ALLOH SWT BERBEDA DENGAN MAKHLUK DAN TIDAK BUTUH TEMPAT

Kita jangan sembarangan menghukumi orang dengan hukuman murtad, kafir, dan sejenisnya sebelum kita menguasai permasalahan hukum tersebut sesuai dengan apa yang dipermasalahkan. Hal itu dilarang keras dalam ajaran Islam.

Di dalam kitab “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” halaman 109 diterangkan tentang orang yang mengi’tiqadkan atau meyakinkan bahwa Allah swt disamakan seperti makhluk (lihat tulisan yang ada di foto baris ke-9 – 12 !) sebagai berikut:

و اعلم أن من اعتقد أن الله جسم كالأجسام فهو كافر و من المعتقد أنه جسم لا كالأجسام فهو عاص غير كافر و الاعتقاد الحق اعتقاد أن الله ليس بجسم و لا صفة و لا يعلم ذاته الا هو

Artinya: “Dan ketahuilah oleh kalian bahwa sesungguhnya:

1. Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah swt seperti jisim (bentuk suatu makhluk) sebagimana jisim-jisim lainnya, maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqad, bukan berarti keluar dari Islam pindah ke agama lain).”

2. Orang yang mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah swt seperti jisim (bentuk suatu makhluk), tapi tidak disamakan sebagaimana jisim-jisim (bentuk-bentuk makhluk) lainnya, maka orang tersebut hukumnya “‘Aashin” atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah swt, dan bukanlah orang “kafir (orang yang kufur dalam i’tiqad).”

3. I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah swt itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah swt kecuali Dia.”

Dengan demikian, berdasarkan keterangan tauhid di kitab “Hasiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” tersebut di atas, ucapan yang dikeluarkan oleh seseorang dalam kaitannya dengan ilmu tauhid, tergantung dari i’tiqadnya, apakah ucapannya itu di’itiqadkan atau tidak. Hal ini diperkuat dengan keterangan yang diungkapkan Syeikh Al-Akhthal dalam sya’irnya:

ان الكلام لفى الفؤاد و انما #### جعل اللسان على الفؤاد دليلا

Di dalam kitab “Kifayatul ‘Awam” karya Syeikh Ibrahim Al-Baijuri halaman 60 diterangkan sebagai berikut:

و الرابعة المماثلة ضد المخالفة فيستحيل عليه تعالي أن يماثل الحوادث في شيء مما اتصفوا به فلا يمر عليه تعالي زمان و ليس له مكان و ليس له حركة و لا سكون و لا يتصف بألوان و لا بجهة فلا يقال فوق الجرم و لا عن يمين الجرم و ليس له تعالي جهة فلا يقال اني تحت الله فقول العامة اني تحت ربي و ان ربي فوقي كلام منكر يخاف علي من يعتقده الكفر

Artinya:

“Dan sifat mustahil yang keempat bagi Allah swt adalah sifat “Al-Mumatsalah (المماثلة)”. Artnya: Menyerupai makhluk, lawan dari sifat yang wajib bagi Allah swt yaitu sifat “Al-Mukhalafah (المخالفة)”. Artinya: Allah swt berbeda dengan makhluk.

Maka mustahil bagi Allah swt menyerupai makhluk pada sesuatu yang disifatinya. Olehkarena itu, Allah tidak dilewati (diliputi) oleh zaman (waktu), tempat, gerakan, dan diam, dan tidak pula disifati oleh warna-warna dan arah. Maka tidak boleh dikatakan bahwa Allah itu berada di atas jirim (bentuk makhluk seperti manusia) dan berada di sebelah kanan jirim. Begitupula, Allah tidak mempunyai arah. Maka tidak boleh dikatakan bahwa sesungguhnya aku berada di bawah Allah.

Adapun ucapan ‘awam (orang-orang yang tidak tahu tentang ilmu tauhid) mengatakan bawa sesungguhnya aku berada di bawah Tuhanku dan sesungguhnya Tuhanku berada di atasku merupakan kalam munkar, yang dikuatirkan dapat menimbulkan kekufuran bagi orang yang mengi’tiqadkan atau meyakininya”.

Tambahan:

Dalil sifat ‘Al-Mukhalafah (Allah swt berbeda dengan makhluk”) Al-Qur’an surat Asy-Syuraa ayat 11:

فَاطِرُ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ‌ۚ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٲجً۬ا وَمِنَ ٱلۡأَنۡعَـٰمِ أَزۡوَٲجً۬ا‌ۖ يَذۡرَؤُكُمۡ فِيهِ‌ۚ لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَىۡءٌ۬‌ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ

Artinya:

“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat”.

REUNIAN ANTARA AHLI KUBUR YANG LAMA DAN YANG BARU MENINGGAL

Dalam kitab MUSNAD IMAM AHMAD ada hadits shohih (juga menurut Syaikh Albani rh) yang bersumber dari Anas bin Malik rodhiyallahu anhu, sbb:

إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات، فإن كان خيراً استبشروا به، وإن كان غير ذلك قالوا: اللهم لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا

“Sesungguhnya amal perbuatan kalian (yang masih hidup didunia ini) di tampilkan kepada kerabat kerabat dan keluarga kalian yang telah mati. Jika amal perbuatan kalian itu BAGUS, maka mereka turut senang dan bahagia, dan jika BURUK, mereka berkata/berdoa:”Ya Allah ya Tuhanku, jangan Engkau cabut nyawa mereka sehingga Engkau memberikan Hidayah kepada mereka seperti halnya kepada kami”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullah pernah di tanya tentang yang hidup menziarahi yang mati (ziarah kubur) itu apakah yang mati (didalam kubur) mengetahuinya? Dan apakah yang mati mengetahui jika ada kerabatnya atau yang lain ada yang mati?

Beliau menjawab:

الحمد لله، نعم قد جاءت الآثار بتلاقيهم وتساؤلهم وعرض أعمال الأحياء على الأموات، كما روى ابن المبارك عن أبي أيوب الأنصاري قال: إذا قبضت نفس المؤمن تلقاها الرحمة من عباد الله، كما يتلقون البشير في الدنيا، فيقبلون عليه ويسألونه فيقول بعضهم لبعض: أنظروا أخاكم يستريح، فإنه كان في كرب شديد، قال: فيقبلون عليه ويسألونه: ما فعل فلان وما فعلت فلانة، هل تزوجت

Segala Puji bagi Allah, ya BENAR !!

Telah ada sebuah Atsar yang menjelaskan tentang PERJUMPAAN MEREKA dan OBROLAN MEREKA (yang baru mati dgn kerabatnya yang sudah lama mati) dan juga DITAMPILKANNYA AMAL PERBUATAN YANG HIDUP KEPADA YANG MATI seperti yang telah diriwayatkan oleh Imam Ibnu Mubarok dari Abu Ayub Al Al Anshori. Beliau menuturkan: Jika seorang mukmin meninggal dunia, maka mereka hamba hamba Allah yang beriman mendapati RAHMAT ALLAH, yaitu mereka saling bertemu satu sama lain (di alam ruh). Seperti halnya manusia di dunia. Mereka saling menyambut dan bertanya satu sama lain. Sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain:”Lihatlah saudara kalian itu… dia sekarang bisa beristirahat dari kesedihan yang sangat (dari kebisingan dunia). Mereka (yang lama mati) menyambutnya (yang baru mati) dan mereka bertanya (kepada yang baru mati):”Ngomong2 apa yang dikerjakan si A sekarang (didunia)? ngomong2 bagaimana kabar si cewek itu? apakah dia sudah menikah? dsb….

وَأَمَّا عِلْمُ الْمَيِّتِ بِالْحَيِّ إذَا زَارَهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ : فَفِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَحَدٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ أَخِيهِ الْمُؤْمِنِ كَانَ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ إلا عَرَفَهُ وَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلامَ )) . قَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ : ثَبَتَ ذَلِكَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَحَّحَهُ عَبْدُ الْحَقِّ صَاحِبُ الأَحْكَامِ

Adapun mengetahuinya si mayyit kepada si hidup ketika dia menziarahinya, maka ini ada haditsnya dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:”TAK ADA SEORANG-PUN yang melewati kuburan saudaranya yang beriman dan dia mengenalinya disaat didunia dan dia (yang lewat) mengucapkan salam kepadanya (yang didalam kubur) KECUALI DIA MENGETAHUINYA DAN MENJAWAB SALAMNYA.

Kata Ibnu Mubarok, hadits ini tsabit dari Rasulullah dan telah di shohihkan oleh Imam Abdul Haq si pengarang kitab Al Ahkam.

(مجموع الفتاوى 5/477)

Atsar Abu Ayub Al Anshori yang juga dituturkan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah dilembaran lain seperti ini

فإذا سألوا عن الرجل قد مات قبله قال لهم: إنه قد هلك، فيقولون: إنا لله وإنا إليه راجعون، ذهب به إلى أمه الهاوية، فبئست الأم وبئست المربية، قال: فيعرض عليهم أعمالهم فإذا رأوا حسناً فرحوا واستبشروا، وقالوا: هذه نعمتك على عبدك فأتمها، وإن رأوا سوء قالوا: اللهم راجع بعبدك. انتهى

Mereka (yang sudah lama mati) bertanya (kepada yang baru mati) tentang kabar seorang si A, lalu di jawab:”Dia sudah meninggal”. Kemudian mereka (yang sudah lama mati) menjawab:”Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun”. dst…

SANGAT PENTING : PENJELASAN LENGKAP PAHAM LIBERALISM DALAM ISLAM

Liberalisasi Pemusnah Islam Sekularisasi dan liberalisasi sampai saat ini terus belangsung dalam berbagai sisi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan bahkan pemikiran keagamaan. Kini setelah 30 Tahun sejak dikampanyekan oleh Nurkholis Madjid, arus besar itu semakin sulit dekendalikan, dan berjalan semakin liar. Penyebaran paham “pluralisme agama”, ”dekonstruksi agama”, “dekonstruksi kitab suci” dan sebagainya, kini justru berpusat dikampus-kampus dan organisasi Islam bahkan mulai merambah pesantren. Paham ini menusuk jantung dan merobohkan Islam dari pondasinya yang paling dasar.

Akar Liberalisme

Untuk menelurusi Islam Liberal, tidak bisa terlepas dari Sekularisasi Agama. Sekularisasi merupakan gagasan penting yang berasal dari kelompok Islam Liberal. Jika kita mencermati tulisan-tulisan mereka, kita akan mengetahui bahwa gagasan ini terus menerus diperjuangkan secara konsisten. Tidak diragukan lagi bahwa sekularisasi adalah gagasan yang berasal dari warisan sejarah perkembangan peradaban Barat. Hal ini dapat ditelusuri mulai abad pertengahan Barat ketika peradaban mereka ditandai dengan adanya dominasi gereja yang menghambat kemajuan penelitian ilmiah. Penyebabnya adalah Bible mengandung hal-hal yang bertentangan dengan akal. Harvey Cox (ahli teologi Kristen dari Harvard) membuka buku terkenalnya, The Secular City, dengan bab “The Biblical Source of Secularizatioan”, yang diawali kutipan pendapat teolog Jerman Friedrich Gogarten: ”Bahwa sekularisasi adalah akibat logis dari dampak kepercayaan Bible terhadap sejarah”.

Sekularisasi kata Harvey Cox, mengimplikasikan proses sejarah. Masyarakat perlu dibebaskan dari kontrol agama. Sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari dunia lain. Jadi, intinya sekularisasi adalah perkembangan yang membebaskan (liberal). Sekularisasi dibidang agama adalah penyingkiran nilai-nilai agama. Penganut paham sekuler menyatakan kebenaran adalah relativ. Tidak ada kebenaran yang mutlak. Manusia sekuler percaya bahwa “wahyu langit” dapat dipahami karena hal itu terjadi dalam sejarah yang dibentuk oleh kondisi sosial politik tertentu.

Jadi sebenarnya, semua sistem nilai terbentuk oleh sejarah yang mengikuti ruang dan waktu tertentu. Sekularisasi akan menjadikan sejarah dan masa depan cukup terbuka untuk perubahan dan kemajuan karena manusia akan bebas membuat perubahan secara proaktif dalam proses evolusi (perubahan secara lambat). Dengan konsep ini manusia sekuler dapat tidak mengakui kebenaran Islam yang mutlak. Mereka akan menolak konsep-konsep Islam yang yang tetap (tsawabit) karena semua hal dianggap relatif.  Sumber utama pemikiran ini apabila diurut akan berujung pada aliran Sufastha’iyyah (kaum sophist). Dalam aqidah annasafi dinyatakan :

حقيقة الأشياء ثابتة والعلم بها متحقق خلافا لسفسطائية

“Semua hakikat segala perkara itu tsabit adanya, dan pengetahuan kita akan dia adalah yang sebenarnya kecuali menurut kaum sufastha’iyyah ” .

Salah satu golongan Sufastha’iyyah itu adalah golongan ‘Indiyyah (Subyektifisme) yang menganut faham bahwa tidak ada kebenaran obyektif dalam ilmu. Semua ilmu adalah subyektif, dan kebenaran mengenai sesuatu hanyalah semata-mata pendapat seseorang. Maka kebenaran bagi mereka adalah segala yang berlaku di masyarakat dan bukan yang dikonsepkan dalam al-Qur’an.

Liberalisasi Islam

Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa paham Islam liberal adalah paham yang membongkar kemapanan dalam ajaran Islam yang sudah baku. Setiap manusia mempunyai kewenangan dalam menilai baik dan buruk tanpa harus ada campur tangan siapapun. Paham ini sejalan dengan kaum Mu’tazilah. Ulil Abshar Abdallah, tokoh liberal, pimpinan JIL, secara tegas mengakui bahwa kaum liberalis adalah penerus aliran Mu’tazilah. Bahkan kalau kita melihat pemikiran-pemikirannya mereka justru melebihi aliran Mu’tazilah, mereka sudah jauh melampaui ayat-ayat al-Qur’an dan hadits. Isu-isu yang mereka lemparkan tidak hanya seputar, gender (peran wanita di ruang publik), pluralisme (kesetaraan semua agama), demokrasi, HAM, bahkan sudah berani menggugat ke-otentikan al-Qur’an.

Secara umum ada tiga bidang penting dalam ajaran Islam yang menjadi sasaran liberalisasi, yaitu; (1) leberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham pluralisme agama, (2) liberalisasi bidang syari’ah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan (3) liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Qur’an.

Liberalisasi Akidah Islam

Liberalisasi aqidah islam dilakukan dengan penyebaran paham “pluralisme agama”. Paham ini pada dasarnya menyatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi relativ terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga – karena kerelativannya – maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya sendiri yang lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa agamanya sendiri yang benar.

Di majalah Gatra edisi 21 Desember 2002. Ulil Abshar mengatakan: “Semua agama sama, semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi Islam bukan yang paling benar “. Nuryamin Aini, dosen Fakultas Syari’ah UIN Jakarta mengatakan: “Tapi ketika saya mengatakan agama saya benar, saya tidak punya hak untuk mengatakan bahwa agama orang lain salah, apalagi kemudian menyalah-nyalahkan atau memaki-maki.

Dalam buku Teologi Inklusif Cak Nur ditulis : Bangunan epistemologis teologi inklusif Cak Nur diawali dengan tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah kehadirat Tuhan. Kepasrahan ini, kata Cak Nur, menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah World view al-Qur’an, bahwa semua agama yang benar adalah al-Islam, yakni sikap pasrah diri kehadirat Tuhan. (QS 29:46). Selanjutnya dikatakan : “Dalam konteks inilah sikap pasrah menjadi kualifikasi signifikan pemikiran teologi inklusif Cak Nur”. Bukan saja kualifikasi seorang yang beragama Islam, tetapi “muslim” itu sendiri (secara generik) juga dapat menjadi kualifikasi bagi penganut agama lain, khususnya bagi penganut Kitab Suci baik Yahudi maupun Kristen. Maka konsekuensi secara teologis bahwa siapapun diantara kita – baik sebagai orang Islam, Kristen, Yahudi – yang benar-benar beriman kepada Tuhan dan hari kemudian serta berbuat kebaikan maka akan mendapat pahala di sisi Tuhan (QS.2:62, 5:69). Dengan kata lain sesuai firman Tuhan ini, terdapat jaminan teologi bagi umat beragama apapun “agama”-nya, untuk menerima pahala (surga) dari Tuhan.

Sukidi, alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Ciputat, menulis di koran Jawa Pos (11/1/2004): “Dan konsekuensinya, ada banyak kebenaran dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegaskan adanya kebenaran tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama baik Hinduisme, Budhisme, Yahudi, Kristen, Islam maupun lainnya adalah benar. Dan konsekuensinya kebenaran ada dimana-mana dan ditemukan pada semua agama. Agama-agama itu diibaratkan dalam nalar pluralisme Gandhi seperti pohon yang memiliki banyak cabang tapi berasal dari satu akar. Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama. Karena itu mari kita memproklamirkan kembali bahwa pluralisme agama sudah menjadi hukum tuhan (sunnatullah) yang tidak mungkin berubah, dan karena itu mustahil pula kita melawan dan menghindar. Sebagai muslim kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima pluralisme agama sebagai hukum Tuhan.

Pada kesempatan lain Ulil Abshar mengatakan: “Saya ini terlahir sebagai orang NU. Tetapi saya yakin seyakin-yakinnya bahwa keimanan saya seperti sekarang ini sudah tidak lagi memadai untuk dibungkus dalam sebuah label. Bahkan kalau mau ditarik lebih jauh lagi, keimanan saya bisa berinteraksi dengan keimanan orang-orang dari agama lain; bahkan Islampun sebagai sebuah ‘label sosiologi’ kerapkali tak memadai untuk menampung semangat lintas batas ini “.

Prof.Dr. Abdul Munir Mulkan, dosen UIN Yogyakarta, menulis: “Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri dari banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan, dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama.

Penting diketahui oleh umat Islam, khususnya kalangan lembaga pendidikan Islam, bahwa hampir seluruh LSM dan proyek yang dibiyayai oleh LSM-LSM Barat, seperti The Asia Foundation, Ford Foundation, adalah mereka yang bergerak menyebarkan paham Pluralisme Agama. Ini bisa dilihat dalam artikel-ertikel yang diterbitkan oleh jurnal Tashwirul Afkar yang diterbitkan oleh Lakspedam PBNU (periode lalu) bekerjasama dengan Ford Foundation, dan Jurnal Tanwir yang diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah bekerjasama dengan The Asia Foundation. Mereka tidak menyebarkan paham ini secara asongan tetapi memiliki program yang sistematis untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang saat ini masih mereka anggap belum inklusif-pluralis.

Sebagai contoh, Jurnal Tashwirul Afkar edisi No 11 tahun 2001, menulis laporan utama berjudul “Menuju Pendidikan Islam Pluralis”. Ditulis dalam Jurnal ini: “Filosofi pendidikian Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan baik-benar, yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan”.

Pluralisme dan Pluralitas

Kemajemukan (pluralitas) adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dinafikan. Itu memang benar. Di dalamnya ada kaum pria dan wanita, tua dan muda, yang berkulit hitam dan putih, dengan beragam agama dan kepercayaan. Demikian seterusnya. Akan tetapi, menarik garis lurus, bahwa kemajemukan itu identik dengan pluralisme, tentu merupakan kesalahan, kalau tidak mau dianggap penyesatan. Memang, pluralisme adalah paham yang berangkat dari konteks pluralitas. Akan tetapi, sebagai paham, pluralisme jelas berbeda dengan pluralitas (kemajemukan) itu sendiri.

Dalam konteks pluralitas (kemajemukan), al-Quran bahkan telah menyatakannya dengan jelas, sebagai sebuah keniscayaan : “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.(QS al-Hujurat: 49: 13).

Pluralitas ini tidak hanya terjadi dalam konteks fisik, tetapi juga non-fisik. Banyaknya pandangan, aliran, paham, agama dan ideologi, misalnya, jelas merupakan kenyataan yang tidak dapat dilepaskan dari fenomena pluralitas di atas.

Hanya saja, dalam konteks pluralitas yang pertama, ia umumnya dapat diterima sebagai keniscayaan, seperti apa adanya. Ini berbeda dengan konteks pluralitas yang kedua karena yang terakhir ini melibatkan pandangan, aliran, paham, agama, dan ideologi yang menjadi anutan. Dianut, karena diyakini oleh penganutnya benar. Nah, di sinilah kemudian muncul persoalan seputar klaim kebenaran, yang sering dilontarkan oleh kelompok liberal. Sebab, dalam bayangan mereka, kalau masing-masing penganut paham tersebut mengklaim dirinya benar, dan yang lain salah, pasti akan terjadi pemaksaan kebenaran yang dianutnya kepada orang lain; sesuatu yang – menurut bayangan mereka – akan menyebabkan hilangnya pluralitas dan kebebasan. Karena itu, untuk mencegah terjadinya hal itu, tidak boleh ada klaim kebenaran. Kebenaran harus direlatifkan. Dengan begitu, masing-masing pihak tidak akan merasa terancam dengan pihak lain, yang mengklaim benar. Inilah yang melatarbelakangi lahirnya paham pluralisme, yang intinya menyatakan bahwa semua pandangan, aliran, paham, agama dan ideologi itu sama-sama benar. Mengapa semuanya harus disama-dudukkan dan disama-benarkan? Karena, menurut mereka, hanya dengan cara itulah pandangan, aliran, paham, agama, dan ideologi lain tidak akan saling merasa terancam. Dengan cara seperti itu pula, kehidupan yang plural bisa tetap dipertahankan dalam keharmonisan. Akan tetapi, apa memang demikian?

Paham seperti itu justru utopis. Ia jelas mengingkari kebenaran yang diyakini oleh masing-masing penganut pandangan, aliran, paham, agama dan ideologi yang memang plural tersebut. Sebab, betapapun tolerannya penganut paham tertentu, dia tetap berkeyakinan, bahwa apa yang dianutnya adalah benar. Baginya, kebenaran yang dianutnya itu bukanlah klaim. Karena itu, orang Kristen, Hindu, atau yang lain pasti akan marah, kalau kebenaran yang mereka yakini itu dianggap klaim. Apa lagi kemudian masing-masing disuruh melakukan kompromi, dengan merelatifkan kebenaran yang mereka yakini, itu pasti tidak akan mereka terima. Itulah yang ditunjukkan oleh Magnis Suseno. Karena itu, dengan keras Magnis Suseno menolak pluralisme. Jadi, paham pluralisme dengan gagasan klaim kebenarannya itu jelas utopis, tidak membumi, dan justru bertentangan dengan fitrah keyakinan manusia.

Dalam pandangan Islam, paham Pluralisme Agama ini jelas merupakan paham syirik modern, karena menganggap semua agama adalah benar. Keyakinan akan kebenaran Dinul Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridloi Allah swt, adalah konsep yang sangat mendasar dalam Islam. Iman adalah kata lain dari tashdiq, yakni kepercayaan yang mengakar kuat. Iman tidak mungkin berkumpul menjadi satu dengan keragu-raguan.

Jika seorang muslim tidak boleh meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, dan agama lain adalah salah, maka kita bertanya-tanya, untuk apa ada konsep teologi Islam? Jika seorang tidak yakin dengan kebenaran yang dibawanya – karena semua kebenaran dianggapnya relativ – maka untuk apa ia berdakwah atau berada dalam organisasi dakwah? Untuk apa ia menyeru orang lain mengikuti kebenaran dan menjauhi kemungkaran, sedangkan ia sendiri tidak meyakini apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah. Pada akhirnya, golongan “ragu-ragu” akan “berdakwah” mengajak orang untuk bersikap “ragu-ragu” juga. Mereka sejatinya telah memilih satu jenis “keyakinan” baru, bahwa tidak ada agama yang benar atau semuanya benar.

Liberalisasi Al-Qur’an

Salah satu wacana yang berkembang pesat dalam tema liberalisasi Islam di Indonesia saat ini adalah tema “dekonstruksi Kitab suci”. Di kalangan Yahudi dan Kristen, fenomena ini sudah berkembang pesat. Kajian Biblical Criticism atau studi tentang kritik Bible dan kritik teks Bible telah berkembang pesat di Barat.

Pesatnya studi kritis Bible ini telah mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk “melirik” al-Qur’an dan mengarahkan hal yang sama terhadap al-Qur’an. Pada tahun 1972, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Brimingham Inggris, mengumumkan bahwa, “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.

Hampir satu abad yang lalu, para orientalis dalam bidang studi al-Qur’an bekerja keras untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah kitab bermasalah sebagaimana Bible. Mereka tidak pernah berhasil. Tapi anehnya, kini imbauan itu diikuti oleh banyak sarjana muslim sendiri. Sesuai paham pluralisme agama, maka semua agama harus didudukkan pada posisi yang sejajar, sederajat, tidak boleh ada yang mengklaim lebih tinggi, lebih benar, atau paling benar sendiri. Begitu juga dengan pemahaman tentang Kitab Suci. Tidak boleh ada kelompok yang mengklaim hanya kitab suci agamanya saja yang suci dan benar.

Liberalisasi Islam tidak akan lengkap jika tidak menyentuh aspek kesucian al-Qur’an. Mereka berusaha keras meruntuhkan keyakinan kaum muslim, bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah, bahwa al-Qur’an adalah satu-satunya Kitab Suci yang suci, bebas dari kesalahan. Meraka mengabaikan bukti-bukti al-Qur’an yang menjelaskan tentang otentitas al-Qur’an dan kekeliruan kitab-kitab agama lain.

Ulil Abshar Abdallah, menulis di Harian Jawa Pos, 11 Januari 2004: ”Tapi bagi saya, semua kitab suci adalah mukjizat.” . Taufik Adnan Amal, dosen Ulumul Qur’an di IAIN Makasar, menulis satu makalah berjudul “Edisi Kritis al-Qur’an”, yang isinya menyatakan: “Uraian dalam pragraf-pragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan al-Qur’an, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatau upaya penyuntingan Edisi Kritis al-Qur’an”. Taufik berusaha meyakinkan, bahwa al-Qur’an saat ini masih bermasalah, tidak kritis, sehingga perlu diedit lagi. Dosen itupun menulis sebuah buku serius berjudul ”Rekonstruksi sejarah al-Qur’an” yang meragukan keabsahan dan kesempurnaan Mushaf Utsmani. Penulis buku ini mencoba meyakinkan bahwa Mushaf Utsmani masih bermasalah, dan tidak layak disucikan.

Aktivis Islam Liberal, Dr.Luthfi Assyaukanie juga berusaha membongkar konsep dasar Islam tentang al-Qur’an, dia menulis: ”Sebagian besar kaum muslim meyakini bahwa al-Qur’an dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum muslim juga meyakini bahwa al-Qur’an yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sungguh lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagi bagian dari formulasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan al-Qur’an sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit) dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa”.

Sumanto al-Qurthubhy, alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Semarang berkata: “Al-Qur’an adalah perangkap bangsa Quraisy”. Lebih mengerikan lagi, Sumanto secara terang-terangan menyatakan, bahwa al-Qur’an adalah karangan Muhammad. Dia menulis: “Dengan demikian, wahyu sebetulnya ada dua: “wahyu verbal” (“wahyu eksplisit” dalam bentuk redaksional bikinan Muhammad) dan “wahyu non verbal” (“wahyu implisit” berupa konteks sosial waktu itu).

Nasr Hamid Abu Zaid, tokoh senior liberal, menyatakan bahwa, posisi Nabi Muhammad SAW, sebagai semacam pengarang al-Qur’an. Nabi Muhammad SAW sebagai seorang Ummiy (tidak bisa baca tullis), bukanlah penerima wahyu pasif, tetapi mengolah redaksi al-Qur’an, sesuai dengan kondisinya sebagai manusia biasa, setelah al-Qur’an disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya, maka telah berubah menjadi teks Insani bukan teks Ilahi yang suci dan sakral. Cara yang lebih halus dan tampak akademis dalam menyerang al-Qur’an juga dilakukan dengan mengembangkan studi kritik al-Qur’an dan studi hermeneutika di Perguruan Tinggi Islam. Padahal metode ini jelas berbeda dengan ilmu tafsir dan bersifat dekonstruktif terhadap al-Qur’an dan syari’at Islam.

Liberalisasi Syari’at Islam

Inilah aspek liberalisasi yang paling banyak muncul dan menjadi pembahasan dalam bidang liberalisasi Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah pasti, dibongkar dan dibuat hukum baru yang dianggap sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti disebutkan oleh Dr. Greg Barton, salah satu program liberalisasi Islam di Indonesia adalah “kontekstualisasi ijtihad”. Para tokoh liberal biasanya memang menggunakan metode “kontekstualisasi” sebagai salah satu mekanisme dalam hukum Islam. Salah satu hukum Islam yang banyak dijadikan obyek liberalisasi adalah hukum dalam bidang keluarga, Misalnya, dalam masalah perkawinan antar agama, khususnya antara wanita muslimah dan non muslim.

Di harian Kompas, Senin 18 November 2002, di artikel yang berjudul “Meneyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, Ulil Abshar menulis : “Kita harus bisa membedakan mana ajaran Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak “. Selanjutnya pada dua alinea berikutnya ia melanjutkan: ” Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab misalnya, tidak usah diikuti. Contoh soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab ” . Pada baigian lain dia menulis: “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini perempuan Muslimah dan lelaki non Muslim, sudah tidak relevan lagi “.

Dalam buku Fiqh Lintas agama ditulis: ”Soal pernikahan laki-laki non muslim dengan wanita muslimah merupakan wilayah ijtihad dan terikat konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum Islam lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita muslimah boleh menikah dengan laki-laki non muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.

Nuryamin Aini, dosen Fakultas Syari’ah UIN Jakarta, menulis: “Maka dari itu, kita perlu meruntuhkan mitos fiqh yang mendasari larangan bagi perempuan muslimah untuk menikah dengan laki-laki non muslim. Isu yang paling mendasar dari larangan pernikahan beda agama adalah masalah sosial politik. Hanya saja, ketika yang berkembang kemudian adalah logika agama, maka konteks sosial-politik munculnya larangan pernikahan beda agama itu menjadi tenggelam oleh hegemoni cara berpikir teologis”.

Bahkan lebih dari itu, Dr. Zainun Kamal, dosen UIN Jakarta, kini tercatat sebagai “penghulu swasta” yang menikahkan puluhan bahkan sudah ratusan pasangan beda agama. Apabila hukum-hukum yang pasti sudah dirombak sedemikian rupa, maka terbukalah pintu membongkar seluruh sistem nilai dan hukum dalam Islam. Muhidin M. Dahlan misalnya, aktivis dari IAIN Yogyakarta, pengagum berat Pramudya ini menulis buku memoar berjudul “Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur” . Dia menulis: “Pernikahan yang dikatakan sebagai pembirokrasian seks ini, tak lain tak bukan adalah lembaga yang berisi tong-tong sampah penampung sperma yang secara anarkis telah membelah-belah manusia dengan klaim-klaim yang sangat menyakitkan. Istilah pelacur anak haram pun muncul dari rezim ini. Perempuan yang melakukan seks diluar lembaga ini dengan sangat kejam diposisikan sebagai perempuan yang sangat hina, tuna, lacur, dan tidak pantas menyandang harga diri. Padahal apa bedanya pelacur dengan perempuan yang berstatus sebagai istri ? Posisinya sama. Mereka adalah penikmat dan pelayan seks laki-laki. Seks akan tetap bernama seks meski dilakukan dengan satu atau banyak orang. Tidak, pernikahan adalah konsep aneh, dan menurutku mengerikan untuk bisa kupercaya.”

Dari Fakultas Syari’ah IAIN Semarang, bahkan muncul gerakan legalisasi perkawinan homoseksual. Mereka menerbitkan buku berjudul: Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual. Buku ini adalah kumpulan artikel di jurnal justisia Fakultas Syari’ah IAIN Semarang edisi 25, Th Xl, 2004. dalam buku ini ditulis: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagi sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.”

Dr.Luthfi Assyaukanie, petinggi JIL berkata: “Saya pribadi menganggap bahwa konsep syari’at Islam tidak ada. Itu adalah karangan orang-orang yang datang belakangan yang memiliki idealisasi yang berlebihan terhadap Islam ” .

Penutup

Bahaya ancaman pemikiran liberal saat ini sudah amat sangat menghawatirkan. Lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak luput dari ancaman bahaya ini. Di fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Jati Bandung misalnya, pada hari jum’at 27 September 2004, mahasiswa baru disambut dengan slogan “Selamat bergabung di area bebas Tuhan”. Presiden Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Aqidah Filsafat bahkan mengajak para mahasiswa baru, sambil mengepalkan tangan, berteriak “Kita dzikir bersama! Anjing-hu Akbar!”.

Yang sedikit menggembirakan, salah satu keputusan Muktamar NU ke XXXl di Asrama Haji Donohudan Solo Desember 2004 lalu, telah mengeluarkan tausihiyah (rekomendasi) membasmi wacana liberalisme di tubuh NU, serta menolak metode tafsir Hermeneutika. Isi rekomendasi PBNU itu sendiri pada intinya menghimbau seluruh warga NU agar menolak ide-ide Islam Liberal dengan segala variannya, dan kembali kepada bangunan akidah NU ala Ahlussunnah wal jama’ah.

Wallohul Muwaffiq ila Aqwamit Thoriq.

CONTOH ADAB YANG BAIK KEPADA AHLI BAIT NABI MUHAMMAD SAW.

Imam Syafi’I RA, seorang imam dan pendiri mazhab Syafiiyyah pernah mengutip satu hadis yang redaksinya berbunyi:

وَأيْمُ اللهِ، لَوْ أَنَّ فلانة بِنْتَ فلان سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

“Demi Allah, sekiranya Fulanah binti Fulan mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.”

Orang-orang yang mendengar ucapan itu terkejut serta mempertanyakan keilmuan Imam Syafi’i . “Wahai Imam, mengapa engkau tidak menyebutkan hadis itu seutuhnya sesuai dengan redaksinya? Mengapa engkau tidak ilmiah mengutip hadis tersebut seperti demikian redaksinya?”

وَأيْمُ اللهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

“Demi Allah, sekiranya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.”

Imam Syafi’i mengatakan: “Hadis itu maklum sudah diketahui umum oleh kebanyakan orang. Semua orang pun sudah mengetahui siapa yang kumaksudkan dengan Fulanah binti Fulan?!”

Redaksi hadisnya benar, “Sekiranya Fathimah mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.” Akan tetapi hal itu tidak mungkin aku ucapkan.

Sebab aku menaruh penghormatan yang sangat tinggi terhadap para ahlu bait keluarga Rasulullah SAW . Meskipun hanya mengucapkan redaksi hadis, aku tidak pantas mengatakan, “Fathimah binti Muhammad mencuri”.

Ada dua alasan yang mendasarinya.

Pertama, hal itu tidak mungkin terjadi pada diri ahlu bait Nabi.

 Kedua, ucapan itu wajar saja diucapkan oleh Rasulullah sebagai ayahnya.

Begitulah tingginya adab dan etika yang dicontohkan Imam Muhamamd bin Idris Syafi’i kepada generasi selanjutnya. Beliau benar-benar memuliakan para ahli bait Rasulullah.

Kecintaan serta penghormatan Imam Syafi’i terhadap para ahlu bait Rasulullah sampai-sampai beliau pernah difitnah serta dituduh ikut terlibat gerakan Syi’ah Rafidhah. Namun, tuduhan itu ternyata tidak pernah terbukti.

Imam Syafii menjawab tuduhan fitnah atas kecintaannya terhadap pada para ahli bait Rasulullah itu dengan ungkapan syairnya yang masyhur:

إن كان رافضا حب آل محمد فليشهد الثقلان إني رافضي

“Sekiranya hanya disebabkan mencintai ahli bait Muhammad dikategorikan Rafidhi. Maka saksikanlah dengan kecintaanku pada ahlu bait, maka aku adalah Syiah Rafidhi.”

Hari ini kita akan mendapati orang-orang mengkritik bahkan membantah sikap penghormatan terhadap ahli bait Rasulullah dengan melontarkan ucapan-ucapan agar tidak berlebihan menghormati dan memuliakan ahlu bait Rasulullah, disebabkan ketidakmengertian mereka terhadap siapa yang telah berjasa dalam dakwah Islam ini pertama kalinya hingga ke negeri kita?

Padahal, jika bukan para ahli bait Rasulullah darimana kita mengenal Islam? Berkah dakwah dan perjuangan para ahli bait Rasulullah kita mendapatkan cahaya dan keberkahan Islam, bukan?

Bahkan, perintah untuk mencintai serta memuliakan para ahli bait Rasulullah itu sendiri telah diajarkan oleh Al-Qur’an di dalam Surah Asyura 23:

قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَىٰ ۗ

“…Katakanlah wahai Muhammad, aku tidak meminta balasan kebaikan apa pun pada kalian, melainkan mengasihi keluarga (ku).” (QS Asyura: 23)

Maka, mencintai dan memuliakan ahlu bait Rasulullah sebagai bukti mencintai serta memuliakan datuknya, baginda Rasulullah Al-Musthafa shallalahu ‘alaihi wa sallam.

MENCINTAI (AHLI BAIT NABI) KELUARGA NABI MUHAMMAD SAW.

Dalam kitab: ‘Alimu Awladakum Mahabbata Ahli Baitin Nabiy dijelaskan bahwa yang tergolong ahlul-bait adalah Sayyidatuna Fathimah, Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan dan Sayyinina Husain radhiyallahu ‘anhum. Begitu pula istri-istri Nabi merupakan keluarga Nabi berdasarkan keumuman ayat Al-Qur’an, serta manthuq (arti tersurat) hadits yang menerangkan tentang anjuran membaca shalawat kepada Nabi, istri dan keluarga beliau. Yakni firman Allah SWT

“Nabi itu lebih utama bagi orang mukmin daripada diri mereka sendiri. Dan Istri-istri Nabi adalah ibu mereka.” (QS. al-Ahzab: 6)

 Sedangkan sahabat Nabi adalah orang yang pernah bertemu Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup walaupun sebentar, dalam keadaan beriman dan mati dengan tetap membawa iman. (Al-Asalib al-Badi’ah, hal 457).

Dalam keyakinan kita Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja), mencintai keluarga dan sahabat Nabi SAW, sekaligus memberikan penghormatan khusus kepada mereka merupakan suatu keharusan. Ada beberapa alasan yang mendasari hal tersebut.

Pertama, mereka adalah generasi terbaik Islam, menjadi saksi mata dan pelaku perjuangan Islam. Bersama Rasulullah SAW menegakkan agama Allah SWT di muka bumi. Mengorbankan harta bahkan nyawa untuk kejayaan Islam.

Allah SWT meridhai mereka serta menjanjikan kebahagiaan di surga yang kekal dan abadi Firman Allah SWT:

 وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً

”Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kemu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilanghkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS al-Ahzab: 33)

 وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

”Orang-orang terdahulu lagi yang pertama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS at-Taubah : 100)

Kedua, Rasulullah SAW sangat mencintai keluarga dan sahabatnya. Dalam banyak kesempatan, Rasulullah selalu memuji para keluarga dan sahabatnya, melarang umatnya untuk menghina mereka. Beliau bersabda

 عن أبي سَعِيْد الخُذْرِي قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنَّنِيْ تَارِكٌ فِيْكُمُ الثَّقَلَيْنِ كِتَابَ اللهِ وَعِتْرَتِي أهْلُ بَيْتِيْ. رواه الترمذي

Dari Abi Said al-Khudri ia berkata, Rasululla SAW bersabda, ”Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua wasiat, Kitabullah Al-Qur’an dan keluargaku.” (HR at-Tirmidzi)

 عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لَا تَسُبُّوْا أصْحَابِي لَا تَسُبُّوْا أصْحَابِي فَوَ الّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أنَّ أحَدَكُمْ أنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أدْرَكَ مُدَّ أحَدِهِمْ وَلَا تَصِيْفَه.ُ رواه مسلم

Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabat, janganlah kalian mencaci sahabatku! Demi Dzat Yang Menguasaiku, andaikata salah satu diantara kalian menafkahkan emas sebesar gunung Uhud, maka (pahala nafkah itu) tidak akan menyamai (pahala) satu mud atau setengahnya dari (nafkah) mereka.” (HR Muslim).

Dari sinilah, mencintai keluarga dan sahabat Nabi adalah mengikuti teladan Rasulullah SAW yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari mencintai Nabi SAW. Ketiga, tuntunan dan teladan ini juga diberikan oleh keluarga dan sahabat Rasul sendiri. Di antara mereka terdapat rasa cinta yang mendalam, antara satu dengan lainnya saling menghargai dan menghormati.

Hal ini dibuktikan dari ungkapan-ungkapan mereka:

1. Dari Aisyah RA, Abu Bakar berkata, “Sungguh kerabat Rasulullah SAW lebih aku cintai daripada kerabatku sendiri.” (HR. al-Bukhari)

2. Dari Ibnu Umar RA dari Abi Bakar RA, beliau berkata, “Perhatikanlah Nabi Muhammad SAW pada ahlul-baitnya.” (HR al-Bukhari).

3. Dari Wahab al-Suwa’i, ia berkata, “Sayyidina Ali pernah berkhutbah kepada kami. Beliau bertanya , ‘Siapa orang yang paling mulia setelah Nabi Muhammad SAW?’ Aku menjawab, ‘Engkau wahai Amirul Mukminin.’ Sayyidina Ali berkomentar, ‘Tidak, hamba yang paling mulia setelah nabi-Nya adalah Abu Bakar, kemudian Umar.'” (As-Syafi Juz II hal 428).

4. Ketika sahabat Umar dimandikan dan dikafani Sayyidina Ali masuk, lalu berkata, “Tidak ada di atas bumi ini seorangpun yang lebih aku sukai untuk bertemu Allah SWT dengan membawa buku catatan selain dari yang terbentang di tengah-tengah kalian ini (yakni jenazah Sayyidina Umar). ” (Ma’ani al-Akhbar, hal 117)

5. Dari 33 putra Sayyidina Ali tiga di antaranya diberi nama Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Dari 14 putra Sayyidina Hasan dua dua di antaranya diberi nama Abu Bakar dan Umar, dan di antara 9 putra Sayyidina Husain dua di antaranya diberi nama Abu Bakar dan Umar. Pemberian nama ini tentu soja dipilih dari nama orang-orang yang metjadi idolanya, dan tidak mungkin diambil dari nama musuhnya. (Al-Hujaj al-Qathiyyah, hal 195).

6. Bagi Ahlussunnah Sayyidina Ali adalah seorang imam yang mulia dan harus dijadikan panutan. Sayyidina Ali adalah seorang pemberani dan sekali-kali bukanlah seorang pengecut Sebagai pemimpin pasukan, di antara sekian banyak peperanngan yang dilakukan pada zaman Rasul SAW, beliau selalu menjadi pahlawan yang tak terkalahkan. Karena itu tidak mungkin beliau bersikap penakut dan pura-pura atau taqiyah apalagi mengajarkannya.

lnilah beberapa alasan yang melandasi keharusan mencintai keluarga dan sahabat Nabi SAW. Sudah tentu kecintaan dan penghormatan yang diberikan adalah secara berimbang. Tetap berpedoman pada prinsip tawassuth, tawazun dan i’tidal, jauh dari fanatisme buta.

KH Muhyiddin Abdusshomad Pengasuh Pondok Pesantren Nuris, penulis kitab Al-Hujaj al-Qatiyyah fi Shihhatil Mu’taqidat wal ‘Amaliyyat an-Nahdliyyah,

HATI-HATI DENGAN KITAB KUNING! PENGHINANYA BISA KAFIR

Harap berhati-hati ya dalam melakukan atau mengatakan sesuatu, terlebih dalam urusan agama, karena Menghina ilmu syare’at termasuk juga menghina kitab fiqih bisa menyebabkan pelakunya menjadi kafir.

Mbah Nawawi Banten dalam kitabnya berkata bahwa termasuk diantara penyebab seseorang menjadi kafir adalah jika ada seorang mufti alim memberikan sebuah fatwa suatu hukum tanpa memaksakannya, lalu orang yg diberi fatwa berkata : ” Syare’at apa ini ?” dengan perkataan itu dia bermaksud merendahkan syareat.

Keterangan yang sama dari Syeh Muhammad bin Salim Babashol, Jika ada orang minta fatwa kepada orang alim lalu mendapatkan fatwa yg tidak sesuai dengan kehedaknya, kemudian dia buang fatwa tsb sambil berkata : ” syare’at apa ini ?” maka dia kufur jika bertujuan menghina syare’at.

Mula ‘Ali Al Qori menukil sebuah kisah dari kitab Al Muhith bahwa ada seorang alim ilmu fiqih meletakkan kitabnya pada sebuah toko lalu dia pergi.

Kemudian dia melewati toko itu lagi, pemilik toko berkata : “Di sini engkau melupakan GERGAJImu “

Alim ahli fiqih berkata : “Yang tertinggal ditempatmu bukan gergaji, tapi kitab fiqh.”

Pemilik toko berkata : “Tukang kayu memotong kayu dengan gergaji, sedangkan kalian memotong leher manusia dengan kitab fiqih.”

Dalam riwayat lain : “Memotong hak manusia.”

Setelah itu, Alim ahli fiqih itu mengadukan hal itu kepada Imam Al Fudloli yaitu Syeh Muhammad bin Al Fadl, maka Imam Fudloli memerintahkan utk menghukum mati pemilik toko itu karena dia telah kufur sebab menghina kitab-kitab fiqih.

Wallohu a’lam.

Kitab Mirqot Su’udit Tashdiq hal. 12 :

او اعطاه عالم فتوي اي بيان الحكم من غير الزام فقال ايش اصله اي شئ هذا الشرع مريدا بذالك القول الاستخفاف اي التحقير للشرع

Kitab Is’adur Rofiq (1/58) :

او اعطاه عالم فتوي في سؤال استفتاه فيه فقال لكون لم تطابقه اي شئ هذا الشرع ورماها قال في الاعلام وهو ظاهر ان كان مريدا بذالك الاستخفاف بالشرع

Kitab Al ‘Ilam Biqowati’il Islam hal. 133 :

ومنها: لو ألقى فتوى أعطاها له خصمه وقال: أي شيء هذا الشرع كفر وهو ظاهر إن أراد الاستخفاف، ويحتمل الإطلاق لأن قرينة رميها تدل على الاستخفاف

Kitab syarah Fiqih Akbar hal. 289 :

ذكر أن فقيهاً وضع كتابه في دكان وذهب، ثم مر على ذلك الدكان، فقال صاحب الدكان: ههنا نسيت المنشار، فقال الفقيه عندك كتاب لا منشار، فقال صاحب الدكان: النجار بالمنشار يقطع الخشب، وأنتم تقطعون به حلق الناس، أو قال حق الناس، فشكى الفقيه إلى الإمام الفضلي يعني الشيخ محمد بن الفضل، فأمر بقتل ذلك الرجل؛ لأنه كفر باستخفاف كتب الفقه

وفي التتمة : من اهان الشريعة او المسائل التي لا بد منها كفر ومن ضحك من المتيمم كفر

2 Hari Menjelang Maulid Nabi SAW. : BERBAHAGIA DENGAN LAHIRNYA ROSULULLOH SAW.

Peringatan maulid Nabi Muhammad SAW adalah acara rutin yang dilaksanakan oleh mayoritas kaum muslimin untuk mengingat, mengahayati dan memuliakan kelahiran Rasulullah. Menurut catatan Sayyid al-Bakri, pelopor pertama kegiatan maulid adalah al-Mudzhaffar Abu Sa`id, seorang raja di daerah Irbil, Baghdad. Peringatan maulid pada saat itu dilakukan oleh masyarakat dari berbagai kalangan dengan berkumpul di suatu tempat. Mereka bersama-sama membaca ayat-ayat Al-Qur’an, membaca sejarah ringkas kehidupan dan perjuangan Rasulullah, melantuntan shalawat dan syair-syair kepada Rasulullah serta diisi pula dengan ceramah agama. [al-Bakri bin Muhammad Syatho, I`anah at-Thalibin, Juz II, hal 364]

Peringatan maulid Nabi seperti gambaran di atas tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah maupun sahabat. Karena alasan inilah, sebagian kaum muslimin tidak mau merayakan maulid Nabi, bahkan mengklaim bid`ah pelaku perayaan maulid. Menurut kelompok ini seandainya perayaan maulid memang termasuk amal shaleh yang dianjurkan agama, mestinya generasi salaf lebih peka, mengerti dan juga menyelenggarakannya. [Ibn Taimiyah, Fatawa Kubra, Juz IV, hal 414].

Oleh karena itulah, penting kiranya untuk memperjelas hakikat perayaan maulid, dalil-dalil yang membolehkan dan tanggapan terhadap yang membid`ahkan. Bukan Bid`ah yang Dilarang Telah banyak terjadi kesalahan dalam memahami hadits Nabi tentang masalah bid`ah dengan mengatakan bahwa setiap perbuatan yang belum pernah dilakukan pada masa Rasulullah adalah perbuatan bid`ah yang sesat dan pelakunya akan dimasukkan ke dalam neraka dengan berlandaskan pada hadist berikut ini,

وإيَّاكم ومحدثات الأمور؛ فإنَّ كلَّ محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة

Artinya: Berhati-hatilah kalian dari sesuatu yang baru, karena setiap hal yang baru adalah bid`ah dan setipa bid`ah adalah sesat”. [HR. Ahmad No 17184].

Pemahaman Hadits ini bisa salah apabila tidak dikaitkan dengan Hadits yang lain, yaitu,

 من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

Artinya:Siapa saja yang membuat sesuatu yang baru dalam masalah kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka dia ditolak. [HR al-Bukhori No 2697]

Ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan أمرنا dalam hadits di atas adalah urusan agama, bukan urusan duniawi, karena kreasi dalam masalah dunia diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat. Sedangkan kreasi apapun dalam masalah agama adalah tidak diperbolehkan. [Yusuf al-Qaradhawi, Bid`ah dalam Agama, hal 177]

 Dengan demikian, maka makna hadits di atas adalah sebagai berikut, “Barang siapa berkereasi dengan memasukkan sesuatu yang sesungguhnya bukan agama, lalu diagamakan, maka sesuatu itu merupakan hal yang ditolak”

Dapat dipahami bahwa bid`ah yang dhalalah (sesat) dan yang mardudah (yang tertolak) adalah bid`ah diniyah. Namun banyak orang yang tidak bisa membedakan antara amaliyah keagamaan dan instrumen keagamaan. Sama halnya dengan orang yang tidak memahami format dan isi, sarana dan tujuan. Akibat ketidakpahamannya, maka dikatakan bahwa perayaan maulid Nabi sesat, membaca Al-Qur’an bersama-sama sesat dan seterusnya. Padahal perayaan maulid hanyalah merupakan format, sedangkan hakikatnya adalah bershalawat, membaca sejarah perjuangan Rasulullah, melantunkan ayat Al-Qur’an, berdoa bersama dan kadang diisi dengan ceramah agama yang mana perbuatan-perbuatan semacam ini sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an maupun Hadits.

Dan lafadz كل pada hadits tentang bid`ah di atas adalah lafadz umum yang ditakhsis. Dalam Al-Qur’an juga ditemukan beberapa lafadz كل yang keumumannya di takhsis. Salah satu contohnya adalah ayat 30 Surat al-Anbiya`:

 وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَي

Artinya: Dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air. (QS al-Anbiya’: 30)

Kata segala sesuatu pada ayat ini tidak dapat diartikan bahwa semua benda yang ada di dunia ini tecipta dari air, tetapi harus diartikan sebagian benda yang ada di bumi ini tercipta dari air. Sebab ada benda-benda lain yang diciptakan tidak dari air, namun dari api, sebagaimana firman Allah dalam Surat ar-Rahman ayat 15:

 وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَار

Artinya: Dan Allah menciptakan jin dari percikan api yang menyala.

Oleh karena itulah, tidak semua bid`ah dihukumi sesat dan pelakunya masuk neraka. Bid`ah yang sesat adalah bid`ah diniyah, yaitu meng-agamakan sesuatu yang bukan agama. Adapun perayaan maulid Nabi tidaklah termasuk bid`ah yang sesat dan dilarang karena yang baru hanyalah format dan instrumennya.

Berkenaan dengan hukum perayaan maulid, As-Suyuthi dalam al-Hawi lil Fatawi menyebutkan redaksi sebagai berikut:

 أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً” وَقَالَ: “وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ

 “Hukum Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawannya, jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid’ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih)”.

Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani, mengatakan:

 وَالْحَاصِلُ اَنّ الْاِجْتِمَاعَ لِاَجْلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ اَمْرٌ عَادِيٌّ وَلَكِنَّهُ مِنَ الْعَادَاتِ الْخَيْرَةِ الصَّالِحَةِ الَّتِي تَشْتَمِلُ عَلَي مَنَافِعَ كَثِيْرَةٍ وَفَوَائِدَ تَعُوْدُ عَلَي النَّاسِ بِفَضْلٍ وَفِيْرٍ لِاَنَّهَا مَطْلُوْبَةٌ شَرْعًا بِاَفْرِادِهَا

 Artinya: Bahwa sesungguhnya mengadakan Maulid Nabi Saw merupakan suatu tradisi dari tradisi-tradisi yang baik, yang mengandung banyak manfaat dan faidah yang kembali kepada manusia, sebab adanya karunia yang besar. Oleh karena itu dianjurkan dalam syara’ dengan serangkaian pelaksanaannya. [Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Mafahim Yajibu An-Tushahha, hal. 340]

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perayaan maulid Nabi hanya formatnya yang baru, sedangkan isinya merupakan ibadah-ibadah yang telah diatur dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Oleh karena itulah, banyak ulama yang mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi adalah bid`ah hasanah dan pelakunya mendapatkan pahala.

Dalil-dalil Syar`i Perayaan Maulid Nabi Di antara dalil perayaan maulid Nabi Muhammad menurut sebagian Ulama` adalah firman Allah:

 قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Artinya: “Katakanlah, dengan anugerah Allah dan rahmatNya (Nabi Muhammad Saw) hendaklah mereka menyambut dengan senang gembira.” (QS.Yunus: 58)

Ayat ini menganjurkan kepada umat Islam agar menyambut gembira anugerah dan rahmat Allah. Terjadi perbedaan pendapat diantara ulama dalam menafsiri الفضل dan الرحمة . Ada yang menafsiri kedua lafadz itu dengan Al-Qur’an dan ada pula yang memberikan penafsiran yang berbeda.

Abu Syaikh meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA bahwa yang dimaksud dengan الفضل adalah ilmu, sedangkan الرحمة adalah Nabi Muhammad SAW.

Pendapat yang masyhur yang menerangkan arti الرحمة dengan Nabi SAW ialah karena adanya isyarat firman Allah SWT yaitu, وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ Artinya: “Kami tidak mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Ambiya’:107).”[Abil Fadhol Syihabuddin Al-Alusy, Ruhul Ma’ani, Juz 11, hal. 186]

Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani Bergembira dengan adanya Nabi Muhammad SAW ialah dianjurkan berdasarkan firman Allah SWT pada surat Yunus ayat 58 di atas. [Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Ikhraj wa Ta’liq Fi Mukhtashar Sirah An-Nabawiyah, hal 6-7]

Dalam kitab Fathul Bari karangan al- Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani diceritakan bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan siksa tiap hari senin karena dia gembira atas kelahiran Rasulullah. Ini membuktikan bahwa bergembira dengan kelahiran Rasulullah memberikan manfaat yang sangat besar, bahkan orang kafirpun dapat merasakannya. [Ibnu hajar, Fathul Bari, Juz 11, hal 431]

Riwayat senada juga ditulis dalam beberapa kitab hadits di antaranya Shohih Bukhori, Sunan Baihaqi al-Kubra dan Syi`bul Iman. [Maktabah Syamilah, Shahih Bukhari, Juz 7, hal 9, Sunan Baihaqi al-Kubra, Juz 7, hal 9, Syi`bul Iman, Juz 1, hal 443].

DIPERBOLEHKANYA PINDAH MADZHAB DAN SYARAT-SYARAT YANG HARUS DI PENUHI

Bagaimana hukum mengikuti pendapat selain yang kita ikuti, semisal kita ikut madzhab imam syafi’i,, terus kita mau ikut pendapat imam malik, apakah boleh, apa ada syarat-syaratnya?

JAWABAN:

Pertama tama kita harus tahu, mana madzhab yang boleh kita ikuti, yaitu ada 4, tidak lebih, tidak kurang, Syafi’I, hanafi, hanbali, maliki.

Karena hanya 4 inilah yang sanad ilmu nya jelas sampai kepada mereka (imam 4), yang betul2 tertulis rapi hasil ijtihad mereka.

Berbeda dengan madhab selain imam 4, seperti adhohiri, sufyan atsauri, dan lain2, disamping madzhab mereka tidak tertulis, madzhab mrk sanadnya juga tidak teratur (bahasa jawa: kocar kacir).

مسألة: ش): نقل ابن الصلاح الإجماع على أنه لا يجوز تقليد غير الأئمة الأربعة، أي حتى العمل لنفسه فضلاً عن القضاء والفتوى، لعدم الثقة بنسبتها لأربابها بأسانيد تمنع التحريف والتبديل

Dan tidak boleh bagi pengikut salah satu dari mereka (muqollid) untuk lagsung mengamalkan begitu saja, akan tetapi hanya boleh mengamalkan yang dikatakan oleh imam madzhabnya terakhir kali, (ijtihad pertama dan ijtihad keduanya berbeda, maka yang kedua yang dipakai), jika dia tau, pendapat mana yang akhir.

jika tidak tau, maka harus membahas ushul2 nya, jika dia mampu untuk berijtihad, (akan tetapi sdh terputus pintu lowongan untuk berijtihad, sudah lebih dari 400 tahun yang lalu terputusnya).

jika dia tidak mampu untuk berijtihad, maka dia mengamalkan pendapat yang sudah diperkuat oleh ahlinya (mujtahid tarjih), kalau syafi’iyyah seperti imam nawawi dan imam rofi’i.

Kalau tidak ada, maka berhenti dulu, harus membahas, mana pendapat yang kuat dan mana yang lemah, dengan cara melihat jumlah terbanyak yang berpendapat, kemudian yang paling hebat ilmunya, kemudian yang paling waro’ diantara yang lainnya.

ولا يجوز للمقلد لأحد من الأئمة الأربعة أن يعمل أو يفتي في المسألة ذات القولين أو الوجهين بما شاء منهما، بل بالمتأخر من القولين إن علم، لأنه في حكم الناسخ منهما، فإن لم يعلم فبما رجحه إمامه، فإن لم يعلمه بحث عن أصوله إن كان ذا اجتهاد، وإلا عمل بما نقله بعض أئمة الترجيح إن وجد وإلا توقف، ولا نظر في الأوجه إلى تقدم أو تأخر، بل يجب البحث عن الراجح، والمنصوص عليه مقدم على المخرج ما لم يخرج عن نص آخر، كما يقدم ما عليه الأكثر ثم الأعلم ثم الأورع، فإن لم يجد اعتبر أوصاف ناقلي القولين، ومن أفتى بكل قول أو وجه من غير نظر إلى ترجيح فهو جاهل خارق للإجماع، والمعتمد جواز العمل بذلك للمتبحر المتأهل للمشقة التي لا تحتمل عادة، بشرط أن لا يتتبع الرخص في المذاهب بأن يأخذ منها بالأهون بل يفسق بذلك، وأن لا يجتمع على بطلانه إماماه الأوَّل والثاني اهـ

Ibaroh fatawa bilfaqih menyatakan: Bahwa sangat sulit sekarang untuk mengikuti madzhab lain (taqlid), khususnya bagi orang awam, selama mereka tidak kumpul sama para ulama’.

Karena kalau mau taqlid harus menyempurnakan syarat2 nya yang 5:

  1. Mengetahui permasalahan dlm madzhab yang akan diikuti, dengan seluruh syarat2nya dalam madzhab tersebut.
  2. Dan hendaknya pendapat yang diikuti bukanlah termasuk dari pendapat yg mana qodhi/hakim bakal membatalkan pendapat tersebut (yaitu yang menyalahi ijma’, qowa’id, & qiyas jaliy).
  3.  Hendaknya tidak mencari cari yang gampang aja (rukhsoh), dengan sekiranya dia mengambil yang paling gampang pada masalah A dalam madzhab syafi’I & mengambil yang paling gampang juga pada madzhab B, lalu digabungkan,, contoh: para mujtahid ada perbedaan pendapat dalam masalah membayar dam (denda) hajji, *1*ada yang menyatakan wajib disembelih (denda kambingnya) di makkah, dan wajib dibagikan disana juga,, *2*ada juga yang menyatakan disembelihnya harus dimakkah, tapi pembagiannya tidak apa apa diluar makkah,, *3*ada lagi yang menyatakan pembagiannya harus dimakkah, tapi penyembelihannya tidak harus dimakkah,,, kemudiaannn…… ada org pasuruan mau ngikutin pendapat *2* yang mana boleh membagikan di luar makkah, kemudian dia juga ikutan pendapat yang *3*, yaitu bolehnya menyembelih diluar makkah, alias menggabungkan kedua pendapat tersebut,,, maka perbuatan taqlid seperti ini tidak dibenarkan, bahkan bisa menjadi fasiq pelakunya… (disebut: tatabbu’ur rukhos).
  4. Hendaknya dia tdk melakukan “talfiq” alias mencapur adukkan antara dua pendapat, yg mana bisa menyebabkan imam A menyatakan tdk sah, n imam B jg menyatakan tdk sah,, contoh: wudhu’ gg pake menggosok anggota wudhu’nya mengikuti pendapat syafi’I, kemudian menyentuh istrinya dgn tanpa syahwat, mengikuti malik,, maka gg sah solatnya dia,, karna dia sdh melkukan talfiq, karna imam syafi’I menyatakan gg sah, karna menyentuh perempuan buukan mahrom (walaupun tanpa syahwat), dan imam malik menyatakan tdk sah pula, karna dlm wuhu’nya gg menggosok anggota wudhu’nya.
  5. Dalam satu permasalahan tidak mengikuti pendapat imam A, kemudian mengamalkan sebaliknya,, contoh: dalam madzhab hanafi syuf’ah al jiwar tu diperbolehkan, misalkan si A dan si B bertetangga, kemudian si B menjual rumahnya ke si C,, maka menurut madzhab hanafi, boleh bagi si A untuk membeli paksa rumah si B yang sudah dijual ke si C,, karena dalam madzhab hanafi hal tersebut adalah termasuk hak yang berhubungan dengan tetangga,,tapi menurut madzhab syafi’i hal tersebut tidak dibenarkan,,nah,, kemudian si A setelah membeli paksa rumah yang telah di beli oleh si C, dijual kembali ke si D,, kemudian ada si E termasuk tetangga si A mau membeli paksa rumah si D karena mengikuti pendapat hanafi,, kemudian si A tidak mau dengan beralasan sudah pindah mengikuti pendapat syafi’i yang tidak memperbolehkan hal tersebut,,maka hal ini tidak boleh,, dan bagi si E boleh membeli paksa rumah si D,, karena pada awalnya si A mengikuti pendapat hanafi, maka tidak boleh mengamalkan sebaliknya,,

Wollohu a’lam …

. وعبارة ب تقليد مذهب الغير يصعب على علماء الوقت فضلاً عن عوامهم خصوصاً ما لم يخالط علماء ذلك المذهب، إذ لا بد من استيفاء شروطه، وهي كما في التحفة وغيرها خمسة: علمه بالمسألة على مذهب من يقلده بسائر شروطها ومعتبراتها. وأن لا يكون المقلد فيه مما ينقض قضاء القاضي به، وهو ما خالف النص أو الإجماع أو القواعد أو القياس الجلي. وأن لا يتتبع الرخص بأن يأخذ من كل مذهب ما هو الأهون عليه. وأن لا يلفق بين قولين تتولد منهما حقيقة لا يقول بها كل من القائلين كأن توضأ ولم يدلك تقليداً للشافعي، ومس بلا شهوة تقليداً لمالك ثم صلى فصلاته حينئذ باطلة باتفاقهما. وأن لا يعمل بقول إمام في المسألة ثم يعمل بضده

الاستذكار – (ج 4 / ص 389)

وجائز عند مالك في الهدي إذا نحر في الحرم أن يعطاه غير أهل الحرم لأن البغية فيه إطعام المساكين

ولم يختلفوا أن الصوم جائز أن يؤتى به في غير الحرم

وقال أبو حنيفة والشافعي الدم والإطعام لا يجزئ إلا بمكة والصوم حيث شاء لأنه لا منفعة في الصوم لجيران بيت الله من أهل مكة والحرم

وهو قول طاوس

وقال عطاء ما كان من دم فبمكة وما كان من إطعام أو صيام فحيث شاء

وعن أبي حنيفة وأصحابه مثله

ولم يختلف قول الشافعي أن الدم والإطعام لا يجزئ إلا لمساكين الحرم

HADITS HARUS DI MAKNAI DENGAN TA’WIL ULAMA JANGAN ATAS INISIATIF SENDIRI

Ada tiga pertanyaan :

1. Apakah semua hadits butuh syarah/penjelasan dan tidak bisa hanya diambil dhohir lafadznya saja?

2. Bagaimanakah hukumnya seseorang yg menjelaskan sebuah hadits hanya berdasarkan akal dan perasaannya dan hadist tersebut ia jadikan untuk mendukung opininya tentang suatu hal?

3. Apakah batal jika saat puasa kita membersihkan telinga, saya pernah dengar kalau pada saat puasa tidak boleh memasukkan sesuatu ke dalam lubang tubuh ?

Tidaklah semua orang bisa mengartikan hadits, karena untuk mengartikannya membutuhkan disiplin ilmu bahasa arab dan gramatikalnya (ilmu nahwu), ilmu tentang nasikh dan mansukh nya hadits serta mustolah hadits dan lain-lain. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan untuk menafsirkan hadits sebelum mengetahui beberapa fan ilmu di atas. Namun haruslah berpegangan pada tafsiran para ulama’ yang kompeten dalam ilmunya, yaitu menggunakan kitab syarh mereka bukan dengan menggunakan akal pikiran sendiri. Karena memungkunkan hadits itu ternyata mansukh dengan hadits lain yang lebih akhir, atau tidak sesuai dengan maksud yang disampaikan oleh Nabi. Padahal Rasulullah SAW bersabda :

من كذب علي متعمداً فليتبوأ مقعده من النار

“ Barang siapa secara sengaja mendustakan atasku, maka dia telah mempersiapkan tempatnya di neraka “

Sebagai contoh : Hadits Nabi SAW :

عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Diriwayatkan dari sahabat Anas, bahwa Nabi SAW bersabda “ Tidaklah beriman salah satu diantara kalian sehingga menyukai kebaikan bagi saudaranya apa yang dia suka bagi dirinya sendiri “

Jika kita pandang dari makna dhohir hadits saja, kita akan menganggap banyak orang menjadi kafir karena tidak menyukai untuk saudaranya apa yang dia suka untuk dirinya sendiri. Padahal itu sangatlah sulit bagi setiap orang mukmin, karena secara tabiat orang lebih menyukai untuk dirinya sendiri daripada untuk saudaranya. Adapun menurut para ulama’ maksud dari hadits tersebut adalah nafyul kamal (meniadakan kesempurnaan keimanan), artinya : Tidaklah sempurna keimanan seseorang hingga dia menyukai kebaikan bagi saudaranya apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri.

Demikian juga dengan hadits Nabi SAW :

لا صلاة لجار المسجد إلا في المسجد

“ Tidak ada shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid ”

Dhohir arti hadits terebut shalat tetangga masjid yang dilakukan di rumah tidak sah. Sedangkan menurut para ulama’ maksud hadits tersebut adalah nafyul kamal (meniadakan kesempurnaan) : Artinya tidaklah sempurna shalat tetangga masjid kecuali dilakukan di masjid.

Hadits lain Nabi SAW bersabda :

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِن بِاَللَّهِ وَالْيَوْم الْآخِر فَلْيُكْرِمْ ضَيْفه

“ Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya memuliakan tamunya “

Dhohir arti hadits tersebut adalah orang yang tidak memuliakan tamunya atau bahkan mengusir tamunya dihukumi kafir. Padahal bukanlah demikian, karena yang dimaksud hadits tersebut sebagaimana keterangan ulama’ adalah alkamal (kesempurnaan iman). Artinya orang yang memuliakan tamu adalah orang yang sempurna keimanannya.

Dan masih banyak sekali hadits-hadits lain semisal hadits di atas yang tidak bisa kami sebutkan yang intinya kita tidak bisa hanya mengambil dari dhohir makna hadits tapi harus lebih dicermati lagi. Oleh karena itu wajib bagi kita yang belum kompeten dalam keilmuannya untuk berpegangan pada tafsiran para ulama’.

Adapun membersihkan telinga bagi orang yang sedang puasa, jika sampai pada bagian dalam telinga (batin telinga), menurut pendapat yang kuat membatalkan puasa jika dilakukan dalam keadaan sengaja dan ingat. Namun menurut pendapat yang lemah dan pendapat Imam al-Ghozali tidak membatalkan karena telinga bukan termasuk lubang yang tembus ke bagian dalam tubuh.

Referensi:

مقدمة ابن الصلاح – (ج 1 / ص 47)

عن أبي داود السنجي قال: سمعت الأصمعي يقول: أن أخوف ما أخاف على طلاب العلم، إذا لم يعرف النحو: أن يدخل في جملة قول النبي صلى الله عليه وسلم: ” من كذب علي فليتبوأ مقعدء من النار ” لأنه صلى الله عليه وسلم لم يكن يلحن، فمهما رويت عنه ولحنت فيه كذبت عليه.  قلت: فحق على طالب الحديث أن يتعلم من النحو واللغة ما يتخلص به من شين اللحن والتحريف ومعرتهما. روينا عن شعبة قال: من طلب الحديث ولم يبصر العربية فمثله مثل رجل عليه رجل برنس ليس له رأس،أوكما قال. عن حماد بن سلمة قال: مثل الذي يطلب الحديث و لايعرف النحو مثل الحمار عليه مخلاة لا شعير فيها. وأما التصحيف: فسبيل السلامة منه الأخذ من أفواه أهل العلم والضبط، فإن من حرم ذلك: و كان أخذه وتعلمه من بطون الكتب، كان من شأنه التحريف، ولم يفلت من التبديل والتصحيف، والله أعلم

الباعث الحثيث في اختصار علوم الحديث – (ج 1 / ص 19)

“ فرع آخر ” : ينبغي لطالب الحديث أن يكون عارفاً بالعربية. قال الأصمعي: ” أخشى عليه إذا لم يعرف العربية أن يدخل في قوله: ” من كذب علي متعمداً فليتبوأ مقعده من النار ” ، فإن النبي صلى الله عليه وسلم لم يكن يلحن ” فمهما رويت عنه ولحنت فيه كذبت عليه ” .وأما التصحيف، فدواؤه أن يتلقاه من أفواه المشايخ الضابطين. والله الموفق

شرح النووي على مسلم – (ج 1 / ص 126(

– قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( لَا يُؤْمِن أَحَدكُمْ حَتَّى يُحِبّ لِأَخِيهِ أَوْ قَالَ لِجَارِهِ مَا يُحِبّ لِنَفْسِهِ )

هَكَذَا هُوَ فِي مُسْلِم لِأَخِيهِ أَوْ لِجَارِهِ عَلَى الشَّكِّ ، وَكَذَا هُوَ فِي مُسْنَد عَبْد بْن حُمَيْدٍ عَلَى الشَّكِّ ، وَهُوَ فِي الْبُخَارِيِّ وَغَيْره ( لِأَخِيهِ ) مِنْ غَيْر شَكٍّ ، قَالَ الْعُلَمَاء رَحِمَهُمْ اللَّه : مَعْنَاهُ لَا يُؤْمِن الْإِيمَان التَّامّ ، وَإِلَّا فَأَصْلُ الْإِيمَان يَحْصُل لِمَنْ لَمْ يَكُنْ بِهَذِهِ الصِّفَة . وَالْمُرَاد يُحِبّ لِأَخِيهِ مِنْ الطَّاعَات وَالْأَشْيَاء الْمُبَاحَات وَيَدُلّ عَلَيْهِ مَا جَاءَ فِي رِوَايَة النَّسَائِيِّ فِي هَذَا الْحَدِيث ” حَتَّى يُحِبّ لِأَخِيهِ مِنْ الْخَيْر مَا يُحِبّ لِنَفْسِهِ ” قَالَ الشَّيْخ أَبُو عَمْرو بْن الصَّلَاح : وَهَذَا قَدْ يُعَدُّ مِنْ الصَّعْب الْمُمْتَنِع ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ ، إِذْ مَعْنَاهُ لَا يَكْمُل إِيمَان أَحَدكُمْ حَتَّى يُحِبّ لِأَخِيهِ فِي الْإِسْلَام مِثْل مَا يُحِبّ لِنَفْسِهِ ، وَالْقِيَام بِذَلِكَ يَحْصُل بِأَنْ يُحِبّ لَهُ حُصُول مِثْل ذَلِكَ مِنْ جِهَةٍ لَا يُزَاحِمهُ فِيهَا ، بِحَيْثُ لَا تَنْقُص النِّعْمَة عَلَى أَخِيهِ شَيْئًا مِنْ النِّعْمَة عَلَيْهِ ، وَذَلِكَ سَهْل عَلَى الْقَلْب السَّلِيم ، إِنَّمَا يَعْسُرُ عَلَى الْقَلْب الدَّغِل . عَافَانَا اللَّه وَإِخْوَانَنَا أَجْمَعِينَ . وَاَللَّه أَعْلَم

مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج  – (ج 5 / ص 202)

( وَالتَّقْطِيرُ فِي بَاطِنِ الْأُذُنِ ) وَإِنْ لَمْ يَصِلْ إلَى الدِّمَاغِ ( وَ ) بَاطِنِ ( الْإِحْلِيلِ ) وَهُوَ مَخْرَجُ الْبَوْلِ مِنْ الذَّكَرِ وَاللَّبَنِ مِنْ الثَّدْيِ وَإِنْ لَمْ يَصِلْ إلَى الْمَثَانَةِ وَلَمْ يُجَاوِزْ الْحَشَفَةَ أَوْ الْحَلَمَةَ ( مُفْطِرٌ فِي الْأَصَحِّ ) بِنَاءً عَلَى الْوَجْهِ الْأَوَّلِ ، وَهُوَ اعْتِبَارُ كُلِّ مَا يُسَمَّى جَوْفًا ، وَالثَّانِي : لَا ، بِنَاءً عَلَى مُقَابِلِهِ إذْ لَيْسَ فِيهِ قُوَّةُ الْإِحَالَةِ ، وَأُلْحِقَ بِالْجَوْفِ عَلَى الْأَوَّلِ الْحَلْقُ .قَالَ الْإِمَامُ : وَمُجَاوَزَةُ الْحُلْقُومِ ، وَيَنْبَغِي الِاحْتِرَازُ حَالَةَ الِاسْتِنْجَاءِ فَإِنَّهُ لَوْ أَدْخَلَ طَرَفَ أُصْبُعِهِ دُبُرَهُ بَطَلَ صَوْمُهُ ، وَكَذَا حُكْمُ فَرْجِ الْمَرْأَةِ وَلَوْ طَعَنَ نَفْسَهُ أَوْ طَعَنَ غَيْرَهُ بِإِذْنِهِ فَوَصَلَ السِّكِّينُ جَوْفَهُ أَوْ أَدْخَلَ فِي إحْلِيلِهِ أَوْ أُذُنِهِ عُودًا أَوْ نَحْوَهُ فَوَصَلَ إلَى الْبَاطِنِ بَطَلَ صَوْمُهُ

التقريرات السديدة /451-452

المفطر السادس : وصول عين من منفذ مفتوح الى الجوف

(قوله: وصول عين) خرج به الهواء، فلا يضر وصول هواء الى الجوف وكذلك مجرد الطعم والريح بدون عين فلا يفطر ما وصل منهما الى الجوف. (قوله: منفذ مفتوح) خرج به اذا وصلت العين الى الجوف من منفذ غير مفتوح كالدهن ونحوه بتشرب المسام. وكل المنافذ مفتوحة في مذهب الإمام الشافعي الا العين، وكذلك الأذن عند الإمام الغزالي

HAKIKAT BENCANA DAN MISTIS DI BULAN SHOFAR

BENCANA

Ibtila’ dan bala’ dalam segi bahasa adalah sama, bisa berarti ujian (cobaan) atau hukuman. Musibah yang turun dari Allah menjadi ujian bagi kaum beriman dan  hukuman bagi orang kafir atau fasiq. Hal ini dapat digambarkan : ujian yang diberikan guru kepada muridnya tidaklah sama dengan hukuman yang diberikan kepada muridnya. Ujian diberikan dengan tujuan untuk mengetahui keberhasilan murid, sedangkan hukuman diberikan karena kesalahan murid. Demikian juga latihan fisik (contoh, push up) atau olah raga yang diberikan komandan kepada bawahannya tidaklah sama dengan hukuman yang diberikan kepadanya.

Seorang hamba yang soleh jika mendapatkan musibah adalah sebagai ujian untuk kesabaran dan keridhoannya terhadap Tuhan. Namun hamba yang tidak soleh (kafir atau fasiq) mendapatkan musibah sebagai hukuman atas kesalahannya.

Contoh : Musibah banjir, bagi orang mukmin yang bersabar itu adalah ujian atas keimanan mereka. Sedangkan bagi orang yang kafir dan fasiq, merupakan hukuman atas kekafiran dan kemaksiatan mereka.

Kesimpulan : Walaupun ada kesamaan bentuk antara ujian dan hukuman, namun tujuan berbeda. Ujian diberikan untuk mengetahui keberhasilan seorang hamba yang nantinya dibalas dengan terhapusnya dosa atau meningkatkan derajat di akherat. Sedangkan hukuman semata-mata untuk mengadzab tanpa ada sedikitpun kebaikan setelahnya.

فيض القدير – (ج 1 / ص 316)

– (إذا أحب الله عبدا) أي أراد به الخير ووفقه (ابتلاه) اختبره وامتحنه بنحو مرض أو هم أو ضيق (ليسمع تضرعه) أي تذلله واستكانته وخضوعه ومبالغته في السؤال ليعطى صفة الجود والكرم جميعا فإنهما يطلبانه عند سؤال عبده بالإجابة فإذا دعا قالت الملائكة صوت معروف وقال جبريل يا رب اقض حاجته فيقول دعوا عبدي فإني أحب أن أسمع صوته كذا جاء في خبر

قال الغزالي : ولهذا تراه يكثر ابتلاء أوليائه وأصفيائه الذين هم أعز عباده وإذا رأيت الله عز وجل يحبس عنك الدنيا ويكثر عليك الشدائد والبلوى فاعلم أنك عزيز عنده وأنك عنده بمكان يسلك بك طريق أوليائه وأصفيائه فإنه يراك ولا يحتاج إلى ذلك ، أما تسمع إلى قوله تعالى * (واصبر لحكم ربك فإنك بأعيينا) * بل اعرف منته عليك فيما يحفظ عليك من صلاتك وصلاحك ويكثر من أجورك وثوابك وينزلك منازل الأبرار والأخيار والأعزة عنده (تنبيه) قال العارف الجيلاني التلذذ بالبلاء من مقامات العارفين لكن لا يعطيه الله لعبد إلا بعد بذل الجهد في مرضاته فإن البلاء يكون تارة في مقابلة جريمة وتارة تكفيرا وتارة رفع درجات وتبليغا للمنازل العلية ولكل منها علامة فعلامة الأول عدم الصبر عند البلاء وكثرة الجزع والشكوى للخلق وعلامة الثاني الصبر وعدم الشكوى والجزع وخفة الطاعة على بدنه وعلامة الثالث الرضا والطمأنينة وخفة العمل على البدن والقلب

MISTIS DI BULAN SHOFAR

Sebagaimana kita ketahui hal mistis masih sangat kental saat kita memasuki bulan safar.

Banyak pihak menganggap bahwa bulan safar adalah bulan yang harus banyak waspada sebab banyak penyakit dan musibah yang akan turun.

Dalam kitab “Mandzumah syarh atsar fi ma waroda an syahr shofar” karya Almufakkir islami Habib Abu Bakar Al Adni, yang mana didalamnya menjelaskan beberapa kasus mistik yang terjadi sepanjang sejarah di Arab dan bagaimana sikap kita menanggapinya. Berikut beberapa kasus yang coba saya ringkas :

PERTAMA kasus sugesti banyak orang arab yang menganggap bulan shafar adalah bulan yang banyak terjadi fitnah dan musibah, bahkan orang arab juga menjadikan bulan shafar sebagai syahr harom memanjangkan dari muharram. Padahal nabi sendiri bersabda “tidak (termasuk bulan harom) bulan shofar!!” Dan dalam surat attaubah ayat 37 juga membantah kepercayaan mereka.

KEDUA banyak yang menganggap bulan ini akan terjadi “العدوى al adwa” yaitu proses terjadinya penularan penyakit berbahaya. Dan orang arab juga percaya bahwa jika ada burung hantu dimalam hari pada bulan ini maka arwah orang mati menjelma dalam burung itu meminta tolong. Dan rosulullah sendiri telah menafikan hal itu.

KETIGA banyak orang yang mempercayai “العيافة al Iyafah” yaitu melepas burung dan melihat arah perginya kemana untuk mencari keberuntungan. Dan juga banyak yang percaya “الطيرة atthiroh” yaitu jika melihat ada gagak maka dianggap akan terjadi hukuman dan laknat.

KEEMPAT kepercayaan atas ” الغول al ghoulu” jenis syetan yang dianggap memata matai manusia dan menggelincirkannya dan memberi marabahaya. Dan hingga hari ini masih ada yang percaya bahwa jika bepergian melihat cahaya atau sejenis api tapi setelah didekati menghilang.

Padahal rosulullah saw telah melarang lima hal “العدوى، الطيرة ، الهامة، الصفر ، الغول، والنوء” sebagaimana dalam kitab kanzun najah wassurur.

KELIMA kepercayaan dengan “النوء annau’” yaitu 28 bintang jahiliyah yang diyakini sebagian berupa hujan dan angin, dan menjadikannya sebagai ramalan. Padahal rosulullah telah melarang dalam hadits:

اخاف عن امتي الاستسقاء بالانواء وخوف السلطان والتكذيب بالقدر (الحديث)

KE ENAM orang juga banyak menganggap setiap hari rabu akhir bulan sebagai “Rabu wekasan” bertendensi dalil hadits

آخر يوم الاربعاء آخر يوم نحس مستمر (الحديث)

Imam sakhowi mengomentari hadits ini bahwa keyakinan buruk tergantung persepsi Psikologis yang meyakininya sebagaimana prediksi ahli perbintangan. Namun jika persepsinya tergantung pada allah maka tidak akan berpengaruh apapun.

كما يرون يوم النحس يوم الاربعاء * من كل شهر وكذا باقي الصفر

وشرعنا مخالف لرأيهم * وضابط للاعتقاد والفكر

“Sebagaimana orang menganggap hari Celaka di hari Rabu * setiap bulan ataupun sisa bulan sofar.

Syariat kita berbeda dengan statement mereka * ukurannya kita ukur dari kepercayaan dan Persepsi.

Kesimpulan mari kita semua dalam memasuki bulan shofar ini tetap meningkatkan ibadah dan dzikir kita tanpa khawatir berlebihan perihal kejadian buruk yang belum terjadi.

Pada bulan ini juga merupakan bulan pernikahan Rosulullah s.a.w dengan sayyidatuna Khodijah R.A, serta pernikahan Putri beliau Sayyidatuna Fatimah dengan sayyidina Ali karromallahu wajhahu.

Serta kemenangan peperangan abwa’ dan perang Khoibar.

وابطل المختار شؤما فاسدا * اسبابه الجهل متى الجهل ظهر