KESOMBONGAN YANG MEMBUNUH DAN KESABARAN YANG MEMBAHAGIAKAN
Di sebuah peternakan, tinggalah dua ekor ayam jantan. Mereka menjadi pejantan untuk semua ayam betina yang ada di peternakan itu. Tapi sayangnya, ayam jantan yang satunya selalu bersikap serakah. Dia ingin menjadi satu-satunya yang menguasai daerah itu. Sedangkan ayam jantan yang ke dua bersikap lebih sabar. Walaupun dia sering di hina, di caci, dan di perlakukan dengan semena-mena oleh ayam jantan yang satunya, dia tak mudah terpancing.
Hingga pada suatu hari, sebuah kejadian tak bisa di elakan. Ketika sedang asik mencari makan di pekarangan peternakan, tiba-tiba ayam jantan ke dua di terjang oeh ayam jantan serakah yang pertama. Untuk membela diri, ayam jantan ke dua pun mencoba malakukan perlawanan sekuat tenaga. Tapi karena sifatnya yang cinta damai dan tak suka berkelahi, ahirnya dia pun lari untuk mengalah dan bersembunyi di balik tumpukan jerami.
Melihat lawanya lari tunggang langgang, ayam jantan yang sombong tersebut merasa sangat puas. ApaLagi mereka di lihat oleh para ayam betina yang dari tadi mencari makan di sekitar mereka. Hal tersebut membuat ayam jantan yang sombong itu menjadi besar kepala dan semakin membanggakan dirinya. “Tak ada yang bisa mengalahkan aku di sini. Aku adalah ayam terkuat yang patut menguasai dan menjadi raja di sini.. cukkurukuuukkk..” katanya sambil berkokok.
Tak puas hanya dengan hal itu, dia berniat mengumumkan kemenanganya agar di ketahui oeh seuruh penghuni peternakan. Dengan sombongnya dia mengepakan sayap dan melompat ke atap. Dari atap peternakan, dia berteriak-teriak menyombongkan diri dan menantang siapa saja yang berani melawanya. Sifat sombong telah membuat dia lupa, bahwa di atas langit masih ada langit.
Ternyata secara tak sengaja, ada seekor elang yang sedang mencari mangsa lewat di atas peternakan itu. Melihat si ayam jago yang berteriak-teriak sombong di atas atap, memberi kesempatan untuk si elang menyambar dan membawa ayam jago itu ke sarangnya menjadi santapan anak-anaknya yang tengah lapar.
Berakhir sudah riwayat ayam jago yang sombong itu. Sedangkan ayam jago yang satunya kini menjadi ayam jago tunggal yang menguasai daerah peternakan. Sifatnya yang suka mengalah dan cinta damai, ternyata mampu menyelamatkan dia dari bahaya. Dan mendapat ke dudukan yang sebelumya tak pernah dia bayangkan. Dan itu adalah balasan bagi yang mau bersabar.
KISAH KISAHAN : MANISNYA RAYUAN SYAITAN BERBUAH SENGSARA DAN DOSA BESAR
Hidup terlelap di antara dekapan malam yang bisu mencekam. Dunia larut dalam kesunyian yang jauh dari glamour dan keindahan. Kegelapan pun menyelimuti rumah-rumah yang saling berdempetan. Terlelaplah semua apa yang ada di dunia dan cakrawala luas ini. Kecuali, cahaya rembulan yang memintalkan benang-benangnya yang bisa menyinari alam persada, dan angin sepoi-sepoi yang menjalar ke seluruh tubuh untuk menyisakan kehangatan dan kenikmatan.
Di malam yang gelap gulita itu, sedang malam terus berlanjut tanpa putus, dan bahkan sudah lewat paruh malam yang pertama, Adil menyelinap dalam kasurnya yang empuk. Senyuman terpampang pada bibirnya. Kebahagiaan membelalakkan kedua matanya. Dia berharap untuk tertidur tapi tak kunjung bisa!! Hati dan pikirannya sibuk memikirkan Rabab, seorang gadis yang cantik rupawan. Ke manakah hati yang terpikat kepada selain Allah ini menyelami tidur penuh kesenangan dan kenikmatan, melainkan di dalam siksa yang kekal dan kesedihan dan kedukaan yang abadi.
Tahukah kamu, siapakah Adil? Siapakah Rabab?! Dan bagaimana dia mengenalnya?!! Adil adalah seorang remaja yang masih belia dari generasi masa kini yang lalai, membelot dari jalan yang benar dan hidayah dan menapaki jalan kesesatan dan kebinasaan. Layaknya kebanyakan remaja bejat, dia hanya sibuk urusan mejeng dan merayu kaum hawa, dan memburu mereka dalam jerat-jeratnya dengan kata-kata rayuan, ungkapan kerinduan, surat-surat cinta dan ucapan manis, baik melalui telepon, sewaktu di mall, ataupun di pintu-pintu sekolah.
Banyak sudah gadis malang yang tak berdosa telah terperangkap di dalam jerat-jeratnya lewat propaganda cinta dan dengan dalih bahwasanya dia bermaksud menikahinya dan menjadi pendampingnya dalam satu atap rumah yang dilingkupi kebahagiaan, cinta kasih dan keharmonisan; yaitu sebuah bahtera mahligai rumah tangga. Sampai-sampai ketika dia telah menyepi dan bisa merengkuhnya, dia pun langsung menerkamnya bak sepak terjang srigala buas ke arah seekor kambing malang.
Jika dia telah dapat memuaskan nafsunya, merenggut kesucian dan kehormatan gadis itu, dan meneguk sari-sarinya, dia pun pergi meninggalkannya dalam keadaan menangis karena sedih bercampur sesal. Wanita itu hanya bisa mengunyah pedihnya aib, kehinaan dan cela. Dia berharap tangisan darahnya bisa menggantikan tetesan air mata sebagai imbalan agar dikembalikan lagi harga dirinya yang tercabik dan kehormatannya yang ternoda. Akan tetapi, mustahil hal itu akan terjadi !!
Sementara Adil, jika sudah selesai menikmati mangsa yang satu, dia bergegas mencari mangsa yang lain. Dan begitulah seterusnya… Pada hari-hari ini, hatinya sedang gundah memikirkan seekor mangsa cantik, seekor kucing betina jinak yang bernama Rabab, yang dikenalnya melalui pembicaraan via telepon. Rabab adalah seorang gadis mojang yang lugu dan penuh kelembutan. Dengan mudah dan cepat, rayuan-rayuan gombal dan kata-kata cinta langsung menggetarkan hatinya. Untuk sekian waktu, komunikasi dan pembicaraan via telepon antara mereka berdua terus berlanjut, dan Adil mulai memperdayainya lewat kata-kata manis, lembut nan indah, dan dia berjanji kepada Rabab untuk menikahinya dan berumah tangga dengannya.
Begitu cepat mangsa ini masuk ke dalam perangkap. Hati Rabab telah terpikat dan cinta kepadanya. Dia meyakini Adil adalah seorang pemuda impian, suaminya di masa depan dan partner hidupnya. Dia tidak tahu bahwasanya Adil adalah seekor srigala yang suka ingkar janji dan seekor musang yang pemalas. Dia tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menerkamnya.
Awal mulanya, hubungan mereka sebatas ucapan-ucapan cinta kasih melalui telepon. Setelah itu, sedikit meningkat pada senyuman dan saling pandang di depan pintu fakultas di mana Rabab kuliah atau di salah satu mall. Kemudian meningkat saat Rabab ikut naik bersama Adil di dalam mobilnya yang mewah.
Setiap saat, Adil menemui Rabab di depan pintu fakultas, mengingat ayahnya selalu mengantarnya hanya sampai depan pintu fakultas untuk kemudian meninggalkannya tanpa meyakinkan apakah dia masuk ruang kelasnya. Rabab menunggu saat ayahnya pergi, lalu keluar menemui sang kekasih yang telah menunggunya di tempat sepi yang berada tak jauh dari kampus. Dia pun ikut naik dalam satu mobil bersama Adil. Keduanya kemudian saling berbicara dan berbagi tawa. Dengan mengendarai mobil, mereka berkeliling sampai hampir waktu Zhuhur.
Menjelang waktu pulang kuliah, Adil pun membawanya kembali ke tempat kuliah. Jika ayahnya sudah tiba, Rabab segera keluar menghampirinya, dan seolah-olah dia telah menghabiskan sepanjang waktunya untuk belajar!! Sang ayah yang pandir itu tak tahu apa yang terjadi sewaktu dia tiada!!
Untuk sekian waktu lamanya, semua berjalan menurut skenario ini. Akan tetapi, Adil belum merasa puas dengan durasi waktu yang dihabiskannya bersama Rabab di dalam mobil beserta semua canda tawa, bisikan, dan lain-lainnya. Dia ingin berduaan bersamanya di apartemennya untuk bisa memangsanya dan merenggut darinya apa yang diinginkannya. Dia telah jenuh dan bosan dengan berbagai canda tawa, ciuman dan kata-kata lembut. Manakala Adil merasa Rabab telah percaya kepadanya dan merasa yakin bahwa dia serius ingin menikahinya dan tidak berniat jahat terhadapnya, dan hatinya telah begitu kuat terpikat kepadanya, maka suatu ketika, Adil mengajaknya untuk mampir ke apartemen pribadinya yang berjarak 15 Km dari kampus Rabab, dengan dalih agar Rabab menyaksikan sangkar pengantin indah yang akan dihuninya setelah menikah nanti, dan agar dia bisa memberi masukan berkaitan dengan ukuran dan perubahan dekorasi juga perabotan apartemen yang cantik yang akan menjadi miliknya yang sangat menakjubkan. Juga, agar mereka bisa sama-sama membahas tentang rincian waktu peminangan, akad bersama, resepsi pernikahan beserta semua tetek bengek-nya.
Akan tetapi, Rabab menolak keras hal itu. Sepanjang hidupnya, dia belum pernah berduaan dengan seorang lelaki asing di dalam rumahnya. Sampai di sini, Adil merasa mangsanya akan bisa lepas dari jeratnya, dan bahwa semua apa yang telah dibangun dan dirancangnya sejak berbulan-bulan hampir gagal dan kandas di dalam pejaman mata. Seketika, keningnya berkerut dan wajahnya pun bermuram durja. Sambil pura-pura marah dan emosi, dia berkata, “Tidakkah kamu mempercayaiku, wahai Rabab?!! Apakah kamu mengiraku termasuk kawanan srigala yang mau menerkam seorang gadis dan merenggut kesuciannya, lalu mereka pergi dan meninggalkannya? Aku bersumpah kepadamu bahwa maksudku baik dan tujuanku mulia!! Aku hanya bermaksud menikahimu, menjadi pendampingmu dan membangun bersama-sama mahligai rumah tangga yang bahagia.”
Di bawah tekanan dan desakan Adil yang terus menerus, juga pengaruh kata-katanya yang manis dan sumpahnya yang begitu kuat, akhirnya Rabab yang malang ini pun sepakat untuk pergi bersama Adil ke apartemennya. Dia berjanji melakukannya esok harinya, dan Adil pun menyetujui hal itu.
Malam itu, Adil duduk sambil berpikir, merenung, menyusun strategi dan mengatur apa yang akan diperbuatnya besok bersama Rabab?!! Bagaimana dia perlahan-lahan bisa sampai pada apa yang dikehendaki darinya?!! Inilah kesempatan telah ada di depan matanya, dan bisa jadi tidak akan terulang lagi untuk kedua kalinya!! Kebahagiaan telah membelalakkan kedua matanya, sedang hatinya menari berbunga-bunga menyambut waktu yang dinantikan pada besok pagi.
Lama dia tak kunjung tidur dan berpikir sambil berbaring di atas ranjangnya. Manakala dia ingin tidur, matanya tak mau terpejam dan rasa kantuk pun seketika sirna.
Ketika Adil sudah frustasi dipermainkan rasa kantuk pada kedua kelopak matanya, dia pun melompat dari ranjangnya dan menghampiri jendela kamarnya yang melongok ke jalan. Dia mulai merenungi hamparan langit yang luas dan berkata pada rembulan yang indah. Dengan terbata-bata, dia berkata, “Hei rembulanku yang bercahaya! Kini saatnya kamu bersembunyi dan terbenam. Wajah Rabab memancarkan sinar dan cahaya. Kami tak butuh kamu lagi setelah malam ini!!”
Adil adalah seorang lelaki gegabah dan suka membual. Kobaran syahwat sedang menggelorakannya dan bara nafsu sedang mempermainkannya. Adil tidak berpikir dengan akalnya atau menuruti panggilan kebaikan dan hidayah di dalam hatinya. Dia telah dikendalikan teman-teman jelek dan yang menghanyutkannya bersama mereka di dalam kesesatan. Di tambah lagi pengabaian kedua orang tuanya untuk memberinya pendidikan yang baik, meski keduanya memberi kepadanya semua fasilitas mainan dan kesenangan, bahkan sekalipun hal itu diharamkan.
Kesemua itu membuat pemikirannya hanya terfokus pada syahwat dan kesenangannya yang diobralnya ke hati para wanita yang bodoh dan terpedaya!! Sampai-sampai dia mengabaikan semua yang berbau pendidikan karena tabiatnya yang menyala-nyala dan syahwatnya yang membabi buta….
Malam itu, Adil memperhatikan menit-menit jam, dan seolah-olah itu bak jam-jam dan hari-hari yang menghalang antara dia dan waktu yang dinantikannya bersama Rabab, sang buah hatinya yang sangat cantik. Kemudian dia membisikkan kata-kata ke dalam hatinya, “Aku merasa strategi yang telah kurancang bakal menuai kesuksesan dan aku akan bisa menggait mangsaku yang sangat berharga!! Rabab adalah impianku yang hilang yang kucari-cari selama ini… Amboi…. betapa dia sangat mempesona, dia sungguh cantik sekali!!”
Kemudian sambil tertawa terbahak-bahak, dia berkata lagi, “Meski demikian, dia sangat bodoh sekali!! Sungguh, dia sangat bodoh sewaktu mengira si srigala yang buas ini mencintai dan tergila-gila padanya. Khayalan dan fatamorgana yang dusta itu telah membutakan pandangan dan mata hatinya. Dia tidak bisa mengetahui apa yang tersembunyi dan terselubung dalam hati Adil yang memendam kehinaan dan kekejian. Sebaliknya, dia malah terbuai kata-kata manisnya yang memimpikan kepadanya mahligai rumah tangga semu, layaknya semua lelaki yang memakai busana kemuliaan. Padahal, hakikatnya dia tak lebih seekor musang yang penuh tipu muslihat dan srigala yang pemalas.”
Sungguh, dia sangat bodoh sewaktu mengira ada lelaki yang rela menikahi wanita yang dikenalnya lewat pembicaraan telepon. Tidak mungkin seorang lelaki menerima wanita semacam ini untuk menjadi istrinya. Karena, dia tahu bahwa wanita itu sebelumnya –melalui telepon- pasti telah mengenal banyak lelaki selain dirinya. Karena orang yang di waktu mudanya demikian, pastilah juga demikian di waktu tuanya.
Pagi itu, Adil bangun dari tidurnya. Dia bergegas membasuh mukanya untuk mengusir rasa kantuknya dan agar dia tidak terlambat dari waktunya bersama Rabab. Dengan cepat, dia mengenakan pakaiannya yang terlihat perlente, lalu mengendarai mobil mewahnya. Dia langsung pancal gas dan mengemudikan setir hingga mobil pun melaju kencang bak air deras yang membelah arus gelombang membawa Adil untuk menggapai sayap-sayap nafsu dan cinta.
Kini… Adil telah sampai di sebelah kampus sesuai jadwal waktu yang telah dibuat antara dia dan Rabab, sang buah hatinya yang telah menodai kehormatannya dan pamor keluarganya yang terhormat dengan berbagai pertemuan-pertemuan nista ini. Adil mulai memperhatikan santapan pagi dan aroma para gadis dengan pandangan seorang pencuri agar bisa selintas memandang dan melihat Rabab.
Selang beberapa menit lamanya, Rabab muncul menghampirinya. Senyumannya yang lebar mendahului aroma parfumnya yang harum semerbak. Sementara tangannya membawa bunga mawar merah. Rabab membuka pintu mobil dan tanpa canggung langsung naik di samping kekasihnya. Mobil pun melintasi jalan dari arah depannya untuk melalui rambu-rambunya yang telah ditetapkan dengan leluasa. Mobil terus melaju pada jalurnya. Setelah beberapa saat, kedua kekasih itu pun sampai ke lokasi apartemen. Rabab menaiki tangga apartemen dengan langkah mendekat bak seekor kambing betina yang sedang diseret seorang jagal ke tempat penyembelihannya.
Keduanya pun duduk, sedang perasaan cinta bergejolak di hati masing-masing setelah panah asmara telah terpatri kuat di antara keduanya. Rabab bukanlah permata yang terawat yang selalu meneguk sari keimanan, kemuliaan dan kesucian. Bahkan, kemolekannya itu menjadi kemalangan baginya setelah dia menyingkap jilbabnya yang indah yang selama ini menutupi wajahnya.
Sepasang kekasih, Adil dan Rabab duduk di sebuah sofa yang berada dalam apartemen. Keduanya saling membisiki kata-kata cinta dan bergantian menancapkan panah asmara dan lain sebagainya. Pada mulanya, Rabab tampak hati-hati. Dia berusaha semampunya untuk bisa mengendalikan perasaan dan emosinya, karena dia tahu bahwa itu merupakan kerugian terbesar dan miliknya satu-satunya jika dia tidak bisa mengendalikan perasaannya yang meledak-ledak.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan pengaruh kata-kata manis yang disuntikkan Adil ke telinganya, perlawanan menghadapi perasaannya itu pun melemah. Dia benar-benar mulai terbawa perasaannya yang menyalanyala seperti kebanyakan gadis yang bermain api, menghampiri fitnah, dan berduaan dengan lelaki asing. Dia mengira dirinya mampu mengontrol emosi dan perasaannya. Dia merasa yakin akan bisa menjaga dirinya agar tak terperosok dalam lembah nista dan dosa. Tapi, bagaimana mungkin sedang selain dirinya dan kekasihnya masih ada setan sebagai pihak ketiga!
Tak ragu lagi, dia nantinya akan menyadari suatu kenyataan yang begitu menyakitkan dan malapetaka yang sangat pahit. Dia benar-benar telah kehilangan kendali terhadap diri dan perasaannya. Dia telah menyerah kepada gelora nafsu dan syahwatnya. Akibatnya, dia pun kehilangan sesuatu yang paling dibanggakan yang dimilikinya!!
Nyata, Rabab pun mulai merasakan kendali itu telah terlepas dari pegangan tangannya. Dia benar-benar tak kuasa lagi mengontrol emosi dan perasaan hatinya!! Pada saat lengah dan terbuai oleh nafsu dan perasaannya itu, Rabab pun tanpa sadar dan terasa telah menyerahkan dirinya kepada seekor srigala yang buas ini. Adil pun langsung merenggut keperawanan dan kesuciannya dan bisa memetik buah “haram” bersamanya, setelah keduanya tenggelam dalam cengkraman seekor srigala yang hina dan nista.
Kemudian Rabab tersadar dari keterbuaiannya dan tergugah dari mimpi dan tidurnya, akan tetapi dia mendapati di depan matanya sebuah kenyataan yang sangat menyakitkan. “Aku telah kehilangan sesuatu yang paling berharga yang kumiliki”. Bahkan, dia sungguh telah kehilangan segalanya… harga diri, kehormatan dan kesuciannya.
Serta merta, dia pun menangis, menjerit dan mengaduh. Namun, Adil segera menenangkan kecemasannya, meringankan kesedihannya dan mempermudah urusannya. Adil berkata kepadanya, “Untuk apa semua tangisan ini?! Apa yang mendorong semua ketakutan dan kesedihan ini?! Kamu adalah kekasihku… istriku… dan patner hidupku… Aku akan meminangmu dalam minggu-minggu ini. Kemudian kita menikah dan hidup bersama, tanpa ada seorang pun yang tahu dengan apa yang telah terjadi di antara kita. Aku bersumpah kepadamu mengenai hal itu!!”
Untuk kesekian kalinya, Rabab terpedaya dengan kata-kata manisnya, janji-janji indahnya dan sumpah-sumpahnya yang begitu meyakinkan. Dia sangat percaya kepadanya dan kata-katanya. Berangsur, kecemasannya mulai reda, dan isak tangisnya pun berhenti. Dia merasa pasrah kepada realitas yang memilukan ini, meski sangat menyesal dan takut terhadap apa yang akan terjadi nanti.
Di sini, Adil berkata kepadanya, “Sekarang, aku akan pergi untuk membeli makanan, sirup dan buah-buahan untuk kita santap sambil mendiskusikan rincian akad nikah, resepsi pernikahan dan perabotan apartemen, duhai ‘istriku’ yang cantik rupawan!!??”
Rabab yang bodoh itu pun menyimpulkan senyuman yang tak mengenal kesucian, senyuman wanita yang rasa malunya telah terampas oleh dosa dan bahkan tampak begitu senang dengan suasana hidupnya yang indah. Dia berkata kepada Adil, “Kamu jangan sampai telat. Aku ingin kembali ke kampus sebelum ayahku tiba tengah siang nanti.”
Adil berjanji kepadanya untuk tidak telat waktu. Kemudian dia berpamitan kepadanya, lalu mengunci pintu apartemen dan bergegas pergi. Dengan tergesa-gesa, Adil keluar dari rumah. Dia naik ke dalam mobil mewahnya dan langsung banting setir dan melaju dengan kecepatan yang luar biasa!! Dia sangat bernafsu untuk bisa kembali kepada Rabab dengan cepat agar tidak gelisah dan takut sendirian di dalam apartemennya, dan agar dia bisa berasyik masyuk bersamanya untuk waktu yang lebih lama lagi, juga agar dia mengulangi kesalahan bersamanya untuk kedua kalinya selagi Rabab percaya bahwa dia akan melamarnya dalam minggu-minggu ini.
Di tengah-tengah Adil mengemudikan mobilnya secara gila-gilaan diiringi dentuman alunan musik yang memekakkan telinga, dengan berjoget senang dan mabuk atas apa yang telah diteguk dari mangsanya yang cantik pagi ini, tiba-tiba dia menerobos jalur sempit dan tikungan yang sangat berbahaya yang mengakibatkan mobilnya yang sedang melaju kencang itu menabrak mobil lain yang ada di jalan tersebut. Spontanitas, tubuhnya bergoncang hebat akibat insiden yang mengerikan itu yang sempat menjadi perhatian orang-orang yang lalu lalang. Adil keluar dari mobilnya dalam keadaan kalut dan panik. Polisi lalu lintas pun datang untuk menginvestigasi kejadian. Setelah mereka mendeteksi tempat kejadian, terbuktilah oleh mereka bagaimana yang sebenarnya terjadi. Polisi penyelidik berkata kepada Adil, “Kenapa kamu kemudikan mobilmu dengan kecepatan yang tinggi?! Tanpa ragu lagi, kamulah yang sepenuhnya bertanggung jawab atas insiden yang tragis ini!!”
Kemudian dia menyuruh untuk menahan dan menyekapnya dalam tahanan di balik terali besi hingga tuntas prosesi hukum yang berkaitan dengan insiden tersebut. Seketika, Adil pun langsung kelenger. Betapa hatinya sibuk memikirkan Rabab dan bagaimana dia kembali ke kampus?!! Apalagi dia telah menguncinya di dalam apartemen. Dia mulai membayangkan malapetaka yang bakal menimpa jika saja ayah Rabab tiba di kampus dan tidak mendapati Rabab ada di sana.
Dia pun memelas dan memohon kepada polisi agar melepaskannya meski hanya satu jam untuk menyelesaikan urusannya yang amat penting lalu setelah itu polisi bisa menawannya sesuka hatinya. Namun, kata-kata dan permohonannya itu berhembus bagaikan angin lalu. Polisi itu tetap bersikukuh pada pendiriannya. Dia meminta polisi ronda (patroli) untuk membawa Adil ke tempat tahanan.
Sementara Rabab terpaksa harus menanti kedatangan Adil, akan tetapi Adil ternyata telat sekali. Kegelisahan mulai menghinggapinya dan keragu-raguan mulai menghantuinya. Dia mengawasi jarum-jarum jam dari waktu ke waktu. Terbayang di kedua pelupuk mata dan lamunannya gambar ayahnya yang mulia sedang menunggunya di pintu kampus untuk membawanya pulang ke rumah seperti sediakala.
Dia kebingungan memikirkan masalahnya. Dia tidak tahu apa yang akan diperbuat? Juga bagaimana dia mengambil sikap? Apalagi pintu apartemen dalam keadaan terkunci. Dia tak punya kunci duplikatnya untuk bisa keluar dan mengurai tabir penutup terha-dap dosa dan kejahatannya, yang jika sampai diketahui ayahnya, niscaya dia akan menyayat-nyanyatnya menjadi beberapa potongan dan akan membuangnya ke hutan rimba sebagai mangsa para binatang buas, demi mengubur aib dan cela, juga sebagai solusi dari dosa yang takkan diampuni oleh masyarakat, dan sekaligus menjadi obat terhadap luka yang tak terobati. Ialah luka harga diri, kehormatan dan kemuliaan.
Rabab duduk di atas kursi yang empuk, tapi seolah-olah dia sedang duduk pada tusukan duri dan jarum, karena saking gelisah dan ketakutan yang akan menimpanya. Pada saat itu, dia berharap kalau saja bumi terbelah di bawah kedua telapak kakinya untuk menelannya sepanjang masa!! Rabab berjalan menuju pintu apartemen dan terduduk di sampingnya sambil menunggu kedatangan Adil dengan penuh sabar, namun tak ada gunanya.
Dia memandangi arloji yang menempel di pergelangan tangannya. Dia pun melihat hanya tersisa waktu sedikit dari kedatangan ayahnya untuk menjemputnya dari kampus. Seketika, dia gemetar dan seluruh persendiannya bergetar karena ketakutan yang akan menampar tulang-tulang rusuknya. Hatinya semakin berdegup kencang. Dadanya terasa sesak. Dia merasa tercekik. Kemudian dia mulai memutari ruangan apartemen bak ular yang melingkar di dalam sarangnya dalam kondisi terkepung api dan meng-inginkan jalan keluar.
Dia terus memikirkan nasibnya dan merenungi aibnya di hadapan ayah, keluarga dan teman-temannya sewaktu dosa yang diperbuatnya bersama Adil itu diketahui mereka. Dia tetap tidak menemukan sebuah solusi meskipun telah lama berpikir dan merenung, selain menutupi mukanya dengan kedua telapak ta-ngannya, meneteskan air matanya yang bercucuran, dan menangis tersedu-sedu serta bercampur takut dan cemas…
Adil masih terdampar di balik terali besi penjara yang hampir mencekik nafasnya. Aliran darah panas pun mulai mendidih di kepalanya…. Dia tidak tahu apa yang akan diperbuatnya untuk bisa menyelamatkan Rabab dari dilema yang dialaminya?? Dia duduk dalam keadaan risau. Dia tak tahu apakah dia berada dalam khayalan atau kenyataan!! Dalam dirinya, dia mulai berpikir tentang cara mengatasi kesulitan yang menakutkan ini!!
Setelah berpikir panjang, muncullah sebuah ide yang menyusup ke otaknya setelah menguras semua jerih payah… Yaitu, dia harus menelpon salah seorang temannya yang mempunyai kunci duplikat apartemennya yang membuat Rabab terkurung di dalamnya, dan memintanya untuk menyelamatkannya dari dilemanya dan segera mengantarnya ke kampusnya secepat mungkin.
Akhirnya, dia minta izin kepada polisi lalu lintas, dan mereka pun mengizinkannya untuk menelpon beberapa saat untuk setelah itu kembali ke tempatnya di tahanan.
Adil bergegas ke tempat telepon dan langsung mengangkat gagang telepon. Dia memencet beberapa nomor dan dalam waktu singkat terdengarlah suara di telinganya berkata, “Halo, dengan siapa?!” Dengan suara bergetar, Adil menjawab, “Hai Hamid, aku temanmu Adil. Dengarkan aku baik-baik dan pahamilah apa yang kuucapkan kepadamu..” Kemudian dia menyambung ucapannya, “Aku ingin kamu mengerjakan suatu urusan penting untuk menyelamatkanku dan menyelamatkan seorang gadis yang bersamaku…”
Adil menceritakan tema bahasan kepada sahabatnya, Hamid, secara singkat sekali dan berkata kepadanya, “Saat ini, aku ingin kamu pergi ke apartemen dan mengantarkan gadis itu ke kampusnya dengan segera sebelum ayahnya datang. Aku takut jika ia tidak mendapati putrinya berada di gerbang kampus, maka terbongkar dan tersingkaplah masalah ini.”
Hamid berkata, “Di mana kamu sekarang, wahai Adil?!”
Adil menjawab, “Aku sekarang ditahan di penjara lalu lintas karena mobilku menabrak mobil lain…Aku tidak bisa menceritakan rincian kejadian kepadamu melalui pesawat telepon. Aku berharap kamu segera berangkat dan mengerjakan apa yang kukabarkan padamu sebelum terlambat…”
Hamid berkata, “Aku segera berangkat melaksanakan apa yang telah kamu kabarkan kepadaku. Percayalah sepenuhnya dan tenanglah mengenai hal itu.”
Dan, pembicaran pun berakhir sampai di situ. Belum sempat Hamid menutup gagang telepon hingga air liurnya mulai mengalir untuk bisa bersenang-senang dengan gadis itu. Dengan terbata-bata dia berkata dalam ha-tinya, “Selagi Adil telah bersenang-senang dengan gadis itu, kenapa aku tidak ikut bersenang-senang dengannya pula? Dia harus menyepakati hal itu?!! Jika dia menolak itu, maka aku akan mengancamnya untuk tidak akan mengantarnya ke kampusnya. Akibatnya, dia akan telat terhadap ayahnya dan terbongkarlah rahasianya?!! Pada saat itulah, dia akan menyerah dan tunduk kepada perintahku…”
Kemudian dia berkata lagi kepada dirinya, “Amboi, rampasan yang amat berharga dan buruan yang begitu mudah!! Dengan cepat, Hamid mengendarai mobilnya menuju apartemen Adil, sambil memimpikan bisa melakukan hubungan mesum bersama gadis yang cantik itu dan memimpikan dirinya akan menikmati pesonanya. Akan tetapi, mewanti-wanti semua yang akan terjadi. Siapa tahu gadis itu menolak ajakannya, dan ketika itulah dia harus memerkosanya dengan memakai kekuatan!! Yang penting, mangsa yang begitu mudah ini tidak tersia-siakan olehnya baik itu dilakukan suka sama suka ataupun secara paksa. Karena itu, dia membawa di saku dalamnya pisau belati untuk menakut-nakuti mangsanya jika sewaktu-waktu dia menolak untuk memberikan apa yang diinginkannya.”
Hamid melaju menuju apartemen Adil dengan kecepatan tinggi, sementara punggungnya terbakar terik matahari demi nafsunya untuk bisa menggaet gadis yang amat mahal itu!! Ketika dia telah tiba di apartemen, dia mengusap keringat di keningnya dan tersendat-sendat nafasnya yang sedang terengah-engah.
Untuk memberi sinyal kepada gadis yang ada di dalam apartemen, Hamid pun mengetuk pintu apartemen dengan ketukan-ketukan ringan, yang terdengar di kedua gendang telinga Rabab seolah pukulan-pukulan nyaring yang menjauhkan darinya segala ketakutan, kegelisahan dan kecemasan. Karena dia meyakini si pengetuk adalah Adil untuk mengembalikannya ke kampus sebelum ayahnya tiba. Kemudian Hamid membuka pintu dan mendorongnya. Dia begitu terobsesi untuk melihat gadis yang sangat cantik itu dan membayangkan dirinya melakukan kehinaan dan dosa bersamanya.
Akan tetapi, betapa ngeri bercampur kaget dan pedih saat Hamid melihat hal yang bisa menghilangkan akal dan nalar sehatnya dan menerbangkan hati dan pikirannya!! Dan andaikan saja dia tidak pernah melihatnya!! Sungguh, Hamid melihat saudarinya, Rabab sedang duduk di dalam apartemen!! Ternyata, Rabab alias adiknya adalah pacar dan kekasih Adil yang telah mengajaknya berkencan di dalam apartemennya!!
Rabab tersentak karena saking kagetnya. Ternyata Hamid, saudara kandung tertuanya sedang berdiri di hadapannya. Apa yang membuatnya datang kemari saat ini!! Bagaimana Hamid bisa tahu dia ada di dalam apartemen ini?!! Apakah Hamid mengetahui dia telah menjual harga diri dan kehormatannya kepada Adil pada pagi hari ini?!! Seketika, pandangannya tampak redup. Mulutnya terbungkam karena risau dan terkekang oleh rasa takut. Dia merasakan adanya ledakan mengerikan yang menyemburkan hawa panas ke dinding-dinding kepalanya di depan pelototan kedua mata kakaknya yang telah hilang akalnya. Dia bisa merasakan tingginya nada suara Hamid sewaktu berteriak ke mukanya seperti orang kalap setelah api cemburu tersembur dari kedua matanya. Hamid berkata, “Apa yang telah kamu perbuat, hai wanita jalang yang mencoreng kehormatan, kemuliaan dan pamor kami?!”
Rabab pun gemetar bagaikan bulu diterpa angin yang sangat kencang, sementara rasa malu membuat merah raut mukanya! Hamid tak butuh bertanya ke-padanya tentang apa yang membuatnya nyasar ke apartemen ini! Adil telah memberitahu kepadanya melalui telepon bahwa dia adalah pacarnya, dan bahwa Adil telah merenggut kegadisan dan kesuciannya.
Hamid mulai menatapnya dengan pandangan yang berapi-api dan menakutkan seperti pandangan yang mendahului kegilaan. Lalu dia menjambak rambut Rabab yang hitam berombak dan mendorongnya dengan kuat hingga Rabab terjerembab ke tanah. Rabab bangun dan bergelayutan pada rumbai baju kakaknya setelah tersungkur di hadapannya dalam keadaan tertunduk dan memohon, sedang air matanya membasahi kedua pipinya. Dia memelas kepada Hamid dengan suara lirih dan sesenggukan, “Berilah kasihan dan ampunan, wahai Hamid. Aku berjanji padamu untuk tidak akan mengulangi perbuatan semacam ini sepanjang hidupku… Sementara darahnya membeku di mukanya, Hamid membalas ucapannya, “Sekarang dan setelah semuanya terjadi, kamu baru mengucapkan kata-kata ini. Sesungguhnya kematianmu lebih baik bagi kami daripada hidupmu. Kamu mencemarkan nama baik kami dan mencoreng muka kami dengan aib dan kehinaanmu di tengah-tengah masyarakat, wahai wanita jalang…”
Sampai sini, Hamid mengeluarkan sebilah pisau yang dibawanya di balik bajunya. Dia mengacungkannya tinggi-tinggi ke atas, lalu menghunjamkannya ke dada saudarinya dan menusuknya dengan tusukan yang menembus ulu hatinya. Rabab mengeluarkan jeritan yang menggema yang membuat dinding apartemen bergoncang. Kemudian dia mengikutinya dengan tusukan-tusukan secara beruntun yang mencabik-cabik isi perutnya, untuk menewaskannya dan mematikan jalinan cinta gelap yang menggelora di hatinya dan menghilangkan aib dan cela bersamanya!! Secara bertubi-tubi, tusukan-tusukan pun dihunjamkan ke tubuh Rabab yang bersimbah dosa. Dia menjerit dan meminta tolong…yaitu jeritan-jeritan yang mencerai beraikan hati. Belum sempat jeritan-jeritan itu merada secara perlahan-lahan, hingga Rabab tersungkur menjadi mayat yang beku dan bersimbah darah segar yang berwarna kemerah-merahan, tanpa mengeluarkan keringat dan mengedipkan mata. Rabab pun telah tewas dibunuh Hamid, kakaknya sendiri sebagai balasan atas harga diri dan kehormatannya yang tercoreng!!
Sampai di sini, Hamid tetap berdiri pada bangkai yang membeku itu, sedang tangannya berlumuran darah. Dia berteriak dan berkata, “Kini… telah mati kehinaan dan aib itu!! Kini… telah terkubur cela itu!” Kemudian dia duduk pada sofa terdekat untuk beris-tirahat dan menghirup nafasnya yang tersengal-sengal… Ketika dia sedang rebahan di atas sofa, tiba-tiba dia mendengar bunyi kunci bergerak di pintu dan mendengar suara sahabatnya, Adil memanggil, “Rabab…. Kekasihku… Ini aku telah kembali kepadamu…”
Kedatangan Adil ke apartemen saat itu adalah suatu hal yang tak terduga, karena semestinya dia masih tertahan di tempat pemarkiran. Akan tetapi, pada seksi lalu lintas itu dia bertemu salah seorang polisi yang mempunyai hubungan erat dengannya. Polisi ini berusaha mengeluarkannya dari tempat tahanan ini dengan jaminan uang. Begitu keluar dari tempat pemarkiran itu, Adil bergegas menuju ke apartemennya untuk memastikan apakah Rabab masih berada di dalamnya. Atau sahabatnya, Hamid telah membawa dan mengantarnya ke kampusnya. Mendengar suara Adil, serentak api cemburu berkobar dalam hati Hamid. Dengan sigap, dia langsung melompat, meraih pisaunya dan bersembunyi di balik pintu. Belum sepenuhnya Adil masuk ke dalam apartemen dan menjulurkan punggungnya ke pintu, hingga Hamid melompat dari belakang dan menghempaskannya ke tanah lalu menduduki dadanya dan menghujamkan pisaunya ke wajah Adil.
Adil terpana dengan pemandangan ini. Dia berteriak memohon dan memelas sambil berkata, “Hamid, apa yang terjadi denganmu?! Apa yang telah menimpamu?! Kenapa kamu menghunjamkan pisau kepadaku sedang aku adalah sahabat, teman dan patner hidupmu?”
Hamid berteriak dan berkata, “Lihatlah mayat itu. Sesungguhnya dia adalah mayat Rabab, kekasihmu. Aku telah membunuhnya dengan kedua tanganku ini. Tahukah kamu siapa Rabab ini, hai Adil? Dia adalah adik dan saudari kandungku dari ibu dan bapakku! Dia adalah saudariku yang telah kamu rampas harga diri, kesucian dan kehormatannya. Aku harus membunuhmu, wahai Adil, seperti aku telah membunuhnya, agar kejahatan dan aib ini sirna seiring kematian kalian!!
Kemudian dia menurunkan pisaunya dan menghunjamkannya secara bertubi-tubi ke dada Adil yang langsung menjerit, meminta tolong dan memelas, tapi sudah tak ada gunanya!! Darah memuncrat dari tubuh Adil, dan dia berusaha melawan sebisanya. Namun, dia tunduk dan menyerah di tangan tukang jagal dan sekaligus sahabatnya, Hamid. Tanpa henti-hentinya tusukan pun dihunjamkan oleh Hamid sampai dia yakin betul bahwa Adil telah tewas dan menjadi mayat yang membeku dan tak bergerak!!
Pada saat itulah, Hamid berdiri pada bangkai Adil yang bermandikan darah segar, lalu dia tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Kini, aku telah membalas harga diri dan kehormatanku darimu, hai orang hina yang biadab…” Kemudian dia membanting tubuhnya yang capek dan letih pada salah satu mebel empuk yang ada di dekatnya dan dia pun berbaring rebahan di atasnya.
Untuk beberapa saat lamanya, Hamid dalam kondisi seperti ini. Lalu dia dikejutkan pintu apar-temen yang didobrak dan dia melihat sekelompok polisi masuk. Polisi langsung berkata, “Jangan bergerak dari posisimu, dan jangan berusaha melawan atau kabur. Rumah ini sudah terkepung oleh polisi.”
Hamid tahu bahwa tak ada gunanya untuk mela-wan dan memungkirinya. Mayat dan darah yang melumuri tanah, juga pakaian dan kedua tangannya yang berlumuran darah sebagai saksi atas apa yang telah terjadi. Hamid menyerah kepada apa yang terjadi. Dia pun diam tak bergerak dan salah seorang polisi menghampirinya lalu memborgol kedua tangannya, tanpa ada perlawanan darinya.
Polisi pun menginterogasinya, lalu mereka berkemas-kemas meninggalkan apartemen dan menuju markas. Pak polisi bertanya, “Apa yang telah terjadi?! Kami menerima informasi dari salah seorang peng-huni gedung apartemen tentang keberadaan seorang lelaki dan wanita di salah satu ruang apartemen dan bunyi suara jeritan dan minta pertolongan dari si wanita. Lalu kami pun datang untuk menyelamatkannya, tapi ternyata kami datang telat dan setelah semuanya terjadi… ”
Hamid menjawabnya dengan sikap dingin dan santai, “Ini sahabatku Adil, dan itu adalah saudariku Rabab. Adil membawanya ke apartemen ini pada pagi ini dan merenggut kehormatannya atas dasar suka sama suka dan kesepakatan bersama, lalu aku pun membu-nuh keduanya untuk menghilangkan kehinaan, cela dan aib bersamanya. Nah, sekarang aku berada di hadapan kalian, maka silahkan kalian memperlakukan aku sesuka hati !!”
Hamid digiring ke markas polisi, dan penyelidikan pun selesai. Dia telah mengakui semua apa yang telah diperbuatnya, dan berkas-berkasnya telah dipindahkan ke Lembaga Pengadilan untuk menjatuhkan vonis yang sebanding dengan tindakannya. Akhirnya, pengadilan menjatuhkan vonis mati terhadapnya.
Pada suatu pagi, terbit koran harian yang memuat pada lembar halaman bagian depan (headline) berita pelaksanaan eksekusi mati terhadap Hamid, dan menceritakan semua rincian tragedi berdarah yang memilukan itu…
Demikianlah terurainya tabir penutup terhadap kesedihan yang meresahkan ini. Demikianlah tragedi yang mengerikan itu berkesudahan dengan terbunuhnya tiga nyawa sekaligus: Adil, Rabab dan Hamid. Penyebabnya adalah iseng-iseng lewat telepon, rayuan manis, kata-kata cinta, menuruti ajakan syahwat yang membabi buta, dan penelantaran oleh kedua orang tua untuk memberi putrinya pendidikan yang baik dan sebaliknya malah mempercayainya secara berlebihan. Demikianlah, buah rayuan itu berbuntut hilangnya kehormatan, terbunuhnya nyawa manusia, serta tersingkapnya cela, kehinaan dan aib. (lihat: Qatilat Al-Hatif, karya Abul Qa’qa’ Muhammad bin Shalih bin Ishaq ash-Shai’ari)
Maka, ambillah (kejadian itu) sebagai pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki pandangan.
Read more https://kisahmuslim.com/1243-rayuan.html
KISAH KISAHAN : LEBIH TAKUT MISKIN DI AKHIRAT DARIPADA MISKIN DI DUNIA
Mengingat harga-harga barang kebutuhan terus meningkat, seorang pemuda selalu mengeluh karena tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah berdiskusi dengan seorang kiai makrifat, pemuda itu pun mengikuti anjurannya untuk menjalankan shalat Hajat serta tetap istiqomah dalam melaksanakan shalat wajib lima waktu.
”Pak Kiai, tiga tahun sudah saya menjalankan ibadah sesuai anjuran Bapak. Setiap hari saya shalat Hajat semata-mata agar Allah SWT melimpahkan rezeki yang cukup. Namun, sampai saat ini saya masih saja miskin,” keluh si pemuda.
“Teruskanlah dan jangan berhenti, Allah selalu mendengar doamu. Suatu saat nanti pasti Allah mengabulkannya. Bersabarlah!” Jawab sang kiai.
”Bagaimana saya bisa bersabar, kalau semua harga kebutuhan hidup serba naik! Sementara saya masih juga belum mendapat rezeki yang memadai. Bagaimana saya bisa memenuhi kebutuhan hidup?”
”Ya tentu saja tetap dari Allah, pokoknya sabar, pasti ada jalan keluarnya. Teruslah beribadah.”
”Percuma saja Pak Kiai. Setiap hari shalat lima waktu, shalat Hajat, shalat Dhuha, Tahajud, tapi Allah belum juga mengabulkan permohonan saya. Lebih baik saya berhenti saja beribadah…” jawab pemuda itu dengan kesal.
”Kalau begitu, ya sudah. Pulang saja. Semoga Allah segera menjawab permintaanmu,” timpal kiai dengan ringan.
Pemuda itu pun pulang. Rasa kesal masih menggelayuti hatinya hingga tiba di rumahnya. Ia menggerutu tak habis-habisnya hingga tertidur pulas di kursi serambi.
Dalam tidurnya itu, ia bermimpi masuk ke dalam istana yang sangat luas, berlantaikan emas murni, dihiasi dengan lampu-lampu yang terbuat dari intan permata. Bahkan beribu wanita cantik jelita menyambutnya. Seorang permaisuri yang sangat cantik dan bercahaya mendekati si pemuda itu.
”Anda siapa?” tanya pemuda.
”Akulah pendampingmu di hari akhirat nanti.”
”Ohh… lalu ini istana siapa?”
”Ini istanamu, dari Allah. Karena hasil pekerjaan ibadahmu di dunia.”
”Ohh… dan taman-taman yang sangat indah ini juga punya saya?”
”Betul!”
”Lautan madu, lautan susu, dan lautan permata juga milik saya?”
”Betul sekali.”
Sang pemuda begitu mengagumi keindahan suasana syurga yang sangat menawan dan tak tertandingi. Namun, tiba-tiba ia terbangun dan mimpi itu pun hilang.
Tak disangka, ia melihat tujuh mutiara sebesar telor bebek. Betapa senang hati pemuda itu dan ingin menjual mutiara-mutiara tersebut. Ia pun menemui sang kiai sebelum pergi ke tempat penjualan mutiara.
“Pak Kiai, setelah bermimpi saya mendapati tujuh mutiara yang sangat indah ini. Akhirnya Allah menjawab doa saya,” kata pemuda itu penuh dengan keriangan.
”Alhamdulillah. Tapi perlu kamu ketahui bahwa tujuh mutiara itu adalah pahala-pahala ibadah yang kamu jalankan selama 3 tahun lalu.”
”Ini pahala-pahala saya? Lalu bagaimana dengan syurga saya Pak Kiai?”
”Tidak ada, karena Allah sudah membayar semua pekerjaan ibadahmu. Mudah-mudahan kamu bahagia di dunia ini. Dengan tujuh mutiara itu kamu bisa menjadi miliader.”
”Ya Allah, aku tidak mau mutiara-mutiara ini. Lebih baik aku miskin di dunia ini daripada miskin di akhirat nanti. Ya Allah kumpulkan kembali mutiara-mutiara ini dengan amalan ibadah lainnya sampai aku meninggal nanti,” ujar pemuda itu sadar diri. Tujuh mutiara yang berada di depannya itu hilang seketika. Ia berjanji tak akan mengeluh dan menjalani ibadah lebih baik lagi dari yang sebelumnya demi kekayaan akhirat kelak.
KISAH KISAHAN : SEBUAH MATA PENCAHARIAN DALAM KEHIDUPAN
Setiap saya melintasi jalan depan mal itu, mataku menatap pengemis-pengemis itu duduk termangu. Suaranya yang sendu dan penampilannya yang mengiris hati tak banyak membuat orang-orang yang melintas mengulurkan recehan kepada mereka. Mata pengemis-pengemis itu terus menatap penuh harap kepada orang-orang yang lewat. Kepada orang-orang di dalam mobil juga orang-orang berhelm yang mengendara motor. Seolah mata itu hendak mengatakan, wahai orang-orang yang lebih beruntung, jangan asap knalpotmu saja yang kalian sebar, tapi ulurkan juga uang kecilmu.
Sekali waktu aku melemparkan recehan ke arah mereka dan mereka menyambutnya dengan kegirangan seorang pengangguran yang menang lotere. Namun ketika tidak ada recehan, atau ketika aku lagi buru-buru, maka aku melewati mereka seperti melewati pot-pot bunga yang terpacak di pinggir-pinggir jalan. Dan aku tak perlu merasa bersalah dengan sikap demikian. Pasalnya, mereka sungguh tidak tahu aturan. Mereka menempati trotoar yang tentu mengganggu para pejalan kaki.
Namun siang itu ketika panas menjadi-jadi, hatiku terasa ada yang mengoyak. Persisnya ketika mataku menatap seorang pengemis muda yang entah bagaimana ada di antara para pengemis itu. Apakah dia sudah lama di antara mereka atau baru aku melihatnya. Tidak ada yang mencolok dari dirinya. Setiap pengemis memiliki kekuarangan fisik, dan pengemis muda itu kurang-lebih sama. Tapi menatap wajah pengemis muda hatiku berdegup. Memandangnya lebih lama aku seperti ditarik ke masa lalu.
Dia duduk berselonjor yang membuat kaki sebelahnya yang kecil benar-benar terlihat. Kulitnya hitam. Matanya tak membuka. Selama duduk dia lebih banyak diam. Tidak ada suara dari mulutnya. Umurnya kutaksir dia sama denganku.
Siapa pemuda pengemis itu? Apakah dia kukenal?
Dari jauh kupandangi pemuda pengemis itu, berharap pertanyaan-pertanyaan itu menemukan jawabannya. Kupandangi lekat-lekat. Tapi jawaban itu belum juga datang. Akhirnya aku memejamkan mata, lalu bayangan-bayangan masa lalu itu terangkai satu persatu, membentuk sebuah rangkaian cerita.
***
Lima tahun berlalu, tapi aku masih mengingat Sabirin sebagai anak pintar dengan pesimisme yang kelewatan. Dia teman kuliahku yang cuma mentok di semester empat. Tubuhnya kurus, rambut tak beraturan seperti orang frustasi, dan kepalanya selalu ditutupi topi warna biru. Banyak orang bilang penampilan itu cermin kesuraman hidupnya.
Semangat hidupnya redup setelah orangtuanya yang dia sebut manusia egois memutuskan bercerai. Benar-benar hilang semangat dia waktu itu. Dan pesimisme itu pada akhirnya ia lampiaskan dengan mengutuk kehidupan di sekitarnya yang dia rasa tidak adil. Tentang Tuhan tak lagi memihak orang kecil, tentang orang kaya yang tak memiliki kepedulian, tentang kampus yang hanya mencetak manusia-manusia robot. Pada puncak kutukannya dia memberiku kejutan dengan mengatakan tak betah lagi dibelenggu oleh kampus. Dia hendak keluar dari studinya.
Mendengar keputusan yang berani itu saya pun buru-buru menasihatinya. ”Sebaiknya pikir dulu, jangan gampang memutuskan keluar kampus.”
”Saya tidak punya uang untuk bayar kuliah. Apa para dosen itu mau aku bayar pakai daun kering,” jawabnya dengan nada tinggi.
”Bukan begitu. Kamu bisa bekerja sambil kuliah. Banyak yang menjalaninya dan berhasil.”
Lalu kujelaskan berbagai jenis manusia yang meraih sukses dari nol. Kutambah-tambahi sebisaku dengan logika-logika yang masuk otaknya. Akhirnya dia mulai ragu dengan keputusannya. Dan sewaktu ujian semester dilaksanakan, aku melihatnya muncul di kelas dengan pakaian lusuh, rambut tak tertata, dan topi birunya. Aku juga masih melihatnya berada di perpustakaan utama, membaca-baca buku. Melihat semua itu hatiku gembira. Berarti seorang calon generasi berpendidikan terselematkan.
Namun selepas semesteran aku tak menjumpainya kembali. Dua minggu lamanya dia tak beredar di kampus dengan pakaian lusuhya serta topi warna biru itu. Aku khawatir keadaan buruk sedang menimpanya. Maka selepas kuliah siang itu aku buru-buru ke kosannya. Namun sesampai di sana aku menemukan kosnya telah dihuni orang lain. Saya sempat kebingungan.
Untung seseorang mendatangi saya dan menyampaikan pesan yang rupanya sudah dipersiapkan Sabirin untuk saya. Kata orang yang dititipin pesan itu, Sabirin sudah pindah. Dan isi pesan itu juga mengatakan agar aku tidak mencarinya. Nanti Sabirin sendiri yang akan menemuiku. ”Dasar manusia aneh!” kataku dalam hati.
Dan benar, tak perlu menunggu lama, dia terlihat kembali di kampus setelah keluar dari tempat persembunyiannya. Namun kali ini dia tidak memilih ruang kelas untuk menampakkan dirinya, melainkan di kantin. Sewaktu saya makan siang di kantin itu, dia tiba-tiba mengagetkanku dari belakang. Aku kaget, dan kekagetanku berlipat saat melihat perubahan pada penampilannya. Dia tidak lagi berpakaian lusuh dan topi biru yang jelek itu. Semua serba baru, dan baik. Aku hendak berkomentar, tapi dia sudah nyerocos.
”Tom, aku telah menemukan jawabannya?”
”Jawaban apa?”
”Selama ini aku berusaha mencari cara biar cepat dapat duit.”
”Lantas, apa jawaban itu?”
”Sekarang aku menjadi bagian dari pendemo bayaran.”
Aku terperanjat dan hampir-hampir tersedak. Tapi wajah Sabirin tidak menampakkan ekspresi apa-apa. Tampaknya dia sudah siap dengan kekagetanku. Dan aku masih diliputi rasa kaget. Tukang demo bayaran? Agaknya kalau disejajarkan akan sebiduk dengan tukang tagih bayaran, atau malah tukang bunuh bayaran.
”Mengapa pilih pekerjaan tersebut. Pekerjaan lain yang pantas masih banyak.”
”Memilih itu bagi mereka yang hidupnya tidak darurat. Sementara, kamu tahu sendiri, hidupku serba darurat, Tom.”
”Kita ini anak kuliahan, Bir. Tahu kamu tugas anak kuliah: menjadi agen of social change. Pekerjaanmu itu bisa menodai harkatmu.”
”Aku muak terhadap slogan-slogan itu. Slogan tidak membuat perutku kenyang. Kamu mau aku mati kelaparan dengan menelan slogan-slogan indah tapi tidak realistis itu,” katanya sambil menenggak minuman softdrink.
Saya tidak menjawab. Kupikir dia benar-benar berubah, tidak hanya pakaiannya yang membungkus tubuhnya yang berubah, tapi juga pikiran dan konsep yang tersimpan di kedalaman jiwanya.
”Kuliahmu bagaimana? Kamu tidak berhenti di tengah jalan?”
Sabirin bungkam dan lebih banyak menghela nafas. Saya menduga konsep kampus sudah lenyap dari benaknya. Dan jawabannya kemudian adalah justru pengalihan pembicaraan. Dia malah menceritakan pekerjaan yang kini ia lakoni.
”Minggu depan bakal ada demo besar-besaran. Aku menjadi di antara mereka dengan tugas khusus. Tugas khusus. Aku memperoleh bayaran besar untuk itu. Kalau selesai demo, aku traktir kamu makan sepuasnya di restoran Padang.”
Kini giliranku tidak menjawab. Ada keangkuhan yang kutangkap dari nada bicaranya. Dan entah mengapa tiba-tiba aku merasa ada tembok yang terbangung di antara aku dan dia. Hingga dia pamit dan melenggang dari hadapanku, aku merasa tembok itu bertambah tebal dan tinggi saja.
Sejak pertemuan itu, aku tidak melihatnya kembali dalam rentang waktu lama. Suara pak dosen yang mengabsen namanya selalu berbalas kata absen. Dia raib entah ke mana.
Saya mencoba menghubunginya lewat teman-teman. Namun tidak ada kabar yang menyebutkan keberadaannya. Dia sudah tidak masuk ke dalam radar anak-anak kampus.
Sekali waktu aku melihat wajahnya nampang di liputan berita. Dia telentang di depan pengadilan seraya mulutnya terjahit. Aksi gilanya itu untuk menuntut kebebasan seorang bupati yang dimejahijaukan. Melihat dia, hatiku teriris. ”Kamu dibayar berapa, Bir, sehingga bibirmu yang hitam itu tega kamu jahit.”
Satu semester Sabirin menghilang dari kampus. Saya berharap usai melakoni pekerjaannya dia bakal balik lagi ke kampus meneruskan studinya. Atau menyambangiku, mentraktirku makan di restoran Padang. Seminggu menjelang batas akhir pendaftaran ulang, tubuh kerempengnya, rambut acak-acakannya tak juga nampak.
Keberadaan dirinya baru kuketahui saat kami mengadakan demonstrasi besar-besaran menolak kenaikan harga BBM di depan gedung DPR. Ketika itu aku bersama lautan mahasiswa meneriakkan tolak kenaikan harga BBM, dan kami pun tak lupa meneriakkan peringantan hati-hati provokasi.
Di tengah hiruk-pikuk itu, tiba-tiba massa dikejutkan oleh seorang laki-laki yang tiba-tiba maju ke depan membawa lembaran kain merah putih yang sudah dilumuri bensin. Tanpa sepengatuan massa dia menyulut bendera kebanggaan dan simbol negara itu. Api cepat berkobar, dan kobaran itu menyulut kepanikan semua orang.
”Ada provokator.”
”Tangkap.”
”Ringkus.”
”Bakar-bakar bendera tidak ada dalam skenario kita, dia pasti provokator!”
Namun lautan massa yang sudah kepanasan dan emosi itu kehilangan daya nalar dan kritisnya. Tanpa berpikir panjang, mereka menghujani pemuda itu dengan pukulan-pukulan. Juga tendangan. Melihat pemuda itu, yang sudah dikeroyok massa, rasa penasaranku muncul. Siapa gerangan dia. Dan ketika rasa keingintahuan itu pada akhirnya terobati, aku kaget bercampur sedih sebab ternyata pemuda malang itu tak lain adalah Sabirin. Aku berusaha menyelamatkan temanku itu dengan menghela orang-orang yang menghajarnya. Tapi mahasiswa lain malah menahanku. ”Dia provokator.”
”Dia Sabirin, teman kita. Anak FISIP,” jeritku. Tapi suaraku yang tak seberapa itu tertelan oleh keriuhan massa yang memilih menggebukinya. Tindakan main hakim itu baru berhenti saat polisi yang tadinya berjaga-jaga membuat barikade, menyeruak masuk kemudian membawa Sabirin. Polisi-polisi itu membawanya yang sudah dalam kondisi bonyok.
Setelah peristiwa itu dia kembali hilang seperti tertelan bumi. Banyak selentingan mengenai dirinya muncul. Ada yang bilang, dia sudah dicuci otaknya, dibuat lupa. Ada lagi yang mengatakan dia dibuang ke daerah perbatasan.
***
Kuparkir mobilku di mal dekat jalan padat itu. Dengan langkah berat aku keluar parkiran lantas menuju ke trotoar tempat pengemis itu mangkal. Kehadiranku untuk membuktikan bahwa wajah itu benar milik Sabirin, temanku lima tahun lalu.
Setibanya di trotoar aku langsung jongkok berhadap-hadapan dengan pengemis muda itu. Lalu menatapnya dengan mata menyelidik. Seolah tidak menghiraukan kedatanganku dia tetap membatu dengan tangan direntangkan ke depan memegang cangkir. Beberapa recehan terlihat di cangkir itu. Mataku kemudian menyelidiki sekujur tubunya. Tubuhnya kurus. Kurus sekali. Perutnya dibiarkan terbuka sehingga tulang iganya terlihat. Mengingatkanku pada korban kelaparan di negara Afrika. Bulir-bulir keringat nampak menetes dari keningnya. ”Kamu Sabirin?” tanyaku. Kuharap dia masih mengenalku.
Dia masih bungkam. Aku memegang pahanya. Menepuk-nepuknya sembari mengulang-ulang kalimat yang sama. “Kamu Birin. Kamu Birin. Temanku.”
Suaraku kukeraskan untuk mengimbangi suara bising kendaraan, serta suara-suara para penjual asongan di sekitar situ. Ketika bibirnya mulai bergerak-gerak, aku merasa senang. Namun yang keluar dari mulutnya tidak sesuai harapanku. “Selamat siang, semoga Bapak-Ibu diberikan kebahagiaan hari ini!”
“Kamu pasti Birin. Kamu ingat aku, kan. Aku Tomo, temanmu kuliah dulu. Ngapain kamu jadi pengemis?”
Dia tetap bergeming. Aku menarik nafas lalu menunduk. Akhirnya kuputuskan duduk bersebelahan dengannya. Orang-orang yang lalu-lalu sepintas lalu melihatku. Tapi tak kuhiraukan.
”Kamu ingat, aku dan kamu pernah mendapat tugas membuat makalah politik. Kamu dan aku mencari bahannya di perpustakaan. Dan kamu ingat, kan, di sana kita bertemu Dina. Kita saling bersaing untuk memperebutkan pada akhirnya. Sekarang kamu tidak perlu bersaing lagi denganku, karena dia sudah menjadi istriku.”
Dan banyak sekali cerita-cerita lain yang kuperdengarkan kepadanya. Tapi dia tetap tak bersuara. Hingga…. ”Dia buta dan tuli, percuma kamu bicara padanya!” Sebuah suara besar terdengar dari belakang tengkukku.
Setelah kutoleh seorang laki-laki agak tegap telah berdiri di belakangku. Dia berjaket hitam. Kumisnya tebal dan bibirnya agak hitam.
”Siapa Bapak?” Kutatap matanya, dan dari sana aku tahu dia tidak suka dengan keberadaanku.
”Aku yang mengurus mereka-mereka ini,” jawabnya datar, namun terkesan sewot.
”Berarti Bapak tahu siapa pengemis muda ini. Apa dia Sabirin?”
”Dia bukan Sabirin,” jawabnya singkat. Cepat.
”Lalu siapa dia?”
”Dia seorang pengemis. Hanya pengemis.”
”Tapi pengemis punya nama. Apa namanya Sabirin.”
”Dia bukan sahabat Anda. Sebaiknya Anda tidak banyak tahu tentang mereka. Kumohon, mereka lebih senang diberi daripada dikorek-korek identitas mereka!” Laki-laki itu memelankan suaranya.
Dan nyata dari tatapan matanya dia amat berharap aku tak mengorek lagi identitas pengemis muda itu.
Akhirnya aku mengalah seraya berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran aneh di kepalaku. Kakiku melangkah meninggalkan mereka. Namun ingatanku terhadap Sabirin pada detik itu menjelma perasaan penyesalan. Tiba-tiba aku menjadi orang yang patut dipersalahkan. Dan pada detik itu aku seolah sadar bila selama ini aku tak melakukan apa-apa terhadap Sabirin. Aku cuma menasehati dan menasehati. Padahal sejak dulu yang dibutuhkan Sabirin adalah bantuan nyata. Lalu aku merasa ada hutang moril yang harus aku bayar. Aku berhenti sejenak, lantas meraih dompet di saku celana, mengambil beberapa lembaran ratusan ribu. Kepada laki-laki yang masih berdiri itu, kukatakan, ”Maukah Bapak membantu saya?”
Dia diam.
”Sejak dulu aku hanya bisa menasehati Sabirin, tanpa memberi apa-apa yang dia butuhkan. Maukah Bapak memberikan ini kepada anak asuh Bapak sebagai rasa penyesalan saya kepada teman saya itu?”
Laki-laki itu menatapku seolah-olah aku ini malaikat. Tangannya menjulur meraih uang itu, dan sangat jelas tangan itu bergetar ketika ia meraihnya.
”Anda tenyata orang baik, saya akan sampaikan amanah Anda.”
”Terima kasih.”
Aku melangkah meninggalkan mereka. Debu-debu yang ditiup angin menghantam wajahku. Dan sejak itu aku terus berpikir untuk tidak perlu mengkhawatirkan Sabirin. Bahkan Sabirin yang kutanamkan sekarang adalah Sabirin yang sudah kaya, entah di mana, dan dengan siapa.
KISAH LUCU : MELAPORKAN GUBERNUR YANG KORUPSI, DLL
Suatu hari Abunawas eprgi ke pasar untuk menjual angsanya. Seorang imam yang cerdas dan lucu melihat dia dan memutuskan untuk menguji dia.
Dia mendekati Abunawas dan bertanya: “Berapa harga keledaimu?”
Abunawas menjawab: “Pak, ini adalah angsa, bukan keledai.”
Imam menjawab: “Aku tidak bertanya kepadamu, aku bertanya kepada angsa.”
Sakit Rahang Sesudah Makan Siang
Suatu hari Abunawas pergi ke dokter. Dia mengatakan, “Dokter, rahang saya sakit.”
Dokter bertanya: “Apa yang anda makan untuk makan siang?”
Dia menjawab: “Aku makan roti dan es.”
Dokter menjawab kembali: “Masih bagus, dan sakit nyeri anda sama sekali tidak sama dengan penderitaan rakyat jelata di pinggiran sana.”
Suka Memukuli Keledai
Suatu hari Abunawas memukuli keledainya di tempat terpencil.
Seorang pria melihat dia dan bertanya: “Mengapa anda memukuli binatang yang lemah?”
“Maaf,” kata Abunawas, “Apakah dia anggota keluarga anda?”
Sembuh Jika Berkeringat
Pada suatu hari, Abu Nawas pergi menjenguk seorang temannya yang terkenal sangat kikir. Begitu masuk ke rumahnya, ia menjumpai seorang tabib sedang memeriksa penyakitnya. Akhirnya terdengar tabib itu berkata: “Tak masalah Pak, asal sekujur badanmu mengeluarkan banyak keringat, maka suhu badanmu tentu akan segera turun.”
Abu Nawas yang berada di sampingnya segera berkata dengan tersenyum: “Ini mudah saja! Hari ini mari kita semua berkumpul makan malam di sini, ia pasti kalang kabut dan dengan sendirinya akan mengeluarkan banyak keringat!”
Melaporkan Gubernur yang Korupsi
Saat itu Nasrudin dan puluhan warga mendatangi Sultan Abdul Kadir untuk melaporkan prilaku gubernur mereka yang kejam dan korupsi.
“Kalian jangan bohong ya. Setahu saya gubernur kalian adil dan bijaksana,” Ucap Sultan yang tidak tahu kondisi yang sebenarnya.
Melihat hal tersebut Nasrudin segera maju ke depan,
“Wahai baginda rajaku. Apalah arti adil dan bijaksananya gubernur kami jika tidak di nikmati oleh warga provinsi lain. Oleh karena itu sudilah kiranya Sri Baginda memindahkan gubernur kami ke tempat lain, agar keadilan dan kebijaksanaannya bisa dinikmati seluruh rakyat.”
Mendengar itu Sultan tertawa sambil meninggalkan mereka.
Menjual Keledai Karena Nazar
Hari tersebut adalah hari pertama sejak Nasrudin sembuh dari sakit. Dia sedang berpikir keras karena pada saat sakit dia pernah berjanji pada Tuhan jika dia sembuh dia akan menjual keledainya seharga 200 dinar.
Pada saat itu harga keledai sangat tinggi berkisar diharga 1000 dinar . Tapi karena ketaatannya pada Tuhan dia segera pergi ke pasar sambil berteriak.
“Siapa yang mau beli. Aku jual keledaiku seharga 200 dinar.”
Para makelar pun berdatangan. Beberapa dari mereka bahkan langsung mengeluarkan uang 200 dinar.
“Tunggu dulu!” Nasrudin mengangkat tangan, “Jika ingin membeli keledai ini kalian juga harus membeli kucing diatas nya seharga 800 dinar!”
Diselamatkan Oleh Ikan
“Pada suatu waktu aku pernah sekarat,” kata Nasruddin, “Kemudian ada ikan yang datang menyelamatkan hidupku.”
“Bagaimana caranya? Tolong katakan padaku?” tanya pendengar penasaran.
“Aku sedang sekarat karena kelaparan. Ada sungai di dekatku. Aku menangkap ikan itu dan memakannya. Ikan itu menyelamatkan hidupku.”
Anak Kecil yang Kurang Ajar
Nasrudin biasa duduk-duduk di teras sebuah warung kopi. Suatu hari, seorang anak kecil laki-laki berlari di hadapannya sambil memukul kepala Nasrudin sehingga sorbannya melayang. Tapi sang Mullah tidak bereaksi apa-apa. Hal yang sama terjadi terus selama beberapa hari. Yang selalu dilakukan sang Mullah adalah mengambil sorbannya yang terjatuh dan mengenakannya kembali.
Seseorang bertanya kepada Nasrudin mengapa ia tidak menangkap dan menghukum anak kecil itu, atau meminta orang lain untuk melakukanya.
“Itu bukan cara yang tepat,” kata Nasrudin.
Suatu hari Nasrudin, terlambat datang ke warung kopi. Ketika sampai di sana, dilihatnya seorang serdadu dengan wajah yang seram sedang duduk di tempat yang biasanya ia duduki. Tiba-tiba anak kecil laki-laki itu muncul. Seperti biasanya, ia menonjok sorban orang yang duduk di tempat itu. Tanpa berkata apa-apa, sang serdadu menghunus pedangnya dan kemudian memenggal leher anak itu.
“Ah, dia kan hanya anak kecil…!” gumam Nasrudin dengan penuh sesal.
KISAH ISLAMY : PENJUAL MINYAK WANGI DAN SEUNTAI KALUNG
Penjual Minyak Wangi dan Seuntai Kalung
Seorang pemuda tiba di Baghdad dalam perjalanannya menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Ia membawa seuntai kalung senilai seribu dinar. Ia sudah berusaha keras untuk menjualnya, namun tidak seorang pun yang mau membelinya. Akhirnya ia menemui seorang penjual minyak wangi yang terkenal baik, kemudian menitipkan kalungnya. Selanjutnya ia meneruskan perjalanannya.
Selesai menunaikan ibadah haji ia mampir di Baghdad untuk mengambil kembali kalungnya. Sebagai ucapan terima kasih ia membawa hadiah untuk penjual minyak wangi itu.
“Saya ingin mengambil kembali kalung yang saya titipkan, dan ini sekedar hadiah buat Anda,” katanya.
“Siapa kamu? Dan hadiah apa ini?,” tanya penjual minyak wangi.
“Aku pemilik kalung yang dititipkan pada Anda,” jawabnya mengingatkan.
Tanpa banyak bicara, penjual minyak wangi menendangnya dengan kasar, sehingga ia hampir jatuh terjerembab dari teras kios, seraya berkata, “Sembarangan saja kamu menuduhku seperti itu.”
Tidak lama kemudian orang-orang berdatangan mengerumuni pemuda yang malang itu. Tanpa tahu persoalan yang sebenarnya, mereka ikut menyalahkannya dan membela penjual minyak wangi. “Baru kali ada yang berani menuduh yang bukan-bukan kepada orang sebaik dia,” kata mereka.
Laki-laki itu bingung. Ia mencoba memberikan penjelasan yang sebenarnya. Tetapi mereka tidak mau mendengar, bahkan mereka mencaci maki dan memukulinya sampai babak belur dan jatuh pingsan.
Begitu siuman, ia melihat seorang berada di dekatnya. “Sebaiknya kamu temui saja Sultan Buwaihi yang adil; ceritakan masalahmu apa adanya. Saya yakin ia akan menolongmu,” kata orang yang baik itu.
Dengan langkah tertatih-tatih pemuda malang ini menuju kediaman Sultan Buwaihi. Ia ingin meminta keadilan. Ia menceritakan dengan jujur semua yang telah terjadi.
“Baiklah, besok pagi-pagi sekali pergilah kamu menemui penjual minyak wangi itu di tokonya. Ajak ia bicara baik-baik. Jika ia tidak mau, duduk saja di depan tokonya sepanjang hari dan jangan bicara apa-apa dengannya. Lakukan itu sampai tiga hari. Sesudah itu aku akan menyusulmu. Sambut kedatanganku biasa-biasa saja. Kamu tidak perlu memberi hormat padaku kecuali menjawab salam serta pertanyaan-pertanyaanku,” kata Sultan Buwaihi.
Pagi-pagi buta pemuda itu sudah tiba di toko penjual minyak wangi. Ia minta izin ingin bicara, tetapi ditolak. Maka seperti saran Sultan Buwaihi, ia lalu duduk di depan toko selama tiga hari, dan tutup mulut.
Pada hari keempat, Sultan datang dengan rombongan pasukan cukup besar. “Assalamu’alaikum,” kata Sultan.
“Wa’alaikum salam,” jawab pemuda acuh tanpa gerak.
“Kawan, rupanya kamu sudah tiba di Baghdad. Kenapa Anda tidak singgah di tempat kami? Kami pasti akan memenuhi semua kebutuhan Anda,” kata Sultan.
“Terima kasih,” jawab pemuda itu acuh, dan tetap tidak bergerak.
Saat Sultan terus menanyai pemuda ini, rombongan pasukan yang berjumlah besar itu maju merangsak. Karena takut dan gemetar melihatnya, si penjual minyak wangi jatuh pingsan. Begitu siuman, keadaan di sekitarnya sudah lengang. Yang ada hanya sang pemuda, yang masih tetap duduk tenang di depan toko. Penjual minyak wangi menghampirinya dan berkata:
“Sialan! Kapan kamu titipkan kalung itu kepadanya? Kamu bungkus dengan apa barang tersebut? Tolong bantu aku mengingatnya.”
Si Pemuda tetap diam saja. Ia seolah tidak mendengar semuanya. Penjual minyak wangi sibuk mondar-mandir kesana kemari mencarinya. Sewaktu ia mengangkat dan dan membalikkan sebuah guci, tiba-tiba jatuh seuntai kalung.
“Ini kalungnya. Aku benar-benar lupa. Untung kamu mengingatkan aku,” katanya.
Sumber: Akhbar Adzkiya, Ibn Al-Jauzi
Dinar yang Beranak Dirham
Seorang anak perempuan datang kepada Asy’ab untuk menitipkan uang satu dinar. Oleh Asy’ab uang itu disimpan di bawah kasur. Di sampingnya ia taruh pula uang satu dirham. Beberapa hari kemudian anak perempuan itu kembali lagi untuk mengambil uangnya. “Mana uangku satu dinar?” tanyanya.
“Itu aku simpan di bawah kasur, malahan sudah beranak satu dirham,” jawab Asy’ab.
Anak perempuan tadi hanya mengambil satu dirham, sementara uang yang satu dinar ia tinggalkan dengan harapan akan beranak lagi.
Selanjutnya Asy’ab meletakkan lagi uang satu dirham di bawah kasur. Bebeberapa hari kemudian anak perempuan itu datang. Ia merasa senang mendapati uangnya beranak satu dirham lagi. Kejadian itu berulang sampai empat kali. Saat kedatangannya yang kelima ia terperanjat dan heran melihat Asy’ab menangis. Ia menghampirinya.
“Kenapa kamu menangis?,” tanyanya.
“Dinarmu meninggal dunia ketika melahirkan,” jawab Asy’ab.
“Bagaimana dinar bisa melahirkan?,” tanyanya.
“Dasar perempuan tolol, kalau kamu percaya ia dapat melahirkan, kenapa tidak percaya ia bisa meninggal?,” kata Asy’ab.
Senjata Makan Tuan
Di Sajastan, wilayah Asia tengah, antara Iran dan Afganistan, hidup seorang ulama ahli bahasa yang amat terkenal. Suatu hari ia menasehati putranya: “Kalau kamu hendak membicarakan sesuatu, pakai dahulu otakmu. Pikirkan dengan matang; setelah itu, baru katakan dengan kalimat yang baik dan benar.”
Pada suatu hari di musim hujan, keduanya sedang duduk-duduk santai di dekat api unggun di rumahnya. Tiba-tiba sepercik api mengenai jubah tenunan dari sutera yang dikenakan sang ayah. Peristiwa itu dilihat putranya, namun ia diam saja. Setelah berpikir beberapa saat barulah ia membuka mulut, “Ayah, aku ingin mengatakan sesuatu, bolehkah?,” tanyanya. “Kalau menyangkut kebenaran katakan saja,” jawab sang ayah.
“Ini memang menyangkut kebenaran,” jawabnya. “Silakan,” kata sang ayah. Ia berkata, “Aku melihat benda panas berwarna merah.” “Benda apa itu?,” tanya sang ayah. “Sepercik api mengenai jubah ayah,” jawabnya.
Seketika itu sang ayah melihat jubah yang sebagian sudah hangus terbakar. “Kenapa tidak segera kamu beritahukan kepadaku?,” kata sang ayah. “Aku harus berikir dahulu sebelum mengatakannya, seperti apa yang anda nasihatkan kepadaku tempo hari,” jawab putranya dengan lugu.
Sejak itu ia berjanji akan lebih berhati-hati dalam memberikan nasihat pada putranya. Ia tidak ingin peristiwa pahit seperti itu terulang lagi.
Mutasi
Suatu hari Khalifah Al-Ma’mun didatangi serombongan warga yang bermaksud mengadukan gubernur mereka.
“Kalian jangan macam-macam kepadanya. Aku tahu persis beliau gubernur yang baik dan berlaku adil pada kalian,” kata Khalifah.
Sesepuh warga yang ditunjuk sebagai pemimpin maju ke depan dan berkata, “Amirul mukminin, apa artinya kecintaan ini bagi kami jika tidak dinikmati juga oleh rakyat yang lain? Selama lima tahun ia telah memimpin kami dengan baik dan adil. Karena itu, mutasikan ke wilayah lain agar keadilannya bisa dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat.”
Mendengar itu Khalifah tertawa sambil meninggalkan mereka.
Sumber: Jam’u Al-Jawahir fi Al-Mulhi wa An-Nawadir, Al-Hushri
Ayo Berangkatlah
Khalifah Mu’awiyah mempercayai Panglima Abdurrahman bin Khalid bin Walid memimpin pasukan menghadapi pasukan Romawi yang telah siaga.
Beberapa hari menjelang pertempuran, Khalifah Mu’awiyah mengirim pesan, lalu bertanya, “Apa yang akan kamu lakukan terhadap pasukanku?”
“Akan aku jadikan sebagai pedoman, dan aku tidak akan melanggarnya,” jawab Abdurrahman dalam surat balasannya.
Seketika itu, panglima Abdurrahman dipanggil pulang dan langsung dipecat. Selanjutnya Khalifah menunjuk Sufyan bin Auf Al-Ghamidi sebagai gantinya.
“Aku tunjuk kamu memimpin pasukan; dan itu tadi pesanku. Lalu apa yang akan kamu lakukan?” tanya Khalifah Mu’awiyah kepada Sufyan menjelang berangkat.
“Aku akan menjadikannya sebagai pedoman selama aku mantap. Kalau tidak, aku akan menggunakan pikiranku sendiri,” jawab sufyan.
“Kalau begitu, ayo berangkatlah!” kata Khalifah.
Sumber: Al-Ishabat fi Tamyiz Al-Shahabat, Ibnu Hajar Al-Asqalani
Mulailah Bicara
Ketika hendak melepas pasukan yang akan terjun ke dalam medan pertempuran, seorang jenderal yang dipercaya sebagai komandan menghadap Khalifah Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Setelah menanyakan tentang keadaan serta persiapan pasukan, Khalifah Mu’awiyah mengajak si jenderal berbincang-bincang sejenak. Namun tiba-tiba si jenderal mengeluarkan suara kentut. Seketika itu ia terdiam malu.
“Ayo, mulailah bicara. Demi Allah, aku lebih sering mendengar suara itu dari orang lain daripada diriku sendiri,” kata Khalifah Mu’awiyah.
Sumber: Ansab al-Asyraf, al-Baladziri
Alhamdulillah
Sari al-Suqthi, seorang ulama ahli ilmu tauhid yang sangat wara’ berkata, “Sudah tiga puluh tahun lamanya aku selalu membaca istighfar, dan baru sekali ini aku membaca alhamdulillah.”
“Bagaimana ceritanya?” tanya seorang sahabatnya.
“Pada waktu terjadi peristiwa kebakaran di pasar Baghdad, seseorang dengan tergopoh-gopoh datang menemuiku seraya memberitahukan bahwa kedaiku selamat. Spontan aku berucap ‘Alhamdulillah!’ Tetapi, lantas aku menyesal, karena mensyukuri keberuntunganku sendiri di atas penderitaan orang banyak.”jawabnya.
Sumber: Al-Wafi bi al-Wafyat, al- Shafadi
KISAH ORANG YANG DI PERBUDAK HARTA
Sepasang suami isteri – seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur.
Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya. Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan , tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya. Ya… karena mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Apalagi anak-anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.
Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah. Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, “Kerjaan siapa ini !!!” …. Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah adam ketakutan lebih-lebih melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan ‘ Saya tidak tahu..tuan.” “Kamu dirumah sepanjang hari, apa saja yg kau lakukan?” hardik si isteri lagi. Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata “Dita yg membuat gambar itu ayahhh.. cantik …kan!” katanya sambil memeluk ayahnya sambil bermanja seperti biasa.. Si ayah yang sudah hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya . Si anak yang tak mengerti apa apa menagis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya. Sedangkan Si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan. Pembantu rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa… Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar. Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka-luka dan berdarah.
Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka-lukanya itu terkena air. Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. “Oleskan obat saja!” jawab bapak si anak. Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah konon mau memberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari bertanya kepada pembantu rumah. “Dita demam, Bu”…jawab pembantunya ringkas. “Kasih minum panadol aja ,” jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya.
Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Dita terlalu panas. “Sore nanti kita bawa ke klinik.. Pukul 5.00 sudah siap” kata majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya sudah serius. Setelah beberapa hari di rawat inap dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. “Tidak ada pilihan..” kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut…”Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah” kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yg dapat dikatakan lagi. Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan.
Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. “Ayah.. ibu… Dita tidak akan melakukannya lagi…. Dita tak mau lagi ayah pukul. Dita tak mau jahat lagi… Dita sayang ayah..sayang ibu.”, katanya berulang kali membuat si ibu gagal menahan rasa sedihnya. “Dita juga sayang Mbok Narti..” katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris. “Ayah.. kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil.. Dita janji tidak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti ?… Bagaimana Dita mau bermain nanti ?… Dita janji tidak akan mencoret-coret mobil lagi, ” katanya berulang-ulang.
Serasa hancur hati si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung-raung dia sekuat hati namun takdir yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah jadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski sudah minta maaf…Tahun demi tahun kedua orang tua tersebut menahan kepedihan dan kehancuran bathin sampai suatu saat Sang Ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan mati diiringi tangis penyesalannya yg tak bertepi…, Namun…., si Anak dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tersebut tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya…
Sebagai perenungan:
Tidakkah disadari, bahwa anak adalah harta yang sangat berharga, amanah dari Tuhan yang harus dijaga dan dibimbing dengan baik?
Tidakkah disadari, bahwa harta yang kita cari dan miliki itu kembali kepada keluarga sebagai wujud peribadatan melaksanakan amanah dari Tuhan dan sarana untuk pengabdian kepadaNya?
Tidakkah dicontoh, betapa besar kasih sayang Rasulullah saw kepada keluarga dan umatnya?
Sesunggunya Tuhan maha penyanyang kepada umatnya yang punya rasa sayang kepada mahkluk-Nya.
Ketahuilah, bahwa Tuhan kita itu Allah SWT, bukanlah Harta. Janganlah sampai kita di perbudak harta.
KISAH CINTA : Cinta untuk Kekasih Halalku
Malam sudah begitu larut. Derap langkah kaki anak manusia sudak tak lagi terdengar. Hanya embusan angin malam seakan-akan bersaut-sautan dengan bunyi binatang malam. Malam kian merambat sinar bulan purnama yang begitu indah menambah pesona malam. Desiran angin malam yang membawa udara dingin masuk kedalam kamarku melalui jendela yang sengaja akau biarkan terbuka membuat aku sedikit kedinginan.emang demikian udara di musim kemarau kalau siang udara begitu panas namun ketika malam tiba udara seakan berubah 180 derajat.
Jam disbelah kamarku menunjukan pukul 11.45 sudah begitu larut pikirku namun sekejap pun aku belum memejamkan mata dan anehnya tanda-tanda mengantuk sama sekali. Kepenatan yang aku rasakan karena aktifitas kesehariaanku tidak mempengaruhinya. Pikiran dan otakku belum bisa di ajak untuk beristirahat. Pikiran ini masih terus melayang dan memikirkan peristiwa yang telah aku alami baru-baru ini.
Tepatnya siang tadi, aku mengalami peristiwa penting dalam hidupku, aku telah bertunangan dengan seseorang yang belum aku kenal sebelumnya. Dia lah yang bakal menjadi calon pendamping hidupku.
Namanya Hamdan seorang dokter anak. Dia adalah anak dari teman oom dan tante ku. Pertunangan ini terjadi karena hasil perjodohan. Ya, aku di jodohkan oleh oom dan tanteku. Emang sekerang merekalah wali-ku sekaligus pengganti orang tuaku. Semenjak ayah-ibu ku meninggal karena kecelakaan 15 tahun yang lalu aku diurus dan di rawat oleh oom ku karena beliaulah satu-satunya adik kandung dari ayahku. Sebelum oom aku menikah dengan perempuan yg kini menjadi istrinya. Aku sungguh beruntung memiliki oom dan tante yg begitu amat sayang padaku.kasih sayangnya padaku seperti kasih sayang seorang ibu kandung.
Sebuah peristiwa yang tidak aku duga sebelumnya aku bakal jodohkan dengan sosok lelaki yang tidak aku cintai dan tidak aku kenal. Meskipun hubungan oom dan tanteku dengan orang tua hamdan begitu dekat. Sebelumnya mereka tidak pernah membicarakan hal ini padaku hingga di suatu sore satu minggu yang lalu selepas aku melaksanakan sholat Maghrib mereka memanggilku
“Nisa, sekarang kamu sudah besar dan sudah saatnya kamu menikah, om dan tante ingin melihat Nisa bersanding di pelaminan yang merupakan keinginan dan cita-cita oom dan tante.”. Ucap Oom Rasyid mengawali pembicaraan
“Namun Nisa belum ada calon Oom dan Nisa masih ingin mangamalkan ilmu Nisa dengan mengabdi di Madrasah Tsanawiyyah. Nisa masih ingin bekerja Oom.”
“Oom tahu itu, menikah bukan berarti Nisa tak bisa bekerja, Nisa masih bisa bekerja setelah menikah. Dan Oom minta maaf sebelumnya. Sebetulnya kami telah memilihkan calon pendamping hidup untuk Nisa dan kami yakin dia adalah lelaki yang cocok untuk Nisa, dia pasti bisa memimpin Nisa karena selain dia dokter dia adalah alumnus pondok pesantren yang kami yakin dia seorang yang baik akhlak dan budi pekertinya.”
Saat itu ingin rasanya aku memprotes dan menolak perjodohan itu namun aku tak sanggup menyakit hati dan perasaan mereka aku tak akan sanggup jika melihat mereka kecewa dan aku tidak punya alasan sama sekali untuk menolaknya apalagi dari karakter yang disebutkan Oom dan tanteku merupakan karakter yang aku terapkan dalam mencari pendamping hidup.Namun bagaimana dengan Hafidz sosok yang aku cintai yang kini bersemayam di dalam hatiku? Meskipun aku sadar dia bukan siapa-siapaku namun aku tak yakin kalau aku bisa menggantikan namanya dengan nama lelaki selainnya.
Tiga bulan lagi menurut kesepakatan yang telah di sepekati oleh kedua belah pihak aku akan menikah dengannya. Pergulatan bathin inilah yang membuatku begitu sulit untuk memejamkan mataku. Hatiku begitu menolak akan kehadirannya yang begitu cepat. Aku tidak yakin apakah aku bisa bahagia dengannya atau bisakah aku membahagiakannya sedangkan benih-benih cinta untuknya tidak ada sama sekali.
Tak kuasa menahan jeritan hati aku pun menangis sejadi-jadinya. Angin malam bulan dan bintang menjadi saksi kegalauan hatiku. Air mata ini mengalir begitu desar dan tak mampu ku tahan lagi. Dengan linangan airmata aku mencoba untuk menata kesadaranku kembali. Aku mencoba untuk menerima kenyataan yang ada. Mungkin inilah yang telah Allah tuliskan untukku. Mungkin dialah jodoh yang telah Allah tetapkan untukku. ke-tidak keikhlasanku malah akan membuatku menderita.
Setelah sedikit tenang ku jamah buku diaryku kecoret nama Hafidz dari diary aku..sebuah nama yang melekat begitu erat di dalam hatiku dan menjadi penghias buku diaryku..dengan harapkan degan tercoretnya namanya di buku diaryku tercoret juga namanya di dalam hatiku.meskipun tak semudah itu. Kini aku harus terima kenyataan yang ada karena yang terbaik menurutku belum tentu terbaik menurut Allah.
Tanganku begitu lincah menari, menggoreskan tinta hati ke selembar kertas berharap setelah itu tak ada lagi kegaulaan dan kegundahan, berharap ketidak ikhlasan ini berubah menjadi keridhoan.
Diary…
Saat ini hanya keikhlasan yang hanya mampu membuatku lepas dari kegundahan hati
Mungkin saat ini aku tak mencintainya
Karena di hatiku bukan namanya yang bertahta
Namun nama seseorang yang aku cinta meskipun aku tau dia bukan siapa-siapa
Diary..
Selama ini diri ini selalu bermimpi kalau dia kelak yang akan datang meminangku
Namun..kenyataan berkata lain.
Justru seorang lelaki yg belum kenal yang datang meminangku..
Ingin hati menjerit
Ingin diri berontak
Namun untuk apa??
Apa hanya untuk mengikuti egoku yang besar
Diary..
Tidak ada alasan untuk aku menolak perjodohan ini
Dia laki-laki yang baik yang masuk dalam kriteriaku
Mungkin dia-lah yang telah Allah pilihkan untukku
Yang akan menjadi kekasih halalku.
Diary..
Akan ku hapus namanya dari dalam hatiku
Akan aku isi hatiku dengan namanya
Meskipun saat ini hati ku masih menolak
Namun seiring berjalannya waktu hati ini akan menerima kehadiranyya
Diary..
Kini keputusan telah ku ambil
Dan pilihan telah ku tentukan
Aku akan selalu berusaha untuk berdamai dengan keadaan
Karena pilihan yang telah Allah tentukan tidak akan pernah mengecewakan..
****_______******
“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS al-Baqaroh : 216)
______________________________
Mentari duha bersinar begitu indah, kehangatannya mampu mengusir rasa kantuk yang tersisa, embun-embun di dedaunan nampak indah bak mutiara yang bersinar. Seminggu sudah berlewatkan dari peristiwa itu , hati ini sudah sedikit ikhlas menerima kenyataan yang ada. Dalam waktu satu minggu ini aku merenung memikirkan setiap kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidupku. Tak ada hal kebetulan semua pasti sudah ada yang mengatur. Dan tidak akan ada yang sia-sia dalam pengaturannya.
Liburan panjang sekolah telah pun usia. Hari ini adalah hari pertama aku mulai mengajar kembali.
Berbagi ilmu untuk anak bangsa dengan harapan suatu saat anak-anak bangsa lahir menjadi anak-anak yang cerdas bukan hanya cerdas dalam urusan dunianya namun juga urusan akhiratnya.
Jarak antara rumah dan tempat aku mengajar tidak begitu jauh, sehingga aku lebih memilih berjalan kaki, di samping bisa menyehatkan badan aku juga bisa menghirup udara pagi yang segar lebih lama. Dan setiap langkah kaki yang terayun aku gunakan untuk berdzikir kepada-Nya dengan harapan setiap langkah yang aku ayunkan menjadi pahala.
***
“Assalamu’alaikum Ibu Nisa,”. Terdengar suara orang menyapaku, suara yang tak asing di telingaku..suara itu..ya aku kenal suara itu. Bisikku lirih.Suara seseorang yang selama ini aku rindu, aku pasti tidak salah dengar itu emang suara Hafiz tapi mana mungkin dia ada disini bukankah dia masih di Malaysia menyelesaikan S2 nya.
Ku palingkan wajahku kebelakang untuk memastikan siapa gerangan yang berucap salam padaku belum sempat aku membalas salamnya, aku melihat senyumnya. Sebuah senyuman yang mampu meluluhkan hatiku, yang membuat jantungku berdetak lebih kencang dan seakan-akan aliran darahku berhenti mengalir. Sebuah moment yang tidak pernah aku duga sebelumnya akan bertemu dengannya di sekolah ini. Emang tidak mustahil jika dia berada di tempat ini. Selain dia anak pak kepala sekolah, dulu dia termasuk salah satu pengajar di sekolah ini. Namun kehadirannya saat ini tidak aku duga sama sekali. Dan mengapa dia harus datang lagi, disaat aku mulai bisa melupakannya. Disaat aku mulai bisa mengikis namanya kini dia muncul lagi di hadapanku. Kedatangannya pasti akan membuatku bertambah sulit untuk melupakannya
“Nisa kenapa bengong gitu kayak lihat syetan aja, ” tegurnya begitu melihat aku bengong tanpa ekpresi dan tanpa balasan salam.
Aku tersipu menahan malu, aku tak tahu mau berkata apa padanya. Aku bak patung yang bernyawa di hadapannya. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, aku takut jika nanti aku salah berucap karena terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan yang tak ada jawabannya bermain di otakku.Melihatku diam tanpa kata Hafiz pun mencoba mencairkan keadaan.
“Nis, selamat yah. Aku dengar dari ayah, Nisa sudah tunangan, ternyata aku datang terlambat, semoga Nisa kelak bisa bahagia dengan pendamping hidup Nisa. “
Setelah berucap demikan Hafiz meninggalkanku sendirian di dalam kebisu-an ku, lagi-lagi aku seperti patung tak bernyawa. Tak terasa butiran-butiran permata mengalir dari kedua bola mataku, aku tak tahu mengapa aku menangis, aku tak tahu untuk apa tangisan ini yang pasti aku sedih mendengar pernyataannya. Mengapa harus sekarang dia datang padaku, setelah ada orang lain yang meminangku kenapa tidak dari dulu. Ternyata selama ini cintaku padanya tidak bertepuk sebelah tangan. Namun semua sudah terlambat, aku sudah bertunangan dan dalam hitungan bulan aku akan melaksanakan resepsi pernikahan.
Hafiz adalah senior aku saat aku duduk di bangku kuliah, aku mengenalnya saat aku ikut kegiatan Rohis di kampus, dia-lah yang menjadi ketua Rohis. saat itu aku ada tugas dari dosen ku untuk membuat makalah tentang kegiatan-kegiatan anak Rohis. Dari situlah aku mengenalnya, pembawaannya yg supel, ramah dan tingkahlakunya yang sopan membuat aku menaruh hati padanya secara diam-diam. Dan belakangan baru aku tahu kalau rumahnya tidak jauh dari tempat tinggalku dan ayahnya adalah guru ngajiku
Setelah aku menyelesaikan perkuliahanku, aku di minta oleh ayahnya untuk mengabdi dimadrasan yang beliau pimpin. Aku pun langsung menerimanya karena cita-citaku dari dulu adalah ingin menjadi seorang guru, ternyata Hafiz juga mengajar dimadrasah itu. Benih-benih cinta ini semakin tumbuh subur apalagi setiap hari aku selalu bertemu dengannya. Namun setahun yang lalu dia pergi ke negeri jiran untuk melanjutkan S2, kepergiannya membuat aku merasa kehilangan. Dia pergi tanpa pesan dari saat itulah aku merasa kalau cintaku tidak akan pernah menjadi realita
***
Suasana kelas yang sepi seakan menjadi saksi bisu, hanya bangku dan kursi yang berderet rapi yang menjadi teman diri. Semua anak didik sudah tiada lagi, semua guru pun sudah pulang kerumah masing-masing untuk berkumpul dengan anak dan istri. Tinggal aku sendirian di dalam ruangan itu. aku merasa amat enggan untuk pulang ke rumah. Kaki ini rasanya tak kuasa untuk berdiri, jiwa ini rasanya tidak bersemangat untuk meniti hari.
Suara Adzan berkumandang begitu indah dari surau samping madrasah. Aku tersadar dari lamunanku, tak terasa sudah hampir satu jam aku duduk sendirian . Aku pun beranjak pergi meninggalkan ruangan dan bergegas ke surau guna melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim yaitu mengerjakan sholat fardhu. Surau nampak sepi tak ada jama’ah perempuan selain aku. Aku masih sempat berjama’ah meskipun hanya sebagai jama’ah masbuk.
Seusai sholat hati ini seakan-akan damai, gundah di hati mulai menghilang, perasaan yang berkecamuk di dalam hati mulai sirna.ingin rasanya aku duduk berlama-lama berdua- duaan dengan Rabbku, ingin ku adukan segala resah dan gundahku pada-Nya, meskipun tanpa aku kasih tahu pun Allah sudah tahu semuanya.hanya kepada Allah-lah tempat aku mengadu, tempat aku merintih,hanya DIA-lah tempat curhat yang terbaik. Ku angkat tanganku dan ku tengadahkan wajahku di hadapan-Nya. Dari mulutku keluar bait-baik doa yang indah.
Ya Rabb..
Kini hamba bersimpuh di hadapan-Mu
Di dalam rumah-Mu yang indah dan damai
Hamba yang penuh dosa
Hamba yang bergelimang maksiat
Hamba yang terlalu sering mendurhakai-Mu
Hamba yang jarang mengingat-Mu
Ampuni segala dosa-dosa hamba
Ya Allah..
Engkau tahu kalau hati hamba sedang gelisah
Karena kegelisahan ini Engkau juga yang menciptakan
Sangat mudah bagi-Mu membolak-balikkan hati hamba
Berikanlah ketenangan dan ketentraman di hati hamba
Jangan biarkan setan-setan tertawa di atas kegelisahan hatiku
Tentramkan hatiku
Berilah setitik kesejukan dalam jiwaku agar aku bisa berpikir secara jernih, dan tidak berlarut-larut dalam mengikuti perasaanku
Ya Rabbul Izati
Ajari aku menjadi dewasa, bukan hanya dewasa dalam berpikir. Juga dewasa dalam bertindak dan bertutur kata.
Dewasa dalam menyikapi setiap masalah yang ada
Dan Dewasa dalam meniti kehidupan
Ya Illahi..
Engkau tahu kalau di hatiku masih tersimpan namanya
Hapuskan namanya dari dalam hatiku
Jangan biarkan nama dia yang bertahta di hatiku
Aku tidak mau terus-menerus menzinai hatiku ini
dengan memikirkan seseorang yang bukan siapa-siapa untukku.
Ya Allah..
Kini semuanya aku pasrahkan kepada-Mu
Karena di tangani-Mu lah semua menjadi indah
Hidup dan matiku aku serahkan hanya pada-Mu
*****______******
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.” (QS ar-Ra’d : 28)
****
Janur kuning yang terpancang di depan rumahku melambai-lambai tertiup angin, kursi dan meja yang di desain sedemikian cantiknya berderet rapi, tak ketinggalan dengan kursi pelaminan yang di rancang bak singgasana ratu dan raja. Sedemikian mewahnya acara pernikahanku. Sungguh sangat bertolak belakang dengan keinginanku. Bukan seperti ini pernikahan yang aku harapkan. Untuk apa menghabiskan banyak uang hanya untuk membuat resepsi pernikahan. Terlalu mubadzir menurutku. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa semua sudah di rancang oleh orangtua calon suamiku meskipun sebelumnya oom dan tanteku pernah mengutarakan keberataannya akan hal itu.
Waktu merambat begitu cepat, tiga bulan aku lewati tanpa terasa. Hari ini adalah moment yang bersejarah untukku. Hari di mana hijab Qabul di ikrarkan, aku akan terikat oleh perjanjian besar yang karena perjanjian itu Arasy Allah ikut bergetar. Sebentar lagi awal kehidupan baru akan di mulai, yaitu kehidupan dua insan manusia yang berbeda karakter dan pandangan di satukan dalam biduk rumah tangga.
Dua minggu yang lalu keluarga dari Hamdan berkunjung kerumah ku. ini yang kedua kali aku melihat sosok yang bernama Hamdan. Semenjak acara pertunangan itu aku tidak pernah bertemu denganya. Kami hanya berkomunikasi lewat HP itu pun kalau ada hal-hal yang penting untuk di bicarakan.
Hamdan adalah anak pertama dari keluarga pengusaha yang kaya raya, sebagai anak pertama apalagi anak lelaki satu-satunya menjadikan dia amat di sayang oleh orangtuanya apalagi ibunya. dia mempunyai adik perempuan yang se-umuran dengan ku namanya mawar, gadis yang sangat cantik menurutku. Suatu hari ketika aku sedang membantu tante beres-beres di dapur dia mengampiriku. Dia berbicara banyak tentang kehidupan abangnya. Menurutnya meskipun abangnya sangat di sayang sama ibunya tidak menjadikanya tumbuh menjadi lelaki yang manja. Dia amat mandiri dan penurut apapun yang dikatakan orangtuanya selalu di “iya” kannya selama itu baik untuk dirinya dan orang tuanya. Kekayaan yang dia miliki dan title yang berderet di belakang namanya juga tidak lantas membuatnya sombong. Rasa tenggang rasa dan tanggung jawabnya begitu besar. Dan semua itu di buktikannya dengan mendirikan sebuah panti asuhan untuk anak-anak jalanan.
***
Iring-iringan pengantin sudah tiba, pak penghulu sudah lama menunggu. Dan para tetamu sudah mulai berdatangan,Aku pun sudah siap dengan gaun pengantin yang aku kenakan, sesaat ku pandangi wajahku di depan cermin. Ada airmata yang keluar dari bolamataku, aku tak tau kenapa hati ini seakan-akan belum ikhlas, rasa ragu masih menancap di relung hatiku, aku tidak yakin bisa bahagia dan aku juga tidak yakin bisa membahagiakan suamiku, apalagi benih-benih cinta untuknya belum tumbuh di hatiku.
“Aku terima nikah dan kawinnya Nisa syifa’ juwairiyah binti Muhammad Ilyas dengan mas kawin seperangkat alat sholat di bayar tunai.
Ijab-Qabul telah di ucapkan, perjanjian telah di ikrarkan. Dua insan manusia telah disatukan. ucapaan do’a dan selamat aku dapatkan dari para tamu. Dari wajahku tak nampak keceriaan dan kebahagiaan. Hamdan yang saat ini duduk persis di sebelah ku lebih banyak diam dan hanya sekali-kali memandangku. Aku dengannya bagai orang asing yang baru kenal, tidak ada kata terucap, hanya senyuman yang bisa kami lakukan untuk para tamu sebagai tanda terimakasih dan rasa hormat kami kepada mereka. Banyak dari mereka yang mengatakan kalau kami adalah pasangan yang serasi, mereka tidak tahu isi hati kami saat ini.
***
Kamar tidur yang begitu luas dengan ranjang sangat besar berhiaskan beraneka macam bunga di atasnya, disamping kanan kirinya terdapat meja kecil dengan ukiran yang sangat indah, di pojok kamar itu ada sebuah kamar mandi yang sangat mewah, “bak sebuah kamar ratu inggris” gerutuku dalam hati, aroma semerbak wangi dari bermacam-macam bunga itu membuat aku sedikit pusing, dari dulu aku emang paling tidak suka dengan bau-bauan yang tajam, sedang asyik mengamati kamar baruku terdengar bunyi pintu di buka.
“Assalamu’alaikum Dek Nisa, maaf saya masuk tanpa mengetuk pintu, Dek Nisa Abang minta maaf jika pernikahan ini kesannya di paksakan, abang juga minta maaf bukan maksud abang menghancurkan masa depan Nisa, abang tau kalau Nisa tidak suka dengan pernikahan ini. Sebelumnya abang juga ragu dengan pernikahan ini, abang sudah terlanjur menyetujuinya dan abang tidak mau melihat orangtua abang kecewa dengan sikap abang. ” Ucapnya sambil ia berdiri tepat di belakangku, aku sendiri tidak berani memalingkan wajahku kebelakang, aku belum berani menatap wajahnya. Meskipun dia sekarang adalah seseorang yang halal untukku namun aku merasa asing dengannya.
“Nisa, abang tak kan pernah memaksa untuk nisa mencintai abang, dan abang juga jika tidak akan memaksa Nisa untuk melakukan hubungan badan dengan abang. Abang tidak mau memperkosa istri abang sendiri. Untuk saat ini biarlah abang tidur di kamar sebelah. Jadi Nisa tak perlu cemas dan takut karena abang tidak akan pernah memaksa nisa, Untuk sekian kalinya abang minta maaf untuk semua ini.” Lanjutnya.
Lagi-lagi aku masih belum berani memalingkan wajahku, aku masih dalam posisiku yang semula, sampai terdengar pintu kamar tertutup yang bertanda hamdan sudah meninggalkan kamar. Aku rasa begitu egoisnya diriku betapa angkuhnya diriku, tidak sopannya diriku padanya, padahal sekarang ini aku adalah istrinya yang mempunyai kewajiban untuk melayaninya, menghormatinya dan membahagiakannya, namun apa yang aku berbuat padanya sungguh bukan yang agama aku ajarkan. Namun mengapa saat ini egoku lebih tinggi. Aku lebih suka mendengarkan kata hawa nafsuku dari pada kata hatiku.
***___***
Tanpa di sadari kini sudah setengah tahun aku bergelar sebagai istri namun sampai saat ini aku belum benar-benar menjadi seorang istri, aku belum bisa menjalankan peranku dengan baik. Tidak ku pungkiri Hamdan begitu baik, perhatian, dan dia tak pernah menuntut apapun dariku, dia selalu memenuhi kebutuhanku. Nafkah darinya selalu ku dapat.sampai suatu hari hanya karena aku demam dia rela untuk tidak masuk kerja, dia lebih rela menjagaku, ia amat sabar dengan ulahku yang manja dan kekanak-kekanakan. Namun entah kenapa sikap ku kepadanya masih saja dingin,aku masih belum bisa mencintainya, egoisku masih begitu besar. Aku masih tidak mau mengakui kalau aku mulai mengaguminya. Aku tidak mau mengakui kalau benih-benih cinta untuknya mulai tumbuh di hatiku. Selama enam bulan pernikahanku, aku belum pernah di sentuh oleh suamiku.meskipun kami tinggal serumah kami jarang berkomunikasi, kami lebih sibuk dengan aktifitas masing-masing. Hamdan lebih suka menghabiskan waktunya di kamarnya begitu juga dengan diriku, meskipun sekali-kali kita sarapan dan juga makan malam bersama.
Malam ini tidak seperti malam biasanya Hamdan sampai larut malam belum juga sampai kerumah, aku di buat cemas olehnya, berulang kali aku telphone ke hp nya namun tidak juga aktif.aku telpon ke tempat kerjanya tak ada jawaban. Aku tak tau mengapa aku begitu khawatir padanya, aku takut terjadi apa-apa apadanya, sampai apapun yang aku lakukan selalu serba salah, aku sendiri dalam Kegelisahan.yang ada dalam pikiranku hanya dia..iya hanya dia suamiku. Entah mengapa malam ini rasa kantuk itu hilang begitu saja, keletihan seakan-akan sirna yang ada saat ini adalah keinginan untuk melihatnya, melihat wajahnya, melihat senyumnya, dan mendengar suaranya, saat itu juga aku berjanji pada diriku sendiri kalau aku tidak akan pernah menyia-nyiakannya, begitu dia pulang nanti aku akan bilang kepadanya kalau aku mencintainya. Aku ingin menjadi ibu dari anak-anaknya.
Entah apa yang membuatku ingin masuk kekamarnya. Semenjak aku hidup bersama dengannya aku belum pernah masuk kekamarnya. Rasa rindu kepada-nyalah yg mangantarkan aku memasukinya, aku mengamati kamar nya dari sudut ke sudut, tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah buku berwarna hitam yang bergeletak di atas meja kerjanya. Ku ambil buku itu ku pandangi sekilas karena semakin penasaran dengan isinya aku pun memberanikan diri untuk membukanya. Aku baca lembar demi lembar. Tak terasa airmataku mengalir saat ku baca tulisan itu. Aku tersadar akan sifat ku selama ini. Ternyata selama ini suamiku begitu tersiksa karena ulahku
“…Allah telah menganugerahkan padaku istri yang begitu sempurna, dia cantik, dan pintar, laki-laki mana yang tidak bahagia mendapatkannya, saat pertama kali melihatnya aku sudah menyukainya, meskipun saat ini aku belum bisa mendapatkan cintanya.. Namun aku yakin suatu saat dengan berjalannya waktu dia akan mencintaiku, Begitu rindunya diri ini menyentuhnya, membelai rambut indahnya. Entah kapan itu terjadi tapi yang pasti suatu saat nanti cintanya akan aku dapatkan. Sehingga kami akan saling mencintai hingga anak cucu kami..”.
Sekitar pukul 01.00 terdengar pintu depan terbuka, aku yang saat itu masih duduk di sofa ruang depan segera berlari kearahnya dan langsung memeluknya. hamdan begitu terkejut dengan reaksiku, dia masih berdiri di depan pintu diam tanpa kata. air mataku menetes, aku menangis dalam pelukannya. Kini tangan hamdan membelai kepalaku dengan lembut sangat lembut. Seakan-akan dia takut kalau aku menolaknya.
“Nisa, apakah arti pelukan ini?” Tanyanya dengan suara lirih
Aku tidak menjawab pertanyaanya, yang ada aku malah mempererat pelukanku dan airmataku semakin deras mengalir sehingga membasahi dadanya. Tak ada kata yang teucap, kami bak dua insan manusia yang saling mencintai yang sudah lama tidak bertemu, hati kami saling berbicara, menyalurkan kerinduan yang ada. Aku merasa damai dalam pelukannya,
“Bang, Nisa minta maaf karena selama ini Nisa belum bisa menjadi istri yang baik untuk abang, Nisa tidak menjalankan tanggung jawab Nisa sebagai istri abang, Nisa tidak melayani abang dengan baik, maafkan Nisa Bang, betapa nisa selama ini mendurhakai suami Nisa sendiri. Suami yang harusnya di hormati dan di taati. Nisa begitu berdosa kepada abang dan juga kepada Allah, Nisa hampir mengesampingkan aturan Allah. Abang, nisa mohon maafkan Nisa. Nisa mau melakukan apa saja asal abang memaafkan Nisa. Dan nisa pun sudi kalau nisa suruh cium kaki abang asal abang Ridho dan mau memaafkan kesalahan-kesalahan Nisa. Ucap Nisa masih dalam tangisnya.”
Tak ada jawaban dari mulut Hamdan, hanya detak jantungnya yang tidak beraturan terdengar keras di telingaku.
“Nisa coba tatap mata abang, ” Nisa pun melepaskan pelukannya dan memberanikan diri menatap mata hamdan ini kali pertamanya Nisa melakukan itu, dalam hatinya ia tidak memungkiri betapa indah mata suaminya.
“Apakah Nisa lihat ada sorot mata kebencian dari mata abang? Apakah Nisa lihat di mata abang cinta yang besar untuk Nisa, perlu Nisa tau Abang begitu mencintai Nisa begitu cintanya abang ke nisa abang tidak mau kalau hati Nisa tersakiti. Telah kupendam rasa rindu ini untuk Nisa. Berharap suatu saat Nisa akan menerima abang sebagai suami Nisa tanpa ada paksaan. Setiap bait-bait doa yang abang panjatkan kepada Allah salah satunya adalah agar nisa mau membuka hati untuk Abang. Dan abang yakin suatu saat Allah akan mengabulkan doa abang.”
Mendengar kata-kata yang terucap dari mulutnya airmataku semakin deras mengalir diri ini semakin merasa bersalah. Betapa ruginya diri ku telah menyia-nyiakan seorang suami yang begitu baik, yang tak ada celah kekurangan sedikitpun.”
“Nisa kini abang minta ucapkan kata itu untuk abang, ucapkan kalau Nisa mencintai abang, ucapkan kalau Nisa mau menjadi ibu untuk anak abang.” Pinta Hamdan
“Iya Bang Nisa mencintai abang, Nisa ingin hidup selamanya bersama abang dalam suka dan duka dan Nisa siap menjadi Ibu dari anak-anak abang.”
Udara yang dingin, bulan dan bintang yang bersinar terang kini menjadi saksi akan cinta kami, mereka seakan-akan iri akan kebahagiaan kami. Kini cinta itu telah berirama indah. Dengan irama tasbih yang bermuara kepada cinta-Nya.
**********______________**********
“Laki-laki (suami ) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. maka perempuan-perempuan yang sholeh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga mereka…”(QS an -Nisa :34)
KESALAHAN DAN DOSA KECIL BISA MENJERUMUSKAN KE NERAKA
Dikisahkan dua orang laki-laki bekerja keras membuat sebuah kapal dari kayu. Ketika sedang bekerja mereka berdua menemukan rayap disebuah papan. Salah seorang dari mereka ingin membuang papan kayu itu tapi temannya melarang. ”Kenapa papan ini akan dibuang? Kan sayang. Lagipula tidak ada masalah. Cuma kena rayap sedikit saja.” kata temannya.
Karena tidak ingin mengecewakan temannya, papan yang ada rayapnya pun digunakan untuk membuat sebuah kapal. Tidak berapa lama, kapal pun selesai dan sudah bisa digunakan untuk melayari lautan.
Tapi beberapa tahun kemudian, rayap-rayap itu ternyata bertelur dan menetas. Rayap-rayap itu kemudian menggerogoti kayu kapal. Bahkan rayap-rayap itu menyebar kemana-mana hingga memakan kayu yang ada di lambung kapal.
Kapal terus digunakan dan tak seorang pun sadar hingga akhirnya, kayu-kayu kapal itu pun mulai keropos. Dan, ketika dihantam oleh ombak besar, air berhasil menembus masuk dari celah-celah dan lubang-lubang kayu.
Karena hujan juga sering turun dengan deras, para awak kapal tidak mampu lagi menguras air yang masuk ke dalam kapal sehingga akhirnya kapal itu karam. Di dalamnya terdapat barang-barang berharga dan nyawa manusia.
Sahabatku, Kalau saja kita sadar bahwa malapetaka besar ini sebenarnya berasal dari hal yang remeh dan tidak berharga seperti papan yang sudah kena rayap. Kalau saja ketika membuat kapal dahulu papan itu dibuang, tentu saja malapetaka ini bisa dicegah.
Dan, begitulah kalau pada kenyataannya kita sering tidak sadar kalau perbuatan-perbuatan kesalahan kecil dan remeh yang kita lakukan kadang-kadang justru malah menimbulkan malapetaka besar.
Orang arif bijak pernah berkata :”Berhati-hatilah dan berhematlah atas pengeluaran-pengeluaran kecil. kebocoran kecil bisa mengaramkan kapal.”
HEBATNYA HATI YANG LEMAH LEMBUT DAN PENUH KASIH SAYANG
Alkisah, suatau ketika kapak, gergaji, palu dan nyala api sedang melakukan perjalanan bersama-sama. Disuatu tempat perjalanan mereka terhenti karena terdapat sepotong besi baja yang tergeletak menghalangi jalan. Mereka berusaha menyingkirkan baja tersebut dengan kekuatan mereka masing2.
“Itu bisa aku singkirkan” kata kapak. Pukulan-pukulanya keras sekali menghantam baja yang kuat & keras. Tapi tiap bacokan hanya membuat kapak itu semakin tumpul sendiri sehingga sampai ia berhenti.
“Sini biar aku yg urus” kata gergaji. Dengan gigi2 yang tajam tanpa perasaan, iapun mulai menggergaji. Tapi alangkah kaget & kecewa ia, semua giginya jadi tumpul dan rontok.
“Apa kubilang” kata palu. Kan aku dah ngomong, kalian tak akan bisa. Sini, sini kutunjukan caranya” Tapi baru sekali ia memukul, kepalanya terpental sendiri, dan baja tetap tak berubah.”Boleh aku coba?” tanya nyala api. Dan iapun melingkarkan diri, dengan lembut menggeluti, memeluk dan mendekapnya erat2 tanpa mau melepaskannya. Baja yang keras itupun meleleh dan cair.
Sahabat, ada banyak hati cukup keras untuk melawan kemurkaan dan amukan kemarahan demi harga diri. Tapi jarang ada hati yang tahan melawan api cinta kasih yang hangat.
Betapa arif dan bijak ada dalam sebuah kelembutan dan kehangatan, seperti api mencairkan hati yang dingin. Ah…. tak ada yang tahan menampik cinta dan kasih sayang…
Mengutip kata-kata Motivator :
Hatimu yang mudah merasa kasihan itu tidak lemah,
tetapi justru tanda bahwa engkau adalah jiwa yang disiapkan bagi peran pelayanan yang besar.
Hati yang kasar dan kejam tidak akan mampu mengemban tugas untuk membahagiakan sesama.
Hatimu yang mudah pedih melihat penderitaan sesama itu adalah rahmat Tuhan.
Bersyukurlah, dan segeralah gunakan rahmat itu dalam pekerjaan yang membaikkan hidup banyak orang.