FAROIDL : PENGKLASIFIKASIAN AHLI WARIS MENJADI EMPAT KELOMPOK
Adapun ahli waris ada empat kelompok, sebagaimana berikut.
1) Kelompok yang hanya mendapatkan bagian pasti (furudh). Kelompok ini ada tujuh orang, yaitu suami, istri, ibu, nenek dari ibu, nenek dari ayah, saudara seibu, dan saudari seibu. Ringkasnya mereka adalah ibu dan kedua anaknya, kakek nenek, dan suami istri.
2) Kelompok yang hanya mendapatkan sisa (ashabah). Kelompok ini ada dua belas orang, yaitu ashabah bin nafsi selain ayah dan kakek, tuan yang telah memerdekakan dan tuan perempuan yang memerdekakan.
3) Kelompok yang kadangkala mendapatkan bagian pasti dan kadang pula sisa bahkan kadangkala secara bersamaan. Kelompok ini ada dua orang yaitu ayah dan kakek yang menerima sisa. Keduanya mendapatkan warisan seperenam jika bersamaan dengan anak laki atau cucu dari anak laki-laki. Mereka menerima sisa ketika mayat tidak meninggalkan keturunan. Dan mereka mendapatkan bagian pasti dan sisa apabila bersama ahli waris perempuan.
4. Kelompok yang kadang mendapatkan bagian pasti dan juga mendapatkan sisa, namun keduanya tidak bisa didapatkan secara bersama pada waktu yang sama. Mereka ada empat orang, yaitu anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, saudari kandung, dan saudari seayah. Kelompok ini akan mendapatkan bagian pasti bila tidak ada ahli waris yang mengakibatkannya mendapatkan sisa.
■ Klasifikasi Hak Waris Laki-Laki dan Perempuan
a. Hak Waris Ayah
Ayah mendapatkan seperenam bila bersama anak laki atau cucu lelaki dari anak laki-laki. Bila tidak terdapat cucu lelaki dari anak laki-laki, ayah mendapatkan ashabah. Lebih jelasnya sebagaimana berikut.
1) Ayah mendapatkan seperenam sebagai bagian pastinya dan memperoleh seperenam ketika ada keturunan laki-laki yang mendapatkan warisan seperti anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki, walau ke bawah. Allah SWT berfirman, “ Untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan jika dia (yang meninggal) mempunyai anak ,” (QS. an-Nisa’ [4]: 11).
2) Ayah mendapatkan ashabah saja dan memperoleh semua harta peninggalan jika tidak ada ahli waris sama sekali, laki-laki atau perempuan. Misalnya seseorang meninggal dunia dan ahli warisnya hanyalah ayah. Ayah dalam hal ini menjadi ashabah bin nafsi. Ayah mendapatkan sisa setelah harta warisan dibagikan kepada ahli waris yang mendapatkan bagian pasti, contoh seseorang wafat meninggalkan ayah dan istri. Maka, istri mendapatkan seperempat dan ayah mendapatkan sisa tirkah.
3) Ayah mendapatkan seperenam dan sekaligus mendapatkan ashabah ketika bersama keturunan yang berhak mendapatkan warisan dari kalangan perempuan, baik anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki walau ke bawah. Misalnya, seseorang wafat meninggalkan ayah dan anak perempuan maka anak perempuan itu mendapatkan seperdua, ayah seperenam dan sisa.
b. Hak Waris Kakek
Kakek yang mendapatkan ashabah adalah kakek yang jalur nasabnya sampai kepada mayat tidak melalui perempuan. Jika jalur nasab kakek kepada mayat melalui jalur perempuan maka tidak mendapatkan warisan. Kakek itu seperti ayah, ketika tidak ada ayah dan tidak terdapat saudara atau saudari kandung.
Apabila kakek tidak bersama dengan beberapa saudara atau saudari, dia mendapatkan seperenam jika bersama dengan anak laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki. Kakek mendapatkan warisan melalui jalur ashabah bila tidak ada anak laki-laki atau cucu laki dari anak laki-laki.
• Kakek dan Para Saudara
Jika kakek bersama beberapa saudara dan saudari kandung atau seayah, maka kadangkala kakek mendapatkan bagian pasti dan kadang mendapatkan ashabah. Penjelasannya sebagai berikut.
1) Jika tidak ada ahli waris yang mendapatkan bagian pasti selain kakek dan para saudara dan saudari, maka mereka mendapatkan sama rata. Ahli waris perempuan mendapatkan sisa kalau memang harta warisan itu tidak berkurang dari sepertiga dari seluruh harta yang ada. Namun, bila kurang yang dari itu, kakek hanya mendapatkan sepertiga dan sisanya diberikan kepada para saudara dan saudari dengan acuan bahwa bagian laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan.
Contoh: (1) kakek bersama satu saudari atau lebih. (2) kakek bersama satu saudara atau lebih, dan satu saudari atau lebih. Maka dalam hal ini, harta warisan dibagikan dengan sama rata (muqasamah) dengan acuan bahwa bagian laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan.
2) Apabila kakek bersama ahli waris yang mendapatkan bagian pasti atau bersama ahli waris berjumlah lebih dari satu, maka ahli waris itu diberikan haknya yaitu mendapatkan bagian pasti dan sisanya diberikan kepada kakek setelah pembagian untuk ahli waris lainnya selesai.
Adapun cara penyelesaian permasalahan ini dengan menggunakan tiga cara; muqasamah (dibagi rata), sepertiga sisa, dan atau mendapatkan seperenam dari seluruh tirkah.
Contohnya sebagai berikut.
• Suami, kakek, dan saudara. Maka cara pembagian dengan menggunakan muqasamah adalah yang terbaik. Asal masalahnya adalah dua dan tashihul masalahnya empat dengan perincian sebagai berikut. Suami mendapatkan seperdua, kakek apabila menggunakan muqasamah mendapatkan seperempat, dan itu lebih sempurna daripada mendapatkan seperenam dari semua harta dan sepertiga dari sisa tirkah.
• Dua anak perempuan, dua saudara, dan kakek. Seperenam lebih baik bagi kakek karena asal masalahnya adalah enam. Seperenam dari enam asal masalah lebih baik baginya. Dengan demikian kakek mendapatkan satu, dua anak perempuan mendapatkan empat, dan dua saudara mendapatkan satu. Dari bilangan seperdua menjadi terpecah, maka bilangan dua dikalikan dengan asal masalah hasilnya dua belas. Dengan demikian kakek mendapatkan seperenam, yaitu dua dan itu lebih baik baginya daripada muqasamah karena seperenam merupakan pengganti dari satu sepertiga, dan begitu juga sepertiga dari sisa.
• Istri, tiga saudara, dan kakek. Mendapatkan sepertiga sisa dari harta warisan lebih baginya.
• Dua anak perempuan, ibu, kakek, dan tiga saudara atau lebih. Maka penyelesaiannya adalah sebagai berikut. Dua anak perempuan mendapatkan sepertiga, ibu seperenam, kakek seperenam, dan para saudara tidak mendapatkan bagian.
Apabila para saudara kandung dan saudara seayah berkumpul, maka penyelesaiannya adalah ketika diselesaikan dengan muqasamah para saudara kandung mengambil bagian kakek dan saudara seayah. Contoh kakek, saudara kandung dan saudara seayah. Maka pembagiannya adalah kakek mendapatkan sepertiga, saudara kandung mendapatkan dua p e rtiga; sepertiga dengan cara muqasamah dan sepertiga lainnya didapatkan dari bagian saudara seayah karena bagiannya terhalangi oleh saudara kandung, maka haknya dikembalikan kepada mereka.
Namun, jika saudari kandung itu sendirian, dia mendapatkan seperdua. Sisanya diberikan kepada saudara seayah. Dan bila tidak terdapat saudara seayah maka saudari kandung mendapatkan sepertiga yang diambil dari bagian kakek. Apabila ada saudara seayah maka bagian kakek dikembalikan kepadanya. Asal masalah adalah lima dengan menghitung jumlah bilangan kepala (‘adadi ar-ru’us ).
Tashihul masalahnya menjadi sepuluh. Maka, saudari itu mendapat dua p e rtiga dari bagian muqasamah, saudara mendapatkan empat tapi yang diberikan hanya tiga, dan saudara seayah mendapatkan bagian satu saja.
Saudari kandung atau seayah ketika tidak ada saudara dan bersama dengan kakek tidak boleh diberikan bagian pasti terkecuali dalam masalah akdariyah , yaitu suami, ibu, kakek, dan saudari kandung. Maka, suami mendapatkan seperdua, ibu mendapatkan sepertiga, dan kakek mendapatkan seperenam. Harta warisan menjadi habis terbagi, padahal dalam pewarisan itu, tidak ada ahli waris yang menghalangi saudari kandung. Solusinya adalah dengan meninggikan (‘aul) asal masalah agar saudari kandung terpenuhi haknya. Asal masalah yang pada mulanya enam menjadi sembilan, dinaikkan tiga. Maka, suami mendapatkan tiga, ibu dua, dan sisanya untuk saudari dan kakek dengan ketentuan bahwa bagian laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan. Sisa tersebut dipecah menjadi tiga dan dikalikan dengan sembilan sehingga tashihul masalahnya duapuluh tujuh.
c. Hak Waris Nenek
Nenek adalah ibunya ibu atau ibu dari ibunya ibu dan begitu seterusnya, ibunya ayah atau ibu dari ibunya ayah dan begitu seterusnya, atau ibu dari ayahnya ibu dan begitu seterusnya mendapatkan seperenam harta warisan. Jika ada dua nenek dengan derajat yang sama maka mereka mendapatkan seperenam. Misalnya, ibunya ayah dan ibunya ibu atau ibu dari ibunya ayah dan ibu dari ayahnya ayah.
Bila salah satu dari mereka lebih dekat dengan orang yang mewariskannya, dan kedekatan itu dari jalur ibu, maka dia bisa menggugurkan bagian nenek yang jauh. Semisal ibunya ibu dengan ibu dari ibunya ayah. Apabila kedekatan itu dari jalur ayah, maka dia tidak bisa menggugurkan bagian nenek lainnya, bahkan keduanya mendapatkan seperenam dengan dibagi rata. Misalnya ibunya ayah dengan ibu dari ibunya ibu. Sedangkan ¡bu dari ayahnya ibu tidak mendapatkan hak waris karena mereka termasuk dzawill arham yaitu orang-orang yang tidak mempunyai hak waris.
d. Hak Waris Suami
Suami mendapatkan bagian pasti, yaitu seperdua bila tidak terdapat anak atau cucu dari anak laki-laki. Suami mendapatkan seperempat bila bersama salah satu dari dua ahli waris tersebut. Allah SWT berfirman, “ Bagian kalian (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istri kalian) itu mempunyai anak, maka kalian mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya ,” (QS. an-Nisa’ [4]: 12).
e. Hak Waris Istri
Istri mendapatkan bagian pasti seperempat bila suami tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki atau keturunan yang mempunyai hak waris. Dia mendapatkan seperdelapan bila ada salah satu dari ahli waris tersebut. Allah SWT berfirman, “ Para istri memperoleh seperempat harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kalian tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kalian buat atau (dan setelah dibayar) utang-utang kalian ,” (QS. an-Nisa’ [4]: 12).
f. Hak Waris Ibu
Ibu mendapatkan bagian pasti, yaitu sepertiga kalau memang tidak terdapat anak atau cucu dari anak laki-laki, perempuan atau laki-laki, dan tidak ada dua saudara dan saudari kandung, seayah atau seibu dan tidak dalam masalah umariyah atau ghura’ , yaitu ahli waris terdiri dari suami kedua orang tua, atau istri dan kedua orang tua. Allah SWT berfirman, “ Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga,” (QS. an-Nisá’ [4]-11). Ibu mendapatkan bagian pasti seperenam bila ternyata terdapat anak atau cucu dari anak laki-laki, dua saudara, atau dua saudari. Allah SWT berfirman, “ Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam,” (QS. an-Nisá’ [4]: 11).
Ibu mendapatkan sepertiga sisa dari pembagian suami istri yang disebut dalam masalah gharawain , yaitu komposisi ahli waris sebagai berikut: ibu, ayah, dan suami; atau istri, ibu, dan ayah. Maka untuk komposisi yang pertama, suami mendapatkan seperdua, yaitu tiga dari enam. Ayah mendapatkan sisa (ashabah).
Sedangkan ibu mendapatkan sepertiga sisa yang diperoleh dari sisa suami, yaitu satu bagian dari asal masalah (enam).
Adapun penyelesaian komposisi yang kedua adalah sebagai berikut. Istri mendapatkan seperempat dari asal masalah (dua belas) karena tidak ada ahli waris lainnya seperti anak, ayah mendapatkan sisa dari dua belas yaitu enam, ibu mendapatkan sepertiga sisa dari ayah, dan istri tiga bagian.
g. Hak Waris Anak Perempuan
Hak waris anak perempuan semata wayang adalah seperdua. Allah SWT berfirman, “ Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah(harta yang ditinggalkan) ,” (QS.an-.Nisá’[4]: 11). Dia mendapatkan dua p e rtiga apabila mereka berjumlah dua atau lebih. Allah SWT berfirman, “ Jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan ,” (QS. an-Nisá’ [4]: 11).
Terkadang anak perempuan mendapatkan sisa karena ahli waris lainnya (ashabah bi ghairiha ) yaitu anak laki-laki. Maka, anak laki-laki memperoleh dua kali lipat bagian anak perempuan. Allah SWT berfirman, “ Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepada kalian tentang (pembagian warisan untuk) anak-anak kalian, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan ,” (QS. an-Nisá’ [4]: 11).
h. Hak Waris Cucu Perempuan dari Anak Laki-laki
Cucu perempuan, satu atau lebih memperoleh seperenam apabila bersama anak perempuan orang yang meninggal sebagai penyempurna dari dua p e rtiga. Hal ini mengacu pada keputusan Ibnu Mas’ud ra. Namun, bila cucu perempuan bersama dengan dua anak perempuan atau lebih, maka cucu perempuan tidak memperoleh sama sekali atau hak warisnya gugur. Ketika cucu perempuan lebih dari satu dan tidak ada anak perempuan, mereka memperoleh dua pe rtiga. Misalnya dalam komposisi berikut ini, ayah dan dua cucu perempuan, maka ayah memperoleh sisa sedangkan mereka memperoleh dua pertiga.
Terkadang cucu perempuan juga mendapatkan sisa bila bersama ahli waris yang mengakibatkan dia memperoleh sisa, yaitu cucu laki-laki dari anak laki-laki (muashib bi ghairiha ) dengan ketentuan bahwa cucu laki-laki memperoleh dua kali lipat bagian yang diperoleh cucu perempuan.
Dan mereka mendapatkan seperdua ketika sendirian dan tidak terdapat anak perempuan lainnya atau anak laki-laki, dan juga tidak terdapat ayah. Misalnya ayah, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan ibu. Maka, cucu perempuan itu mendapatkan seperdua, ibu mendapatkan seperenam, dan sisanya diperuntukkan ayah sebagai ahli waris ashabah dan bagian pasti. Hak waris cucu perempuan dari anak laki-laki terhalangi dengan adanya anak laki-laki, atau dua anak perempuan terkecuali ada ahli waris yang menyebabkan cucu perempuan itu mendapatkan sisa, yaitu cucu laki-laki dari anak laki-laki atau ke bawah yang mempunyai hak waris.
i. Hak Waris Saudari Kandung
Saudari memperoleh seperdua dengan syarat tidak ada ahli waris yang sederajat dengannya atau tidak ada ahli waris yang membuat dia memperoleh sisa, yaitu saudara sendiri atau saudara kandung. Firman Allah SWT, “ Jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudari, maka bagiannya (saudarinya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya,” (QS. an-Nisa’ [4]: 176). Saudari mendapatkan dua p e rtiga apabila berjumlah dua atau lebih serta tidak terdapat saudara kandung. Allah SWT berfirman, “ Tetapi jika saudari itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan ,” (QS. an-Nisa’ [4]: 176). Saudari memperoleh sisa (ashabah) apabila bersama dengan saudara kandung (muashib bi ghairiha ) dengan acuan bahwa hak saudara kandung dua kali lipat dari bagian yang diperoleh saudari. Dan saudari juga memperoleh sisa (ashabah) sebab bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki (muashib ‘ala ghairiha ).
Ini bersandarkan pada kaidah fiqhiyah: jadikanlah anak perempuan sebagai penyebab saudari kandung memperoleh sisa. Dalam Nail al-Authar dijelaskan bahwa ini adalah keputusan Ibnu Mas’ud dalam masalah ahli waris dengan komposisi sebagai berikut. Anak perempuan memperoleh seperdua, cucu perempuan dari anak laki-laki memperoleh seperenam sebagai penyempurna dari dua p e rtiga, dan sisanya diberikan kepada saudari. Hadits ini diriwayatkan oleh ulama hadits kecuali Muslim.
Saudari tidak mempunyai hak waris apabila terdapat keturunan laki-laki yang menerima waris, yaitu anak, cucu walau ke bawah, dan bila bersama ayah. Begitulah keputusan yang disepakati oleh para ulama.
j. Hak Waris Saudari Seayah
Saudari seayah memperoleh seperdua dengan syarat sebagai berikut.
(1) Tidak ada saudari lainnya.
(2) Tidak ada ahli waris yang mengakibatkan dia mendapatkan sisa, yaitu saudara seayah.
(3) Tidak ada saudari kandung. Hal ini mengacu pada pembagian waris yang diterima oleh saudari kandung ketika sendirian.
Saudari, dua atau lebih mendapatkan dua pe rtiga ketika tidak terdapat saudara seayah, atau beberapa saudari yang sekandung. Saudari seayah, dua atau lebih memperoleh seperenam apabila ada saudari kandung karena menyempurnakan bagian dua p e rtiga. Saudari seayah memperoleh sisa (ashabah) apabila bersama saudara seayah. Dia juga mendapat ashabah apabila bersama anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki dan keduanya bersamaan, baik satu orang atau lebih.
k. Hak Waris Saudara, Laki-Laki atau Perempuan yang Seibu (Auladul Umm )
Mereka mendapatkan seperenam ketika mayat tidak meninggalkan anak atau orang tua. Allah SWT berfirman, “ Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara (seibu) atau seorang saudari (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta ,” (QS. an-Nisa’ [4]: 12)
Mereka mendapatkan sepertiga apabila berjumlah dua atau lebih ketika mayat tidak meninggalkan anak atau orang tua. Allah SWT berfirman, “ Tetapi jika saudara-saudari seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu ,” (QS. an-Nisa’ [4]: 12). Mereka tidak mempunyai hak waris apabila bersama keturunan yang menerima waris (anak, dan cucu dari anak laki-laki, walau ke bawah) dan terdapat pula orang tua yang menerima waris (ayah dan kakek yang mendapatkan hak waris sisa). Karena mereka semua termasuk kelompok kalalah . Begitulah pendapat yang disepakati oleh ulama. Allah SWT berfirman, “ Katakanlah, ‘Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudari ,’” (QS. an-Nisa’ [4]: 176). Saudara yang dimaksud adalah saudara seibu.
FAROIDL : PENJELASAN RAD, ‘AUL DAN HAJB
Rad, Aul dan Hajb
1. Rad
Pengembalian [rad) kepada ahli waris yang mempunyai bagian pasti terjadi manakala harta peninggalan melebihi perolehan para ahli waris. Rad (lawan kata ‘aul) adalah kelebihan pembagian waris dan kekurangan siham yang akan dibagikan. Bagian ahli waris yang memperoleh dengan jalur bagian pasti memperoleh rad, selain suami istri, dengan melihat siham mereka masing-masing.
Menurut fatwa ulama muta’akhirin Syafi’iyah yang merupakan pendapat para sahabat dan tabi’in, seperti ahli waris yang mempunyai bagian pasti selain suami istri memperoleh rad dari ahli waris lainnya sesuai bagian pasti masing-masing. Allah SWT berfirman, “ Orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi),” (QS. al-Ahzab [33]: 6). Ayat tersebut menunjukkan bahwa kerabat orang yang meninggal lebih utama untuk mendapatkan harta peninggalannya daripada selainnya, dan lebih utama daripada baitul mal yang diperuntukkan bagi kaum muslimin.
Dalam hadits dijelaskan bahwa seorang perempuan datang kepada Nabi saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya bersedekah kepada ibu dengan seorang budak perempuan yang masih gadis, lalu ibu meninggal dan budak itu masih hidup.” Kemudian Nabi saw berkata, “ Itu hakmu dan itu adalah warisan untukmu .” Beliau memberikan budak tersebut kepada perempuan itu. Dengan demikian, jika tidak ada rad, maka perempuan itu mendapatkan seperdua.
Adapun contoh-contohnya adalah sebagai berikut.
• Seseorang wafat dengan meninggalkan dua anak perempuan, atau dua saudari, atau dua kakek. Maka asal masalahnya adalah dua, dan masing-masing mendapat seperdua dan rad. Ini contoh ahli waris dari satu golongan.
• Seseorang wafat dengan meninggalkan ahli waris kakek dan saudari seibu. Masing-masing mendapatkan seperenam dari asal masalah (enam). Bagian (siham) mereka jika dijumlah sama dengan dua. Maka, asal masalah (enam) diganti dengan asal masalah baru (dua), yaitu hasil penjumlahan bagian dua ahli waris tersebut. Ini contoh ahli waris yang lebih dari satu golongan dan tidak terdiri dari suami atau istri yang tidak mendapat rad.
• Seseorang wafat dengan meninggalkan istri atau suami dan tiga saudari kandung atau tiga anak perempuan. Asal masalahnya empat: istri memperoleh bagian pasti seperempat, yaitu satu bagian pada masalah pertama. Suami pada masalah kedua mendapatkan seperempat beserta adanya beberapa anak perempuan. Sisanya tiga bagian dibagikan kepada beberapa saudari atau para anak perempuan sebagai bagian pasti dan rad.
• Seseorang wafat dengan meninggalkan istri, ibu, dan dua saudara seibu. Asal masalahnya empat: istri mendapatkan bagian pasti seperempat, satu bagian dan sisanya (tiga) diberikan kepada ibu dan dua saudara seibu, yaitu dari seperenam sampai sepertiga (dari satu bagian sampai dua bagian). Ini contoh pewarisan terdiri dari dua kelompok atau lebih dan terdapatnya ahli waris yang tidak mendapat rad, suami atau istri. Dengan demikian, bila ahli waris penerima rad itu hanya satu kelompok ahli waris yang mendapatkan bagian pasti, maka penyelesaiannya sebagai berikut. Bilamana ahli waris itu hanya seorang, dia memperoleh bagian pasti dan sisa sebagai rad, misalnya anak perempuan. Di samping dia mendapatkan bagian pasti, seperdua, dia juga mendapatkan sisa sebagai rad. Jika ahli waris berupa kelompok, mereka memperoleh rad sesuai bagian pasti masing-masing. Apabila ahli waris terdiri dari dua kelompok, mereka mendapatkan radnya berdasarkan mereka masing-masing.
2. ‘Aul
Menurut jumhur sahabat dan Empat Mazhab, ‘aul adalah nilai siham melebihi asal masalah dalam pembagian kepada ahli waris. Orang yang pertama kali memutuskan teori ‘aul adalah Umar bin Khathab ra. Yaitu dalam kasus ahli waris sebagai berikut: suami dan dua saudari; atau suami, ibu dan saudari kandung. Umar memutuskan hal itu karena mengacu pada pernyataan Ibnu Abbas dan Zaid bin Tsabit “a’ilu al-faraid” (berikanlah kepada ahli waris dengan sama rata). Dalam hal ini, yang dimaksud adalah dua saudari kandung, dan dalam permasalahan yang lain adalah beberapa anak perempuan.
Adapun asal masalah yang menimbulkan ‘aul adalah enam, dua belas, dan dua puluh empat.
Asal masalah enam kadang ‘aul menjadi tujuh dalam komposisi ahli waris sebagai berikut: suami dan dua saudari kandung. Suami memperoleh bagian pasti seperdua, tiga bagian dan dua saudari kandung memperoleh dua pertiga, empat bagian. Dengan demikian, asal masalah yang awalnya enam ‘aul menjadi tujuh.
Asal masalah enam kadang ‘aul menjadi delapan dalam komposisi ahli waris sebagai berikut: suami, dua saudari kandung, dan ibu (ahli waris ini dikenal dengan ñama mubahalah ).
Suami mendapatkan seperdua, tiga bagian; dua saudari kandung mendapatkan dua pe rtiga, empat bagian; dan ibu memperoleh seperenam, satu bagian. Dengan demikian, asal masalah yang awalnya enam ‘aul menjadi delapan.
Asal masalah enam kadang ‘aul menjadi sembilan dalam permasalahan
murawaniyah, yaitu ahli waris yang terdiri dari suami, saudari kandung, dan dua saudari seibu. Suami memperoleh seperdua, tiga bagian; dua saudari kandung memperoleh dua pertiga, empat bagian; dan dua saudari seibu mendapatkan sepertiga, satu bagian.
Dengan demikian, asal masalah yang awalnya enam ‘aul menjadi sembilan.
Asal masalah enam kadang ‘aul menjadi sepuluh dalam permasalahan syarihiyah atau ummul furukh karena banyaknya ahli waris yang terlibat dalam ‘aul. Adapun komposisi ahli warisnya sebagai berikut: suami, dua saudari kandung, dua saudari seibu, dan ibu. Suami memperoleh seperdua, tiga bagian; dua saudari kandung memperoleh dua p e rtiga, empat bagian dan dua saudari seibu mendapatkan sepertiga, dua bagian; dan ibu mendapatkan seperenam, satu bagian. Dengan demikian, asal masalah yang awalnya enam ‘aul menjadi sepuluh.
Asal masalah dua belas kadang ‘aul menjadi tiga belas dalam komposisi ahli waris sebagai berikut: istri, dua saudari kandung, dan saudari seibu. Istri mendapatkan seperempat, tiga bagian; dua saudari kandung mendapatkan dua pertiga, delapan bagian; dan saudari seibu mendapatkan seperenam, dua bagian. Dengan demikian, asal masalah yang awalnya dua belas ‘aul menjadi tiga belas.
Asal masalah dua belas kadang ‘aul menjadi lima belas dalam komposisi ahli waris sebagai berikut: suami, dua anak perempuan, ibu, dan ayah. Suami mendapatkan seperempat, tiga bagian; dua anak perempuan mendapatkan dua pe rtiga, delapan bagian; ibu mendapatkan seperenam, dua bagian; dan ayah mendapatkan seperenam, dua bagian. Dengan demikian, asal masalah yang awalnya dua belas ‘aul menjadi lima belas.
Asal masalah dua belas kadang ‘aul menjadi tujuh belas dalam komposisi ahli waris sebagai berikut: istri, dua saudari kandung, dua saudari seibu dan ibu. Istri mendapatkan seperempat, tiga bagian; dua saudari kandung mendapatkan dua pe rtiga, delapan bagian; dua saudari seibu mendapatkan sepertiga, empat bagian; dan ibu mendapatkan seperenam, dua bagian. Dengan demikian, asal masalah yang awalnya dua belas ‘aul menjadi tujuh belas.
Asal masalah dua puluh empat hanya ‘aul menjadi dua puluh tujuh dalam masalah minbariyah. Adapun komposisi ahli warisnya sebagai berikut: istri, dua anak perempuan, ayah, dan ibu. Istri mendapatkan seperdelapan, tiga bagian; dua anak perempuan mendapatkan dua pe rtiga, enam belas bagian; ayah mendapatkan seperenam, empat bagian; dan ibu mendapatkan seperenam, empat bagian. Dengan demikian, asal masalah yang awalnya duapuluh empat ‘aul menjadi dua puluh tujuh.
3. Hajb
Hajb, secara bahasa bermakna terlarang dan secara syara’ adalah tercegah menerima hak waris, baik secara keseluruhan atau sebagian saja. Hajb terbagi menjadi dua bagian yaitu hajb bil hirman dan hajb bi an-nuqshan
Hajb hirman adalah seseorang tidak berhak mendapatkan warisan sama sekali, bukan karena oleh dirinya sendiri seperti karena membunuh dan berbeda agama. Akan tetapi disebabkan oleh orang lain, yang derajatnya lebih dekat kepada mayat. Misalnya, kakek terhalangi oleh ayah, cucu laki-laki dan anak laki-laki terhalangi oleh anak laki-laki, dan saudara seibu terhalangi oleh ayah atau anak.
Hajb hirman ada tujuh, yaitu kakek, nenek saudari kandung, dua saudari seibu, dua saudari seayah, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan cucu laki-laki dari anak laki-laki, dengan penjelasan sebagai berikut.
1) Kakek terhalangi oleh ayah.
2) Nenek terhalangi oleh ibu.
3) Dua saudari kandung terhalangi oleh anak laki-laki, atau cucu laki-laki dari anak laki-laki dan atau oleh ayah, berdasarkan ijma’ ulama.
4) Dua saudari seibu terhalangi oleh ayah, kakek, dan keturunan yang menerima waris, seperti anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan cucu perempuan dari anak laki-laki.
5) Dua saudari seayah terhalangi oleh dua saudari kandung apabila mereka tidak bersama muashshib -nya, yaitu saudaranya.
6) Cucu perempuan dari anak laki-laki terhalangi oleh dua atau lebih anak perempuan apabila mereka tidak bersama muashshib -nya, yaitu cucu laki-laki.
7) Cucu laki-laki dari anak laki-laki terhalangi oleh anak laki-laki.
• Hajb Nuqshan
Hajb nuqshan adalah berkurangnya bagian ahli waris karena ada ahli waris lainnya. Hal ini ada lima macam, sebagaimana berikut.
1) Berkurangnya bagian pasti, seperti suami yang mendapatkan seperdua, berkurang menjadi seperempat sebab terdapat anak; ibu yang mendapatkan sepertiga berkurang menjadi seperenam sebab adanya anak atau beberapa saudara/saudari; cucu perempuan dari anak laki-laki yang mendapatkan seperdua berkurang menjadi seperenam sebab terdapat satu anak perempuan.
2) Berkurangnya bagian ahli waris ashabah menjadi bagian yang lebih sedikit. Misalnya, saudari kandung atau seayah yang bersama anak perempuan atau bersama cucu perempuan dari anak laki-laki. Hal ini apabila mereka bersama saudaranya (saudara kandung dan seayah). Bisa diartikan bahwa mereka yang semula mendapatkan warisan sebagai ashabah ma’al ghair -yaitu karena bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki- berubah menjadi mendapatkan warisan sebagai ashabah bin nafsi . Dan ini berakibat pada perolehan bagian mereka pula.
3) Berkurang bagian ahli waris, yaitu mereka semula mendapatkan bagian pasti menjadi bagian ashabah. Misalnya, anak perempuan yang bersama anak laki-laki. Bagiannya berkurang dari bagian pasti, seperdua, menjadi ashabah yang lebih sedikit.
4) Berkurangnya bagian ahli waris, yang semula mendapatkan ashabah, berubah mendapatkan bagian pasti. Misalnya, ayah atau kakek yang semula mendapatkan ashabah, berubah menjadi bagian pasti karena bersama anak laki atau cucu laki dari anak laki-laki.
5) Banyaknya ahli waris yang memperoleh bagian pasti, seperti telah disebutkan dalam kasus ‘aul di depan.
FAROIDL: PENJELASAN AHLI WARIS ASHOBAH DAN HAWASYI
■ Ahli Waris Hawasyi dan Ashabah
1. Ahli Waris Hawasyi
Ahli waris hawasyi yaitu saudara dan saudari kandung, jika tidak terdapat saudara dan saudari seayah mereka mendapatkan hak waris sama seperti anak kandung. Artinya saudara yang sendirian atau lebih mendapatkan seluruh harta peninggalan; satu saudari mendapatkan seperdua; dan dua saudari atau iebih mendapatkan duapertiga. Jika dua kelompok ini (saudara-saudari) ada maka saudara mendapatkan dua kali lipat bagian saudari.
Saudari dan saudara seayah berhak menerima waris seperti anak kandung
(walad ash-shulbi) bila tidak terdapat saudara-saudari kandung, kecuali dalam masalah musyarakah yang ahli warisnya terdiri dari suami/istri, ibu, kakek, dua saudara atau lebih yang seibu, dan saudara sekandung.
Saudara kandung mendapatkan bagian yang sama dengan saudara seibu, yaitu sepertiga yang dibagi sama rata. Seandainya di sana terdapat saudara seayah (bukan saudara kandung) maka bagian saudara seibu gugur.
Bilamana dua kelompok tersebut ada, yaitu saudara kandung dan saudara seayah, hukumnya sama seperti ketika anak kandung berkumpul dengan cucu dari anak laki-laki. Apabila di antara saudara kandung itu terdapat laki-laki meski ada yang perempuan maka hak waris saudara seayah gugur. Bila saudara/saudari seayah tersebut terdiri dari seorang perempuan, dia mendapatkan seperdua, dan sisanya diberikan kepada saudara seayah. Jika mereka terdiri dari beberapa saudara dan saudari seayah maka laki-laki memperoleh dua kali lipat bagian perempuan. Bilamana saudara seayah itu hanya seorang atau dua orang perempuan, dia atau mereka mendapatkan seperenam sebagai penyempurna bagian dua pertiga.
Apabila saudari kandung itu hanya terdiri dari dua orang atau lebih, keduanya atau mereka mendapatkan bagian dua pertiga, dan sisanya hanya diberikan kepada saudara seayah. Namun, jika mereka terdiri dari beberapa laki-laki dan perempuan maka khusus bagi perempuan tidak berhak menerima warisan bila ada dua saudari kandung atau lebih.
Hanya saja, cucu perempuan dari anak laki-laki mendapatkan sisa harta warisan jika terdapat orang yang sederajat dengannya (yaitu cucu laki-laki dari anak laki-laki) atau orang yang berada pada derajat nasab di bawahnya. Yang membuat saudari mendapatkan sisa harta warisan adalah saudaranya, bukan anak laki-lakinya saudara bukan pula anak laki-lakinya paman dari ayah.
Bila seseorang wafat dengan meninggalkan dua saudari kandung, satu saudari seayah, dan anak laki-lakinya saudara seayah, maka dua saudari mendapatkan dua pertiga dan sisanya untuk anak laki-lakinya saudara. Dia tidak meng-ashabahi saudari seayah karena dia sendiri tidak bisa mengakibatkan saudarinya mendapatkan ashabah, tidak pula meng-ashabahi bibinya dari pihak ibu.
a. Saudara dan Saudari Seibu
Satu saudara/saudari seibu mendapatkan bagian seperenam; sedangkan dua atau lebih saudara/saudari seibu mendapatkan sepertiga. Allah SWT berfirman, “Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara (seibu) atau seorang saudari (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudari seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu,” (QS. an-Nisa’ [4]: 12).
b. Ashabah ma’al Ghair
Saudari kandung atau seayah bila bersama dengan beberapa anak perempuan atau beberapa cucu perempuan dari anak laki-laki, mereka mendapatkan sisa harta warisan (ashabah), sama seperi saudaranya. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud ra ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan saudari, dia menjawab, “Dalam kasus ini aku pasti menghukumi sesuai keputusan yang telah dikeluarkan oleh Rasulullah, yaitu anak perempuan mendapatkan seperdua, cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam, dan sisanya diberikan kepada saudari mayat.”
Sisi positif saudari kandung mendapatkan sisa harta warisan yaitu, apabila saudari kandung berkumpul dengan anak perempuan kandung atau cucu perempuan dari anak laki-laki, atau bersama keduanya dan beberapa saudari seayah, maka dia menggugurkan hak waris beberapa saudari seayah, seperti halnya saudara kandung.
c. Anak Laki-Laki Saudara (Keponakan)
Hak waris anak laki-laki saudara kandung atau seayah sama seperti ayahnya, baik ketika berkumpul maupun sendiri. Perbedaannya adalaha sebagai berikut.
Pertama, keberadaan mereka tidak mengubah warisan ibu dari sepertiga menjadi seperenam. Karena, Allah SWT memberikan ibu bagian sepertiga jika tidak terdapat para saudara, dan mereka tidak sama dengan anak-anaknya.
Kedua, anak laki-laki saudara kandung tidak berhak menerima warisan bila terdapat kakek, justru hak warisnya gugur oleh kakek. Sebaliknya ayah mereka mendapatkan warisan bersama kakek, karena kakek seperti saudara, mengingat keduanya memperoleh bagian yang sama rata saat ada.
Ketiga, anak laki-laki saudara kandung tidak berhak menerima waris dalam kasus musyarakah, lain halnya dengan ayah mereka yang sekandung. Sebab, landasan tasyrik adalah kerabat ibu.
Demikianlah tiga titik perbedaan antara anak laki-laki saudara dan ayah mereka.
d. Paman dari Ayah (‘Amm)
Hak waris paman dari ayah (‘amm) yang sekandung atau seayah sama dengan saudara dari dua sisi, baik ketika berkumpul maupun sendiri. Hak waris anak laki-laki paman dari ayah yang sekandung atau seayah sama seperti ‘amm sekandung atau seayah, asalkan dia tidak ada, seperti halnya anak-anak saudara.
Ahli waris ashabah lainnya seperti anak laki-laki dari anak laki-lakinya ‘amm, anak laki-laki dari anak lakinya saudara, dan seterusnya bisa diqiyaskan dengan paman dari ayah.
2. Ahli Waris Ashabah
Ashabah secara bahasa adalah jalur kekerabatan laki-laki pada ayahnya seperti paman dari ayah dan anak laki-laki paman dari ayah. Secara syara’ ashabah adalah orang yang tidak mendapatkan bagian pasti (fardan) yang telah ditentukan, melainkan mendapatkan sisa harta warisan. Ahli waris ashabah kadang berhak memperoleh seluruh tirkah (harta warisan) bila jika ahli warisnya hanya dia seorang diri, dan kadang mendapatkan sisa tirkah yang telah dibagikan kepada ashhabul furudh sesuai ketentuan syara’.
Ashabah ada dua macam; sababiyah dan nasabiyah.
a. Ashabah Sababiyah
Ashabah sababiyah adalah hak waris ashabah yang dimiliki oleh tuan karena telah memerdekakan budaknya. Hak waris ini terus berlanjut kepada ahli waris ashabah bin nafsi majikannya secara berurutan. Inilah yang dinamakan waris ‘. Yaitu bila seseorang (mantan hamba sahaya) meninggal dan tidak mempunyai ahli waris ashabah dari jalur nasab namun masih ada tuan yang memerdekannya, maka tuan ini, baik laki-laki maupun perempuan, berhak memperpleh seluruh tirkah atau sisa tirkah yang telah dibagikan kepada ashabul furudh.
Ketentuan di atas mengacu pada hadits yang bersifat umum, “Wala’ bagi tuan yang memerdekakan, Pemberian hak merdeka kepada budak bisa dilakukan oleh tuan laki-laki atau perempuan, karena itu hak mereka dalam waris wala’ pun sama, sesuai ijma’ ulama.
Penerimaan hak waris wala’ ini disyaratkan tidak terdapat ahli waris ashabah dari jalur nasab, sesuai hadits,
“Wala’ adalah segenggam daging seperti daging nasab.” Dalam hadits ini wala’ diserupakan dengan nasab, dan kita tahu bahwa bahwa obyek yang diserupakan (musyabah) bukanlah obyek yang diserupai (musyabah bih) .
b. Ashabah Nasabiyah
Yaitu hak waris ashabah yang murni melalui jalur nasab. Mereka adalah para kerabat laki-laki mayat yang silsilah nasabnya tidak dipisahkan oleh perempuan, semisal anak laki-laki, ayah, saudara, dan paman dari ayah, saudari dengan saudaranya, dan saudari bersama seorang anak perempuan.
Ketentuannya mereka memperoleh sisa tirkah yang telah dibagikan kepada ashabui furudh.
Apabila dalam silsilah nasab kepada mayat ditengahi oleh perempuan, mereka masuk dalam kelompok dzawil arham, seperti ayahnya ibu (kakek), anak laki-laki dari anak perempuan (cucu) atau termasuk ashabul furudh, seperti saudaranya ibu (paman).
Dasar hukum waris ashabah yaitu firman Allah SWT, “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepada kalian tentang (pembagian warisan untuk) anak-anak kalian, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan,” (QS. an-Nisa’ [4]: 11). Kemudian Allah SWT menjelaskan bagian yang diperoleh oleh ayah, ibu, dan lainnya. Penjelasan tersebut mengindikasikan bahwa anak mendapatkan sisa tirkah setelah ayah dan ibu memperoleh bagiannya.
• Ashabah nasabiyah ada tiga macam
Pertama, ashabah bin nafsi yaitu setiap laki-laki yang mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat kepada mayat dan dalam jalur nasabnya tidak diselingi oleh perempuan.
Ashabah bin nafsi ada empat jalur yang derajatnya tidak sama.
Mereka semua berjumlah dua belas orang, dengan perincian sebagai berikut :
(i) Jalur anak (bunuwwah), yaitu keturunan mayat yang mencakup anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki), dan seterusnya ke bawah.
(ii) Jalur ayah (ubuwwah), yaitu orang tua mayat yang meliputi ayah, ayahnya ayah (kakek) dan seterusnya ke atas.
(iii) Jalur saudara (ukhuwwah), yaitu anak-anak dan ayahnya mayat yang mencakup saudara kandung atau seayah dan anak laki-lakinya saudara kandung atau seayah (keponakan).
(iv) Jalur paman (umumah), keturunan dari kakeknya mayat mencakup paman dari ayah yang sekandung atau seayah, anak laki-laki paman dari ayah yang sekandung atau seayah, dan seterusnya ke bawah. Selanjutnya adalah paman dari ayah yang sekandung atau seayah, anak laki-laki paman dari ayah yang sekandung atau seayah, anak laki-laki paman dari ayahnya (anaknya kakek) dari jalur ayah yang sekandung atau seayah kemudian pamannya kakek (buyut) dari jalur ayah lalu anak laki-lakinya.
Secara prioritas ashabah dari jalur anak didahulukan dari jalur bapak, lalu dari jalur saudara, dan terakhir dari jalur paman.
Standar prioritas yang digunakan untuk menentukan ahli waris ashabah mana yang lebih berhak pertama adalah jihhah (kerabat yang bernasab kepada mayat melalui jalur), lalu kedua bi qurbil darajah (kerabat yang bernasab kepada mayat berdasarkan kedekatan derajatnya), dan kemudian bi quwwatil qarabah (kerabat yang bernasab kepada mayat berdasarkan kekuatan kedekatan dengan mayat).
Kedua, ashabah bil ghair yaitu setiap ahli waris perempuan yang mendapatkan bagian pasti dan mendapatkan sisa karena bersama dengan ahli waris laki-laki yang sederajat dengannya.
Ashabah bil ghair ini terjadi pada ahli waris perempuan yang mendapatkan seperdua ketika sendirian dan dua pertiga ketika jumlahnya lebih dari satu orang.
Mereka ada empat kelompok yaitu;
(i) anak perempuan bersama anak laki-laki yang sederajat;
(ii) anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) bersama anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki) yang sederajat,
(iii) saudari kandung bersama saudara kandung, dan
(iv) saudari seayah bersama saudara seayah.
Ketiga, ashabah ma’al ghair, setiap perempuan yang mendapatkan sisa tirkah karena bersama ahli waris perempuan lainnya.
Ashabah ma’al ghair mempunyai dua pola;
(i) saudari kandung bersama dengan anak perempuan atau anak perempuannya anak laki-laki (cucu perempuan); dan
(ii) saudari seayah bersama dengan anak perempuan atau anak prempuannya anak laki-laki (cucu perempuan).
Dalam kasus ini perempuan kandung berhak atas warisan bersama
mu’ashib -nya seperti, saudara seayah, dan menghalangi hak waris saudara-saudara seayah. Demikian pula, saudari seayah mendapat hak waris ashabah bersama mu’ashib -nya seperti saudara seayah, dan menghalangi hak waris anak laki-lakinya saudara kandung dan ahli waris setelahnya.
G. Hak Waris Dzawil Arham
Dzawil arham adalah seluruh kerabat yang tidak mendapatkan bagian pasti dan sisa. Mereka adalah:
1) Kakek dan nenek yang tidak menerima waris karena dihalangi oleh ahli waris lainnya
2) Anak-anak dari anak perempuan (cucu)
3) Anak-anak saudari (keponakan)
4) Anak laki-lakinya saudara seibu
5) Paman dari ayah yang seibu
6) Anak perempuannya paman dari ayah
7) Bibi dari ayah, saudari, dan bibi dari ibu.
Mengenai pewarisan dzawil arham masih diperselisihkan para ulama. Setidaknya ada tiga pendapat tentang masalah ini, yaitu sebaga berikut.
1) Sebagian ulama mengacu pada Madzhab Ahli Tanzil (selain Madzhab Hanafiyah menurut pendapat ma’tamad) bahwa dzawil arham menerima waris dengan cara menempatkan mereka di posisi orang tua (ushul) mereka yang berhak menerima warisan yaitu bapak/ibu, kakek, dan lainnya Dzawil arham memperoleh bagian tirkah atas nama orang tua nya seolah mereka masih hidup, berdasarkan prinsip firman Allah,
“Bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan,” (QS.an-Nisa’ [4]: 11).
2) Ulama lainnya mengacu pada Madzhab Ahli Qarabah, yaitu Madzhab Hanafiyah. Madzhab ini memprioritaskan kerabat terdekat mayatlah yang lebih berhak atas waris, kemudian orang yang setelahnya, diqiyaskan dengan ahli waris ashabah. Pewarisan dalam madzhab ini berdasarkan derajat kedekatan kepada mayat sebagaimana ahli waris ashabah. Tata cara yang kedua ini diberi nama Ahli Qarabah karena yang menerima warisan adalah mereka yang paling dekat kerabatnya, kemudian diikuti oleh ahli waris yang setelahnya.
3) Sebagian ulama lainnya mengacu pada Madzhab Ahli Rahim atau Madzhab Taswiyah yaitu seluruh dzawil arham mendapatkan harta peninggalan secara sama rata. Tidak ada perbedaan antara kerabat yang dekat atau jauh, laki-laki atau perempuan, karena mereka menerima waris atas dasar rahimiyah yang dalam nal ini mereka semua sama.
Imam Nawawi menyatakan bahwa pendapat yang paling benar dan paling tepat qiyasnya adalah Madzhab Ahli Tanzil. Wallahu a’lam.
Ulama sepakat bahwa dzawil arham, dari jalur anak dan jalur saudara mendapatkan seluruh harta peninggalan mayat ketika sendirian, baik laki-laki maupun perempuan. Perbedaan hanya terjadi manakala dzawil arham lebih dari satu orang.
Madzhab Ahli Tanzil mengecualikan
dzawil arham paman dari ibu dan bibi dan ibu. Menurutnya, mereka menempati posisi ibu. Begitu juga paman dari ayah dan bibi dari ayah menempati posisi ayah. Jika seseorang yang wafat dengan meninggalkan bibi dari ibu dan bibi dari ayah, bibi dari ibu mendapatkan sepertiga dengan menempati posisi ibu dan bibi dari ayah mendapatkan dua pertiga dengan mengganti posisi ayah yang juga mendapatkan sisa tirkah.
Kaidah Ahli Tanzil berkonsekuensi menempatkan anaknya anak perempuan (cucu) pada posisi anak perempuan, anak saudara di posisi saudara, dan anak paman diposisi paman. Contoh kasus, orang yang wafat meninggalkan anak perempuannya anak perempuan (cucu perempuan), anak perempuannya saudara, dan anak perempuannya paman dari ayah. Maka, menurut kaidah ini, berarti mayat meninggalkan anak perempuan, saudara, dan paman dari ayah. Jadi, harta peninggalan hanya dibagi kepada anak perempuan dan saudara saja sebab paman tidak berhak menerima waris karena terhalang oleh saudara. Artinya, cucu perempuan mendapat bagian ibunya yaitu seperdua dan anak perempuannya saudara memperoleh bagian ayahnya: seperdua sebagai ashabah.
Seseorang yang wafat dengan meninggalkan anak laki-lakinya anak perempuan (cucu laki-laki), anak perempuan dari anak perempuannya anak laki-laki (cicit perempuan), anak perempuannya saudari kandung, anak perempuannya saudari seayah. Maka, asal masalahnya enam karena kita mengumpamakan mayat meninggalkan anak perempuan, anak perempuannya anak laki-laki (cucu perempuan), saudari kandung, dan saudari seayah.
Anak perempuan mendapatkan seperdua, tiga bagian; cucu perempuan mendapatkan seperenam, satu bagian; dan saudari kandung mendapatkan sisa, dua bagian; sedangkan saudari seayah tidak memperoleh bagian. Seluruh bagian tersebut dibagikan kepada anak-anak mereka (dzawil arham ), seolah mereka wafat dengan meninggalkan anak-anaknya.
FAROIDL: PENYEBAB TIDAK MENDAPAT WARISAN, RADD DAN DZAWIL ARHAM
■ Pengembalian Harta Warisan (Radd) dan Dzawil Arham
Jika mayat tidak mempunyai ahli waris maka harta peninggalan tidak boleh diberikan kepada dzawil arham.
Apabila harta peninggalan itu masih bersisa maka tidak boleh diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan bagian pasti. Akan tetapi, harta peninggalan harus diberikan kepada baitul mal.
Namun, kalangan ulama mutaakhirin berpendapat, jika baitul mal masih belum bekerja dengan baik karena pemimpin yang tidak jujur maka harta peninggalan itu diberikan kepada ahli waris yang mendapatkan bagian pasti selain suami atau istri. Pengembalian itu berdasarkan pada bagian-bagian mereka yang telah ditentukan dan dipastikan. Apabila mereka semua tidak ada maka harta peninggalan diberikan kepada dzawil arham karena mengacu pada hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah dari al-Miqdam bin Ma’di Yakrib ra, “ Siapa saja yang meninggal dunia maka ahli warisnya berhak mendapatkan harta peninggalannya, dan aku adalah ahli waris bagi mayat yang tidak mempunyai ahli waris sebagai denda darinya. Bibi dari ibu adalah ahli waris bagi mayat yang tidak mempunyai ahli waris,sebagai denda darinya dan dia pun berhak mendapatkan warisannya. “
Alasan dzawil arham didahulukan dalam hal pengembalian sisa warisan karena kerabat yang berhak atas bagian pasti itu lebih utama. Jika mereka mendapatkan harta warisan maka cara pembagiannya adalah dengan sama rata. Adapun dzawil arham , yaitu selain kerabat yang telah mendapatkan harta warisan.
Jumlahnya ada sepuluh kelompok, sebagai berikut.
1) Ayahnya ibu.
2) Kakek atau nenek yang tidak mendapatkan harta warisan, seperti ayahnya ayah dari ibu dan ibunya ayah dari ibu. Mereka tergolong dalam satu kelompok.
3) Anak-anak dari anak perempuan sekandung seperti cucu perempuan dari anak perempuan atau dari anak laki-laki seperti anak perempuannya anak perempuan dari anak laki-laki, baik mereka dari kalangan laki-laki maupun perempuan.
4) Anak-anak perempuan dari saudara kandung, seayah atau seibu.
5) Anak-anak dari saudari sekandung, seayah atau seibu.
6) Anak laki-laki dan perempuan dari saudara seibu.
7) Paman dari ayah yang seibu.
8) Anak perempuan paman dari ayah kandung, seayah atau seibu dan juga anak laki-lakinya paman dari ayah yang seibu.
9) Bibi dari ayah.
10) Paman dan bibi dari ibu.
Termasuk dzawil arham yaitu mereka yang garis keturunannya melalui kelompok yang telah disebutkan di atas selain dari kakek dan nenek karena terkadang orang yang melalui jalur kakek atau nenek bisa menerima warisan.
■ Faktor-Faktor Penyebab Terhalangnya Pewarisan
Adapun penyebab terhalangnya pewarisan ada empat, yaitu sebagai berikut.
1) Membunuh. Yaitu, pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris kepada orang yang mewariskannya dengan alasan dan cara apa pun, baik pembunuhan itu karena menjalankan qishas, hudud, dan selainnya; lupa atau sengaja; secara langsung atau menggunakan penyebab lain.
Singkatnya ahli waris tidak berhak mendapatkan warisan bila terlibat dalam hal yang menyebabkan orang yang akan mewariskan meninggal dunia.
Adapun dalilnya adalah sabda Rasulullah saw, “ Pembunuh tidak berhak mendapatkan warisan dari orang yang dibunuh .” Sebab, jika seorang pembunuh mendapatkan warisan bisa jadi mereka akan berusaha untuk membunuh orang yang akan mewariskannya. Pelarangan warisan ini untuk kemaslahatan, sebab pembunuhan bisa mempercepat kematian yang merupakan salah satu unsur diperolehnya warisan.
2) Berbeda agama atau kafir. Orang Islam tidak boleh menerima warisan dari orang kafir begitu juga sebaliknya. Menurut pendapat yang masyhur kafir harbi (orang kafir yang berperang dengan kaum muslimin) tidak boleh mewariskan kepada kafir harbi atau kafir dzimmi (orang kafir yang hidup berdampingan dengan orang Islam dan di bawah kekuasaan pemerintahan Islam). Orang murtad tidak boleh mewarisi dan mewariskan. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Burdah dikatakan, “Rasullullah memerintahkan aku untuk menghukum mati orang yang mengawini ibu tirinya, kemudian membagi lima hartanya karena dia termasuk orang yang telah murtad.”
Orang kafir boleh mewarisi orang yang kafir pula, seperti kafir mu’ahid, dzimmi, dan musta’min walaupun keduanya berbeda agama, seperti Yahudi dari Nasrani dan juga sebaliknya; Nasrani dari Majusi; Majusi dari orang yang menyembah berhala (Paganisme) dan juga sebaliknya karena semua agama itu dikelompokkan dalam satu agama yaitu sama-sama agama batal. Allah SWT berfirman, “ Maka tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan ,” (QS. Yunus [10]: 32).
Ketentuan itu berlaku baik salah satu dari mereka berada di negara Islam dan yang satunya berada di negara kafir maupun tidak.
Adapun dasar atau dalil yang melarang pewarisan beda agama adalah hadits Rasulullah saw, “ Orang kafir tidak boleh menerima waris dari orang Islam dan juga sebaliknya ,” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
3) Budak. Budak atau hamba sahaya tidak berhak mewariskan dan mewarisi karena budak tidak mempunyai hak milik. Allah SWT berfirman, “ Allah membuat perumpamaan seorang hamba sahaya di bawah kekuasaan orang lain, yang tidak berdaya berbuat sesuatu ,” (QS. an-Nahl [16]: 75). Budak muba’adh yaitu budak yang sebagiannya merdeka dan sebagian yang lain masih berstatus budak, ia juga tidak berhak menerima waris.
4) Mati misterius. Apabila ada dua orang bersaudara meninggal dunia karena tenggelam, tertimpa sesuatu, atau raib serta tidak diketahui siapa yang meninggal lebih dulu, maka salah satunya tidak berhak menerima warisan dari yang lain. Harta yang ditinggalkan oleh mereka berdua diberikan kepada ahli waris lainnya.
Sedangkan pembagian warisan bagi orang yang dipenjara atau orang hilang (mafqud ) ditangguhkan sehingga diperoleh informasi yang valid tentang mereka berdua. Apabila dia telah nyata meninggal yang dibuktikan dengan saksi atau dengan perkiraan bahwa orang yang semasa dengan orang yang menghilang telah meninggal maka hakim boleh memutuskan kematiannya. Bila hakim telah memutuskan kematian orang hilang tersebut, maka warisan diberikan kepada ahli waris yang berhak pada saat dia dinyatakan meninggal, bukan pada saat dia dinyatakan hilang.
Jika orang hilang itu mempunyai hak waris maka hak warisnya ditangguhkan dulu sebelum didapatkan informasi akurat bahwa dia masih hidup di saat orang yang mewariskannya meninggal atau telah meninggal lebih dulu. Untuk ahli waris yang lain, lakukanlah kemungkinan yang paling benar. Ahli waris yang terhalang oleh orang hilang itu (mafqud), tidak boleh menerima warisan hingga keberadaan mafqud telah ditemukan. Ahli waris yang berkurang pembagian warisannya karena mafqud masih hidup, maka perkirakanlah bahwa mafqud masih hidup. Bila ahli waris berkurang pembagian warisannya karena mafqud sudah mati, maka perkirakanlah bahwa mafqud sudah meninggal dunia. Sedangkan ahli waris yang bagian warisannya tidak terpengaruh oleh hidup dan matinya mafqud maka berikanlah haknya, seperti anak lakinya mafqud, anak perempuannya, dan suaminya karena suami dalam kondisi apa pun tetap mendapatkan seperempat.
Bilamana mafqud meninggalkan istri yang sedang hamil, maka anak tersebut berhak menerima warisan dengan cara memperkirakan jenis kelaminnya, lelaki atau perempuan. Hal ini dilakukan untuk menjaga hak janin dan hak orang lain sebelum anak itu lahir. Apabila anak itu lahir dalam keadaan hidup sampai masa mafqud dinyatakan telah meninggal dunia, semisal bayi itu lahir prematur (kurang dari enam bulan) dalam status perkawinan masih belum dinyatakan cerai atau lahir kurang dari masa maksimal kehamilan pada waktu perkawinan telah putus, maka bayi itu masih berhak menerima warisan dari mafqud, karena bayi itu masih mempunyai hubungan nasab dengannya. Berbeda halnya jika yang terjadi adalah sebaliknya.
Pewarisan yang berhubungan dengan khunsa musykil -waria yang sulit ditentukan kelaminnya. Khunsa musykil ada dua macam, yaitu sebagai berikut:
1) Khunsa yang tidak berkelamin laki-laki dan perempuan, namun hanya mempunyai lubang yang berfungsi mengeluarkan air seni dan tidak menyerupai kemaluan laki-laki atau perempuan.
2) Khunsa yang mempunyai dua kemaluan laki-laki atau perempuan. Inilah yang sering terjadi di kalangan kaum waria.
Adapun hukumnya yaitu apabila hak warisnya sama baik laki-laki maupun perempuan seperti saudara seibu, maka proses pewarisannya sudah jelas. Namun, bila bagian hak warisnya berbeda, maka selesaikanlah pewarisan itu dengan mengacu pada kelamin yang diyakini.
Bila masih diragukan, maka proses pewarisan ditangguhkan sampai jenis kelaminnya dapat diketahui dengan pasti, baik dari informasi dari dirinya sendiri, haid, atau bisa dilihat dari kecenderungannya pada saat keluar sperma. Selain itu, dapat pula diketahui dengan cara melihatnya pada saat mengeluarkan air kencing. Apabila di saat buang air kecil seperti laki-laki, yaitu air kencingnya memancar ke depan, berarti dia laki-laki.
Apabila di saat buang air kecil seperti perempuan, yaitu berjongkok, maka dia adalah perempuan.
FAROIDL: MACAM DAN KLASIFIKASI AHLI WARIS
■ Macam-Macam Ahli Waris
Adapun ahli waris ada empat kelompok, sebagaimana berikut.
1) Kelompok yang hanya mendapatkan bagian pasti (furudh). Kelompok ini ada tujuh orang, yaitu suami, istri, ibu, nenek dari ibu, nenek dari ayah, saudara seibu, dan saudari seibu. Ringkasnya mereka adalah ibu dan kedua anaknya, kakek nenek, dan suami istri.
2) Kelompok yang hanya mendapatkan sisa (ashabah). Kelompok ini ada dua belas orang, yaitu ashabah bin nafsi selain ayah dan kakek, tuan yang telah memerdekakan dan tuan perempuan yang memerdekakan.
3) Kelompok yang kadangkala mendapatkan bagian pasti dan kadang pula sisa bahkan kadangkala secara bersamaan. Kelompok ini ada dua orang yaitu ayah dan kakek yang menerima sisa. Keduanya mendapatkan warisan seperenam jika bersamaan dengan anak laki atau cucu dari anak laki-laki. Mereka menerima sisa ketika mayat tidak meninggalkan keturunan. Dan mereka mendapatkan bagian pasti dan sisa apabila bersama ahli waris perempuan.
4. Kelompok yang kadang mendapatkan bagian pasti dan juga mendapatkan sisa, namun keduanya tidak bisa didapatkan secara bersama pada waktu yang sama. Mereka ada empat orang, yaitu anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, saudari kandung, dan saudari seayah. Kelompok ini akan mendapatkan bagian pasti bila tidak ada ahli waris yang mengakibatkannya mendapatkan sisa.
■ Klasifikasi Hak Waris Laki-Laki dan Perempuan
a. Hak Waris Ayah
Ayah mendapatkan seperenam bila bersama anak laki atau cucu lelaki dari anak laki-laki. Bila tidak terdapat cucu lelaki dari anak laki-laki, ayah mendapatkan ashabah. Lebih jelasnya sebagaimana berikut.
1) Ayah mendapatkan seperenam sebagai bagian pastinya dan memperoleh seperenam ketika ada keturunan laki-laki yang mendapatkan warisan seperti anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki, walau ke bawah. Allah SWT berfirman, “ Untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan jika dia (yang meninggal) mempunyai anak ,” (QS. an-Nisa’ [4]: 11).
2) Ayah mendapatkan ashabah saja dan memperoleh semua harta peninggalan jika tidak ada ahli waris sama sekali, laki-laki atau perempuan. Misalnya seseorang meninggal dunia dan ahli warisnya hanyalah ayah. Ayah dalam hal ini menjadi ashabah bin nafsi. Ayah mendapatkan sisa setelah harta warisan dibagikan kepada ahli waris yang mendapatkan bagian pasti, contoh seseorang wafat meninggalkan ayah dan istri. Maka, istri mendapatkan seperempat dan ayah mendapatkan sisa tirkah.
3) Ayah mendapatkan seperenam dan sekaligus mendapatkan ashabah ketika bersama keturunan yang berhak mendapatkan warisan dari kalangan perempuan, baik anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki walau ke bawah. Misalnya, seseorang wafat meninggalkan ayah dan anak perempuan maka anak perempuan itu mendapatkan seperdua, ayah seperenam dan sisa.
b. Hak Waris Kakek
Kakek yang mendapatkan ashabah adalah kakek yang jalur nasabnya sampai kepada mayat tidak melalui perempuan. Jika jalur nasab kakek kepada mayat melalui jalur perempuan maka tidak mendapatkan warisan. Kakek itu seperti ayah, ketika tidak ada ayah dan tidak terdapat saudara atau saudari kandung.
Apabila kakek tidak bersama dengan beberapa saudara atau saudari, dia mendapatkan seperenam jika bersama dengan anak laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki. Kakek mendapatkan warisan melalui jalur ashabah bila tidak ada anak laki-laki atau cucu laki dari anak laki-laki.
• Kakek dan Para Saudara
Jika kakek bersama beberapa saudara dan saudari kandung atau seayah, maka kadangkala kakek mendapatkan bagian pasti dan kadang mendapatkan ashabah. Penjelasannya sebagai berikut.
1) Jika tidak ada ahli waris yang mendapatkan bagian pasti selain kakek dan para saudara dan saudari, maka mereka mendapatkan sama rata. Ahli waris perempuan mendapatkan sisa kalau memang harta warisan itu tidak berkurang dari sepertiga dari seluruh harta yang ada. Namun, bila kurang yang dari itu, kakek hanya mendapatkan sepertiga dan sisanya diberikan kepada para saudara dan saudari dengan acuan bahwa bagian laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan.
Contoh: (1) kakek bersama satu saudari atau lebih. (2) kakek bersama satu saudara atau lebih, dan satu saudari atau lebih. Maka dalam hal ini, harta warisan dibagikan dengan sama rata (muqasamah) dengan acuan bahwa bagian laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan.
2) Apabila kakek bersama ahli waris yang mendapatkan bagian pasti atau bersama ahli waris berjumlah lebih dari satu, maka ahli waris itu diberikan haknya yaitu mendapatkan bagian pasti dan sisanya diberikan kepada kakek setelah pembagian untuk ahli waris lainnya selesai.
Adapun cara penyelesaian permasalahan ini dengan menggunakan tiga cara; muqasamah (dibagi rata), sepertiga sisa, dan atau mendapatkan seperenam dari seluruh tirkah.
Contohnya sebagai berikut.
• Suami, kakek, dan saudara. Maka cara pembagian dengan menggunakan muqasamah adalah yang terbaik. Asal masalahnya adalah dua dan tashihul masalahnya empat dengan perincian sebagai berikut. Suami mendapatkan seperdua, kakek apabila menggunakan muqasamah mendapatkan seperempat, dan itu lebih sempurna daripada mendapatkan seperenam dari semua harta dan sepertiga dari sisa tirkah.
• Dua anak perempuan, dua saudara, dan kakek. Seperenam lebih baik bagi kakek karena asal masalahnya adalah enam. Seperenam dari enam asal masalah lebih baik baginya. Dengan demikian kakek mendapatkan satu, dua anak perempuan mendapatkan empat, dan dua saudara mendapatkan satu. Dari bilangan seperdua menjadi terpecah, maka bilangan dua dikalikan dengan asal masalah hasilnya dua belas. Dengan demikian kakek mendapatkan seperenam, yaitu dua dan itu lebih baik baginya daripada muqasamah karena seperenam merupakan pengganti dari satu sepertiga, dan begitu juga sepertiga dari sisa.
• Istri, tiga saudara, dan kakek. Mendapatkan sepertiga sisa dari harta warisan lebih baginya.
• Dua anak perempuan, ibu, kakek, dan tiga saudara atau lebih. Maka penyelesaiannya adalah sebagai berikut. Dua anak perempuan mendapatkan sepertiga, ibu seperenam, kakek seperenam, dan para saudara tidak mendapatkan bagian.
Apabila para saudara kandung dan saudara seayah berkumpul, maka penyelesaiannya adalah ketika diselesaikan dengan muqasamah para saudara kandung mengambil bagian kakek dan saudara seayah. Contoh kakek, saudara kandung dan saudara seayah. Maka pembagiannya adalah kakek mendapatkan sepertiga, saudara kandung mendapatkan dua p e rtiga; sepertiga dengan cara muqasamah dan sepertiga lainnya didapatkan dari bagian saudara seayah karena bagiannya terhalangi oleh saudara kandung, maka haknya dikembalikan kepada mereka.
Namun, jika saudari kandung itu sendirian, dia mendapatkan seperdua. Sisanya diberikan kepada saudara seayah. Dan bila tidak terdapat saudara seayah maka saudari kandung mendapatkan sepertiga yang diambil dari bagian kakek. Apabila ada saudara seayah maka bagian kakek dikembalikan kepadanya. Asal masalah adalah lima dengan menghitung jumlah bilangan kepala (‘adadi ar-ru’us ).
Tashihul masalahnya menjadi sepuluh. Maka, saudari itu mendapat dua p e rtiga dari bagian muqasamah, saudara mendapatkan empat tapi yang diberikan hanya tiga, dan saudara seayah mendapatkan bagian satu saja.
Saudari kandung atau seayah ketika tidak ada saudara dan bersama dengan kakek tidak boleh diberikan bagian pasti terkecuali dalam masalah akdariyah , yaitu suami, ibu, kakek, dan saudari kandung. Maka, suami mendapatkan seperdua, ibu mendapatkan sepertiga, dan kakek mendapatkan seperenam. Harta warisan menjadi habis terbagi, padahal dalam pewarisan itu, tidak ada ahli waris yang menghalangi saudari kandung. Solusinya adalah dengan meninggikan (‘aul) asal masalah agar saudari kandung terpenuhi haknya. Asal masalah yang pada mulanya enam menjadi sembilan, dinaikkan tiga. Maka, suami mendapatkan tiga, ibu dua, dan sisanya untuk saudari dan kakek dengan ketentuan bahwa bagian laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan. Sisa tersebut dipecah menjadi tiga dan dikalikan dengan sembilan sehingga tashihul masalahnya duapuluh tujuh.
c. Hak Waris Nenek
Nenek adalah ibunya ibu atau ibu dari ibunya ibu dan begitu seterusnya, ibunya ayah atau ibu dari ibunya ayah dan begitu seterusnya, atau ibu dari ayahnya ibu dan begitu seterusnya mendapatkan seperenam harta warisan. Jika ada dua nenek dengan derajat yang sama maka mereka mendapatkan seperenam. Misalnya, ibunya ayah dan ibunya ibu atau ibu dari ibunya ayah dan ibu dari ayahnya ayah.
Bila salah satu dari mereka lebih dekat dengan orang yang mewariskannya, dan kedekatan itu dari jalur ibu, maka dia bisa menggugurkan bagian nenek yang jauh. Semisal ibunya ibu dengan ibu dari ibunya ayah. Apabila kedekatan itu dari jalur ayah, maka dia tidak bisa menggugurkan bagian nenek lainnya, bahkan keduanya mendapatkan seperenam dengan dibagi rata. Misalnya ibunya ayah dengan ibu dari ibunya ibu. Sedangkan ¡bu dari ayahnya ibu tidak mendapatkan hak waris karena mereka termasuk dzawill arham yaitu orang-orang yang tidak mempunyai hak waris.
d. Hak Waris Suami
Suami mendapatkan bagian pasti, yaitu seperdua bila tidak terdapat anak atau cucu dari anak laki-laki. Suami mendapatkan seperempat bila bersama salah satu dari dua ahli waris tersebut. Allah SWT berfirman, “ Bagian kalian (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istri kalian) itu mempunyai anak, maka kalian mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya ,” (QS. an-Nisa’ [4]: 12).
e. Hak Waris Istri
Istri mendapatkan bagian pasti seperempat bila suami tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki atau keturunan yang mempunyai hak waris. Dia mendapatkan seperdelapan bila ada salah satu dari ahli waris tersebut. Allah SWT berfirman, “ Para istri memperoleh seperempat harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kalian tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kalian buat atau (dan setelah dibayar) utang-utang kalian ,” (QS. an-Nisa’ [4]: 12).
f. Hak Waris Ibu
Ibu mendapatkan bagian pasti, yaitu sepertiga kalau memang tidak terdapat anak atau cucu dari anak laki-laki, perempuan atau laki-laki, dan tidak ada dua saudara dan saudari kandung, seayah atau seibu dan tidak dalam masalah umariyah atau ghura’ , yaitu ahli waris terdiri dari suami kedua orang tua, atau istri dan kedua orang tua. Allah SWT berfirman, “ Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga,” (QS. an-Nisá’ [4]-11). Ibu mendapatkan bagian pasti seperenam bila ternyata terdapat anak atau cucu dari anak laki-laki, dua saudara, atau dua saudari. Allah SWT berfirman, “ Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam,” (QS. an-Nisá’ [4]: 11).
Ibu mendapatkan sepertiga sisa dari pembagian suami istri yang disebut dalam masalah gharawain , yaitu komposisi ahli waris sebagai berikut: ibu, ayah, dan suami; atau istri, ibu, dan ayah. Maka untuk komposisi yang pertama, suami mendapatkan seperdua, yaitu tiga dari enam. Ayah mendapatkan sisa (ashabah).
Sedangkan ibu mendapatkan sepertiga sisa yang diperoleh dari sisa suami, yaitu satu bagian dari asal masalah (enam).
Adapun penyelesaian komposisi yang kedua adalah sebagai berikut. Istri mendapatkan seperempat dari asal masalah (dua belas) karena tidak ada ahli waris lainnya seperti anak, ayah mendapatkan sisa dari dua belas yaitu enam, ibu mendapatkan sepertiga sisa dari ayah, dan istri tiga bagian.
g. Hak Waris Anak Perempuan
Hak waris anak perempuan semata wayang adalah seperdua. Allah SWT berfirman, “ Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah(harta yang ditinggalkan) ,” (QS.an-.Nisá’[4]: 11). Dia mendapatkan dua p e rtiga apabila mereka berjumlah dua atau lebih. Allah SWT berfirman, “ Jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan ,” (QS. an-Nisá’ [4]: 11).
Terkadang anak perempuan mendapatkan sisa karena ahli waris lainnya (ashabah bi ghairiha ) yaitu anak laki-laki. Maka, anak laki-laki memperoleh dua kali lipat bagian anak perempuan. Allah SWT berfirman, “ Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepada kalian tentang (pembagian warisan untuk) anak-anak kalian, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan ,” (QS. an-Nisá’ [4]: 11).
h. Hak Waris Cucu Perempuan dari Anak Laki-laki
Cucu perempuan, satu atau lebih memperoleh seperenam apabila bersama anak perempuan orang yang meninggal sebagai penyempurna dari dua p e rtiga. Hal ini mengacu pada keputusan Ibnu Mas’ud ra. Namun, bila cucu perempuan bersama dengan dua anak perempuan atau lebih, maka cucu perempuan tidak memperoleh sama sekali atau hak warisnya gugur. Ketika cucu perempuan lebih dari satu dan tidak ada anak perempuan, mereka memperoleh dua pe rtiga. Misalnya dalam komposisi berikut ini, ayah dan dua cucu perempuan, maka ayah memperoleh sisa sedangkan mereka memperoleh dua pertiga.
Terkadang cucu perempuan juga mendapatkan sisa bila bersama ahli waris yang mengakibatkan dia memperoleh sisa, yaitu cucu laki-laki dari anak laki-laki (muashib bi ghairiha ) dengan ketentuan bahwa cucu laki-laki memperoleh dua kali lipat bagian yang diperoleh cucu perempuan.
Dan mereka mendapatkan seperdua ketika sendirian dan tidak terdapat anak perempuan lainnya atau anak laki-laki, dan juga tidak terdapat ayah. Misalnya ayah, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan ibu. Maka, cucu perempuan itu mendapatkan seperdua, ibu mendapatkan seperenam, dan sisanya diperuntukkan ayah sebagai ahli waris ashabah dan bagian pasti. Hak waris cucu perempuan dari anak laki-laki terhalangi dengan adanya anak laki-laki, atau dua anak perempuan terkecuali ada ahli waris yang menyebabkan cucu perempuan itu mendapatkan sisa, yaitu cucu laki-laki dari anak laki-laki atau ke bawah yang mempunyai hak waris.
i. Hak Waris Saudari Kandung
Saudari memperoleh seperdua dengan syarat tidak ada ahli waris yang sederajat dengannya atau tidak ada ahli waris yang membuat dia memperoleh sisa, yaitu saudara sendiri atau saudara kandung. Firman Allah SWT, “ Jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudari, maka bagiannya (saudarinya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya,” (QS. an-Nisa’ [4]: 176). Saudari mendapatkan dua p e rtiga apabila berjumlah dua atau lebih serta tidak terdapat saudara kandung. Allah SWT berfirman, “ Tetapi jika saudari itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan ,” (QS. an-Nisa’ [4]: 176). Saudari memperoleh sisa (ashabah) apabila bersama dengan saudara kandung (muashib bi ghairiha ) dengan acuan bahwa hak saudara kandung dua kali lipat dari bagian yang diperoleh saudari. Dan saudari juga memperoleh sisa (ashabah) sebab bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki (muashib ‘ala ghairiha ).
Ini bersandarkan pada kaidah fiqhiyah: jadikanlah anak perempuan sebagai penyebab saudari kandung memperoleh sisa. Dalam Nail al-Authar dijelaskan bahwa ini adalah keputusan Ibnu Mas’ud dalam masalah ahli waris dengan komposisi sebagai berikut. Anak perempuan memperoleh seperdua, cucu perempuan dari anak laki-laki memperoleh seperenam sebagai penyempurna dari dua p e rtiga, dan sisanya diberikan kepada saudari. Hadits ini diriwayatkan oleh ulama hadits kecuali Muslim.
Saudari tidak mempunyai hak waris apabila terdapat keturunan laki-laki yang menerima waris, yaitu anak, cucu walau ke bawah, dan bila bersama ayah. Begitulah keputusan yang disepakati oleh para ulama.
j. Hak Waris Saudari Seayah
Saudari seayah memperoleh seperdua dengan syarat sebagai berikut.
(1) Tidak ada saudari lainnya.
(2) Tidak ada ahli waris yang mengakibatkan dia mendapatkan sisa, yaitu saudara seayah.
(3) Tidak ada saudari kandung. Hal ini mengacu pada pembagian waris yang diterima oleh saudari kandung ketika sendirian.
Saudari, dua atau lebih mendapatkan dua pe rtiga ketika tidak terdapat saudara seayah, atau beberapa saudari yang sekandung. Saudari seayah, dua atau lebih memperoleh seperenam apabila ada saudari kandung karena menyempurnakan bagian dua p e rtiga. Saudari seayah memperoleh sisa (ashabah) apabila bersama saudara seayah. Dia juga mendapat ashabah apabila bersama anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki dan keduanya bersamaan, baik satu orang atau lebih.
k. Hak Waris Saudara, Laki-Laki atau Perempuan yang Seibu (Auladul Umm )
Mereka mendapatkan seperenam ketika mayat tidak meninggalkan anak atau orang tua. Allah SWT berfirman, “ Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara (seibu) atau seorang saudari (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta ,” (QS. an-Nisa’ [4]: 12)
Mereka mendapatkan sepertiga apabila berjumlah dua atau lebih ketika mayat tidak meninggalkan anak atau orang tua. Allah SWT berfirman, “ Tetapi jika saudara-saudari seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu ,” (QS. an-Nisa’ [4]: 12). Mereka tidak mempunyai hak waris apabila bersama keturunan yang menerima waris (anak, dan cucu dari anak laki-laki, walau ke bawah) dan terdapat pula orang tua yang menerima waris (ayah dan kakek yang mendapatkan hak waris sisa). Karena mereka semua termasuk kelompok kalalah . Begitulah pendapat yang disepakati oleh ulama. Allah SWT berfirman, “ Katakanlah, ‘Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudari ,’” (QS. an-Nisa’ [4]: 176). Saudara yang dimaksud adalah saudara seibu.
WASIAT MENYAMA RATAKAN BAGIAN WARISAN DAN TIDAK SETUJUNYA SALAH SATU AHLI WARIS
Bagaimana hukumnya kalau warisan dibagi rata antara laki-laki dan perempuan, tapi sebelumnya sudah dimusyawarahkan dan disetujui oleh ahli waris.
Bila semua ahli warisnya tidak ada yang mahjur ‘alaih dan semua rela maka sah pembagian warisan dengan dibagi rata, bila semua ahli waris tersebut mengetahui bagiannya masing sebelum dibagi rata :
.وإن وقعت على خلاف الشرع بغير تراض بل بقهر أو حكم حاكم فباطلة إفرازا أو تعديلا أو ردا لأنها مهقور عليها___و إن وقعت بتراضيهم ولم يكن فيهما محجور مع علمهما بالحكم لكن إختارا خلافه صحت في غير الربوي مطلقا و فيه إن كانت القسمة إفرازا لأن الربا إنما يتصور جريانه في العقود دون غيرها كما في التحفة وإن كان ثم محجور فإن حصل له جميع حقه صحت وإلا فلا. بغية المسترشدين : ص : ٢٨١ : قول المتن أشترط الرضا الخ وظاهر أنه لا بد أن يعلم كل منهما ما صار إليه قبل رضاه. الشرواني ١٠/٢٠٨
Pola di masarakat kita ( Indonesia ) berbeda, di arab memang seorang laki-laki dituntut penuh menopang kebutuhan keluarga, sedangkan kita, kadang seorang suami ikut istri, kadang istri ikut suami, dan yang terjadi kebanyakan hukum bagi rata untuk harta milik orang tua, jadi tidak tepat disebut warisan, tapi hibbah, karena kebanyakan sudah dibagi-bagi sebelum orang tua meninggal.
Memang Allah menuntut setiap orang yang beriman untuk menerima semua aturan Allah dan Rasul-Nya dan mengedepankannya dari yang lainnya sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya. Dan barangsiapa yang membantah atau tidak menerimanya sesungguhnya orang itu telah berbuat maksiat terhadap Allah dan Rasul-Nya, sebagaiman firman-Nya :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا
Artinya : “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab : 36)
Tentang hukum waris ini, Allah swt banyak membicarakannya di dalam Al Qur’an, di antaranya :
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ
Artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.” (QS. An Nisaa : 11)
Hikmah dari bagian ahli waris laki-laki lebih banyak dari perempuan di antaranya adalah karena laki-laki punya beban tanggung-jawab menafkahi keluarga sedangkan perempuan tidak diwajibkan beban tersebut. Laki-laki punya beban kerja yang tidak mampu dilakukan perempuan seperti membajak sawah berperang dll….
Lihat di HIKMATUT TASYRI’ WA FALSAFATUHU Juz 2 hal 264.
Adapun terkait dengan hibah maka hendaklah dibagi secara rata kepada seluruh anak-anaknya, sebagaimana pendapat jumhur ulama. Namun dibolehkan melebihkan bagian seorang anak tertentu dari anak-anak yang lainnya manakala memang hal itu diperlukan, seperti : untuk biaya pengobatannya, melunasi utang-utangnya, karena anaknya banyak, bekal pendidikannya atau yang lainnya, sebagaimana riwayat dari Ahmad (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz V hal 4014). Namun jika pembagian hibah kepada anak-anak tertentu tidak memiliki alasan yang dibenarkan maka harta hibah itu perlu kembali diperhitungkan.
JIKA AHLI WARIS TIDAK SETUJU WASIAT MEMBAGI RATA HARTA WARISAN ?
Dalam islam bab warisan telah diatur bagiannya masing2, untuk anak perempuan separuhnya laki2, tapi jika sebelum meninggal sang ortu berpesan untuk membagi hartanya dg rata.. setelah kejadian, saudara laki2 merasa kurang puas dan protes sementara yang perempuan tidak mau tahu dg dalih sudah amanat ortu untuk dibagi rata.
Bagaimana jalan keluar yang benar menurut syari’at islam ?
JAWABAN :
Kasus itu termasuk wasiat fasidah krn tidak ada takliq kematian atau sighot wasiat. Tapi umumunya cara seperti itu, dimasarakat dimakan hibah. Dan sah kalau diserah terimakan semasa hidupnya. Dan fasidah juga bila tidak serah terima dan tampa shighot.
Jika pesannya “jika meninggal nanti…” nah ini jelas wasiat. Namun wasiyat harus tidak lebih dr 1/3 tirkah, jika lebih, maka harus mendapat persetujuan ahli waris yang lain, jika ada yang tidak setuju maka pengadilan jalan keluarnya.
الكتب/823_كتاب-الأم-الإمام-الشافعي-ج-٤/الصفحة_118
Kalau wasiat sudah jelas tidak boleh lebih dari 1/3 tirkah, kecuali semua ahli waris ridho.
Sedang Syarat hibah pada anak2nya :
- Dilakukan saat sehat
- Meratakan pemberian.
- Tidak ada tujuan menghalang-halangi ahli waris.
وما روى عن النبي صلى الله عليه وسلم وما لم نعلم أهل العلم اختلفوا فيه يدل على هذا وإن كان يحتمل أن يكون وجوبها منسوخا وإذا أوصى لهم جاز وإذا أوصى للوالدين فأجاز الورثة فليس بالوصية أخذوا وإنما أخذوا بإعطاء الورثة لهم ما لهم لأنا قد أبطلنا حكم الوصية لهم فكان نص المنسوخ في وصية الوالدين وسمى معهم الأقربين جملة فلما كان الوالدان وارثين قسنا عليهم كل وارث
HIBBAH itu pemberian seseorang saat masih hidup dan membagi hartanya ketika ia masih hidup juga.. WASHIYAT itu pesan seseorang untuk memberikan sejumlah harta jika ia telah meninggal sehingga membagi hartanya setelah ia mati. WARISAN itu peninggalan seseorang yang telah mati yang dibagikan otomatis pada ahli waris yang berhak setelah ia mati, sesuai faroidh.
Contoh wasiat : “nduk..! aku punya tabungan 10 M… sepeninggalku uang itu buat kamu untuk biaya sekolahmu dan biaya pernikahanmu nanti”.
Kalau contoh Hibbah : “nduk..! uang tabunganku 10 M itu sekarang aku berikan untuk kamu… ini kartu ATM nya dan ini no pinnya… jangan boros ya?”…
Jika jelas si ortu mengatakan 10 M dibagi rata untuk anak2nya setelah meninggal maka tergolong wasiat kepada ahliwaris yang tentunya harus disetujui oleh semua ahli waris.. maka :
- jika 10 M itu tidak lebih dari sepertiga (1/3) dari seluruh hartanya maka maka yang 10 M itu dibagi rata laki-laki perempuan.
- jika 10 M itu lebih dari sepertiga seluruh hartanya maka harus dikurangi menjadi sepertiga dan sisanya adalah tirkah yang harus dibagi secara faraidh / warisan.
Al-Iqna’ II / 221 :
حكم الوصية للوارث (ولا تجوز الوصية) أي تكره كراهة تنزيه (لوارث) خاص غير جائز بزائد على حصته لقوله صلى الله عليه وسلم: «لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ» رواه أصحاب السنن (إلا أن يجيزها باقي الورثة) المطلقين التصرف لقوله صلى الله عليه وسلم: «لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ إلاَّ أَنْ يُجِيزَهَا بَاقِي الوَرَثَة» رواه البيهقي بإسناد. قال الذهبي صالح وقياساً على الوصية لأجنبي بالزائد على الثلث،
Kifayatul Ahyar II / 33 :
وهل تصح الوصية للوارث؟ فيه خلاف: قيل لا تصح ألبتة لقوله عليه الصلاة والسلام (لا وصية لوارث) وهو حديث حسن صحيح. قاله الترمذي، والأصح الصحة، وتوقف على إجازة الورثة لقوله عليه الصلاة والسلام (لا تجوز الوصية لوارث إلا أن يشاء الورثة) رواه الدارقطني. قال عبدالحق: المشهور أنه منقطع ووصله بعضهم، فعلى الصحيح إجازة الورثة تنفيذ على الصحيح لا يحتاج إلى إيجاب وقبول وتكفي الإجازة والله أعلم
Intinya mengenai masalah wasiat kepada ahli waris hukumnya khilaf, namun menurut qoul asoh adalah sah wasiatnya .
Kifayatul Ahyar II / 34 :
ـ (فرع) الهبة للوارث كالواصية له وكذلك ضمان الدين عنه لأجنبي، وأطلق العراقيون أن الوصية لعبد الوارث كا لوصية له والله أعلم
Mengenai masalah salah satu ahli waris yang tidak setuju dalam Majmu’ An-Nawawi VI / 405 di jelaskan :
فصل : إذا أوصى أن يحجَّ عنه رجل بمائة درهم، ويدفع ما بقي من الثلث إلى آخر، وأوصى بالثلث لثالث وصيغتها عند الشافعي رحمه الله: «لو قال: أحجّوا عني رجلاً بمائة درهم، وأعطوا ما بقي من ثلثي فلاناً، وأوصى بثلث ماله لرجل بعينه، قال: «فللموصى له بالثلث نصف الثلث، وللحاج والموصى له بما بقي من الثلث نصف الثلث، ويحجّ عنه رجل بمائة درهم» . وهذا الرجل، أو الموصي قد أوصى بثلثي ماله. فإن أجاز الورثة ذلك، دفع ثلث المال إلى الموصى له بالثلث ولا يشاركه أحد، ودفع من الثلث الآخر مائة درهم إلى الموصى له بالحج، فإذا بقيت بعد المائة فضلة، دفعت إلى الموصى له بما بقي من الثلث. هذا حكم الوصية إذا أجازها الورثة.أمّا إذا لم يجز الورثة ذلك، ردَّت الوصايا إلى الثلث، فينظر: إذا كان الثلث مائة درهم فما دون، قسمت بين الموصى له بالثلث، وبين الموصى له بالمائة نصفين، لكل واحدٍ منهما خمسون، لاتفاقهما في قدر ما يستحقان، وهو المائة.
fokus
أمّا إذا لم يجز الورثة ذلك، ردَّت الوصايا إلى الثلث
INILAH KETERANGAN AHLI WARIS DALAM ILMU AGAMA ISLAM
كتاب الفرائض والوصايا
والوارثون من الرجال عشرة الابن وابن الابن وإن سفل والأب والجد وإن علا والأخ وأبن الأخ وإن تراخى والعم وابن العم وإن تباعدا والزوج والمولى المعتق والوارثات من النساء سبع البنت وبنت الابن والأم والجدة والأخت والزوجة والمولاة المعتقة ومن لا يسقط بحال خمسة الزوجان والأبوان وولد الصلب ومن لا يرث بحال سبعة العبد والمدبر وأم الولد والمكاتب والقاتل والمرتد وأهل ملتين وأقرب العصبات الابن ثم ابنه ثم الأب ثم أبوه ثم الأخ للأب والأم ثم الأخ للأب ثم ابن الأخ للأب والأم ثم ابن الأخ للأب ثم العم على هذا الترتيب ثم ابنه فإن عدمت العصبات فالمولى المعتق.
Ahli waris dari golongan laki-laki ada 10 (sepuluh) :
1. Anak laki-laki.
2. cucu laki-laki (dari anak laki-laki_ ke bawah.
3. Ayah.
4. Kakek ke atas.
5. Kakak/adik laki-laki.
6. Kemenakan (keponakan) laki-laki (anak dari kakak/adik laki-laki) ke bawah.
7. Saudara ayah.
8. Anak dan saudara ayah sekalipun jauh.
9. Suami.
10. Tuan yang telah memerdekakan hamba sahaya (budak) nya.
Ahli waris dari golongan perempuan ada 7 (tujuh) :
1. Anak perempuan.
2. Cucu perempuan (dan laki-laki).
3. Ibu.
4. Nenek perempuan.
5. Kakak/adik perempuan.
6. Isteri.
7. Pemilik budak wanita yang telah memerdekakan hamba sahaya-nya.
Orang yang tidak gugur hak warisnya dalam keadaan bagaimanapun juga ada 5 (lima) yaitu :
1. Suami.
2. Isteri.
3. Ayah.
4. Ibu.
5. Anak kandung laki-laki dan perempuan.
Orang yang tidak berhak mendapatkan waris/mewarisi (peninggalan dari mayit) dalam keadaan bagaimanapun ada 7 (tujuh) yaitu :
1. Hamba sahaya (budak) baik laki-laki atau perempuan.
2. Hamba sahaya mudabbar (yaitu budak yang disanggupi akan dimerdekakan bila tuannya telah meninggal dunia).
3. Ummul walad yaitu hamba sahaya perempuan yang mempunyai anak dari tuannya.
4. Hamba sahaya mukatab yaitu hamba sahaya yang sedang mengangsur / mencicil menebus dirinya untuk merdeka.
5. Pembunuh si mayit.
6. Orang murtad atau keluar dari Islam.
7. Pemeluk dua agama yang berlainan (misalnya, muslim dan kafir, yang satu tidak berhak mewarisi yang lain).
Asabah (penerima bagian waris tidak tetap) yang paling dekat adalah anak laki-laki.
Kemudian :
1. Cucu laki-laki dari anak laki-laki.
2. ayah.
3. Kakek.
4. Saudara kandung (seayah dan seibu).
5. Saudara seayah.
6. Putera saudara kandung (seayah seibu) alias keponakan.
7. Putera saudarayah) seayah alias keponakan.
8. Paman (saudara ayah) menurut urutan di atas.
9. Putera paman (sepupu).
Apabila ahli waris ashab tersebut sudah tidak ada (susah meninggal), maka pemilik hamba sahaya (laki-laki/perempuan) adalah yang yang telah memerdekakan mayit itu yang menerima warisan asabah.
BAGIAN PASTI DALAM WARISAN
(فصل) والفروض المذكورة في كتاب الله تعالى ستة النصف والربع والثمن والثلثان والثلث والسدس فالنصف فرض خمسة البنت وبنت الابن والأخت من الأب والأم والأخت من الأب والزوج إذا لم يكن معه ولد والربع فرض اثنين الزوج مع الولد أو ولد الابن وهو فرض الزوجة والزوجات مع عدم الولد أو ولد الابن والثمن فرض الزوجة والزوجات مع الولد أو ولد الابن والثلثان فرض أربعة البنتين وبنتي الابن والأختين من الأب والأم والأختين من الأب والثلث فرض اثنتين الأم إذا لم تحجب وهو للاثنين فصاعدا من الأخوة
والأخوات من ولد الأم والسدس فرض سبعة الأم مع الولد أو ولد الابن أو اثنين فصاعدا من الأخوة والأخوات وهو للجدة عند عدم الأم ولبنت الابن مع بنت الصلب وهو للأخت من الأب والأم وهو فرض الأب مع الولد أو ولد الابن وفرض الجد عند عدم الأب وهو فرض الواحد من ولد الأم
وتسقط الجدات بالأم والأجداد بالأب ويسقط ولد الأم مع أربعة الولد وولد الابن والأب والجد ويسقط الأخ للأب والأم مع ثلاثة الابن وابن الابن والأب ويسقط ولد الأب ويسقط ولد الأب بهؤلاء الثلاثة وبالأخ للأب والأم وأربعة يعصبون أخواتهم الابن وابن الابن والأخ من الأب والأم والأخ من الأب وأربعة يرثون دون أخواتهم وهم الأعمام وبنو الأعمام وبنو الأخ وعصابات المولى المعتق.
Bagian tetap atau pasti yang disebut dalam Al-Quran ada 6 (enam) yaitu:
1. 1/2 (setengah)
2. 1/4 (seperempat).
3. 1/8 (seperdelapan)
4. 2/3 (dua pertiga).
5. 1/3 (sepertiga).
6. 1/6 (seperenam).
Setengah (1/2) adalah bagian untuk (tiap orang) dari 5 orang di bawah ini:
1. Anak perempuan.
2. Cucu perempuan (dari anak laki-laki).
3. Saudara perempuan kandung (seaya seibu)
4. Saudara perempuan seayah.
5. Suami jika tak ada anak laki-laki atau anak perempuan si mayit.
1/4 (seperempat) adalah bagian untuk (tiap orang dari) dua orang ahli waris di bawah ini:
1. Suami yang bersama anak laki-laki/perempuan atau bersama cucu laki-laki/perempuan dari anak laki-laki.
2. Dan 1/4 dan tersebut adalah bagian untuk seorang istri (bagian) untuk beberapa orang isteri (2-4) yang tak bersama anak laki-laki/perempuan atau cucu laki-laki/perempuan dari anak laki-laki si mayit.
1/8 (seperdelapan) adalah bagian untuk seorang istri dan (bagian) untuk beberapa orang isteri (2-4) yang bersama anak (laki-laki/perempuan) atau cucu laki-laki/perempuan dari anak laki-laki si mayit.
2/3 (dua pertiga) adalah bagian untuk (tiap-tiap golongan ahli waris dari) empat golongan di bawah ini, yaitu:
1. Dua orang anak perempuan atau lebih.
2. Dua orang cucu perempuan (dari anak laki-laki) atau lebih.
3. Dua orang saudari perempuan seayah seibu (kandung) atau lebh.
4. Dua orang saudari perempuan kandung (seayah seibu).
1/3 (sepertiga) adalah bagian untuk (tiap orang dari) dua orang (di bawah ini):
1. Ibu, jika tidak terhalang (mahjub).
2. Dan 1/3 tersebut adalah untuk dua orang atau lebih saudara laki-laki dan perempuan seibu.
1/6 (seperenam) adalah bagian untuk (tiap orang dari) 7 orang di bawah ini:
1. Ibu yang beserta anak (laki-laki/perempuan) atau cucu (laki-laki / perempuan dari anak laki-laki); atau yang beserta dua orang atau lebih saudara laki-laki / perempuan si mayit.
2. 1/6 ini untuk nenek (satu atau lebih) ketika tidak ada ibu si mayit.
3. Untuk cucu perempuan (dari anak laki-laki) yang beserta anak perempuan si mayit sendiri.
4. Seperenam tersebut adalah (juga bagian) untuk saudara perempuan seayah yang beserta saudara perempuan seayah seibu.
5. 1/6 tersebut adalah bagian untuk ayah yang beserta anak laki-laki/perempuan si mayit atau yang beserta cucu laki-laki / perempuan dari anak laki-laki si mayit.
6. Dan bagian untuk kakek ketika tidak ada ayah si mayit.
7. Dan 1/6 tersebut adalah bagian untuk seorang saudara laki-laki / saudara perempuan seibu.
INILAH KESALAHAN KESALAHAN DALAM PEMBAGIAN WARIS
Meskipun mayoritas penduduk negeri ini memeluk agama Islam, dan meskipun Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia, namun bukan berarti hukum waris dijalankan dengan benar oleh umat Islam.
Dalam kenyataannya, hukum waris yang menjadi salah satu ciri khas agama ini justru banyak ditinggalkan oleh pemeluk agama Islam sendiri. Persis dengan sabda Nabi SAW bahwa ilmu waris itu akan dilupakan orang, dan termasuk yang pertama kali akan dicabut dari umat beliau SAW.
تَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ وَعَلِّمُوْهَا فَإِنَّهُ نِصْفُ العِلْمِ وَإِنَّهُ يُنْسَى وَهُوَ أَوَّلُ مَا يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِي
Pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena ia setengah dari ilmu dan dilupakan orang. Dan ia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku”. (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)
Kalau pun masih ada sisa-sisa dari umat Islam yang menjalankannya, sayangnya hukum waris dijalankan dengan cara-cara yang sebenarnya sudah tidak sejalan lagi sebagaimana yang seharusnya. Disana sini kita menemukan begitu banyak penyimpangan hukum waris dilakukan oleh mayoritas umat Islam.
Suka atau tidak suka, memang demikian itulah kenyataannya. Syariat Islam runtuh bukan karena dirusak oleh musuh-musuh Allah SWT, tetapi runtuh dengan sendirinya akibat keawaman dan kebodohan umat Islam sendiri terhadap ilmu syariah dalam agamanya.
Di antara begitu banyak kekeliruan dalam memandang hukum waris di dalam syariat Islam antara lain :
- Menyamakan Bagian Anak Laki-laki dan Perempuan
Menyamakan bagian antara anak laki-laki dengan bagian buat anak perempuan adalah masalah yang klasik dan paling sering terjadi di tengah masyarakat yang mengaku agamis dan islamis.
Padahal ketentuan bahwa bagian untuk anak perempuan itu separuh dari bagian anak laki-laki bukan sekedar karangan atau ciptaan manusia, melainkan sebuah ketetapan yang langsung Allah SWT turunkan dari langit kepada kita.
Kalau mau protes dan keberatan, silahkan langsung ajukan kepada Allah SWT. Kalau di masa pensyariatan dulu, bisa saja keberatan itu direspon langsung oleh Allah, sehingga hukumnya diubah atau minimal diringankan.
Tetapi kita sekarang ini hidup di luar era pensyariatan, maka semua yang sudah ditetapkan itu adalah ketetapan yang tidak bisa diprotes lagi. Protes berarti menentang hukum-Nya. Dan untuk itu Allah SWT sudah menegaskan ketentuan-Nya yang sudah baku tidak boleh diubah-ubah :
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. (QS. An-Nisa’ : 11)
Saayngnya meski ayat ini sering dibaca berulang-ulang, namun dalam pelaksanannya cenderung hampir semua keluarga menjalankan cara-cara yang bertentangan dengan aturan syariah Islam ini.
Alasnnya bisa bermacam-macam. Bisa saja karena memang tidak tahu adanya aturan tersebut, lantaran selama ini lebih terdidik dengan sistem waris versi Belanda atau adat. Jadi selama ini memang sama sekali tidak pernah tahu menahu urusan pembagian waris.
Namun alasannya kadang bisa juga bukan karena tidak tahu, tetapi menganggap enteng urusan seperti ini. Dikiranya melanggar ketentuan syariah dalam masalah ini tidak mengapa, karena memang selama ini agama yang dijalankannya hanya sebatas masalah ritual dan syiar-syiar belaka.
Kalau urusan shalat, puasa, haji, perayaan hari-hari besar agama, serta hal-hal yang secara umum berbau agama, mungkin tidak pernah lepas dan selalu diupayakan. Tetapi giliran membagi warisnya dilakukan dengan cara yang menyimpang, tidak sadar kalau hal itu pada hakikatnya termasuk perbuatan menentang hukum-hukum Allah SWT, dan ancaman hukumannya bukan hal yang main-main.
Dan kenyataannya, tidak sedikit orang-orang yang setiap tahun bolak-balik pergi haji sekeluarga, tetapi tidak benar cara membagi harta warisan, karena mungkin dianggap urusan waris tidak ada kaitannya dengan agama yang dianutnya.
- Membagi Waris Ketika Masih Hidup
Kasus seorang yang masih hidup sudah diributkan hartanya untuk dibagi-bagi sebagai warisan, sudah cukup sering kita dengar. Kadang yang meributkannya adalah sang pemilik harta itu sendiri, tetapi tidak jarang yang meributkannya adalah para calon ahli waris.
Padahal secara syariah, tidak ada pembagian harta warisan selama pemilik harta itu masih hidup. Sebab salah satu syarat dalam pembagian waris adalah matinya pewaris.
Kalau pewarisnya masih hidup, maka tidak ada urusan dengan pembagian waris. Yang bisa dilakukan hanyalah hibah atau wasiat, tetapi bukan bagi waris.
Hibah : Hibah adalah pemberian harta kepada siapa saja yang dikehendaki, tanpa ada ketentuan siapa yang boleh dan tidak boleh untuk menerimanya.
Jadi bisa saja yang diberi hibah itu calon ahli waris atau bukan ahli waris. Dan tidak ada pembatasan jumlah maksimal dalam kasus hibah harta. Berapa pun harta yang mau diberikan, maka si pemilik harta berhak memberikan kepada orang yang dikehendakinya. Asalkan pemilik harta itu masih hidup dan sama sekali belum ada tanda-tanda menjelang kematian.
Wasiat : Sedangkan wasiat, hanya dilakukan ketika seseorang telah merasa hampir mendekati kematiannya. Dimana orang yang boleh diberi wasiat itu tidak boleh sekalian menjadi calo ahli waris. Jadi hanya boleh mereka yang bukan ahli waris saja. Dan untuk wasiat, ada pembatasan jumlah maksimal yang boleh diberikan, yaitu hanya 1/3 dari jumlah total harta. Sisanya yang 2/3 adalah hak para calon ahli waris.
Kesalahan yang sering terjadi, si pemilik harta sejak masih hidup sudah membagi-bagi harta kepada calon ahli warisnya, dengan menyebut sebagai pembagian warisan. Bahkan yang lebih fatal lagi, ahli waris yang haram menerima wasiat pun diberi wasiat.
Sebuah keawaman yang akut dan merata, tetapi sayangnya dibiarkan saja. Tidak ada satu pun orang yang merasa ikut bertanggung-jawab. Naudzubillah min zalik.
- Harta Bersama Suami Istri
Kasus harta bersama milik suami istri adalah warisan dari sistem hukum barat (baca:Belanda). Tetapi akibat perang pemikiran yang panjang, bahkan bangsa kita sangat lekat dengan sistem kepemilikan harta seperti ini, yang kita kenal dengan istilah harta gono-gini.
Dengan adanya sistem harta milik bersama atau gono-gini, maka pelaksanaan pembagian warisan menjadi rancu, karena misalnya begitu seorang suami meninggal dunia, harta tidak bisa dibagi waris. Mengapa?
Karena mempertimbangkan bahwa harta yang mau dibagi waris itu ternyata masih harta milik bersama antara suami dan istri. Dan karena istri saat itu masih hidup, biasanya pembagian waris ditunda-tunda, karena harus menunggu dulu istrinya meninggal juga.
Inilah kekeliruan fatal yang selama ini didiamkan saja, bahkan oleh mereka yang mengerti hukum Islam. Padahal kalau kita menggunakan sistem yang berlaku di dalam syariah Islam, sebenarnya kita tidak mengenal istilah harta bersama atau harta gono-gini.
Di dalam syariat Islam, ketika sepasang suami istri menikah, harta mereka tidak perlu dijadikan satu dan tiba-tiba menjadi harta milik bersama. Cara seperti itu adalah asli merupakan hukum buatan orang-orang kafir Eropa yang terbawa-bawa kepada kehidupan kita.
Di dalam sistem syariah Islam, prinsipnya bahwa semua harta suami tetap selalu menjadi harta suami. Dan bahwa semua harta istri juga akan tetap selalu harta milik istri sepenuhnya.
Namun sebagian dari harta suami, memang ada yang menjadi hak istri, tetapi harus lewat akad yang jelas, misalnya lewat pemberian mahar, atau nafkah yang memang hukumnya wajib, atau lewat hibah, atau hadiah. Tanpa penyerahan yang menggunakan akad yang pasti, harta suami tidak secara otomatis jadi harta istri.
Memang kalau istrinya cuma satu, masih bisa dinalar. Tetapi bayangkan bila seorang suami punya dua atau tiga istri sekaligus, siapa dari istri itu yang secara otomatis menjadi pemilik harta suami? Tentu akan jadi rancu kan?
Nah, oleh karena itulah, harta istri dari suami harus diberikan lewat akad pemberian, bukan terjadi secara otomatis.
- Harta Almarhum Dikuasai Istri
Salah satu kebiasaan buruk yang sering dilakukan oleh umat Islam di negeri ini adalah bahwa ketika suami meninggal dunia, istrinya otomatis menjadi penguasa tunggal atas harta milik suaminya itu. Apalagi bila anak-anak masih kecil-kecil, boleh dibilang harta suami sudah pasti jadi milik istri seluruhnya.
Padahal hak istri atas harta suaminya hanya 1/8 atau ¼ saja. Bila suami punya anak misalnya, maka istri hanya berhak mendapat 1/8 dari total harta milik suaminya. Sisanya yang 7/8 bagian menjadi hak anak-anaknya yang kini sudah menjadi anak yatim.
Dasarnya adalah firman Allah SWT :
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. (QS. An-Nisa’ : 12)
Kalau pun anak-anak almarhum masih kecil-kecil, bukan berarti anak kecil tidak boleh menerima warisan. Mereka tetap berhak atas harta warisan dari ayahnya. Namun istri boleh menyimpan dan memelihara harta dari anak-anaknya itu, untuk suatu hari harus diserahkan harta itu kepada mereka.
Kalau pun harus terpakai harta itu demi kepentingan anak-anak, maka istri harus secara amanat membelanjakannya dan tidak membuang-buang harta itu, apalagi menguasainya untuk kepentingan diri sendiri.
Dan apabila si janda ini menikah lagi dengan laki-laki lain, ada anggapan di tengah masyarakat bahwa si laki-laki yang menikahi janda kaya menjadi orang yang paling beruntung.
Kenapa?
Karena seolah-olah si suami baru ini merasa mendapat hak dan bagian dari harta peninggalan almarhum. Padahal seharusnya tak secuil pun harta almarhum yang tiba-tiba berubah menjadi haknya. Harta itu milik anak-anak almarhum dan istrinya saja, sedangkan suami baru bukan pihak yang berhak atas harta almarhum.
Demikian juga yang terjadi bila istri yang meninggal dunia, maka suami seolah-olah menjadi pewaris tunggal, dan mengangkat diri dirinya sebagai satu-satunya orang yang berhak atas seluruh harta peninggalan istrinya. Maka dia merasa bebas untuk kawin lagi dan memberikan seluruh harta milik almarhumah istrinya kepada istri barunya.
Padahal seharusnya, suami hanya mendapat 1/4 bagian saja dari harta istrinya. Bagian lainnya yang 3/4 bukan miliknya tetapi milik ahli waris yang lain.
- Bagi Waris Menunggu Salah Satu Pasangan Meninggal Dunia
Dengan alasan untuk menghormati ibu yang telah hidup sendiri karena ditinggal mati oleh ayah yang menjadi suaminya, seringkali pembagian waris tidak dilaksanakan.
Tindakan ini kalau didasarkan pada kesalahan sebelumnya, yaitu bahwa harta milik seorang suami secara otomatis dan pasti menjadi harta milik istrinya juga.
Pandangan ini jelas tidak sejalan dengan hukum Islam yang memandang bahwa tiap orang punya hak atas harta masing-masing. Dan meskipun seorang laki-laki punya istri, harta miliknya tidak secara otomatis menjadi harta istrinya. Dan demikian juga berlaku sebaliknya, harta milik istri tidak secara otomatis menjadi harta suami.
Maka kalau ada salah satu yang meninggal, harta harus segera dibagi waris, tanpa harus menunggu pasangannya meninggal terlebih dahulu.
Keharusan segera membagi warisan itu dikecualikan, misalnya bila ada pertimbangan yang bersifat teknis semata, bukan karena harus menunggu kematian. Misalnya karena ada pertimbangan karena harta itu sulit untuk dijual, jadi untuk sementara dibiarkan saja dulu. Kalau demikian tentu bisa dimaklumi bila sedikit tertunda.
Namun begitulah yang terjadi di tengah masyarakat kita, umumnya pembagian harta warisan tidak segera dilaksanakan secepatnya, alasannya semata-mata karena masih menghormati ibu mereka.
Dan yang lebih parah, para ibu yang posisinya sebagai istri almarhum pun tidak lebih baik cara berpikirnya. Biasanya karena kurang ilmu dan ikut-ikutan kebiasaan yang ada di tengah masyarakatnya, juga merasa tersinggung kalau ketika masih hidup, harta peninggalan suami sudah dibagi-bagi kepada putera puteri almarhum.
- Bukan Ahli Waris Tetapi Merasa Paling Berhak
Di antara bentuk kekeliruan dalam pembagian waris yang sering terjadi adalah diberikannya harta peninggalan almarhum kepada orang yang bukan ahli waris, dengan mengatas-namakan pembagian waris.
Di antara mereka yang sebenarnya tidak berhak atas harta warisan namun seringkali ikut diberikan harta waris ada beberapa jenis :
- Tidak Terdaftar Dalam Sturuktur Ahli Waris
Orang yang tidak termasuk di dalam daftar ahli waris tapi sering menuntut agar mendapat bagian waris antara lain mereka yang hubungannya pakai istilah angkat, tiri dan mantan.
Jalur Keluarga Berstatus Angkat
Yang dimaksud dengan keluarga yang menggunakan istilah ‘angkat’ antara lain adalah anak angkat, ayah angkat, ibu angkat, saudara angkat, paman angkat, bibi angkat dan seterusnya.
Pengangkatan saudara atau anak tidak dikenal di dalam syariat Islam.
Jalur Kelurga Berstatus Tiri
Selain jalur keluar yang berstatus angkat, yang bukan termasuk ahli waris adalah jalur keluarga yang berstatus tiri. Misalnya anak tiri, ibu tiri, ayah tiri, saudara tiri lain ayah lain ibu, dan seterusnya.
Jalur Keluarga Berstatus Mantan
Selain itu yang juga bukan termasuk ahli waris adalah jalur keluarga yang berstatus mantan. seperti mantan suami atau mantan istri.
Memang Bukan Ahli Waris
Selain itu yang bukan termasuk ahli waris adalah menantu, mertua dan sebagian keponakan, saudara ipar, cucu dari jalur anak perempua, sebagian paman.
- Terdaftar Dalam Ahli WAris Tetapi Terhijab dan Terlarang
Tidak semua orang yang termasuk di dalam daftar ahli waris pasti mendapatkan jatah bagian dari harta warisan. Mereka yang terhijab oleh keberadaan ahli waris yang lain yang lebih dekat, tentu juga tidak mendapat harta warisan.
Dari 22 pihak ahli waris yang terdaftar, hanya 6 pihak saja yang pasti tidak akan pernah terhijab, yaitu anak laki-laki, anak perempuan, suami, istri, ayah dan ibu. Selebihnya, masih sangat besar kemungkinan terhijab dan gugur haknya.
Mereka yang sudah termasuk di dalam daftar ahli waris dan tidak terhijab, tetapi pada dirinya ada mawani’ (pencegah), seperti yang sudah Penulis sebutkan di awal. Di antara pencegah seorang ahli waris dari menerima harta waris adalah perbedaan agama, pembunuhan dan perbudakan.
- Bagi Waris Berdasarkan Kesepakatan
Kesalahan yang paling fatal dalam pembagian harta waris adalah pembagian berdasarkan kesepakatan dengan sesama ahli waris, tanpa mengindahkan ketentuan yang ada di dalam Al-Quran, As-Sunnah dan juga apa yang telah ditetapkan syariah Islam.
Alasan yang biasanya digunakan adalah asalkan para pihak sama-sama ridha dan tidak menuntut apa-apa. Sehingga dianggap sudah tidak perlu lagi dibagi berdasarkan ketentuan syariah.
Perumpamaan keharaman tindakan ini ibarat laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri sepakat dan rela sama rela untuk melakukan hubungan badan di luar nikah, alias berzina. Meski sama-sama suka dan tidak merasa dirugikan, tetapi bukan berarti berzina itu dibolehkan. Sebab di luar mereka, ada Allah SWT yang telah menetapkan keharaman berzina.
Demikian juga dengan pembagian harta waris yang melanggar ketentuan Allah SWT. Para ahli waris mungkin secara suka rela membaginya, namun di sisi lain mereka telah sepakat untuk meninggalkan ketentuan Allah SWT.
Maka yang seharusnya dilakukan, sebelumnya harus dibagi sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Bahwa setelah itu masing-masing pihak ingin menghadiahkan sebagian jatahnya atau seluruhnya buat saudaranya, itu terserah mereka masing-masing.
Dalam hal ini ada ancaman yang serius dari Allah SWT bagi keluarga yang tidak menggunakan hukum mawaris dalam pembagian harta peninggalan almarhum.
وَمَن يَعْصِ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS. An-Nisa’ : 14)
Di ayat ini Allah SWT telah menyebutkan bahwa membagi warisan adalah bagian dari hudud, yaitu sebuah ketetapan yang bila dilanggar akan melahirkan dosa besar. Bahkan di akhirat nanti akan diancam dengan siksa api neraka.
Sayangnya, tidak ada pihak yang berhak untuk mencegah cara-cara jahiliyah ini, baik dari pihak para ulama apalagi dari pihak pemerintah, baik ulama atau pun pemerintah, keduanya hanya menjadi penonton pasif belaka. Sayang sekali mereka seringkali tidak pernah merasa berkewajiban untuk meluruskan umat dari berbagai penyimpang yang dilakukan.
Dan dalam banyak kasuk, kedua belah pihak lebih sering menyerahkan urusan ini kepada rapat dan kesepakatan keluarga. Yang penting semua sama-sama ikhlas dan menerima, masalah dianggap selesai. Apakah Allah SWT menerima atau tidak, sama sekali tidak ada yang peduli.
- Bagi Waris Menggunakan Aturan Adat
Salah satu bentuk kekeliruan yang amat fatal adalah membagi waris dengan tata cara adat yang bertentangan dengan hukum mawaris.
Turunnya ayat-ayat tentang waris ini di masa Rasulullah SAW justru untuk menggantikan tata cara pembagian waris secara adat. Di antara adat yang bertentangan dengan hukum mawaris di masa Rasulullah SAW antara lain :
Anak perempuan tidak mendapatkan harta warisan. Ketika syariat tentang mawaris ini turun, anak perempuan ditetapkan mendapat bagian dari warisan.
Anak laki-laki yang belum mampu memanggul senjata juga tidak mendapat harta warisan. Sehingga anak-anak kecil, bila ayah mereka meninggal dunia, sudah dipastikan tidak akan mendapat warisan. Yang dapat warisan hanya khusus anak-anak laki-laki yang sudah dewasa, dan ukurannya adalah kemampuan dalam berperang dan memanggul senjata. Ketika syariat Islam turun, semua anak baik besar maupun masih kecil, pasti mendapat harta warisan.
Anak angkat atau anak adopsi menerima warisan kalau menggunakan hukum jahiliyah di masa sebelum turunnya syariat Islam. Dengan semakin sempurnanya syariat Islam, anak angkat bukan hanya tidak mendapat harta warisan, tetapi hukum mengangkat anak itu sendiri pun dibatalkan dan dilarang.
Anak Mewarisi Ibu Tirinya. Bila seorang ayah yang punya banyak istri meninggal dunia, maka anak laki-laki pertama berhak mewarisi para mantan istri ayahnya, alias ibu tiri mereka. Dengan turunnya syariat Islam, ibu tiri menjadi haram untuk dinikahi, apalagi diwariskan kepada anak tiri.
Dan masih banyak lagi contoh-contoh hukum waris adat jahiliyah yang bisa kita sebutkan. Semua itu kemudian dihapus dan terlarang untuk dijalankan oleh umat Islam.
Di negeri kita, tiap suku punya ketentuan hukum waris yang mereka pelihara sejak zaman nenek moyang. Terkadang ketentuan-ketentuannya sejalan dengan hukum mawaris, namun seringkali justru bertentangan 180 derajat.
Maka bila memang ketentuan hukum adat bertentangan dengan hukum mawaris yang datang dari Allah SWT, hukum adat itu harus ditinggalkan, karena hukumnya haram untuk dijalankan.
- Menunda Bagi Waris Sampai Para Ahli Waris Meninggal
Contohnya adalah seorang kakek yang ketika wafat meninggalkan harta berupa sebidang tanah. Tanah itu dibiarkan saja tidak dibagi waris, sampai salah satu atau beberapa ahli waris pun meninggal dunia. Padahal seharusnya tanah itu segera dibagi waris, agar para ahli waris yang berhak memilikinya bisa segera menikmatinya.
Entah bagaimana dan entah karena alasan apa, ternyata bertahun-tahun dibiarkan saja tanah itu tanpa kejelasan siapa pemiliknya. Lalu lahirlah anak-anak dari ahli waris, yang sebenarnya bukan ahli waris langsung dari sang kakek.
Di level mereka inilah kemudian muncul pertentangan atau perebutan atas tanah warisan dari kakek. Tiap-tiap cucu merasa sebagai ahli waris, sehingga masing-masing mengklaim sebagai pihak yang berhak atas tanah tersebut.
Sayangnya, generasi yang seharusnya menjadi ahli waris langsung justru sudah banyak yang wafat.
- Ahli Waris Pengganti
Istilah ahli waris pengganti yang dimaksud adalah bila seorang anak yang seharusnya menjadi ahli waris, meninggal lebih dulu sebelum ayahnya yang menjadi pewaris wafat.
Dalam syariat Islam, yang namanya bagi waris itu hanya terbatas memindahkan harta warisan dari pewaris yang wafat kepada ahli waris yang syaratnya adalah orang yang masih hidup.
Meski seorang anak biasanya jadi ahli waris dari ayahnya, tetapi kalau si anak ini meninggal duluan, maka statusnya bukan ahli waris dari ayahnya. Yang terjadi malah sebaliknya, justru ayahnya itulah yang menjadi ahli waris dari anaknya yang meninggal. Kalau si anak ini punya harta, maka ayahnya adalah salah satu dari ahli waris.
Sayangnya, justru di dalam Kompilasi Hukum Islam, ketentuan syariah ini, entah dengan alasan apa yang kita tidak paham, malah dilanggar. Posisi si anak yang meninggal duluan ini kemudian digantikan olah anaknya lagi, yang tidak lain adalah cucu dari almarhum.
Ketentuan ini jelas-jelas melanggar hukum syariah, karena cucu yang dikatakan menggantikan posisi ayahnya itu sebenarnya terhijab (mahjub) dengan adanya ahli waris yang lain, yaitu pamannya, atau kalau dari sisi si kakek disebut anak-anak kakek yang lain.
Konon alasan adanya kedudukan pengganti ahli waris ini didasarkan pada niat baik, agar anak-anak almarhum calon ahli waris yang meninggal duluan itu tetap bisa mendapatkan bagian dari harta yang diwariskan kakek.
Sayangnya, solusi yang digunakan tidak benar, karena malah mengubah hukum waris itu sendiri. Prinsipnya, tujuan yang baik tidak boleh dijalankan dengan cara yang tidak baik.
Yang seharusnya dilakukan adalah bukan mengubah hukum waris, tetapi gunakan cara lain yang masih dibenarkan dalam syariat Islam. Salah satunya adalah syariat wasiyat atau hibah.
- Wasiat
Ketika sang kakek pemilik harta mengetahui salah satu anaknya ada yang wafat dan meninggalkan anak, dimana anak itu tidak lain adalah cucunya juga, maka si kakek boleh saja berwasiat. Isinya bila nanti dirinya berpulang ke rahmatullah, sebagian dari hartanya itu diwasiatkan agar diberikan kepada cucunya.
Sebab cucu itu sudah dipastikan tidak akan mendapat harta warisan dari sang kakek. Maka wasiat dari kakek bisa berlaku agar si cucu tetap mendapatkan bagian dari harta.
Cara inilah yang dilakukan oleh Pemerintah Mesir dan Suriah, ketika menghadapi masalah seperti ini. Pemerintah berinisiatif untuk mewajibkan sang kakek membuat wasiat. Istilahnya adalah wasiyah wajibah. Jadi wasiat itu bukan semata-mata inisiatif si kakek, tetapi negara mewajibkan kepada kakek untuk mewasiatkan harta kepada si cucu.
Cara ini 100% sesuai dengan syariah, dan tujuan untuk memberikan keadilan kepada cucu juga tercapai.
- Hibah
Selain dengan jalan wasiat, bisa saja si kakek langsung memberi harta kepada si cucu on the spot, tanpa harus menunggu dirinya meninggal dunia.
Ketika tahu salah satu anaknya wafat dan meninggalkan anak yang juga menjadi cucunya, si kakek langsung ke bank mencairkan uang. Lalu uang itu langsung diserahkan kepada si cucu, nilainya terserah saja. Dan boleh saja bila nilainya kurang lebih sama dengan yang nantinya bakalan diterima oleh anak atau cucu lainnya.
Tindakan seperti ini baik sekali dilakukan, karena sejak dini sudah diantisipasi urusan keadilan harta.
Apa Yang Bisa Kita Lakukan?
Semua fenomena ini berangkat dari semakin asingnya umat Islam terhadap ilmu syariah, khususnya ilmu mawaris yang telah diajarkan oleh Nabi SAW.
Maka kuncinya adalah bagaimana kita kembali menggalakkan pengajaran dan sosialisasi ilmu mawaris ini ke tengah-tengah umat dengan tindakan yang nyata.
Kita sebenarnya punya banyak majelis ilmu. Bahkan setiap masjid punya pengajian yang rutin dilaksanakan. Tidak ada salahnya kalau kita mulai dari menyisipkan pengajian di berbagai majelis taklim dengan materi yang terkait dengan maslah mawaris.
Syukur nanti kalau bisa lebih disosialisasikan secara masif dan nasional. Entah lewat kurikulum resmi di sekolah, atau pun juga lewat berbagai terobosan yang bisa dilakukan oleh para ustadz, da’i dan juga para penceramah. Setelah tentunya mereka juga mendapatkan kuliah khusus dalam masalah seperti ini.
Dan tidak ada salahnya kalau hukum-hukum waris ini disosialisasikan lewat berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Tentu semua semata-mata hanya mengharap ridha Allah SWT.
Wallahu a’lam bishshawab
INILAH KELUARGA DEKAT YANG BUKAN AHLI WARIS
Ada beberapa anggota keluarga yang memang seringkali agak rancu kita memandangnya. Banyak dikira mereka itu termasuk ahli waris, padahal setelah dilacak lebih jauh dalam daftar ahli waris, memang tidak tercantum. Artinya mereka memang bukan ahli waris.
Sayangnya, karena kurang teliti seringkali mereka dianggap sebagai ahli waris. Alasannya karena memang posisinya yang nyaris sangat dekat dengan almarhum.
Ada sekitar sembilan anggota keluarga dan bisa saja lebih dari itu. Mereka ini sering tertukar dan dianggap sebagai ahli waris, padahal bukan. Mereka adalah :
- Anak Angkat
Anak angkat bukan termasuk anak yang mendapat hak waris. Karena yang dimaksud dengan anak adalah anak yang merupakan dari benih sang muwarrits sendiri, dimana anak itu hasil pernikahan yang sah secara syariah.
Sebenarnya bukan hanya anak angkat yang tidak menerima harta waris, tetapi juga termasuk ayah angkat, ibu angkat, saudar angkat, paman angkat dan seterusnya.
Tambahan lagi bahwa syariat Islam tidak mengakui adanya anak angkat, bahkan mengharamkan pengangkatan anak. Meski pun hukum yang berlaku di negeri kita mengakui keabsahan anak angkat, namun dalam urusan bagi waris, anak angkat tetap bukan ahli waris.
Kalau pun mereka tetap ingin diberikan harta dari almarhum, jalannya bukan dengan pewarisan, tetapi bisa dengan hibah atau waisat yang dilakukan sejak almarhum masih hidup. Atau bisa saja para ahli waris setelah menerima harta waris sepakat untuk memberi semacam ‘uang kerahiman’ kepadanya. Tetapi yang jelas anak angkat tidak menerima harta dari almarhum lewat jalur waris.
Dan cara hibah atau wasiat ini juga bisa diberlakukan kepada semua daftar berikut ini.
- Anak Tiri
Anak tiri bukan termasuk ahli waris. Yang dimaksud tiri adalah anak dari pasangan. Misalnya, seorang laki-laki menikahi janda yang sudah punya anak.
Dalam keseharian, sering kita sebut dia sebagai anak tiri. Meski hubungan keduanya sangat dekat, tetapi dalam hukum syariah, anak tiri bukan ahli waris. Karena anak itu bukan dari darah daging muwarrits.
Dan termasuk yang juga bukan ahli waris adalah ayah tiri, dan ibu tiri.
- Mantan Suami mantan Istri
Suami adalah ahli waris dari istri yang meninggal. Istri juga ahli waris dari suami yang meninggal. Tetapi hubungan saling mewarisi ini berhenti tatkala hubungan suami istri di di antara keduanya telah selesai karena perceraian.
Maka mantan istri bukan ahli waris dan mantan suami juga bukan ahli waris. Walau pun mereka pernah hidup bersama puluhan tahun lamanya.
- Keponakan
Keponakan memang ada yang masuk dalam ahli waris, namun tidak semua keponakan termasuk dalam daftar ahli waris. Dari 4 hubungan keponakan, hanya satu saja yang menjadi ahli waris.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki almarhum. Hanya keponakan yang satu ini saja yang termasuk ke dalam ahli waris.
Anak laki-laki dari saudari perempuan almarhum, bukan termasuk ahli waris.
Anak perempuan dari saudara laki-laki almarhum, bukan termasuk ahli waris.
Anak perempuan dari saudari perempuan almarhum, bukan termasuk ahli waris.
- Mertua – Menantu
Meski sudah seperti anak sendiri, hubungan antara mertua dan menantu tidak saling mewarisi. Yang menjadi ahli waris adalah anak muwarrits langsung atau orangtuanya. Sedangkan pasangannya jelas bukan termasuk ahli waris.
Dalam kasus sering terjadi menantu malah lebih repot mengurusi harta pasangannya. Yang jadi anaknya saja tidak terlalu meributkan, malah menantu yang bukan ahli waris kelihatan punya ambisi untuk mendapat harta dari peninggalan mertuanya.
- Saudara Ipar
Saudara ipar adalah saudara dari istri atau suami. Misalnya, seorang wanita ditinggal mati suaminya. Maka saudara wanita itu adalah saudara ipar bagi almarhum. Kedudukannya tidak terdapat dalam daftar ahli waris.
Misal lain, seorang suami ditinggal mati istrinya. Maka saudara suami itu adalah ipar bagi almarhumah. Kedudukannya bukan sebagai ahli waris.
- Cucu Dari Anak Perempuan
Meski pun cucu termasuk dalam daftar ahli waris, namun tidak semua cucu bisa termasuk di dalamnya. Cucu yang merupakan anak dari anak perempuan almarhum bukan termasuk ahli waris, baik cucu itu laki-laki atau pun perempuan.
Yang termasuk ahli waris adalah cucu dari anak laki-laki, baik cucu itu laki-laki atau perempuan.
- Paman dan Bibi Jalur Ibu
Paman memang termasuk dalam daftar ahli waris, tetapi tidak semua paman. Hanya paman yang merupakan saudara ayahnya almarhum saja yang termasuk ahli waris. Sedangkan paman yang merupakan saudara ibunya almarhum, bukan termasuk ahli waris.
- Saudara lain ayah lain ibu
Dalam daftar para ahli waris ada saudara seayah seibu, saudara seayah saja dan saudara seibu saja. Mereka bisa saling mewarisi. Tapi adakah saudara yang lain ayah lain ibu?
Jawabnya ada. Misalnya seorang duda yang punya anak menikah dengan janda yang punya anak. Maka anak si duda dan anak si janda adalah saudara. Tetapi hubungan persaudaraan di antara mereka unik, yaitu saudara lain ayah dan lain ibu.
Wallahu a’lam bishshawab
APAKAH BAYI YANG DALAM KANDUNGAN MENDAPAT WARISAN
Mohon penjelasan terkait dengan hukum warisan bagi anak yang masih di dalam kandungan. Bagaimana ketentuan hukumnya? Apakah bayi sudah dianggap manusia yang berhak menerima waris atau harus ditunggu dulu kelahirannya?
Jawaban :
Memang ketika yang menjadi ahli waris seorang bayi yang ada di dalam kandugan ibunya, masalahnya akan jadi berbeda dan penghitungan warisnya pun rumit. Hal itu karena keberadaan bayi itu akan sangat mempengaruhi pembagian waris dan hak-hak para ahli waris lainnya.
Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Bayi atau janin yang masih di dalam perut ibunya masih merupakan misteri, sehingga tidak bisa langsung diambil keputusan hukum, kecuali bila sudah lahir nyata ke dunia ini.
- Ketidak-jelasan Status Bayi
Setidaknya ada tiga ketidak-jelasan status hukum dari seorang janin atau bayi yang masih berada di dalam rahim ibunya, yaitu :
- Nyawa : Hidup Atau Mati
Janin dalam perut ibunya belum bisa dipastikan status hukumnya, apakah akan lahir dalam keadaan hidup, atau sebaliknya atas kehendak Allah. Padahal hidup atau matinya janin itu tentu amat berpengaruh dalam menetapkan hukum.
- Jenis Kelamin : Laki-laki atau Perempuan
Janin yang masih ada di dalam rahim ibunya juga tidak jelas status jenis kelaminnya, apakah laki-laki atau perempuan. Walaupun di zaman sekarang sudah ada teknik ultrasonographi (USG) untuk mendeteksi keadaan bayi, termasuk jenis elaminnya, namun dari segi hukum tetap saja masih belum bisa ditetapkan statusnya. Padahal jenis kelamin janin itu nanti akan sangat besar pengaruhnya pada penetapan hukum.
- Jumlah : Satu atau Beberapa Orang
Janin yang masih di dalam rahim ibunya juga belum bisa dipastikan jumlahnya. Apakah cuma satu orang atau kembar. Dan kembar pun bisa cuma dua, tetapi bisa juga tiga, empat dan seterusnya.
Padahal jumlah janin itu akan berpengaruh pada pembagian waris buat diri masing-masing janin itu dan juga buat ahli waris yang lain.
- Pengaruh Hukum
Semua ketidak-jelasan status di atas akan sangat besar pengaruhnya dalam pembagian waris. Di antaranya, apakah janin itu menerima warisan atau tidak. Dan juga status janin itu juga akan mempengaruhi hak-hak dari ahli waris yang lain. Hak-hak mereka bisa berkurang atau malah sama sekali hilang alias terhijab.
- Bayi Menerima Waris atau Tidak
Setelah bayi tersebut lahir dalam keadaan hidup, bayi itu menjadi ahli waris yang sah. Namun bila bayi itu lahir dalam keadaan mati, maka dia bukan ahli waris sehingga tidak menerima harta warisan.
- Ahli Waris Lain Berkurang Haknya
Status hidup atau mati pada diri ahli waris ini besar sekali pengaruhnya dalam penghitungan pembagian waris, khususnya buat ahli waris yang lain. Lahirnya seorang bayi bisa membuat ahli waris yang lain terhijab.
Contoh Pertama : Adik Bayi Mengurangi Jatah Sang Kakak
Misalnya ayah dan ibu telah dikaruniai seorang anak laik-laki. Lalu ayah wafat sedangkan ibu sedang mengandung adik bayi di dalam rahimnya.
Dalam hal ini jatah hak waris anak laki-laki pertama berkurang dengan lahirnya sang adik. Seandainya harta ayah 8 milyar, maka ibu (dalam hal ini sebagai istri) akan mendapat 1/8 bagian, atau sebesar 1 milyar. Sedangkan putera pertama mereka, seharusnya mendapat sisanya, yaitu 7/8 bagian atau senilai 7 milyar.
Namun karena sang adik lahir dalam keadaan hidup, maka dia harus berbagi dua. Maka angka 7/8 itu harus dibagi dua, yaitu masing-masing mendapat 3,5 milyar. Maka hak waris sang kakak menjadi berkurang setengahnya dengan kelahiran yang adik.
Contoh Kedua : Bayi Mengurangi Jatah Ibunya
Seorang suami wafat meninggalkan istri yang sedang hamil, maka hak waris istri bisa 1/8 dan bisa juga 1/4 bagian dari harta suaminya. Harta yang ditinggalkan 8 milyar.
Maka si istri itu mendapat 1/8 bagian, apabila bayi yang lahir itu hidup dan ikut mendapat warisan menjadi far’ waris. Berarti nilainya adalah 1 milyar.
Namun bila bayi tidak lahir atau meninggal dunia, maka keberadaannya dianggap tidak ada. Maka si istri akan menerima 1/4 bagian, yang nilainya 2 milyar.
- Ahli Waris Lain Terhijab
Lahirnya seorang bayi bisa membuat ahli waris yang lain terhijab. Contoh kasusnya adalah seorang suami wafat meninggal istri yang sedang mengandung bayi. Saudara dan saudari suami itu akan menerima sebagian dari harta warisan, apabila bayi dalam kandungan si istri meninggal dunia.
Namun bila bayi itu lahir dalam keadaan hidup, bahkan berjenis kelamin laki-laki, maka saudara dan saudari almarhum terhijab alias tertutup haknya dari menerima warisan.
Sedangkan bila bayi itu berjenis kelamin perempuan, maka mereka tetap masih mendapatkan hak waris dari sisanya. Namun tidak sebesar kalau bayi itu tidak dilahirkan.
- Syarat Hak Waris Janin dalam Kandungan
Berkaitan dengan hal ini, para pakar faraid menjelaskan hukum-hukum khusus secara rinci dengan menyertakan berbagai pertimbangan demi menjaga kemaslahatan ahli waris yang ada.
Janin dalam kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi dua persyaratan:
- Bayi Diketahui Keberadaannya Ketika Pewaris Wafat
Bayi tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika pewaris wafat. Syarat pertama ini dapat terwujud dengan kelahiran bayi dalam keadaan hidup. Dan keluarnya bayi dari dalam kandungan maksimal dua tahun sejak kematian pewaris, jika bayi yang ada dalam kandungan itu anak pewaris. Hal ini berdasarkan pernyataan Aisyah radhiyallahuanhu:
“Tidaklah janin akan menetap dalam rahim ibunya melebihi dari dua tahun sekalipun berada dalam falkah mighzal.”
Pernyataan Aisyah tersebut dapat dipastikan bersumber dari penjelasan Rasulullah SAW. Pernyataan ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad.
Adapun mazhab Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam kandungan maksimal empat tahun. Pendapat inilah yang paling akurat dalam mazhab Imam Ahmad, seperti yang disinyalir para ulama mazhab Hambali.
- Bayi Lahir Dalam Keadaan Hidup
Syarat kedua adalah bayi itu lahir dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat warisan.
Dan tanda kehidupan yang tampak jelas bagi bayi yang baru lahir adalah jika bayi tersebut menangis, bersin, mau menyusu pada ibunya, atau yang semacamnya. Bahkan, menurut mazhab Hanafi, hal ini bisa ditandai dengan gerakan apa saja dari bayi tersebut.
Adapun menurut mazhab Syafi’i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahim ibunya dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup menunjukkan adanya kehidupan.
Bila gerakan itu hanya sejenak –seperti gerakan hewan yang dipotong– maka tidak dinyatakan sebagai bayi yang hidup. Dengan demikian, ia tidak berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
“Apabila bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), maka hendaklah dishalati dan berhak mendapatkan warisan.” (HR Nasa’i dan Tirmidzi)
Namun, apabila bayi yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati, atau ketika keluar separo badannya hidup tetapi kemudian mati, atau ketika keluar dalam keadaan hidup tetapi tidak stabil, maka tidak berhak mendapatkan waris, dan ia dianggap tidak ada.
Wallahu a’lam bishshawab