن كان رافضا حب آل محمد فليشهد الثقلان إني رافضي

“Sekiranya hanya disebabkan mencintai ahli bait Muhammad dikategorikan Rafidhi. Maka saksikanlah dengan kecintaanku pada ahlu bait, maka aku adalah Syiah Rafidhi.”

Hari ini kita akan mendapati orang-orang mengkritik bahkan membantah sikap penghormatan terhadap ahli bait Rasulullah dengan melontarkan ucapan-ucapan agar tidak berlebihan menghormati dan memuliakan ahlu bait Rasulullah, disebabkan ketidakmengertian mereka terhadap siapa yang telah berjasa dalam dakwah Islam ini pertama kalinya hingga ke negeri kita?

Padahal, jika bukan para ahli bait Rasulullah darimana kita mengenal Islam? Berkah dakwah dan perjuangan para ahli bait Rasulullah kita mendapatkan cahaya dan keberkahan Islam, bukan?

Bahkan, perintah untuk mencintai serta memuliakan para ahli bait Rasulullah itu sendiri telah diajarkan oleh Al-Qur’an di dalam Surah Asyura 23:

قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَىٰ ۗ

“…Katakanlah wahai Muhammad, aku tidak meminta balasan kebaikan apa pun pada kalian, melainkan mengasihi keluarga (ku).” (QS Asyura: 23)

Maka, mencintai dan memuliakan ahlu bait Rasulullah sebagai bukti mencintai serta memuliakan datuknya, baginda Rasulullah Al-Musthafa shallalahu ‘alaihi wa sallam.