KONSEP IBNUL QOYYIM AL JAUZIYYAH DALAM MENATA HATI

Menurut Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Ighatsatul Lahfan min Mashayidis Syaitan, hati manusia terbagi menjadi tiga:

  1. Qalbun Salim (Hati yang selamat), dikatakan selamat karena ia bersih dari berbagai syahwat yang berseberangan dengan perintah dan larangan Allah swt, bersih dari berbagai syubhat yang menyelisihi berita-Nya dan bersih dari menghambakan diri kepada selain-Nya. Jadi, ia adalah hati yang selamat dari perbuatan syirik, hanya mengikhlaskan penghambaan kepada Allah swt semata, baik dalam kehendak, cinta, tawakal, inabah (Taubat), merendahkan diri, khasyyah (takut), dan raja’ (pengharapan).
  2. Qalbun Mayyit (hati yang mati), ia adalah hati yang kosong dari kehidupan dan tidak mengetahui Rabb-nya. Ia selalu menuruti keinginan nafsu dan kesenangan diri, menghambakan diri kepada selain-Nya dalam cinta, takut, rida, dan benci. Hawa nafsu membuatnya tuli dan buta. Hatinya telah ditutup rapat oleh Allah, kelak di akhirat, ia akan disiksa dengan seburuk-buruknya siksaan.
  3. Qalbun Maridh (hati yang sakit). Ia hidup tetapi sakit. Terdapat dua unsur yang saling tarik menarik di dalamnya. Ketika ia berhasil memenangkan pertarungan itu, maka dalam hatinya sedang ada rasa cinta kepada Allah swt, keimanan, keikhlasan, ketakwaan dan tawakkal kepada-Nya. Di dalam hati yang sakit juga ada kecintaan pada nafsu, cinta pada jabatan, membuat kerusakan di bumi, dengki, takabbur, bangga diri dsb. Allah swt menjelaskan ketiga jenis hati itu dalam firman-Nya:

 وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّىٰ أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (52) لِّيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِّلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ(53) وَلِيَعْلَمَ  الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ ۗ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

**dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. **agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat. **dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Quran Itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan Sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.

Dalam ayat ini Allah swt menginformasikan bahwa dua diantaranya terkena fitnah dan hanya satu yang selamat. Dua hati tersebut adalah hati yang berpenyakit dan hati yang keras (mati). Sedangkan yang selamat adalah hati orang mukmin yang tunduk dan patuh pada Rabb-Nya. Berkenaan dengan ini, Ibn Qudamah mengatakan bahwa Abu Bakar menjadi orang paling utama setelah Nabi saw bukan karena shalat dan ibadah lainnya, tetapi karena sesuatu dalam hatinya yakni kebersihan hati.

Berikut ini amalan dan tips yang bisa kita lakukan untuk membentuk Qalbun Salim menurut Ibnul Qayyim:

    Senantiasa berdoa kepada Allah swt agar diberikan hati yang bersih dan suci; diantara do’a yang diajarkan Rasulullah saw adalah:

اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا

“Ya Allah berilah sifat takwa kepada jiwaku dan bersihkanlah ia, Engkaulah sebaik-baiknya jiwa yang menyucikan, Engkaulah pelindung dan penguasanya”.

    Belajarlah pada Ulama sebab pemahaman ulama terhadap al-Quran dan Hadis lebih baik dari pada pemahaman orang awam, sebagaimana Firman Allah swt; “… bertanyalah pada ulama (ahl al-dzikr) jika kamu tidak mengetahui” (An-Nahl:43)

    Berkumpul dan bergaul dengan komunitas yang mengantarkan pada kebaikan, karena kebaikan akan menular. Malik Ibn Dinar rahimahullah berkata;

صاحب خيار الناس تنجو مسلما وصاحب شرار الناس يوما فتندما

“Bergaulah dengan orang-orang baik, niscaya engkau akan menjadi seorang yang selamat, (namun) cobalah sehari saja engkau bergaul dengan orang-orang yang buruk (hatinya), maka niscaya engkau akan menyesal selamanya”

    Perbanyak mengkaji dan memperdalam tazkiyatun nafs dengan melakukan dua hal. Pertama, mensucikan jiwa kita dari sifat-sifat yang buruk (takhalliy) dan kedua, menghiasinya dengan sifat-sifat yang baik dan terpuji (tahalliy).

    Menyibukkan diri dalam ketaatan dan tidak melakukan hal yang sia-sia dan kurang bermanfaat. sebagaimana disabdakan dalam hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan al-Tirmidzi:

من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه

“Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang yaitu meninggalkan hal yang tidak bermanfaat padanya”.

WASIAT NABI MUHAMMAD SAW TENTANG MEREDAM AMARAH

Dalam dinamika kehidupan, setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda dalam menyikapi keadaan. Terkhusus dalam hal menyikapi sesuatu yang tidak disenangi, ada yang langsung menghujat/ melabrak, ada pula yang meredam perasaan dengan menyembunyikan amarahnya di dalam hati, atau berusaha berlapang dada memaafkan orang yang telah membuatnya marah.

Yang saya sebutkan terakhir merupakan karakter sosok agung yang patut ditiru oleh semua umat manusia yakni Nabi Muhammad Saw. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Shafwan bin Umayyah merupakan sosok yang paling membenci Nabi Saw. Kendati demikian, Nabi tidak membalasanya dengan amarah, beliau memaafkan bahkan senantiasa melakukan kebaikan hingga hati Shafwan bin Umayyah luluh.

Dalam hadis disebutkan :

عَنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ ، قَالَ :  أَعْطَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ حُنَيْنٍ ، وَإِنَّهُ لَأَبْغَضُ النَّاسِ إِلَيَّ ، فَمَا زَالَ يُعْطِينِي حَتَّى صَارَ ، وَإِنَّهُ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ

Dari Shafwan bin Umayyah ia berkata: Rasulullah Saw memberikan sesuatu kepadaku pada perang Hunain dan ketika itu beliau adalah orang yang paling aku benci, beliau terus memberiku pemberian hingga beliau menjadi sosok yang paling aku cintai. (HR Ahmad)

Sejarah mencatat bahwa Shafwan bin Umayyah merupakan sosok pembesar Quraisy yang pada masa jahiliyah paling benci terhadap Rasulullah Saw, hingga pada akhirnya beliau masuk Islam dan menjadi pembela islam yang gigih. Itu semua salah satunya berkat perlakuan Nabi yang ketika ada orang yang tidak suka atau membencinya bahkan beliau membalas hal tersebut dengan kebaikan-kebaikan hingga hati yang membencinya menjadi luluh.

Anggapan bahwa Islam merupakan agama yang rahmat bagi semesta alam bukanlah isapan jempol semata. Hal ini setidaknya terlihat dari kisah yang dinarasikan dalam hadis di atas, bagaimana Nabi Muhammad Saw, sebagai sosok pembawa risalah telah memberikan contoh yang baik dalam mnegatur emosi.

Dalam kitab sunan an-Nasa’i pada kitab yang membahas masalah kebaikan dan kiat beretika (al-birr wal adab) diriwayatkan sebuah hadis sebagai berikut :

 عن أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَلِّمْنِي شَيْئًا وَلَا تُكْثِرْ عَلَيَّ لَعَلِّي أَعِيهِ قَال لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ ذَلِكَ مِرَارًا كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ لَا تَغْضَبْ

Artinya : Dari Abu Hurairah (W.57 H) ia berkata; Seorang laki-laki menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Ajarkanlah sesuatu kepadaku, namun jangan engkau memperbanyaknya, sehingga aku mudah untuk mengingatnya.” Maka beliau pun bersabda: “Janganlah kamu marah.” Lalu beliau mengulang-ngulang ungkapan itu. (HR Bukhari dan al-Nasa’i)

Dalam surah an-Nisa juga dijelaskan bahwa di antara ciri orang bertakwa adalah piawai meredam amarah dan berlapang dada untuk memaafkan kesalahan manusia. Allah berfirman :

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang meredam amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (An-Nisa’ : 133-134)

Terakhir mari kita berharap semoga Allah menganugerahkan kita dengan mendapatkan sifat-sifat mulia yang disebutkan di atas. Meredam amarah melahirkan keramahan dan menghilangkan ketegangan antara kita dengan sesama. Wallahu A’lam.

MEWASPADAI TIGA JALAN MENUJU NERAKA

Dalam surah Al Mudatsir ayat 42-45, Al Qur’an dengan sangat menarik menceritakan perbincangan di antara para penghuni surga dan penghuni neraka pada hari kiamat.

Penghuni surga bertanya kepada penghuni neraka, ‘apa jalan yang membawamu masuk neraka?’ Penghuni neraka kemudian menjawab, ‘dulu kami tidak termasuk golongan orang-orang salat. Dan kami tidak memberi makan orang miskin. Dan kami menggunjing bersama para penggunjing’ (Q.S. Almudatsir: 42-45).

Percakapan yang sangat menarik dalam Alquran ini mengandaikan orang yang mengalami kehancuran spiritual dan karenanya masuk neraka Saqor, disebabkan oleh sikap abainya terhadap nilai-nilai agama dan sosial.

Dalam ayat ini, Alquran dengan ringkas menjelaskan sedikitnya ada tiga jalan menuju neraka yang amat berbahaya dan harus dihindari oleh setiap manusia yang beriman. Hal demikian harus dihindari agar tidak dianggap sebagai abai terhadap nilai-nilai religius dan sosial yang akan menjerumuskan seseorang ke dalam neraka atau kehancuran secara spritual.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa jalan pertama yang mempermudah dan memperlancar jalan menuju neraka ialah meninggalkan salat. Nabi Saw. sedari awal sudah mewanti-wanti secara keras dan tegas bahwa perbedaan muslim dan kafir dapat dilihat dari salat atau tidaknya seseorang.

Salat merupakan tiang sekaligus fondasi dasar agama. Orang yang tidak salat dengan sendirinya dapat dikategorikan sebagai orang yang tidak memiliki tiang agama dan karenanya rapuh secara keislaman dan keimanan.

Ibarat sebuah rumah yang mudah hancur karena fondasi dan tiangnya rapuh, seorang muslim yang tidak melakukan salat akan sangat rentan terjerumus ke dalam kehancuran spiritual. Terkait hal ini Nabi bersabda, “ perbedaan kafir atau tidaknya seseorang ditentukan berdasarkan pada salatnya” (HR. Bukhari).

Namun perlu diperhatikan bahwa melaksanakan salat saja tidak cukup untuk jaminan terhindar dari siksa neraka. Artinya, harus ada pengejawantahan nilai-nilai yang terkandung dalam salat.

Salat itu menyimbolkan dua hubungan sekaligus; pertama, hubungan baik kita dengan Allah yang disimbolkan dengan takbiratul ihram; kedua, hubungan baik kita dengan manusia yang disimbolkan dengan menengok ke kanan dan ke kiri saat salam di akhir salat. Orang yang tidak salat bisa jadi merupakan orang yang bersikap acuh tak acuh terhadap nilai-nilai spiritual dan sosial dan karenanya pantas untuk masuk neraka.

Berdasarkan pada dua simbol yang memiliki makna spiritual dan sosial sekaligus dalam salat ini, maka jalan kedua yang dapat menjerumuskan seseorang untuk masuk neraka ialah orang yang terkadang memperhatikan simbol pertama dalam salat (hablum minalllah) namun mengabaikan simbol kedua (hablun minannas).

Karena itu, jalan kedua yang membawa seseorang masuk ke neraka harus diperhatikan juga; yakni, tidak memberi makanan kepada orang miskin. Bila ada seorang muslim memberi makan orang miskin tetapi tidak salat, ia akan masuk neraka Saqor. Juga, bila ada orang Islam yang suka salat tetapi tidak pernah memberi makanan kepada orang miskin, dia pun akan masuk neraka Saqor.

Jadi jalan kedua yang menjerumuskan seseorang ke dalam neraka ialah tidak memiliki kepedulian sosial dan tidak peka terhadap masalah kemasyarakatan. Dengan demikian, agar terhindar dari masuk neraka, kita harus memiliki sikap kepedulian sosial yang tinggi dan peka terhadap problem ketimpangan  sosial. Seorang muslim bukan seorang yang hidup soliter, hidup menyendiri dan mengasingkan diri dari dunia sekeliling.

Seorang muslim ialah seorang yang mampu membaca ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi di sekelilingnya dan karenanya ia bertindak untuk mengatasi persoalan tersebut. Memberi makan orang miskin merupakan salah satu solusi untuk mengatasi problem-problem sosial kemasyarakatan. Dan jika seseorang abai terhadap problem sosial ini, maka neraka Saqor adalah ancamannya.

Jalan ketiga yang dapat memperlancar perjalanan menuju neraka Saqor ialah menggunjing orang lain. Menurut para ahli tafsir perbuatan yang termasuk dalam kategori ini ialah mengadu domba, menyakiti hati orang lain atau menyebarkan desas-desus.

Melakukan obrolan-obrolan semacam ini akan melapangkan jalan bagi seseorang untuk masuk neraka. Dalam Alquran disebutkan, kalau kita mendengar obrolan semacam itu, ‘janganlah kamu duduk bersama mereka sampai obrolannya pindah kepada topik yang lain’ (Q.S. Annisa: 140).

Menggunjing kejelekan orang lain, mengadu domba, menyebar fitnah atau desas-desus dapat dikategorikan sebagai usaha untuk memperkeruh hubungan baik antara sesama elemen masyarakat.

Sementara itu, Alquran selalu menegaskan bahwa menggunjing kejelekan orang lain sama saja dengan memakan dagingnya secara mentah-mentah dan itu juga sama saja artinya dengan menganggu stabilitas sosial. Jika seorang muslim melakukan itu, meski ia salat dan memberi makan orang miskin, ia tetap akan masuk neraka.

Dengan demikian ketiga jalan masuk neraka yang disebut Alquran ini merupakan peringatan sekaligus nasihat untuk kita semua agar selalu menghindarinya dan melakukan amalan-amalan sebaliknya.

Hal demikian dilakukan agar kita semua mendapat surganya; Pertama, melaksanakan salat baik sunnah maupun wajib dengan memahami betul-betul bahwa tujuan daripada salat ialah mencegah dari perbuatan keji dan munkar; Kedua, sering berderma kepada kaum papa dan peduli kepada problem ketimpangan sosial.

Ketiga, melakukan hubungan baik dengan orang lain dengan tidak mengadu domba, menyakiti hati orang lain atau menyebarkan desas-sesus. Tiga hal ini, yang merupakan kebalikan dari tiga jalan menuju neraka, merupakan nilai yang harus kita tanam kuat-kuat dalam diri kita agar kehidupan kita selalu dalam naungan, berkah dan rahmat dari Allah SWT.

MATERI CERAMAH KEAGAMAAN : MENJADIKAN SHODAQOH SEBAGAI FILOSOFI HIDUP

Islam tidak hanya menetapkan berbagai kewajiban dan ketentuan dikalangan pengikutnya, ia pun berupaya menciptakan jiwa yang bersih, pemurah, dan penyantun. Kepada umatnya ia mengajarkan kerelaan untuk memberikan lebih dari permintaan, melaksanakan kewajiban lebih dari tututan, mengulurkan tangan tanpa diminta, dan berinfak dalam keadaan lapang maupun sempit, dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

Orang seperti itulah yang mencintai orang lain seperti mencintai diri sendiri. Ia mendahulukan orang lain walaupun ia sendiri dalam kesempitan, ia menganggap harta sebagai sarana beribadah dan berbuat baik kepada orang lain, bukan sebagi tujuan, hatinya diliputi oleh kasih sayang, ia senantiasa mau menolong tanpa diminta, semua itu dilakukan hanya untuk mencari restu Allah dan keridlaan-Nya, bukan karena mau disanjung atau ingin populer.

Manusia bukanlah alat yang bergerak secara otomatis dan berhenti jika salah satu tombolnya ditekan. Manusia adalah suatu pesawat yang sangat rumit yang terdiri atas roh dan jasad, jiwa dan raga, akal dan perasaan, emosi dan nurani, serta fikir dan dzikir. Manusia adalah makhluk yang punya imajinasi dan kemampuan merekayasa, merasa dan meraba, memilih dan menentukan, melakukan sesuatu dan membiarkan, serta berpengaruh dan terpengaruh.

Semua keistimewaan ini perlu dijaga agar moral dan etikannya dapat menutupi berbagai kekurangan dan kelemahan suatu peraturan dan undang-undang. Sebagai agama, Islam harus memperhatika sisi moral dan akhlak yang luhur ini, Ia tidak hanya puas dengan berbagai kewajiban yang diatur oleh undang-undang, sebab menurut pandangan islam, sisi moral dan akhlak bukan sekedar sarana untuk mewujudkan kesetiakawanan sosial. Ia juga merupakan salah satu ciri insan shaleh yang layak mendapatkan ridla Allah dan tinggal bersama para Nabi di surga-Nya.

Karena itulah, tidak sedikit kita menemukan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang memberikan kabar gembira, mendorong dan mengancam, menyerukan infaq dan shadaqah, serta mengecam kekikiran.

Hal itu disampaikan dengan kalimat yang indah, tegas, namun juga puitis. Ancamannya mampu melelehkan hati yang keras dan menggerakkan tangan yang kikir sehingga mau memberikan pertolongan. Salah satunya Islam menganjurkan mengeluarkan sedekah. Dalam Q.S at-Taubah aya 60:

انماالصدقات للفقراء والمساكين…. التوبة: 60

Yang ditegaskan pula dalam hadits Nabi:

فرض رسول الله صدقة الفطر طهرة للصائم من للغو و الرفث وطعمة للمساكين

Yang dimaksud dengan صدقة الفطر adalah zakat fitrah. Pada hakekatnya, meskipun ketika seseorang bershadaqah hartanya berkurang secara nominal, harta tersebut bertambah secara kualitas. Disinilah ajara agama berhaluan dengan nalar ekonomi. Bahwa harta tidak berkurang dikarenakan shadaqah melainkan sebaliknya, harta tersebut, didunia akan bertambah kebaikannya (barakahnya) dan mampu menolak kerusakan (مفسدات) dari padanya, sedangkan diakhirat akan mendapatkan pahala sebagi balasannya.

Selanjutnya, sedekah sebagai ajaran memiliki nilai sosial dan filosofi yang tersirat, hal demikian misalnya dapat difamai dalam sebuah hadits, Rasulullah saw:

الصدقة اذا خرجت من يد صاحبها نكلمت بخمسة كلمات: الاولى كنت صعيرة فكبرتنى, والثانية كنت حارسي فالان صرت حارستك, والثالثة كنت عدوك فااحببتنى, والرابعة كنت فانية فاابقيتني, والخامسة كنت قليلة فكثرتنى.

“Shadaqah itu, manakala keluar dari tangan pemiliknya, berkata dengan lima kalimat: (1) Semula aku adalah kecil maka engkau telah menjadikan aku besar. (2) Semula engkau adalah penjagaku, maka sekarang aku yang menjadi penjagamu. (3) Semula aku adalah musuhmu, maka sekarang aku menjadi yang engkau cintai. (4) Aku adalah sesuatu yang punah, maka engkau jadikan aku sesuatu yang kekal. (5) Aku adalah bilangan yang sedikit, maka engkau jadikan aku jumlah yang banyak.

Dari hadits tersebut dapat diambil pengertian bahwa bershadaqah pada kerabat memiliki dua manfaat, yang pertama pahala atas shadaqah tersebut dan yang kedua adalah terjalinnya tali silaturrahim atas keluarga. Misi lain dari sedekah adalah terciptanya pemerataan ekonomi di masyarakat Muslim.

Memang diakui, bahwa ajaran islam banyak menyentuh realitas sosial masyarakat pasca Nabi Hijarah ke Madina, disana beliau membangun peradaban Islami dengan mngatur segala segi kehidupan umat islam, politik, sosial hingga ekonomi.

Lewat perintah sedekah, selain membumikan ajaran Qur’an, Nabi menginginkan adanya kesetaraan ekonomi antar masyarakat. Masing-maing memiliki empati sosial, kepedulian antara ikhwan atas nama persaudaraan Muslim.

MATERI CERAMAH KEAGAMAAN : AL-QUR’AN DALAM MENJELASKAN KONSEP MANUSIA

Konsep Manusia merupakan salah satu di antara tema sentral yang dibicarakan di dalam al-Qur’an. Hal ini terindikasi dari beberapa kata yang terdapat di dalam al-Qur’an yang itu semua berpulang pada makna dan tema yang satu, yaitu membicarakan manusia. Setidaknya ada empat kata di dalam al-Qur’an yang mewakili makna manusia: pertama, al-basyar, kedua an-nas, ketiga al-ins dan keempat al-insan.

Meskipun memiliki makna yang sama, bukan berarti keempat kata tersebut tidak memiliki unsur-unsur yang berbeda. Sebab, dalam kaidah dasar ulum al-Qur’an menetapkan bahwa ayat al-Qur’an terlepas dari pemaknaan berulang-ulang secara sia-sia.

Kaidah dasar ini meniscayakan di dalam al-Qur’an, gambaran konsep manusia yang komperhensif akan didapatkan dengan mengkaji keempat key word tersebut. Berdasarkan itu, maka tulisan ini mencoba untuk menjelaskan secara sederhana konsep manusia di dalam al-Qur’an dengan menggunakan metode munāsabah āyahbilāyah.

Metode munasabah adalah metode yang digunakan untuk menangkap makna terdalam pada satu tema (maudhu’i)[1] dengan cara mengkomparasikan dan menghubungkan satu ayat dengan ayat lain yang memiliki kesamaan tema.[2] Dalam hal ini, maka ayat yang di dalamnya terdapat kata al-basyar akan dihubungkan dengan ayat lain yang juga menggunakan kata al-basyar. Begitu pun dengan kata-kata lainnya. Hal ini bertujuan –sebagaimana yang telah dijelaskan di atas- untuk mengungkap pemaknaan manusia secara komperhensif yang dibicarakan di dalam al-Qur’an.

Konsep Al-Basyar

Secara Bahasa, kata al-basyar berasal dari kata basyara-basyran. Di antara makna dari kata tersebut adalah mengupas. Pemaknaan kata mengupas tersebut, -jika kita merujuk kepada makna yang diberikan oleh al-Ashfahani di dalam mufradat al-alFazhal-Qur’an-dikarenakan kata basyar bisa menjadi al-bisyrah atau al-basyarah yang artinya kulit yang tampak. Beberapa ahli bahasa kemudian menjelaskan kenapa manusia disebut dengan kata basyar, karena secara fisik kulit manusia lebih tampak dari pada rambut/bulu-bulunya. Berbeda dengan hewan yang lebat bulunya atau sama sekali tidak memiliki bulu.[3]

Makna al-Qur’an: Berangkat dari makna bahasa ini, maka secara umum ayat yang menggunakan kata al-basyar menunjukkan manusia secara fisik. Seperti pada firman Allah surat al-Furqan: 54 dan Shaad: 71. Hal ini diperkuat pada ayat-ayat lain yang memberikan definisi bahwa al-basyar adalah wadah fisik yang bersifat materil, membutuhkan makan dan minum dan menunjukkan siapa saja, baik nabi maupun orang kafir. (al-Anbiya: 1-8)

اقْتَرَبَ لِلنَّاسِ حِسَابُهُمْ وَهُمْ فِي غَفْلَةٍ مُعْرِضُونَ (1) مَا يَأْتِيهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِنْ رَبِّهِمْ مُحْدَثٍ إِلَّا اسْتَمَعُوهُ وَهُمْ يَلْعَبُونَ (2) لَاهِيَةً قُلُوبُهُمْ وَأَسَرُّوا النَّجْوَى الَّذِينَ ظَلَمُوا هَلْ هَذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَفَتَأْتُونَ السِّحْرَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ (3) قَالَ رَبِّي يَعْلَمُ الْقَوْلَ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (4) بَلْ قَالُوا أَضْغَاثُ أَحْلَامٍ بَلِ افْتَرَاهُ بَلْ هُوَ شَاعِرٌ فَلْيَأْتِنَا بِآَيَةٍ كَمَا أُرْسِلَ الْأَوَّلُونَ (5) مَا آَمَنَتْ قَبْلَهُمْ مِنْ قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا أَفَهُمْ يُؤْمِنُونَ (6) وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (7) وَمَا جَعَلْنَاهُمْ جَسَدًا لَا يَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَمَا كَانُوا خَالِدِينَ (8) [الأنبياء/1-8]

Al-Anbiya (21): 1. Telah dekat kepada manusia perhitungan mereka, sedangkan mereka lalai dan berpaling. 2. Tidak datang kepada mereka peringatan baru dari Tuhan mereka melainkan mereka mendengarkannya sambil bermain-main. 3. dan hati mereka bergurau meremehkan. Dan orang-orang yang zalim berbicara secara rahasia: Orang ini tidak lain hanyalah manusia biasa seperti kamu? Apakah kamu akan menerima sihir ini padahal kamu tahu? 4. Muhammad berkata kepada mereka: Tuhanku mengetahui semua perkataan, baik di langit maupun di bumi. Dia maha mendengar dan maha mengetahui. 5. Bahkan mereka berkata: Impian yang kalut! Tidak, dia mengada-ada, bahkan dia adalah seorang penyair. Maka, suruhlah dia mendatangkan kepada kita suatu ayat sebagaimana rasul-rasul dahulu diutus. 6. Sebelum mereka, tiada seorangpun penduduk kota yang kami binasakan mau beriman. Lalu apakah mereka akan beriman? 7. Kami tidak mengutus sebelum kamu kecuali hanya orang lakilaki yang Kami berikan wahyu. Bertanyalah kepada yang masih ingat (ahli dzikr)jika kamu tidak tahu. 8. Dan Kami tidak membuat mereka tubuh yang tidak makan, dan tidak pula mereka kekal.

Bahkan dalam beberapa ayat, orang kafir mempergunakan kata basyar untuk mengingkari kenabian utusan Allah (al-Mudattsir: 25, al-Qamar: 24, yasin 15, al-Mukminun: 47, at-thaghabun: 6). Hal ini tentu menunjukkan bahwa basyar di zaman sebelum turunnya al-Qur’an sudah menunjukkan keadaan manusia secara fisik saja.

إِنْ هَٰذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ

Inihanyaperkataanmanusia (al-Mudattsir: 25)

قَالُوا مَا أَنتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُنَا وَمَا أَنزَلَ الرَّحْمَٰنُ مِن شَيْءٍ إِنْ أَنتُمْ إِلَّا تَكْذِبُونَ

Mereka (penduduknegeri) menjawab, “kamuinihanyalahmanusiaseperti kami, dan (Allah) Yang MahaPengasihtidakmenurunkansesuatuapa pun; kauhanyalahpendustabelaka” (Yasin: 15)

Selain dari pemaknaan tersebut, terdapat pula ayat perlu diperhatikan bahwa, kekhususan dan keistimewan nabi yang hanya seorang basyar itu didapatkan dari wahyu yang diberikan kepadanya:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌفَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya. (Al-Kahfi: 110)

Ayat ini menunjukkan bahwa keadaan manusia tanpa wahyu menjadikannya manusia yang dipandang secara fisik semata tanpa ada keistimewaannya dibanding manusia bahkan makhluk-makhluk lain.

Konsep Al-Nas

Para ahli bahasa berbeda pendapat dalam melihat akar dari kata an-Nas. Beberapa di antara mereka, menyatakan bahwa al-Nas berasal dari kata unas yang berasal dari kata anisa yang artinya jinak-menjinakkan/ramah. Hilangnya hamzah pada kata tersebut disebabkan karena masuknya alif lam. Berbeda dengan pemaknaan tersebut, ahli bahasa lain berpendapat bahwa asal kata an-Nas adalah nasiya artinya lupa.[4] Yang lain mengakarkan pada kata nasa-yanusu artinya bergoncang. Sementara dzu nawwas artinya yang memiliki keilmuan.[5]

Makna al-Qur’an: Adapun jika dirujuk pada ayat-ayat yang menggunakan lafal an-Nas, maka setidaknya didapati tiga makna umum. Pertama an-Nas merujuk pada makna jenis makhluk. Seperti pada firman Allah surat al-Hujurat: 13 yang menjelaskan bahwa hakikatnya manusia adalah makhluk yang berasal dari jiwa yang satu yaitu adam.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Wahaimanusia! Sungguh Kami telahmenciptakankamudariseoranglaki-lakidanseorangperempuan, kemudian Kami jadikankamuberbangsa-bangsadanbersuku-suku agar kamusalingmengenal. Sungguh, yang paling mulia di antarakamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah MahaMengetahui, MahaTeliti. ( Al-Hujurat: 13)

Pengertian ini diperkuat pada pemaknaan an-Nas sebagai ummat yang satu dan jenis yang disejajarkan dengan malaikat pada firman Allah al-Baqarah 161-162 dan 213.

Kedua makna an-Nas bisa juga berarti adalah manusia dari aspek kelebihannya. Hal ini bagi Al-Isfhani disebabkan wujudnya akal, dzikir dan akhlak baik dalam diri manusia. seperti pada surat al-Baqarah: 113:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ ۗ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَٰكِن لَّا يَعْلَمُونَ

Dan apabiladikatakankepadamereka, “Berimanlahkamusebagaimana orang lain telahberiman!” Merekamenjawab, “Apakah kami akanberimanseperti orang-orang yang kurangakalsehatberiman?” Ingatlah, sesungguhnyamerekaitulah orang-orang yang kurangakal, tetapimerekatidaktahu. (Al-Baqarah: 113)

Makna ayat ini tidak menunjukkan pada mengikuti manusia sebagai sebuah makhluk atau entitas, tetapi lebih pada sifat-sifat luhur kemanusiaan yang dimilikinya.

Adapun makna ketiga berkaitan erat dengan makna pertama dan kedua. Yaitu bahwa an-nas menunjukkan perbedaan dan kelebihan manusia di banding makhluk lainnya. Perbedaannya adalah bahwa manusia tidaklah sama dengan setan yang hanya didominasi oleh nafsu. Tidak sama pula dengan malaikat yang tidak memiliki nafsu sama sekali. Perbedaan itu kemudian menjadi kelebihan jenis manusia dibanding kedua makhluk tersebut.

Selain itu, an-nas dengan makna ketiga ini memberi arti bahwa manusia bisa lebih condong kepada keimanan atau sebaliknya, kepada kekufuran. jika an-nas bermakna baik maka ia akan disandingkan dengan malaikat (2: 161, 3: 87, dan 22: 75). Namun jika an-nas bermakna jelek, maka ia disandikan dengan jin (lihat 11: 119, 32: 13, dan 114: 6).

Konsep Al-Ins

Al-Isfahani di dalam kitabnya menyebutkan kata al-Ins memiliki akar kata yang sama dengan al-Insan. Meski demikian, bagi al-Ashfahani al-Ins dan al-Insan memberikan penekanan yang sama sekali berbeda. Secara bahasa keduanya memang berasal dari alif nun dan sin, tetapi jika di lihat pada penggunaan katanya di dalam konteks ayat-ayat maka al-Ins, oleh beliau diartikan khilaful jinni (makhluk yang berbeda dari jin).[6]

Adanya makna tersebut merupakan hasil dari adanya kenyataan bahwa kata al-Ins selalu disandingkan dengan al-Jinn tetapi tidak menunjukkan kesamaan melainkan justru perbedaan. Seperti pada Surah Al-An’amayat 128:

ويَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الْإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الْإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ.

Dan (ingatlah) padahari ketika Dia mengumpulkan mereka semua (dan Allah berfirman) “Wahai golongan Jin! Kamu telah banyak menyesatkan manusia.” Dan kawan-kawan mereka dari golongan manusia berkata, “YaTuhan, kami telahsaling mendapatkan kesenangan dan sekarang waktu yang telah Engkau tentukan buat kami telah dating. “Allah berfirman, “Nerakalah tempat kamu selama-lamanya, kecuali jika Allah berkehendak lain. “Sungguh, Tuhanmu Maha Bijaksana, Maha Mengetahui.

Ayat di atas, menunjukkan perbedaan antara jin dan manusia. sebab jin pada pengertiannya adalah makhluk yang menyesatkan al-ins (manusia). hal ini kemudian menjadi dasar bintu Syati di dalam tafsirnya at-tafsir al-bayan li al-Qur’an al-Karim menafsirkan bahwa sifat manusia harusnya berbeda dengan sifat jin yang dalam hal ini telah membangkang oleh Allah sehingga mempunyai pekerjaan menyesatkan. Jika ditarik makna ini lebih jauh, maka manusia yang telah disesatkan oleh jin pada hakikatnya telah jauh dari fitrah kemanusiaanya.[7]

Konsep Al-insan

Sementara kata al-Insan, meskipun bukan kata yang paling banyak tersebutkan dalam al-Qur’an, tetapi memiliki porsi yang cukup luas dalam menjelaskan konsep manusia menurut al-Qur’an. Secara bahasa, al-Insan –sebagaimana yang dikutip oleh al-Isfhani adalah:

سمي بذلك لأنه خلق خلقه لا قوام له إلا بإنس بعضهم ببعض

(Dikatakan (al-insan) karena dia adalah makhluk yang diciptakan yang tidak bisa hidup kecuali bersama dengan manusia lainnya).[8]

Dapat dijelaskan bahwa kata al-Insan mewakili manusia sebagai makhluk yang tidak bisa mempertahankan eksistensinya sendiri. dalam arti semenjak proses penciptaan, proses keberlangsungan hidup hingga nanti proses setelah kematian, manusia adalah makhluk yang menggantungkan dirinya dan memerlukan lainnya.

Makna al-Qur’an: Makna bahasa ini, bagi penulis kemudian menemukan perwujudannya dalam tiga pemakanaan yang terdapat dalam al-Qur’an. Pertama al-Insan itu menunjukkan bahwa manusia itu diciptakan dengan bergantung kepada Allah. Kedua manusia itu diciptakan dengan membutuhkan pengetahuan dan manusia diciptakan dengan berbagai macam kekurangan.

Makna pertama bisa ditarik dari firman Allah:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ

Ayat yang pertama kali diturunkan Allah ini mengindikasikan dengan jelas bahwa manusia itu pada mulanya diciptakan Allah berupa sesuatu yang bergantung. Secara filosofis bisa diartikan eksistensi manusia tidak akan bisa terwujud tanpa ada Allah dan manusia sendiri di dalam proses kehidupannya akan selalu bergantung pada kekuasaan tuhannya.

Dengan adanya kesadaran tersebut, maka kata al-Insan yang disebutkan dalam ayat yang menjelaskan proses penciptaan manusia pada hakikatnya tidak hanya bertujuan menunjukkan manusia dari segi fisiknya belaka, melainkan lebih kepada bagaimana manusia itu menyadari kekuasaan Allah atas dirinyaa sehingga manusia itu mengakui bahwa dia bergantung pada Zat yang menciptakannya:

فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ (5) خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ (6) يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ (7) إِنَّهُ عَلَى رَجْعِهِ لَقَادِرٌ (8)

Al-Tariq (86): 5. Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? 6. Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, 7. yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan. 8. Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati). (Al-Tariq ayat 5-8)

Berhubungan dengan pemaknaan pertama, maka makna kedua bisa dijelaskan bahwa untuk menyadari ketergantungan manusia kepada penciptanya, maka al-Insan itu diberikan anugrah Allah berupa ilmu pengetahuan. Sehingga harusnya pengetahuan itu menjadi kebutuhan, di mana kebutuhan pokok dari keilmuan itu adalah untuk mengenal Allah dan menyadari kebutuhan kita akanNya:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ(5)

Adapun perwujudan makna al-Insan yang ketiga di dalam al-Qur’an adalah bahwa manusia itu makhluk yang bergantung disebabkan manusia memiliki potensi merugi.

إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ

Kerugian tersebut bisa terjadi lantaran di dalam diri manusia –sebagaimana pemaknaan al-Nas- memiliki sifat-sifat tidak terpuji dan bisa membawa kepada penyesalan dan keburukan. Di antara sifat tersebut adalah suka membantah(yasin 77-79, an-nahl: 4), lemah(an-nisa 28), tergesa-gesa(al-Isra: 11), tidak pandai bersyukur(al-Isra: 67), mudah berputus asa(al-Isra: 83), suka bangga dan sombong(Hud: 9-11), suka mengeluh dan kikir(al-Ma’arij: 19-21), suka membantah(18: 54), kebanyakan tidak mau tahu(33: 72), zhalim dan suka berbuat bodoh(az-Zumar: 49), suka beralasan(al-Qiyamah: 14), senantiasa dalam keadaan susah payah (al-Balad: 4)

Kekurangan-kekurangan inilah yang sejatinya bisa menjadikan manusia berada pada kerugian. Sementara kerugian itu disebutkan dalam al-Qur’an dengan istilah asfala as-Safilin. Adapun jika manusia memahami ketergantungannya kepada Allah, kepada pengetahuan akan Allah dan segala tindakan yang bisa menjurumuskannya dalam potensi-potensi buruk, maka manusia itu bisa kembali pada penciptaannya yang fitrah dan unggul, atau yang diistilahkan al-Qur’anahsanitaqwim.

Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa: Manusia di dalam al-Qur’an diwakili dengan empat kata: al-Basyar, al-Nas, al-Ins dan al-Insan

Al-Basyr menggambarkan manusia sebagai manusia secara fisik, wadah materil yang butuh makan dan minum dan menunjukkan manusia jenis apa saja, baik Nabi maupun kafir

Al-Nas memiliki tiga pemaknaan. Pertama: menunjukkan jenis makhluk yang bernama manusia. kedua: manusia tidak sebagai entitas secara fisik tetapi sifat-sifat. Ketiga manusia makhluk yang berbeda karena memiliki potensi menjadi baik dan menjadi buruk

Makna al-Ins merujuk pada makna berbeda dari Jinn dalam arti negatif

Makna al-Insan yang merujuk pada hakikat manusia sebagai makhluk yang diciptakan Allah, bergantung pada Allah, membutuhkan ilmu pengetahuan untuk mematuhi Allah dan menjauhkan diri dari potensi-potensi kerugian

Jika hendak diambil benang merah dari semua kata tersebut maka dapat disimpulkan bahwa manusia di dalam al-Qur’an tidak hanya bersifat basyar saja. tetapi an-nas yang memiliki potensi baik dan buruk. Hakikatnya manusia harus menjadi al-Ins yang tidak tersesat oleh al-Jinn.

Untuk itu maka manusia harus menghayati dirinya sebagai al-Insan di mana potensi keburukan dan kerugiannya dijauhi dengan cara menyadari ketergantungannya kepada Allah melalui pengetahuannya kepada Allah dan mengaplikasikan pada tindakan untuk menghindari segala potensi keburukan dalam diri.

Ketika manusia tidak bisa seperti itu, maka berarti manusia tersebut tidak terbimibing oleh wahyu. Akibatnya manusia hanya menjadi basyar secara fisik yang tidak berbeda dari makhluk lainnya bahkan jatuh pada derajat asfalas as-safilin. Namun ketika manusia mampu melakukan proses tersebut, berarti ia merupakan basyar yang istimewa karena mengikutiwahyu, dengan begitu ia berada pada derajat ahsani taqwim.

CERAMAH AGAMA ISLAM : MENGHARGAI JASA DAN PERJUANGAN IBU

الحمدلله الذى ارسل رسوله بالهدى ودين الحق، بشيرا ونذيرا ورحمة لسائر العالم، اشهد ان لأ اله الا الله وحده لاشريك له الملك العلام، واشهد ان سيدنا محمدا عبده ورسوله سيد الأنام،  اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى آله واصحابه صلاة وسلاما دآئمين متلازمين على ممر الدهور والأيام. اما بعد

Hadirin dan hadirat yang Insya Allah dirahmati Allah !

            Pertama dan yang paling utama marilah kita panjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah, atas curahan rahmat yang tidak pernah berhenti, semenjak kita berada di rahim ibu, lalu ibu melahirkan kita ke alam dunia yang fana ini dengan susah payah, menyusui dengan susah payah pula, membesarkan dan mendidik dengan penuh kasih sayang sampai akhirnya kita dalam keadaan kita masing-masing sekarang. Semoga

            Shalawat dan salam kita sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang telah membebaskan kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan, dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang, berkat jasa beliau Islam tersebar di penjuru dunia. Berkat Jasa beliau pula kita bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Hadirin dan hadirat yang Insya Allah dirahmati Allah !

Manusia dilahirkan ke dalam dunia yang fana ini dengan dianugerahi berbagai keistimewaan. Ada yang dianugerahi keistimewaan pada salah satu panca indranya, seperti kelebihan pada indra lihat atau indra pendengaran atau indra rasa. Ada yang dianugerahi keistimewaan pada kekuatan fisiknya. Semua keistimewaan ini merupakan anugerah dari Allah SAW yang harus disyukuri antara lain dengan menggunakannya dalam hal-hal yang diridhoi oleh Allah Swt.

Keistimewaan manusia yang paling utama terrletak pada sejauh mana ia dapat memberikan manfaat terhdap orang lain. Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya:

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain” (Al-Hadits)

Ibu adalah sosok manusia yang paling bermanfaat untuk orang lain. Jasa ibu yang paling menonjol dipaparkan dalam Al Qur’an sebagai berikut yang artinya:

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu.  Maksudnya: Selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua tahun.”

Menurut ayat diatas, ada dua macam jasa ibu yang paling dominan, yaitu:

  1. Mengandung

Wanita yang sedang mengandung terkekang kebebasannya; yang memiliki hobi olah raga berhenti, apalagi pada saat ngidam, serba tidak enak, makan tidak enak, tidur tidak nyenyak, sudah hamil besar keindahan tubuhnya hilang, pantas jika Allah Allah Swt meninggikan derajat ibu dibandingkan dengan seorang ayah.

  1. Menyusui sampai menyapihkan

Menyusuai merupakan pekerjaan yang luar biasa beratnya, terutama malam hari pada saat tidur nyenyak. Tanpa ada keluhan dari ibu, kapanpun dan dalam keadaan apapun, sang ibu akan melayani tuntutan anaknya untuk menyusui. Tanpa menghitung waktu, dijalaninya itu semua dengan kerrelaan hati.

Pada ayat lain, kepayahan ibu itu lebih dirinci lagi, yaitu sebagai berikut yang artinya:

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia Telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah Aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang Telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya Aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya Aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.

Hadirin dan hadirat yang Insya Allah dirahmati Allah !

  1. Melahirkan

Perjuangan kaum ibu berjuang antara hidup dan mati dalam melahirkan. Kaum ibu merelakan segalanya untuk keselamatan kelahiran anaknya, baik harta, maupun tenaga bahkan nyawa sekalipun demi keselamatan dan kesehatan anaknya.

Selain semua yang disebutkan di atas, dekapan dan kasih sayang ibu merupakan pendidikan utama yang mewarnai kepribadian anak.

Karena besarnya dan banyaknya jasa orang tua kepada manusia, khususnya ibu. Karena itu Allah mewajibkan kepada segenap manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya, terutama ibu.

Bentuk-bentuk perbuatan baik terhadap ibu bapak dijelaskan dalam al Qur’an surah Al Isra’ ayat 23 dan 24.

“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil”.

Perbuatan baik terhadap ibu bapak menurut ayat di atas adalah:

  1. Tidak mengucapkan kata-kata yang akan menyakiti hatinya, seperti ucapan “AH”;
  2. Tidak membentaknya;
  3. Menyampaikan ucapan-ucapan yang mulia (enak didengar dan enak pula di hati);
  4. Merendahkan diri di hadapannya;
  5. Mendo’akannya

Sehubungan dengan jasa ibu yang luar biasa, Rasulullah telah melebihkan dari pada ayah dalam perbuatan baik anak-anaknya dalam sabdanya yang artinya:

“Telah datang seeorang laki-laki kepada Rasulullah SAW, lalu bertanya siapakah yang lebih pantas mendapat persahabatan yang baik dari padaku? Nabi menjawab ibumu. Laki-laki itu bertanya kemudian siapa lagi?, “Nabi menjawab, ibumu”. Laki-laki itu bertanya. “Kemudian siapa lagi?”. Nabi menjawab, “ibumu”. Laki-laki itu bertanya “Kemudian siapa lagi” Nabi menjawab “Bapakmu” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut hadits di atas, perbandingan ibu dengan ayah dalam perbuatan baik anak-anaknya adalah 3 berbanding 1. Hal ini menunjukkan keistimewaan kaum ibu yang diberikan oleh Rasulullah SAW, bahkan dalam hadits lain, mengurus ibu lebih diutamakan dari pada mengikuti perang di jalan Allah.

Sebagai mana sabda Nabi SAW yang artinya: “Minta izin kepada Nabi seorang laki-laki untuk ikut berperang. Nabi bertanya masih mempunyai ibukah kamu? Laki-laki itu menjawab, masih. Lalu Nabi SAW bersabda. Jagalah Ibumu, karena surga itu ada di bawah kakinya. “ (HR. Ibnu Majah)

Kita orang Islam hendaknya sangat menghargai dan menghormati jasa ibu, yaitu agar dapat memelihara kesejahteraan lahir dan batinnya. Dengan mengenang jasa ibu, marilah kita melangkahkah lebih maju dengan meningkatkan kepedulian kepada sesama, terutama kepada kaum ibu yangpaling berjasa kepada kita. Tanpa mereka bagaimmana nasib kita. Untuk itu mari kita berdo’a untuk ibu bapak kita, “Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku. Sayangilah mereka seperti halnya merreka telah membesarkan aku dengan penuh kasih sayang”

Hadirin dan hadirat yang Insya Allah dirahmati Allah !

Demikianlah apa yang dapat saya sampaikan, jika ada kata-kata yang salah saya minta maaf dan kepada Allah Swt. Saya mohon ampun.  Wabillahit taufiq walhidayah.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.