HATI YANG BAIK LEBIH BAIK DARIPADA MASJID YANG MEWAH

Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal mencatat sebuah riwayat tentang Nabi Isa dan muridnya ketika melihat rumah ibadah yang bagus. Berikut riwayatnya:

 حدثنا عبد الله حدثنا أبي حدثنا أبو المغيرة حدثنا صفوان قال: حدثني شريح بن عبيد عن يزيد بن ميسرة وهو ابن حليس قال: قال الحواريون: يا مسيح الله أنظرْ إلي بيت الله ما أحسنه. قال: آمين آمين بحقّ أقول لكم لا يترك الله من هذا المسجد حجرا قائما علي حجر إلا أهلكه بذنوب أهله أن الله لا يصنع بالذهب ولا بالفضة ولا بهذه الحجارة شيئا إن أحبّ إلي الله منها القلوب الصالحة بها يعمر الله الأرض وبها يخرب الأرض إذا كانت علي غير ذلك

Terjemah bebas: Menceritakan kepada kami Abdullah, Abu al-Mughirah bercerita, Shafwan bercerita, dia berkata: Menceritakan kepadaku Suraij bin ‘Ubaid, dari Yazid bin Maisarah, dia adalah Ibnu Khalis. Dia berkata: Para hawari (murid dan sahabat Nabi Isa) berkata: “Ya masîhallah (Wahai al-Masih), lihatlah rumah Allah itu, sungguh indah sekali.” (Nabi Isa) menjawab: “Amin. Amin. (Tapi) sungguh, akan kukatakan kepada kalian, bahwa Allah tidak akan membiarkan satu batu pun di masjid ini berdiri kokoh, kecuali Dia akan menghancurkannya sebab dosa-dosa penduduknya. Sesungguhnya, Allah tidak menjadikan sesuatu (yang berharga) dengan emas, perak, dan bebatuan (di masjid) ini. Sungguh, yang lebih dicintai Allah dari itu semua adalah hati-hati yang saleh (baik), dengannya Allah akan membangun bumi, dan tanpanya bumi akan dibiarkan hancur.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan al-Turats, 1992, h. 119)

Hati adalah bagian dari manusia yang mempengaruhi pergerakan jasad. Manusia yang berhati lembut, atau manusia yang berhati kasar, keduanya akan tertampak dalam gerak-gerik jasadnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (HR Imam Muslim):

ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب

“Ingatlah, sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging yang jika dia baik maka baik pula seluruh jasad, dan jika dia rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ingat-ingatlah, (bahwa) segumpal daging itu adalah hati” (Imam al-Nawawi, al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim bin al-Hajâj, Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyyah bi al-Azhar, tt, juz 11, h. 28).

Dengan kata lain, hati laiknya raja yang memerintah jasad sebagai bawahannya. Jika dia baik dan bersih, maka tindak laku yang ditampilkan akan baik dan bersih pula. Jika dia rusak dan kotor, maka tingkah gerak yang ditampakkan akan rusak dan kotor juga.

Imam Ibnu Qayyim mengatakan: “al-qalb li hadzihil ah’dlâ’i kal malikil mutasharrif fîl junûdi” (hati bagi anggota badan ini seperti raja yang mengatur pasukannya) (Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ighâtsah al-Lahfân min Mashâyid al-Syaithân, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2011, h. 9).

Nabi Isa, dalam riwayat di atas, menginginkan murid-muridnya memahami apa yang lebih dicintai Allah. Dibandingkan emas, perak, dan bebatuan yang digunakan untuk membangun rumah-Nya, Allah lebih mencintai hati yang saleh dan baik. Karena dari situlah, bumi akan dimakmurkan, dan tanpa itu pula, bumi akan hancur dengan sendirinya.

Penjelasan sederhananya begini, semegah-megahnya bangunan akan hancur dengan sendirinya jika tidak dirawat, meski tanpa sengaja untuk dirusak. Sama halnya dengan tempat ibadah, jika penduduknya sudah enggan beribadah dan tidak lagi menyembah Tuhan, arti penting untuk menjaganya akan hilang dari hati mereka, dan perlahan-lahan, tempat ibadah itu akan rusak dengan sendirinya. Namun, jika hati yang saleh terpelihara, arti penting dari tempat ibadah akan tetap terjaga. Tanpa harus diperintah dan disuruh, hati akan menggerakkan mereka untuk terus menjaga dan merawatnya. Karena itu, hati kita harus disadarkan pada fungsinya. Kita harus melatih dan mendidiknya secara terus-menerus. Salah satunya dengan dzikir.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (QS Al-Ra’d: 28):

 أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ingatlah, hanya dengan (berdzikir) mengingat Allah hati menjadi tenteram.”

Ketenteraman hati sangat dibutuhkan untuk menyadarkan hati pada fungsinya. Jika hati selalu marah, dengki, dan gelisah, kemampuan hati dalam menyadari fungsinya akan melemah. Tapi, setelah hati tenteram dan tenang, asupan-asupan kesadaran akan lebih mudah tertanam. Sebagaimana kegiatan belajar-mengajar yang membutuhkan suasana nyaman dan tenang, agar informasi pengetahuan yang disampaikan dapat tercerna dengan baik. Jika keadaan hati sang guru atau murid sedang marah, informasi pengetahuan yang diberikan akan tersia-siakan begitu saja.

Dalam tradisi para sufi, penjernihan hati (tashfiyatul qulûb) adalah pijakan utama, dan mereka memeperjuangkan itu sampai akhir hayatnya. Karena hati tidak statis. Dia selalu naik-turun, pasang-surut, dan tidak tetap. Sekali waktu dia begitu halus, di lain waktu dia begitu kasar. Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kita sebuah doa penetap hati. Sabdanya:

 يا مقلب القلوب ثبت قلبي على دينك

“Wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu.” (Imam Ibnu Abi Syaibah, Kitâb al-Îmân, Beirut: al-Maktabah al-Islamiy, 1983, h. 28).

Sebagai penutup, penting bagi kita untuk merenungi jawaban seorang sufi saat ditanya, mana yang lebih baik, mengangkat tangan ketika berdoa atau membiarkannya. Sufi itu tidak menjawab dengan mengatakan, “ini” lebih baik dari “itu”, atau sebaliknya. Dia menjawabnya dengan cara berbeda.

وقيل لصوفي: أرَفعُ اليدين في الصلاة أقضل أم إرسالهما؟ فقال: رَفع القلب إلي الله تعالي أنفع منهما

“Ditanyakan pada seorang sufi: “Apakah mengangkat kedua tangan dalam doa itu lebih utama, atau membiarkannya (yang lebih utama)?” Sang sufi menjawab: “Mengangkat hati kepada Allah ta’ala lebih bermanfaat dari keduanya” (Imam Abu Hayyan al-Tauhidi, al-Bashâ’ir wa al-Dzakhâ’ir, Beirut: Dar Shadir, juz 1, h. 198).

Pertanyaannya, sudahkah kita berusaha agar hati kita menjadi lebih sholih?

Wallahu a’lam bish-shawwab…

KEISTIMEWAAN ISTIGHFAR UNTUK MENGISTIGHFARI UCAPAN ALHAMDULILLAH

Imam Ahmad bin Hambal Rahimakumullah dimasa akhir hidup bercerita, “Satu waktu (ketika saya sudah usia tua) saya tidak tau kenapa ingin sekali menuju satu kota di Irak” katanya. Padahal tidak ada janji sama orang atau tidak sedang ada hajat tertentu.

Imam Ahmad kemudian pergi sendiri menuju ke kota Bashrah. Beliau bercerita, “Begitu tiba di sana waktu Isya’, saya ikut shalat berjamaah isya di masjid, hati saya merasa tenang, kemudian saya ingin istirahat.”

Begitu selesai shalat dan jamaah membubarkan diri, Imam Ahmad bermaksud tidur di masjid, namun tiba-tiba Marbot masjid datang menemui imam Ahmad sambil bertanya, ”Kamu mau ngapain disini, wahai orang tua” tanyanya.

Ternyata marbot Masjid tersebut tidak tau kalau lelaki tua ini adalah seorang ulama besar yang bernama Imam Ahmad. Dan karna ketawadhuanya Imam Ahmad pun tidak memperkenalkan dirinya.

Di Irak, semua orang kenal siapa Imam Ahmad, seorang ulama besar dan ahli hadits, sejuta hadits dihafalnya, sangat shalih dan zuhud. Zaman itu tidak ada foto sehingga orang tidak tau wajahnya, cuma namanya sudah terkenal.

Imam Ahmad menjawab, “Saya ingin istirahat, saya musafir,” kata Imam Ahmad. “Tidak boleh, tidak boleh tidur di masjid,” jawab Marbot masjid.

Kemudian Imam Ahmad didorong-dorong oleh marbot tersebut disuruh keluar dari masjid. Setelah keluar masjid, lalu dikunci pintu masjid. Lalu saya ingin tidur di teras masjid.”

Ketika sudah berbaring di teras masjid, marbot datang lagi, marah-marah kepada Imam Ahmad, “Mau ngapain lagi wahai orang tua ?” kata marbot. “Mau tidur, saya musafir”kata imam Ahmad.

Lalu marbot berkata, “Di dalam masjid gak boleh, di teras masjid juga gak boleh.” Imam Ahmad diusir. Imam Ahmad bercerita, “Saya didorong-dorong sampai jalanan.”

Di samping masjid ada penjual roti (rumah kecil sekaligus untuk membuat dan menjual roti). Penjual roti ini sedang membuat adonan, sambil melihat kejadian imam Ahmad didorong-dorong oleh marbot tadi. Ketika Imam Ahmad sampai di jalanan, penjual roti memanggil dari jauh, “Mari wahai orang tua , anda boleh nginap di tempat saya, saya punya tempat, meskipun kecil.” kata penjual roti itu

“Baik,” kata Imam Ahmad. Imam Ahmad masuk ke rumahnya, duduk di belakang penjual roti yang sedang membuat roti (dengan tetap tidak memperkenalkan siapa dirinya, hanya bilang sebagai musafir).

Penjual roti punya perilaku khas. Kalau imam Ahmad mengajak bicara, dijawabnya. Kalau tidak, dia terus membuat adonan roti sambil melafalkan istighfar.

Saat memberi garam, astaghfirullah, memecah telur, astaghfirullah , mencampur gandum, astaghfirullah, dan seterusnya. Dia senantiasa mendawamkan istighfar, sebuah kebiasaan mulia. Imam Ahmad memperhatikan terus.

Kemudian Imam Ahmad bertanya, “Sudah berapa lama kamu lakukan ini?”

“Sudah lama sekali , saya menjual roti sudah 30 tahun, jadi semenjak itu saya lakukan.”

Imam Ahmad bertanya, “Maa tsamarotu fi’luk (apa hasil dari perbuatanmu ini)?”

Orang itu menjawab, “(lantaran wasilah istighfar) tidak ada hajat yang saya minta, kecuali pasti dikabulkan Allah. Semua yang saya minta, ya Allah, langsung diwujudkan.”

(Nabi pernah bersabda, “Siapa yang menjaga istighfar, maka Allah akan menjadikan jalan keluar baginya dari semua masalah dan Allah akan berikan rizki dari jalan yang tidak disangka-sangkanya.”)

Orang itu melanjutkan, “Semua dikabulkan Allah kecuali satu, masih satu yang belum Allah beri.”

Imam Ahmad penasaran dan bertanya, “Apa itu?”

Orang itu berkata: “Saya minta kepada Allah supaya dipertemukan dengan Imam Ahmad.”

Seketika itu juga Imam Ahmad bertakbir, “Allahu Akbar..! Allah telah mendatangkan saya jauh-jauh dari Bagdad pergi ke Bashrah dan bahkan sampai didorong-dorong oleh marbot masjid itu sampai ke jalanan, terrnyata karena istighfarmu.”

Penjual roti terperanjat, memuji Allah, ternyata yang di depannya adalah Imam Ahmad. Ia pun langsung memeluk dan mencium tangan Imam Ahmad.

Subhanallah, betapa begitu dahsatnya kekuatan sebuah istighfar yang diiringi dengan keistiqomahan.

Inilah salah satu kekuatan dan fadhilah dari Istigfar, Istighfar bisa menjadi sabab terkabulnya sebuah hajat.

30 tahun mengistighfari alhamdulilah

Seorang arif billah, Syekh Sariy Saqathy (wafat th. 253 H./967 M.) murid sufi besar Ma’ruf Karkhy, pernah berkata: “Tiga puluh tahun aku beristighfar, memohon ampun kepada Allah atas ucapanku sekali ‘Alhamdulillah’!”

“Lho, bagaimana itu?” tanya seseorang yang mendengarnya.

“Begini. Terjadi kebakaran di Baghdad,” kata Syekh menjelaskan, “lalu ada orang yang datang menemuiku dan mengabarkan bahwa tokoku selamat tidak ikut terbakar. Aku waktu itu spontan mengucap, Alhamdulillah! Maka ucapan itulah yang kusesali selama 30 tahun ini. Aku menyesali sikapku yang hanya mementingkan diri sendiri dan melupakan orang lain.”

Tiga puluh tahun Syekh Sariy menyesali ucapan Alhamdulillahnya. Beliau menyesal karena sadar—sekejab setelah melafalkan ungkapan syukurnya itu—bahwa dengan ungkapan syukurnya itu berarti beliau masih sangat tebal perhatiannya kepada diri sendiri. Begitu tebalnya hingga menindih kepekaan perhatiannya kepada sesama.

Sekejab beliau tersadar: alangkah degilnya orang yang mensyukuri keselamatan sebuah toko pada saat keselamatan sesama dan harta benda mereka terbakar habis. Alangkah musykilnya orang yang sanggup menyatakan kegembiraan di saat musibah menimpa sebagian besar saudara-saudaranya.

Meski saya, atau mungkin juga anda, bukan wali Allah yang bersih; adalah sangat mudah memahami penyesalan mulia orang suci –paman Bapak para sufi Al-Junaid—itu. Kecuali bila hati kita memang sudah sedemikian membatu oleh kecintaan kita yang berlebihan kepada diri sendiri dan dunia. Na’udzubillah

AGAR TIDAK DIMASUKI SYAITAN MAKA JAGALAH PINTU-PINTU SYAITAN DI HATI KITA

Secara umum penyebab PINTU SYAITAN(madakhil syaiton) karena jarang mengingat Alloh / berdzikir, bershalawat, serta berdoa karena semakin jauh kita dari Alloh maka semakin jauh juga kita kepada Alloh sehingga syetan dan semua pasukannya akan lebih cepat masuk pada hati yang lalai dari mengingat Alloh.

Pintu -Pintu Tempat Masuknya Syetan

Ketahuilah bahwa hati itu bagaikan benteng sedangkan syetan adalah musuh yang hendak memasuki benteng tersebut untuk memiliki dan menguasainya. Tidak mungkin bisa menjaga benteng kecuali dengan menjaga pintu-pintunya, orang yang tidak mengetahui pintu-pintunya tidak akan mampu untuk menjaga pintu-pintunya dan tidak akan bisa menolak syetan kecuali dengan mengetahui tempat-tempat masuknya syetan. Tempat masuknya syetan dan pintu-pintunya adalah sifatnya seorang hamba, dan ini banyak sekali, diantara yang paling besar pintunya adalah :

1. Sifat iri dengki dan sifat tamak.

Selama seorang hamba tamak terhadap sesuatu maka dia akan dibuta dan tulikan oleh ketamakannya serta mata bathinnya yang bisa melihat tempat masuknya syetan tertutupi. Begitu juga jika seorang hamba menjadi seorang pendengki, maka setan saat ini bisa menemukan kesempatan untuk memasukinya. Bagi orang yang tamak, semua hal yang bisa menyampaikannya pada pemenuhan syahwat maka di anggap baik, walaupun itu hal yang mungkar ataupun keji.

2. Sifat marah dan keras hati.

Kemarahan bisa merusak akal, ketika tentara akal melemah maka setan masuk menyerbu lalu mempermainkan manusia. Diriwayatkan bahwa iblis berkata: ” ketika seseorang marah, maka kami bolak-balikkan dia sebagaimana anak kecil membolak-balikkan bola.”

3. Sifat suka menghias rumah dan perkakasnya.

Dia terus menerus mengajak manusia untuk meramaikan rumahnya, menghiasi atap dan temboknya, menghias pakaian dan perkakasnya, maka merugilah manusia yang seumur hidupnya dihabiskan untuk hal itu.

4. Rasa kenyang, karena bisa menguatkan syahwat dan melalaikannya dari keta’atan.

5. Sangat berharap kepada orang lain, karena orang yang sangat berharap kepada orang lain akan berlebihan dalam memujinya, menjilatnya, tidak memerintah kebaikan kepadanya dan tidak melarangnya dari kemungkaran.

6. Tergesa-gesa dan tidak sabaran, Nabi shollallohu alaihi wasallam bersabda : ” tergesa-gesa itu dari syetan sedangkan ketenangan adalah dari Allah.”

7. Cinta harta.

Selama cinta harta tertanam kuat di dalam hati maka akan merusaknyadan mendorongnya untuk mencari harta dengan cara yang salah, dan membuatnya menjadi pelit. Setan menakut-nakutinya dari kefakiran, maka dia tidka mau mengeluarkan hak yang wajib dikeluarkannya.

8. Fanatik butanya orang awam dalam bermadzhab, bukan malah beramal sesuai dengan tujuan bermadzhab.

9. Dorongan orang awam untuk memikirkan dzatnya Allah dan sifat-sifat-Nya, serta hal-hal yang akal mereka tidak sampai kesana hingga mereka menjadi ragu-ragu dalam masalah pokok agama.

10. Berprasangka buruk kepada muslimin.

Orang yang menghukumi seorang muslim dengan persangkaan buruknya, maka ia akan merendahkannya, menghinanya dengan lisannya dan merasa lebih baik daripadanya. Orang mukmin itu mencari pembelaan utk mukmin lainnya sedangkan orang munafik mencari aib-aib mereka, maka sebaiknya seseorang menjaga diri dari tempat kecurigaan agar tidak diburuk-sangkai.

Semua ini adalah arah tempat masuknya syetan dan utk menaggulanginya adalah menutup tempat-tempat masuk ini dengan cara membersihkan hati dari sifat-sifat tercela.

Wallohu a’lam.

Referensi :

Kitab Minhajul Qoshidin :

واعْلم أن مثل الْقَلْب كمثل حصن، والشيطان عدو يريد أن يدخل الحصن ويملكه ويستولي عَلَيْهِ، ولا يمكن حفظ الحصن إلا بحراسة أبوابه، ولا يقدر عَلَى حراسة أبوابه من لا يعرفها ولا يتوصل إلي دفع الشيطان إلا بمعرفة مداخله، ومداخل الشيطان وأبوابه. . صفات الْعَبْد، وهي كثيرةإلا أَنَا نشير إلي الأبواب العظيمة الجارية مجري الدروب التي لا تضيق عن كثرة جنود الشيطان

فمن أبوابه العظيمة: الحسد، والحرص. فمتي كَانَ الْعَبْد حريصاً عَلَى شَيْء، أعماه حرصه، وأصمه، وغطي نور بصيرته التي يعرف بِهَا مداخل الشيطان. وكَذَلِكَ إِذَا كَانَ حسوداً فيجد الشيطان حينئذٍ الفرصة،

فيحسن عِنْدَ الحريص كُلّ ما يوصله إلي شهوته، وإِذَا كَانَ منكراً أو فاحشاً، ومن أبوابه العظيمة

الْغَضَب، والشهوة، والحدة فإن الْغَضَب غول العقل، وإِذَا ضعف جند العقل هجم حينئذ الشيطان فلعب بالإنسان. وقَدْ روي أن إبلَيْسَ يَقُولُ: إِذَا كَانَ الْعَبْد حديداً، قلبناه كما يقلب الصبيان الكرة

ومن أبوابه: حب التزين فِي المنزل، والأثاث فلا يزال يدعو إلي عمارة الدار، وتزيين سقوفها وحيطانها، والتزين بالثياب، والأثاث، فيخسر الإنسان طول عمره فِي ذلك. ومن أبوابه: الشبع فإنه يقوي الشهوة، ويشغل عن الطاعة. ومنها الطمَعَ فِي النَّاس، فإن من طمَعَ فِي شخص، بالغ بالثناء عَلَيْهِ بما لَيْسَ فِيه، وداهنه ولم يأمره بالمعروف، ولم ينهه عن المنكر. ومن أبوابه: العجلة، وترك التثَبِّتْ وقَدْ قال النَّبِيّ ?: ” العجلة من الشيطان، والتأني من الله تعالى “. ومن أبوابه: حب الْمَال، ومتي تمكن من الْقَلْب أفسده وحمله عَلَى طلب الْمَال من غَيْر وجهه، وأخرجه إلي البخل وخوفه الفقر فمنع الحقوق اللازمة. ومن أبوابه: حمل العوام عَلَى التعصب فِي المذاهب، دون الْعَمَل بمقتضاها ومن أبوابه أيضاً حمل العوام عَلَى التفكر فِي ذات الله تعالى وصفاته، وفِي أمور لا تبلغها عقولهم حتي يشككهم فِي أصل الدين. ومن أبوابه: سوء الظن بالمُسْلِمِيْنَ فإن من حكم عَلَى مسلم بسوء ظنه، احتقره وأطلق فِيه لِسَانه، ورأي نَفْسهُ خيراً منه. وإنما يترشح سوء الظن بخبث الظان، لأن المُؤْمِن يطلب المعاذير للمؤمنين والمنافق يبحث عن عيوبهم

وينبغي للإنسان أن يحترز عن مواقفهم التهم، لئلا يساء به الظن

فهَذَا طرف من مداخل الشيطان وعلاج هذه الأفات سد المداخل بتطهير الْقَلْب من الصفات المذمومة

KALAM SAYYIDUL ANBIYA DAN SAYYIDUL AULIA SYAIKH AHMAD BIN MUHAMMAD AT-TIJANY RA.

Sayyidul Awliya’. Assyekh Al Akbar Al Ghousil A’dzom Al Quthbil Maktum Alhabib Was Syarif Assayid AHMAD BIN MUHAMMAD ATIJANI AL-HASANI RA berkata :

“Syukur adalah pintu terbesar Allah dan jalan-Nya yang terlurus. Karena itu, setan selalu duduk di jalurnya, merintangi orang-orang mukmin melewatinya.”

 “Pintu paling dekat menuju kepada Allah adalah pintu syukur. Siapa pada masa ini tidak masuk melalui pintu syukur, dia tidak akan dapat masuk. Karena jiwa manusia saat ini telah mengeras.”

“Jika kalian mendengar sesuatu dariku, maka pertimbangkan dengan neraca syara’. Sesuatu yang sesuai syara’, kerjakanlah dan sesuatu yang menyimpang, tinggalkanlah !”( Al- Inshof : 1).

“Kebaikan seluruhnya ada dalam mengikuti sunah dan kejelekan seluruhnya ada dalam menyalahinya.”

“Hendaklah kalian takut dari maksiat-maksiat kepada Allah dan siksa-Nya. Siapa yang telah melakukannya dari kalian ( dengan ketetapan Allah juga ) dan seorang hamba memang tidak ma’shum, maka jangan mendekat kepada Allah. Kecuali dengan hati yang menangis dan takut akan siksa Allah.” ( Mizabur arorahman , hal : 29 ).

Syeikh Ahmad bin Muhammad at-Tijani sendiri tidak pernah menyatakan bahwa Shalawat Fatih lebih utama dari al-Qur’an. Beliau hanya menyampaikan bahwa pahala Shalawat Fatih sekali sebanding dengan 6.000 khataman al-Qur’an. Perkataan sebanding tidak berarti melebihi atau lebih utama. Karena Beliau menggunakan kata (تعدل), bukan kata (افصل).

“Sesungguhnya siksanya ( pengakuan ) adalah mati secara su’ul khotimah.” (Mizabur ar-Rahmah, hal : 10).

Dan kami hanya punya satu pedoman /aqidah sebagai dasar dari semua usul. Bahwasanya tak ada hukum kecuali kepunyaan Allah SWT. Dan Rasulnya SAW. Bahwasanya tidak ada ibarat dalam hukum kecuali firman Allah SWT dan sabda Rasulullah Saw. Bahwasanya semua pendapat para Ulama itu batal ( ditolak ) kecuali berlandaskan Al Qur’an dan Al Hadist. Semua perkataan orang-orang yang berilmu yang tidak ada landasannya dalam Al-Qur’an dan Al Hadist maka ia batal, dan tiap-tiap pendapat orang yang berilmu yang sholih, maka haram difatwakan ,oleh karena itu kami berpesan.

Rasulullah Saw, memberi jaminan kepada Syeh Ahmad At Tijany Ra dengan sabdanya : “Engkau ya Ahmad adalah pintu keselamatan bagi orang-orang berdosa yang ingin kembali ke jalan Allah dengan mengikutimu”.

“Adapun adab Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani ra. lahir dan batinnya ada dalam syari’at Muhammadiyah dan bersama Alloh SWT.” (Mizabur Ar-Rahmah: 10)

“Berkata kepadaku Rasullullah SAW : Ya Ahmad, sesungguhnya barang siapa mencelamu dan tidak bertaubat, tidak akan mati kecuali dalam kekafiran, walau haji dan berjihad. Saya berkata : Ya Rasulullah, sesungguhnya Al Arif billah Sayyidi Abdurrahman As Syami mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang haji tidak akan mati su’ul khotimah, berkata : kepadaku Sayyidul Wujud Rasulullah SAW : ya Ahmad , barang siapa mencelamu dan tidak bertaubat maka ia akan mati kafir walaupun haji dan berjihad. Ya Ahmad barang siapa yang berusaha mencelakakanmu akulah yang marah padanya dan tidak akan dicatat sholatnya serta tidak akan membawa manfaat baginya.”( Al Faidlul rabbani : 2 ).

”Barang siapa mendengar sesuatu dariku, cocokkanlah dengan timbangan Syar’i ( Al-Qur’an dan Al Sunnah ), jika cocok ambillah dan jika tidak buanglah”.

“Bahwa Sayyidi Syeh Ahmad At Tijany RA tidak melarang ziarah secara umum, karena beliau tidak pernah melarang siapapun dari pengikut Thariqohnya menuntut ilmu kepada semua Wali atau Ulama, tidak melarang menghadiri majlis (ta’lim) mereka, tidak melarang mendengarkan wejangan –wejangan dan perkataan mereka dan tidak melarang mengadakan hubungan / ziarah karena Allah SWT. Dan silaturahmi. Rimah : 1 / 145.

“Hendaklah kalian takut dari maksiat-maksiat kepada Allah dan siksa-Nya . siapa yang telah melakukannya dari kalian ( dengan ketetapan Allah juga ) dan seorang hamba memang tidak ma’shum, maka jangan mendekat kepada Allah. Kecuali dengan hati yang menangis dan takut akan siksa Allah.” ( Mizabur arorahman,   hal : 29 ).

Diakhir zaman (nanti) semua tarekat menjadi satu tarekat, dan tiap-tiap pengikut tarekat itu masuk ke tarekat kita (Tijaniah) hingga Imam Mahdy

Pengikut tarekat kita (tarekat Al Muhammady Attijani melimpahi kepada semua pengikut, tetapi tidak (sebaliknya) menerima limpahan

“Barang siapa yang melihat aku pada hari Senin dan pada hari Jum’at ia masuk sorga tanpa hisab dan tanpa diazab”. (Maksudnya melihat dengan Mahabbah dan Ta’alluq hati)

Bahwasanya Nuraniah Nabi SAW (khususnya) pada hari Senin dan pada hari Jum’at tidak memisahiku, maksudnya bahwasanya Nuraniah Nabi SAW  TAJALLY (nampak) pada diri Syekh Ahmad Attijani. Maka setiap orang yang melihat / memandang padanya, maka dia telah memandang pada KHATMUL WILAYAH AL MUHAMMADIAH (yang pada hakikatnya) dia memandang kepada Nuraniah Nabi yang nampak pada Syekh Tijani.

“Pada umumnya orang-orang yang melakukan ziarah kepada wali-wali Allah, mempunyai tujuan yang rusak (agrad fasidat), sebab mereka hanya mengharapkan bantuan untuk tujuan kesenangan duniawi, minta keselamatan duniawi, padahal mereka tetap dalam kehidupan bergelimang dengan dosa. (Ali Harazim : 136-137 ).

Mahabbah adalah penyesuaian sifat-sifat dan akhlak-akhlak Ilahiyah kedalam diri yang mencintainya. ( Ali Harazim : 159 ).

Seseorang yang selalu mengingat tuhannya, sampai pada tingkat Tuhan menghilangkan tabir yang menghalangi dan menutupinya. (Sayyid Ubaidah : 200).

Kecintaan Tuhan terkandung dalam rahmatnya yang dilimpahkan kepada umat manusia. Dengan kata lain cinta Tuhan kepada manusia terkadang dalam kemurahannya kepada manusia, yakni, dengan memalingkan manusia dari berbagai pemikiran tentang segala sesuatu yang lain kecuali Tuhan, melimpahkan manusia dengan maqam yang tinggi melalui Tajallinya. (Ali Harazim : 205).

Menurut Syeikh Ahmad at – Tijani RA, Ma’rifah, memiliki kekuatan yang luar biasa, sehingga para sufi yang menerimanya walaupun ia sudah mempersiapkan diri dengan berkonteflasi melalui tahapan maqamat yang cukup panjang, ketika mencapai ma’rifah, akan menyebabkan kehilangan kesadaran, dalam keadaan tersebut, ia tidak akan merasakan sesuatu di sekelilingnya sebab ketika ma’rifah datang, akal manusia akan bersembunyi dan pikiran menjadi hilang. Namun sufi dalam kategori al-aqtab’  yang mempunyai kekuatan battin hampir sejajar dengan para nabi, ketika memperoleh ma’rifah ia tidak akan larut dalam suasana fana’ sebagaimana halnya para nabi.

Pada dasarnya, Syeikh Ahmad at – Tijani RA tidak menginginkan seorang sufi yang hanya memusatkan perhatiannya pada kontemplasi dan dzikir, dan mengabaikan masalah kemasyarakatan. Sufi, sebagaimana ditegaskan dalam pengamalan tarekat Tijaniyah, harus senatiasa aktif berjuang bersama masyarakat.

Namun demikian, attijani menjelaskan lebih lanjut, bahwa meskipun seorang sufi telah menjalani kehidupannya sebagaimana layaknya seorang muslim, cahaya ma’rifah yang diperolehnya, akan tetap menyinari dirinya hal ini akan nampak termanifestasikan dalam setiap gerakan dan ucapan karena cahaya ketuhanan yang telah didapatinya, akan menyebabkan ia mempunyai keistimewaan ( karomah ). Sehingga dikatakan, salah satu tanda seseorang adalah sufi yang sudah meraih cahaya ma’rifat, adalah ia dapat menunjukan rasa tanggungjawabnya kepada umat lemah lembut terhadap mereka, berjuang untuk mereka bersama-sama mereka membangun kehidupan yang islami melalui pendekatan hikmah, yakni melakukan pendekatan dakwah kepada umat manusia sesuai dengan tingkat kemapuan akalnya.

 Nisbah Wali Quthub itu dengan Wali Al-Quthbul Maktum seperti nisbah orang awam dengan Wali Quthub, karena makamnya pada “Gaibul Gaib” (artinya tidak diketahui kadarnya kecuali Allah dan Rasul-Nya saja yang mengetahuinya).

Rasulullah SAW menghabarkan ; Bahwasanya Syekh Abdul Qadir dan Syekh Mahyuddin (Ibnu Arabi) makam keduanya itu lebih tinggi dari sekalian wali-wali. Dan Syekh Ahmad bin Muhammad Attijani mengkhabarkan kepadaku (dari khabar Rasulullah) bahwasanya dirinya itu diberi kelebihan makam yang lebih tinggi dari keduanya dengan perkara/kelebihan (makam) yang tidak bisa digapai oleh keduanya.

Rasulullah SAW menjamin kepada Syeikh Ahmad At Tijany RA dengan sabdaNya : “Engkau ya Ahmad adalah pintu keselamatan bagi orang-orang yang berdosa yang ingin kembali kejalan Allah dengan mengikutiMu”.

Dan kami hanya punya satu pedoman / qoidah sebagai dasar dari semua usul. Bahwasanya tidak ada hukum kecuali kepunyaan Allah Swt. dan Rasulnya Saw. bahwasanya tidak ada ibarat dalam hukum kecuali firman Allah Swt. dan sabda Rasulullah Saw. Bahwasanya semua pendapat Ulama itu Batal (ditolak) kecuali berlandaskan Al Qur’an dan Al Hadits. Semua perkataan orang berilmu batal kecuali berlandaskan Al Qur’an dan Al Hadits, dan tiap-tiap pendapat orang berilmu yang bertentangan dengan Al Aqur’an yang shorih dan muhkam dan bertentangan pula dengan Hadits yang shohih, maka haram di fatwakan, walaupun pendapat tersebut dimasukkan dalam kitab kitab Fiqh. Karena fatwa yang diucapkan dengan sadar dan tahu kalau hal tersebut menyalahi Nas Al Qur an dan Hadits, maka itu (salah satu bentuk) kekafiran yang nyata. Allah SWT berfirman; ”Barangsiapa yang tidah bertahkim dengan apa yang diturunkan Allah ( Al Quran) maka mereka adalah orang orang kafir”. Dan Sabda Rasulullah SAW; “Barangsiapa yang mengada ada ( hal yang baru) dalam urusan kami ini (Agama Islam), sedangkan hal tersebut tidak ada dalam Islam, maka hal tersebut ditolak.” – (Jawahirul ma’ani : 2/195-196).

Sesungguhnya setiap orang yang masuk golongan kami kemudian keluar dan masuk Thariqah lainnya, Allah Swt . campakan orang itu dari hadrahNya dan mencabut semua pemberianNya yang disebabkan karena cintanya kepadaku (Sayyidi Syeikh Ahmad bin Muhammad At Tijany) dan akan mati kafir. Dan kami berlindung dari murkaNya. Dan orang itu tidak akan beruntung selamanya. Dan tak seorang walipun yang yang ada dimuka bumi ini yang bisa membantunya. Dan ini adalah janji yang benar dari Baginda Rasulullah Saw. kepada kami (Syeikh Ahmad At Tijany). (Al Faidlur Rabbani ; 27).

Syeikh Ahmad At Tijany adalah pemegang mahkota kewalian tertinggi yaitu Al Khatmul Aulia’ Al Muhammady, sebagai mana Rasulullah Saw. adalah Al Khatmul Anbiya’. Dari beliaulah (Syeikh Ahmad At Tijany RA.) semua wali Allah sejak dari zaman Nabi Adam sampai hari kiamat mendapat aliran / masyrab ilmu kewalian , Fuyudlat dan Tajalliat serta Asror-Asror yang mengalir dari Rasulullah Saw. baik mereka menyadari atau tidak, sebagaimana para nabi terdahulu, mereka mendapat Masyrab ilmu kenabian dari Rasulullah Saw. selaku Khatmul Anbiya’. (lebih jelas silahkan pelajari Ar Rimah Juz 2/17)”. Al Masyrabul Kitmani”.

“Saya adalah Khatm al-Awliya’ yang berperan sejak zaman Nabi Adam as. Sampai ditiupnya sangkakala”.

“Dua kakiku ini di atas tengkuk semua Waly Allah Swt.”

“Diantara wali Allah ada yang hanya mengetahui jiwanya (al-Nafs) saja, ada juga yang sampai pada tingkat hatinya (al-Qalb), ada juga yang sampai pada tingkat akalnya (al-Aql), dan maqam yang tertinggi adalah wali yang bisa sampai mengetahui tingkat ruhnya; tingkat ini merupakan tingkat penghabisan (al-Ghayat al-Quswa).”

“Dan kadangkala Khatamul Wilayah yang mereka maksudkan itu Khatm al-Maqamat. Itulah maqam kedudukan yang paling tinggi dalam derajat al-Quthbaniyyah. Hanya dari wali Quthb-lah yang bisa mencapainya. Kedudukan ini tidak khusus bagi Wali Quthb tertentu bahkan sebagian al-Quthbul Kamil dapat juga mendudukinya sampainya tangga terakhir ditutupnya oleh “al-Khatmul Akbar

“Sesungguhnya al-Quthb al-Maktum  itulah perantara para nabi dan para wali, karena itu semua wali Allah swt., baik yang besar martabahnyanya maupun yang kecil tidak menerima limpahan rahmat dari seorang nabi melainkan dengan perantara al-Quthb al-Maktum dari arah wali itu tidak hanya menerima Sayyidul Wujud saw., dan tidak seorang nabipun mengetahui limpahan,khususiahnya itu. Sebab dia mempunyai masyrab tersendiri disamping para nabi as.    

“Sayyidul wujud saw., memberitahukan kepadaku, bahwa akulah al-Quthb al-Maktum, pemberitahuan itu dari Sayyidul wujud kepadaku dengan musyafahah (berbicara langsung) dalam keadaan jaga tidak dalam keadaan tidur.

“Saya adalah Sayyid al-Awliya sebagaimana Nabi Muhammad saw., adalah Sayyid al-Anbiya’”

“Semua limpahan anugerah yang melimpah dari zat Sayyid al-Wujud saw., diterimanya oleh zat para Nabi as. Dan semua anugerah yang melimpah dan memancar dari zat para Nabi diterimanya oleh zatku dan dari aku limpahan anugerah  itu menyebar kepada semua makhluk. Sejak terjadinya alam sampai ditiupnya sangkakala dan aku diberi beberapa ilmu khususiyah antara aku dan Sayyid al-Wujud saw., yang disampaikan kepadaku dengan musyafahah (berbicara langsung) tanpa perantara”.                                                                                                    

“Berkata kepadaku Rasulullah Saw. : Ya Ahmad, sesungguhnya barang siapa mencelamu dan tidak bertobat tidak akan mati kecuali dalam kekafiran, walau haji dan berjihad. Saya berkata : Ya Rasulallah, sesungguhnya Al ‘Arif billah Sayyidy Abdurrahman As Syami mengatakan bahwa orang yang haji tidak akan mati su’ul khatimah, berkata kepadaku Sayyidul Wujud Rasulullah Saw. : Ya Ahmad, barang siapa mencelamu dan tidak bertobat, maka ia pasti mati kafir walaupun ia haji dan berjihad. Ya Ahmad barang siapa yang berusaha mencelakakanmu akulah yang marah kepadanya, dan tidak akan dicatat sholatnya, serta tidak akan membawa manfaat baginya”.                                                                                                                 

Bersabda Rasulullah SAW kepada Syeh Ahmad Tijani : “Para fuqara’ (yang menjadi tanggunganmu) itu adalah fuqara’ku juga (tanggunganku juga), murid muridmu itu semua adalah murid muridku, sahabat sahabatmu adalah sahabat sahabatku”. Adakah tempat bersandar yang lebih mulya dari Rasulullah ?

Rasulullah SAW Memberi tahu kepada Syeikh Ahmad At Tijany Ra. bahwa antara sahabat Rasululullah dan sahabatnya Syeikh Ahmad At Tijany mempunyai persamaan yang sempurna dan dengan kesamaan inilah ihwan Thariqah At Tijany bagi Allah Swt. lebih tinggi nilainya dari pada Qutub, Arifin dan Al Ghauts walaupun tampang dhohirnya hanyalah orang awam. (Al Faidlur Rabbani : 2).

Rasulullah saw. bersabda kepada Syekh Ahmad Al-Tijani : “Tak ada karunia bagi seorang makhlukpun dari guru-guru thariqat atas kamu. Maka akulah wasithah (perantaramu) dan pemberi dan atau pembimbingmu dengan sebenar-benarnya (oleh karena itu), tinggalkanlah apa yang kamu telah ambil dari semua thariqat. Tekunilah thariqat ini tanpa khalwat dan tidak menjauh dari manusia sampai kamu mencapai kedudukan yang telah dijanjikannya padamu, dan kamu tetap di atas perihalmu ini tanpa kesempitan, tanpa susah-susah dan tidak banyak berpayah-payah, dan tinggalkanlah semua para Wali.”                                                             

Saiyidi Syekh Ahmad al-Tijani berkata selalu disandarkan kepada Rasulullah saw., dengan kata-kata : “Rasulullah saw., berkata kepada saya” Atau : “Rasulullah saw., memberitahukan kepada saya”; karena dalam segala hal Sayyidi Syekh Ahmad al-Tijani Ra. Guru dan pembimbing serta pendidiknya adalah Rasulullah saw., dan Rasulullah saw., senantiasa mendampingi beliau dan tampak terlihat dengan mata kepala oleh beliau.

Mawlaya Abul Abbas At-Tijani RA berkata :”Ada 165.000 hijab antara hamba dengan Hadrah al-Quds; (kemudian) 167.000 maqam antara kewalian (Wilayah) dan Ma’rifah; (kemudian) 148.000 maqam antara Ma’rifah dengan Quthbaniyah”.

Dan beliau (Sayydina Abul Abbas at-Tijani RA) juga menyampaikan bahwa “andaikata seluruh wali Quthub ummat ini dikumpulkan semuanya, maka mereka tidak akan dapat menandingi beratnya rambut dari sekelompok sahabat-sahabat-KU. (Kashful Hijab) jadi, seakan-akan sehelai rambut sahabat-sahabat Syeikh al-Tijani RA lebih agung dibandingkan seluruh wali Quthub ummat ini. Masya Allah.

Berikut sebagian kutipan surat dakwah syekh Ahmad al-Tijani :

“Saya berwasiat pada sendiri dan kalian semua dengan perkara yang telah diwasiatkan dan diperintahkan oleh Allah swt. Yaitu menjaga batas-batas agama, melaksanakan perintah ilahiyah dengan segenap kemampuan dan kekuatan. Sesungguhnya pada jaman sekarang, sendi-sendi pokok agama ilahi telah rapuh dan ambruk. Baik secara langsung dan global ataupun secara perlahan-lahan dan rinci. Manusia lebih banyak tenggelam dalam urusan yang mengkhawatirkan, secara ukhrawi dan duniawinya. Mereka tersesat tidak kembali dan tertidur pulas tidak terjaga. Hal ini dikarenakan berbagai persoalan yang telah memalingkan hati dari Allah swt., dan aturan-aturan (perintah dan larangannya). Pada masa dan waktu kini sudah tidak ada seorangpun yang peduli untuk menjalankan dan memenuhi perintah-perintah Allah dan persoalan-persoalan agama yang lainnya. Kecuali orang yang benar-benar ma’rifat kepada-Nya paling tidak orang yang mendekati sifat tersebut.  Hendaklah kamu sekalian berusaha membiasakan bersedekah setiap hari jika mampu. Meskipun sekedar uang recehan ataupun sesuap makanan, disamping tetap menjaga pelaksanaan perkara-perkara fardu yang di wajibkan dalam harta benda, seperti zakat. Sesungguhnya pertolongan Allah swt., lebih dekat kepada mereka yang selalu      mengerjakan dan menjaga kewajiban-kewajiban yang bersifat umum/kemasyarakatan     

Pada bagian lain Syekh Ahmad al-Tijani mengatakan :

“Hendaknya kamu sekalian selalu menjaga silaturahim/menyambung tali persaudaraan dengan norma-norma yang dapat membuat hati menjadi lapang dan menimbulkan rasa kasih sayang. Meskipun hanya menyediakan waktu luang dan memberikan salam. Jauhilah sebab-sebab yang menjadikan kebencian dan permusuhan di antara sanak saudara, atau perpecahan orang tua dan segala hal yang menyulut api dendam dalam relung hati sanak saudara”. “Hendaklah menjauhi segala pembicaraan yang mengorek aib dan kekurangan sesama muslim. Mereka yang gemar melakukan itu, Allah swt., akan membuka aib/cacat kekurangannya dan mengoyak kekurangan    kekurangan generasi setelahnya”.

Wasiat ini menegaskan pentingnya membangun kepedulian sosial dan membangun persatuan dan kesatuan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.                                                  

Syekh Ahmad al-Tijani, tasawuf adalah : Artinya : “Patuh mengamalkan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, baik lahir maupun batin, sesuai dengan ridha-Nya bukan sesuai dengan ridha’mu”.

“Kami hanya mempunyai satu pedoman (Kaidah) sebagai sumber semua pokok persoalan (ushul), bahwasanya tidak ada hukum kecuali kepunyaan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada ibarat dalam hukum kecuali firman Allah swt., dan sabda Rasul-Nya

Syekh Ahmad al-Tijani ditanya : “Apakah bimbingan Nabi Muhammad saw., sesudah wafatnya sama seperti masih hidup ?” Syekh Ahmad al-Tijani menjawab : “Urusan umum yang disampaikan secara umum kepada ummat, hamparannya telah digulung dengan wafatnya beliau dan tinggalah urusan khusus yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw., kepada kelompok khusus, dan yang demikian ini pada waktu beliau hidup dan sesudah wafatnya tetap tidak putus.

“Pedangku tergantung di atas langit, barangsiapa yang mencoba naik keatasnya..niscaya Aku penggal batang lehernya!! (Sayyidi Sheikh Abul Abbas Ahmad at-Tijani RA : Rafa Niqad Ba’d Kashful Hijab).

“Jika sholawat Fatih dibaca sebanyak 100 kali pada hari kamis malam jumat, maka fadilahnya ialah menghapus dosa sebanyak 400 tahun”.

Syekh Ahmad Tijani ra ditanya, mengapa sholawat al-Fatih tidak memakai kalimat wa sallim ? Beliau menjawab : “Karena sholawat al-Fatih bersumber dari Allah, bukan susunan yang

dibuat oleh manusia.

Surat yang ditulis oleh Sayyidina Syaikh Ahmad al-Tijani (RA) untuk Temannya Syaikh Ibrahim al-Islam al-Rayahi (RA) :

“Tariqah Tijani di perhatikan oleh Allah dari karakteristik yang menempatkan itu di atas semua Tariqah dan bahasanya yang kadang-kadang tidak dapat dipahami. Jadi, bahwa kebenaran ini tidak dapat dipahami. Kalau hijab yang menutupi adalah tariqah ini akan dibangkitkan, yang terbesar dari Awliya Allah, Ghawth’s, Qutbs dll akan berharap untuk itu, sama seperti gembala dari daerah gurun keinginan untuk awan penuh hujan. Perhatikan ! Jangan biarkan diri Anda tertipu karena semua berasal dari Tariqah itu. Tariqah ini kita adalah sumber dari semua Tariqah lain, sejak awal penciptaan ke peniupan sangkakala pada hari terakhir. Ini adalah janji tulus Nabi Muhammad Mustafa (SAW). Kebesaran Tariqah Tijani tersembunyi, kecuali dari Nabi Muhammad (SAW) yang tahu nilai sebenarnya yang sangat berharga “.

Dalam Jawahir al-Ma’ani dikatakan, bahwa seorang calon murid, hendaklah memilih syekh al-Kamil ( guru yang sudah mapan ). Selanjutnya, dikatakan pada dasarnya tidak ada nas syara’ yang mengharuskan dalam pemilihan guru. Akan tetapi apabila dikaitkan dengan posisi murid yang hendak melakukan taqarrub al-hadrat al-qudsiyyah, diperlukan seorang pembimbing yang sudah mapan. Syarat ini hanya merupakan wajib nazari. Kenapa harus guru yang sudah mapan ?

Dalam Jawahir al-Ma’ani dikatakan bahwa guru adalah orang yang akan membimbing taqarrub kepada Allah secara lahir dan batin, maka otomatis diperlukan guru yang mengetahui berbagai persoalan syariat yang berbentuk perintah, larangan dan lainnya. Dalam posisi semacam ini, maka hukum mendapatkan seorang guru yang sudah mapan adalah wajib dari sisi nazari  (min tariq al nazaar). Sebab keadaan murid diibaratkan orang yang sedang sakit, yang sudah tentu mendapatkan kesembuhan dan untuk itu, ia harus mendapatkan seorang dokter yang dianggap mampu memberikan pengobatan yang sempurna (Ali Harazim : I : 139).

Dalam Jawahir al-Ma’ani, dijelaskan bahwa ciri-ciri guru yang mapan adalah: “Mengamalkan syariat yang mulia dan zuhd dalam urusan duniawi.

Dalam Jawahir al-Ma’ani dikatakan bahwa apabila murid sampai Pada puncak kedekatan dengan Tuhan, yakni pada maqam musyahadah atau Muayyanah, maka antara murid dengan Tuhan tidak ada yang menyambung dan tidak ada yang disambung. Selanjutnya, sebagaimana telah dikatakan, dalam posisi inilah sufi-sufi abad ketiga hijriyah mengeluarkan kata-kata syatahat, seperti ucapan yang keluar dari mulut Abu Yazid. Ucapan tersebut, sebenarnya bukan keluar dari Abu Yazid, sebab dia hanyalah sebagai Mutrarjim Allah, Ajja wa Jalla.

Dalam Jawahir al-Ma’ani dikatakan, bahwa sebelum maqam musahadah masih ada maqam lain, yakni maqam mukasyafah, begitu juga sesudahnya masih ada maqam lain yakni maqam muayanah.

Syekh al-Tijani melihat adanya berbagai tingkatan yang dapat dicapai oleh golongan manusia tertentu dalam ma’rifah. Adanya tingkatan-tingkatan itu lebih disebabkan oleh perbedaan rahmat yang diberikan tuhan kepada manusia dalam mencapai pengetahuaan ketuhanan, namun kekuatan rahmat tuhan yang diberikan kepada manusia berbeda-beda. Dengan demikian, manusia akan mencapai pengetahuan yang tidak sama tentang Tuhan. Ada ma’rifah untuk tingkat wali (siddiqin dan ‘arifin), dan para Nabi, sedangkan ma’rifah yang tertinggi adalah yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw.

“Ketentuan bagi golongan wali qutb dan para Nabi, ialah Allah SWT. Tajalli pada mereka dengan al-sir, al-mausun (rahasia yang terjaga) dan al-gaib al-Maknun (rahasia yang tersimpan), yang dalam susunannya disebut bathin-bathin al-Uluhiyyah. Asrar bathin yang kedua ini, ilmu-ilmu dan pengetahuannya andaikata ditampakan sekadar sebutir debu saja kepada pembesar siddiqiin, maka mereka akan hancur karena haibah jalal Allah dan mereka akan lenyap secepat kedipan mata. Dan al-bathin ini diperuntukan bagi wali-wali  qutb dan para Nabi as.., selain mereka tidak ada keinginan sekali mereka mencapai derajat yang tinggi-. Sungguhpun demikian terdapat perbedaan, yakni para wali qutb sedikit di bawah para nabi kemudian, diatas yang khusus untuk Nabi Muhammad. Para wali qutb (sufi) dan pada nabi tidak ada keinginan untuk mencium baunya, dan andai kata asrar battin ini di tampakkan sekadar sebutir debu saja pada pembesar-pembesar Rasul, maka mereka akan hancur lebih cepat dari kedipan mata”. (al-harazami : 238).

“Ketika akal hilang dan perasaanpun lenyap dan nur qudsi melimpah memenuhinya (sufi), maka berkatalah dia tanpa sadar. Karena itu perkataan yang keluar daripadanya adalah diciptakan oleh Allah sebagai gantinya, sebab itu, ia berkata sebagai penyambung al-haqq dan menjelaskan al-haq bukan menjelaskan dirinya. Dalam melukiskan posisi sufi yang berada dalam kedekatan sufi dengan Tuhan, al-Tijani menghindari kata Ittihad dan Hulul, ia menyebutnya melalui ungkapan “tidak ada yang menyambung (wasil) dan tidak ada yang disambung (mausul).”

“Andaikata seorang hamba dalam keadaan fana’ maka ia akan berkata

لا اله  الا انا، سبحان ، مااعظم شأن. , sebab dia merupakan mutarzim  Allah aza wajala, dan dalam medan inilah Abu Yajid mengeluarkan perkataan yang dikeluarkan ditengah-tengah sahabatnya yang sedang mengerumuninya. Ia berkata  سبحان اعظم مشأن , mereka diam, tidak berani kepadanya dan mereka mengerti, bahwa dia sedang gaib dari selain Allah. Setelah dia siuman dari mabuknya dan benar-benar “sembuh”, maka diberitahukan kepadanya mengenai perkataan abu yazid yang mereka dengar. Abu Yajid berkata : “ saya tidak tahu apa-apa”.

Adapun mengenai puncak dari maqam musyahadah, dalam jawahir al-ma’ani dijelaskan :

وغا ية المشا هدة ينمحق الغير والغيريّة فليس الا الحق بالحق للحق عن الحق فلا علم ولا رسم ولا عقل ولاوهم ولاحنيل ولا كيفية ولا كمية ولا نسبة

Artinya: “Tidak terasanya yang lain (selain Allah, al-Gairiyah) baginya (murid) tidak ada yang lain kecuali haqq, bi-al-haqq, li al-haq dan ‘an alhaq “. Karena itu, baginya tidak ada ilmu rasm, aqal, kaifiyyah, kammiyah, dan nisbah pun tidak ada”.

Penjelasan tentang batin al-uluhiyah, adalah bagi golongan siddiqin dan arifin. Mereka menembus Hijab-hijab zahir dan masuk ke batin al-uluhiyah sampai kepada martabat haqq al yaqin (waktu itu) bagi mereka, alam semesta ini, tak lain kecuali merupakan sifat-sifat Allah SWT dan asma-Nya. Hal ini dalam kenyataan bukan sekedar kenyataan bukan sekedar kepercayaan. Lalu Allah SWT Tajallli kepadanya dengan batin asma dan sifat-sifatnya. Maka mereka tidak merasakan lingkungan basyariah (kemanusiaan) dan jadilah semua harakah dan diamnya, semua perobahannya, semua perbuatan dan perkataannya dengan Allah SWT semata. Dan semua urusan mereka kepunyaan Allah SWT, dalam kekuasaan Allah SWT, dari kehendak Allah SWT: artinya mereka mati (tidak merasakan) dari selainnya. Inilah batas terkahir martabat golongan siddiqin. Mereka tidak mempunyai keinginan sampai kepada martabat yang ada dibelakang ini. 

Aku berwasiat untukku dan para ikhwan untuk selalu menjaga al-Qur’an dan as-Sunnah baik secara zahir maupun batin. Sibukkanlah diri untuk belajar dan mengamalkan ilmu khususnya yang berkaitan dengan adab suluk menuju Allah. Bacalah selalu al-Qur’an. Syeikh menganjurkan agar minimal dalam satu hari dapat membaca dua hizb atau satu juz.

Bermu’amalahlah dengan baik antara sesama kita, antara kita dan Allah, antara kita dengan nafsu, dan antara kita dan ikhwan. Karena menyakiti ikhwan sama halnya dengan menyakiti Nabi Saw. Peliharalah diri kita dari hal-hal yang dapat memutuskan kita dengan Allah SWT dan Nabi Muhammad Saw serta para masyaikh terutama hal-hal yang membawa kepada kekufuran dan dosa-dosa besar yang menjerumuskan kita kepada suul khotimah( Na’udzubillahi min dzalika) seperti memusuhi para Auliya’ Allah, riba, durhaka kepada orang tua, zina dan lainnya yang telah ditertera didalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

Syekh Ahmad Attijani berkata dalam kitab Jawahirul Ma’any hal 115-2-)

 “Ketahuilah olehmu bahwasanya nash yang jelas, dan kasyaf (keterbukaan) yang shahih adalah bimbingan dari bimbingan Rasulullah yang tidak pernah berselisih dan tidak ada batasan waktu dan materinya. Keduanya (nash yang jelas dan kasyaf yang shahih) adalah satu kesatuan. Karena nash yang jelas itu berasal dari Nabi Muhammad SAW baik Al Qur’an dan Al Hadist”.

Sungguh telah mengkabarkan padaku Rasululloh saw : tiada perantara antaramu dan antara Alloh kecuali akulah perantaranya. dan tiada penghubungmu yang lebih baik disisi Alloh kecuali berada ditanganku maka, dari itu tinggalkan amalanmu seluruhnya dan keutamaannya dulu yang engkau pernah ambil dari para masyayikh.

Saiyidi Syeih Ahmad Attijaniy ra, berkata: “Saiyidul – Wujud memberitahukan kepadaku, bahwa semua orang yang cinta padaku, dia kekasih Nabi SAW. dan tidak mati kecuali dia menjadi Waly dengan pasti. (Rimaah : 2/42).

Maka Saiyidul-Wujud SAW. Bersabda pada Saiyidi Syeih Ahmad Attijaniy ra : “Kamu adalah pintu keselamatan semua orang durhaka yang mencintai kamu . (Rimaah: 2/40).

Bersabda kepadaku Saiyidul – Wujud SAW. : “ Kamu tergolong orang–orang yang selamat, kamu kekasihku dan semua orang yang mencintamu adalah kekasihku, orang–orang fakirmu adalah arang-orang fakirku dan sahabatmu, sahabatku dan semua yang mengambil wiridmu di merdekakan dari api neraka. (Rimaah : 2/42).

Kemudian Saiyidi Syeikh Ahmad Attijaniy berkata : “ Dan ini semuanya terjadi (antaraku dengan Saiyidul–Wujud SAW. ) dalam keadaan jaga dan tidak dalam tidur. (Rimaah :2/42).

Kemudian berkatalah Saiyidi Syeikh Ahmad Attijaniy memberi peringatan dan petunjuk pada sahabat–sahabatnya : “ Aku berkata pada kalian, bahwa Saiyidul–Wujud SAW . menjamin kami, barang siapa mencela kami dan tetap begitu dan tidak taubat, maka dia takkan mati melainkan mati kafir. (Jawaahirul–Ma’aniy : 1/133).

Dan aku berkata kepada Ikhwan : “ Barang siapa menggambil wirid kami dan mendengar apa yang ada di dalamnya yang antara lain masuk surga tanpa hisab dan tanpa siksa dan menjerumuskan dirinya dalam maksiat pada Allah SWT. Disebabkan apa yang dia dengar itu dan menjadikan batu loncatan untuk merasa aman dari siksa Allah SWT. Dalam menndurhakai-nya, maka Allah SWT. Menyelubungi hatinya membenci kami yang akhirnya dia mencela kami. Apabila dia mencela kami, Allah SWT. Mematikan dia dengan mati kafir. Karena itu, berhati-hatilah dari mendurhakai Allah SWT. Dan dari siksanya. (Jawaahirul-Ma’aniy : 1/133-134).

Sholawat Fatih penghapus dosa ghibah

Sesungguhnya Saidi Syekh Ahmad Tijani ra., menulis jawaban kepada Saidi Ad Dimrowi ra ketika ia menanyakan tentang masalah ghibah dan kebusukan yang terkandung didalamnya daripada hak-hak seseorang. (dalam tulisan jawaban itu) ; “Bacalah sholawat fatih lima ugliqo lalu engkau ucapkan, pahala yang terkandung dalam sholawat fatih ini aku tujukan hadiyahnya kepada setiap orang, yang aku ghibah baik secara sengaja/tidak sengaja, secara kezaliman, diambil hak-haknya, atau masalah hutang, maka, ia akan menemui Aku (disebabkan bacaan sholawat fatih) pada yaumil qiyamah diantara dua tangannya keluar seperti keluar dari perut ibu sehingga diberi ketetapan olehku pada pijakan tanah (ketika ia keluar).

‘yaa Alloh terimalah dariku ini dan sampaikanlah pahala (sholawat fatih) kepada mereka (yang aku ghibahi) bagian-bagian hak-hak mereka seukuran nasib dan bagian-bagian mereka dalam hak (ketika dighibah) secara sengaja, kezaliman, menyangkut perhutangan, dan hak-hak (Kasful Hijab Aman Talaqi ma’a Syekh At Tijani minal Ashab, Sekirej ra)

Tak ada karunia bagi seorang mahluk pun dari guru-guru Thariqat atas kamu. Maka akulah wasitho/perantara dan pembimbing-pembimbingmu dengan sebenar-sebenarnya (Oleh karena itu), maka tinggalkanlah apa yang telah kamu ambil dari semua Thariqal.

“Perbedaan pendapat (khilaf) para mujtahid ada dalam batas ungkapan

“Hakikat hukum syara’ adalah hukum (khitab) dari Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Nash-nash kitab Ilahiyah jelas-jelas merupakan Firman Alloh yang hak, seperti Alqur’an, Injil, Taurat dan Zabur.

Tekkunilah Thariqal ini tanpa khalwat dan tanpa menjauh dari manusia sampai kamu mencapai kedudukan yang telah dijanjikannya padamu, dan kamu tetap di atas perihalmu ini tanpa kesempitan, sonder susah-susah dan tidak banyak berpayah-payah, dan tinggalkanlah semua para Waly !

Saiyidul-Wujud SAW. memberitahukan kepadaku, bahwa akulah Alquthbul-Maktuum, (pemberitahuan itu) dari Saiyidul-Wujud kepadaku dengan musyafahah/berbicara langsung/yaqdhah /dalam keadaan jaga, tidak dalam keadaan tidur.

Saya adalah Saiyidul-Auliyaa’ sebagaimana abi Muhammad SAW. adlah Saiyidul-Anbiyaa’.

Bahwa semua limpahan anugrah yang melimpah dari dzat Saiyidul-Wujud diterimanya oleh dzat para Nabi As. Dan semua anugrah yang berlimpah dan memancar dari dzat para Nabi diterimanya oleeh dzatku dari aku limpahan anugrah itu menyebar kepada semua makhluk.

Sejak  terjadinya alam sampai ditiupnya sangkakala dan aku diberi  beberapa ilmu khususiyah antara ku dan antara  Saiyidul-Wujud yang disampaikan kepadaku dengan musyafahah/berbicara lansung  (tidak ada yang tahu kecuali Allah SWT), tanpa perantara.

Bahwa Saiyidul-Wujud memberitahukan pada beliau yaqdhah/dalam keadaan jaga, bahwa dia (S. Syeikh Ahmad Attijaniy) adalah Waly Khatam Al-Muhammady yang telah dikenal di kalangan semua Waly Quthub dan Shidiqqin, bahwa kedudukannya tidak ada lagi kedudukan di atasnya tentang hamparan ma’rifat kepada Allah SWT. dan bahwa  Waly Khatam inilah yang menerima  semua apa yang berlimpah dari dzat para Nabi As. Dari beberapa pemberian, dan dia yang memberikan pemberian-pemberian itu kepadda semua Waly-Waly sekalipun mereka tidak mengetahuinya. (Alkhulaashatul-waafiyah :76).

“Kebaikan seluruhnya ada dalam mengikuti sunah dan kejelekan seluruhnya ada dalam menyalahinya.”

Beliau juga berkata: “Ketahuilah ! Sesungguhnya jalan yang lurus (shirathal mustaqim) adalah Nabi SAW. Dikatakan demikian karena Nabi adalah jalan yang terbentang menuju kepada Alloh. Tidak seorang pun akan sampai ke Hadirat Qudus (Alloh), menyelami rahasia-Nya dan memperoleh cahaya-Nya kecuali dengan berjalan atas shirathal mustaqim. Nabi adalah pintu dan jalan yang lurus (shirathal mustaqim) menuju kepada Alloh. Orang yang ingin masuk menemui Alloh SWT dalam Hadirat-Nya yang Agung dan Suci tetapi berpaling dari kekasih-Nya (Nabi SAW), maka akan tertolak, terlaknat, tertutup jalan dan pintunya dan akan dikembalikan kedudukannya dari manusia yang beradab ke dalam kelompok hewan.

Bismillahirrahmanirrahim Allahumma Shalli Ala Sayyidina Muhammad Al Fatihi Lima Ughliq Wal Khotimi Lima Sabaq Nashiril Haqqi Bil Haqq Wal Haadi Ila Shirotikal Mustaqim Wa Ala Aalihi Haqqo Qodrihi Wa Miqdarihil Azhim

Terjemahan sederhana dari Jawahiru al Ma’ani Juz 1  Hal 95/96

Syaikh kita yang paling tercinta yakni Syaikh Ahmad Tijani RA berkata bahwasanya Allah Subhanahu Wa Taala meliputi seorang hamba, ketika si hamba diciptakan dengan sifat kelemahan dan ketidakmampuan dalam gerak dan diamnya dan dalam semua keadaan-keadaannya. Seperti contoh Apabila si hamba duduk dalam waktu yang lama maka dia akan lelah/bosan dalam keadaan duduk, apabila si hamba berdiri maka dia akan lelah/bosan berdiri jika dalam waktu yang sangat lama, jika tidur terlalu lama maka dia akan lelah tidur dan jika terjaga terlalu lama maka dia harus tidur, dan jika si hamba belajar terlalu lama maka dia akan capek belajar. Dan jika ia makan maka sebenarnya dia dibebani dengan penuhnya makanan (diperutnya), dan jika ia tidak makan maka (sebaliknya) dia akan merasa lapar dan seterusnya. Maka inilah keadaan si hamba yang selalu berada dalam keadaan butuh akan Tuhannya, dan dia menyadari dan mengakui bahwa Allah itu Maha Berkuasa dan Berdiri Sendiri, sehingga si hamba tidak akan bergantung kepada apapun dan siapapun, dan kemudian hanya kembali kepada Tuhannya sendiri. Dan inilah cara Tuhab sehingga mahluk mengenal-Nya dan kembali pada-Nya

Syeikh RA juga menyampaikan bahwa manusia mengenal Tuhannya dengan belajar dari keadaan-keadaan yang dia alami, bahwasanya manusia senantiasa mengalami kesusahan dan kesenangan, hidup yang bahagia dan permasalahan dan lelah, rasa takut dan aman, sakit dan sehat dan kemudian hati juga berubah menjadi sempit dan lapang, yakin dam putus asa. Syeikh RA juga menyampaikan bahwa : Andaikan manusia tahu bahwa sesungguhnya mereka akan lebih senang berada dalam kesusahan dibanding berada dalam kesenangan. Karena sudah tabiatnya jika manusia dalam keadaan senang maka dia akan lupa Tuhannya. Namun apabila kesusahan dan permasalahan datang, maka permasalahan tersebut yang mendorong manusia kembali kepada Tuhan mencari pertolongan dan keselamatan. Ketika manusia berada dalam keadaan susah maka dia (biasanya) tidak akan lupa akan Tuhannya, kebalikannya jika berada dalam kesenangan maka dia (biasanya) lupa akan Tuhannya. Oleh karena itu manusia yang berada dalam kesusahan (sebenarnya) lebih baik karena dia berada dalam keadaan meminta-minta di pintu Tuhannya untuk mengangkat kesusahannya.

Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah kami hilangkan bahaya itu dari padanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada kami untuk (menghilangkan) bahaya yang Telah menimpanya., (Yunus:12).

Syeikh RA juga menyampaikan bahwa Allah menguji hambanya dengan kemiskinan kemudian diberinya keringanan dari kemiskinan dengan suatu rizki yang tidak murni kehalalannya. Dan jika si hamba sabar menghadapi ujian kemiskinan maka Allah akan memberi keterbukaan dan jalan keluar sehingga si hamba tidak akan pernah lagi merasakan kemiskinan.

Shaykh Abil Abbas Ahmed Tijani (radliyallahu anhu) berkata : Berhati-hatilah dan berhati-hatilah dari mencampur adukkan awrad, karena mengamalkan zikir-zikir secara berulang-ulang dan berlebih-lebihan akan merusak pikiran si murid, sebagaimana dijelaskan oleh kalangan ahli sufi. Oleh karena itu akan lebih baik bagi si murid untuk memiliki hanya satu jalan dalam wiridan dan satu panduan arah untuk di ikuti.

Syeikh menyatakaan hijab yang tersingkap adalah 165.000 hijab. Maka batinnya dipenuhi oleh cahaya Tauhid dan Irfan.

Ketika diajukan pertanyaan kepada Syeikh Ahmad At-Tijani tentang, “Apakah arti Al-Maktum ?” Beliau menjawab:

“Ialah seorang wali yang disembunyikan oleh Alloh SWT dari seluruh makhluk. Termasuk dari para malaikat dan para nabi. Kecuali kepada Rasululloh SAW. Rasululloh mengetahui dirinya dan keadaannya. Ia memperoleh tiap kesempurnaan ilahiyah yang ada pada seluruh wali”

Al-Maktum secara etimologi berasal dari ك – ت – م . Artinya yang dirahasiakan dan tersembunyi. Sedangkan al-maktu-m secara istilah, sebagimana dalam Bughyah: 147 adalah seorang wali kutub yang dirahasiakan dan disembunyikan sosoknya oleh Alloh SWT dari seluruh makhluk. Kecuali Rasululloh SAW. Pemilik kedudukan ini mutlak pilihan Alloh SWT.

Al-maktu-m adalah kedudukan yang sangat khusus dan tertinggi. Tidak ada kedudukan lagi di atasnya dari beberapa kedudukan arifin dan shidiqin kecuali kedudukan sahabat. Kedudukan suhbah (sahabat) merupakan kedudukan yang tidak dapat dilampaui keutamaannya kecuali oleh para nabi.

Dalam Al-Jami’ Lima Af-taraa Min Durari Al-‘Ulu-m Wal Fa-idhatu Min Bahri Al-Quthbi Al-Maktu-m, Sayid Muhammad bin Al-Misyri As-Saba-ihi, salah seorang khasanah rahasia Syeikh Ahmad At-Tijani menjelaskan: “Kesimpulannya adalah bahwa sebagaimana hakikat sosok Nabi Muhammad SAW yang hanya diketahui oleh Alloh SWT dan Nabi sendiri. Artinya tidak diketahui oleh seluruh nabi dan rasul lainnya. Demikian pula al-quthbu al-maktum. Hakikat sosoknya disembunyikan tidak diketahui oleh seorang pun kecuali Alloh SWT dan Rasululloh SAW. Dan Alloh memperlihatkan kepada pemiliknya. Tidak ada jalan kepada para wali lainnya melihat kedudukan tersebut.

Kedudukan al-maktum itu diberikan oleh Rasululloh SAW kepada Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani. Dalam hal ini, Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani memperoleh tiga penobatan oleh Rasululloh SAW, yaitu:

1. Kedudukan Al-Quthbaniyah Al-Udzma (kutub terbesar). Yaitu pada awal-awal Muharrom 1214 H.

2. Kedudukan Khatimah Al-Muhammadiyah (penutup kewalian yang secara sempurna mengambil asror Nabi Muhammad SAW) pada hari yang sama.

3. Kedudukan Al-Katimah Al-Khash (wali khos yang tersembunyi). Yaitu pada tanggal 18 Shafar 1214.

Sebagian di antara keistimewaan kedudukan al-maktum adalah bahwa Al-Haq bertajalli 100.000 kali dalam kejap pertamanya. Di mana dalam satu tajalli diberikan 100.000 macam anugerah seperti yang diberikan kepada penduduk sorga. Kemudian dalam kejap selanjutnya diberikan kesabaran menghadapai beberapa tajalli-Nya. Demikian terus menerus tanpa ada batasnya.

Al-maktum juga merupakan sumber Faidh (cucuran rahmat) yang berupa Imdad (pertolongan) yang dilakukan oleh para qutub untuk seluruh alam semesta. Tanpa disadari karena adanya penghalang/hijab, para qutub telah mengambil perantaraannya dalam memberikan Faidh .Al-maktum memberikan Faidh Hakikatul Muhammadiyah kepada mereka dalam hidupnya. Nisbat para qutub dengan al-maktum adalah seperti nisbat orang umum kepada qutub sendiri. Karena kedudukan al-maktum dalam kegaibannya tidak diketahui oleh seorang pun. Baik di dunia, maupun di akhirat.

Dalam kesempurnaan kedudukannya tidak bisa dibandingkan dengan seluruh kedudukan lainnya. Seperti kedudukan Rasululloh SAW yang mencakup seluruh kedudukan kenabian. Karena tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikatul muhammadiyah kecuali Alloh SWT. Demikian pula al-maktum. Dia telah menjadi penolong pada seluruh wali dalam zaman dahulu dan zaman kemudian. Hakikatnya tidak dapat diketahui siapa pun, kecuali Alloh dan Rasululloh SAW.

Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani telah meminta kepada Rasululloh SAW untuk mengumpulkan seluruh Kedudukan qutbaniyah dan Fardaniyah. Rasululloh SAW mengabulkan permintaan tersebut dan menjaminnya. Sebagaimana yang disampaikan Abul Mawahib Al-Arabi bin Sa-ih. Kedudukan Fardaniyah merupakan kedudukan para shadiqin dan kenabian (di luar risalah) dan lainnya. Dalam arti dalam dirinya terkumpul segala hal yang telah dikhususkan untuk mereka. Bersamaan dengan itu melebihi mereka dari sisi lainnya. Yaitu dari sisi jami’nya.

Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani menerangkan tentang hakikat wilayah. Bahwa wilayah terbagi menjadi dua, yaitu: Wilayah ‘A-mmah (umum) dan Wilayah Khosh-shoh (khusus). Wilayah ‘a-mmah ialah wilayah sejak Nabi Adam a.s. sampai Nabi Isa a.s.. Sedangkan Wilayah Khosh-shoh ialah sejak Rasululloh Saw sampai Al-Khatmu (penutup). Arti dari khosh-shoh adalah wali yang berakhlak dengan akhlak Al-Hak yang berjumlah 300 akhlak secara sempurna. Sebagaimana sabdanya:

Sesungguhnya Alloh memiliki 300 akhlak. Siapa yang berakhlak dengan salah satunya, maka Alloh memasukkannya ke dalam sorga.

Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani. Adalah seorang waliyulloh yang agung dengan predikat Al-Quthbaniyatul Udzma Al-Kamil Al-Jami’. Beliau telah dikukuhkan sebagai Khatm Al-Auliya oleh Rasululloh SAW secara langsung.

Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani mengatakan bahwa Sayid Al-Wujud (Rasululloh SAW) telah mengabarkan kepadanya dalam keadaan jaga bahwa dirinya adalah Al-Khatim Al-Muhammadi yang telah diketahui seluruh wali kutub dan shidiqin. Bahwa tidak ada lagi maqam di atasnya dalam persoalan samudra Ma’rifat Billah.

Beliau juga mengatakan, “Sayid Al-Wujud (Rasululloh SAW) telah memberitahukan kepadaku bahwa sesungguhnya diriku adalah Al-Quthb Al-Maktum darinya dengan musyafahah (berhadapan) dalam keadaan jaga, bukan dalam keadaan tidur.”

Ketika diajukan pertanyaan kepada Syeikh Ahmad At-Tijani tentang, “Apakah arti Al-Maktum ?”. Beliau menjawab, “yaitu wali yang disembunyikan oleh Alloh SWT dari seluruh makhluk. Termasuk dari para malaikat dan para nabi. Kecuali kepada Rasululloh SAW. Rasululloh mengetahui dirinya dan keadaannya.”

Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani berkata:  Saya adalah sayidul auliya seperti halnya Nabi Muhammad SAW adalah sayidul anbiya.

Dalam Ad-Durr Al-Mandhum, Beliau menegaskan posisinya dalam berbagai surat-suratnya kepada beberapa sahabatnya, “Sesungguhnya kedudukan kami di sisi Alloh di akhirat tidak dapat dicapai oleh seorang wali pun sejak berakhirnya masa sahabat sampai ditiupnya sangkakala. Tidak seorang wali pun yang dapat menyusul kedudukan kami atau mendekatinya. Karena memang sangat jauh dari beberapa tujuannya. Saya tidak berkata demikian kecuali setelah kudengar langsung secara hak dari Rasululloh SAW. Tidak ada seorang wali pun yang dapat memasukkan seluruh sahabatnya ke sorga tanpa hisab dan siksa, meskipun melakukan dosa dan maksiat kecuali hanya diriku. Dan Rasululloh SAW telah menanggung perkara mereka, yang tidak dapat kuterangkan. Perkara ini tidak dapat dilihat dan diketahui kecuali di akhirat. Bersamaan dengan ini semua, bukan berarti kami meremehkan kemuliaan sa-da-tu l-auliya. Kami pun tidak merendahkan keagungannya. Maka agungkanlah kemuliaan para wali yang hidup atau pun yang telah wafat. Sesungguhnya siapa yang mengagungkan kehormatan mereka, maka Alloh akan mengagungkan kehormatannya. Dan siapa yang merendahkan mereka, maka Alloh menghinakannya dan murka kepadanya. Janganlah kalian meremehkan kehormatan para wali.”

Syeikh ahmad ra berkata, ruh Syeikh Ali Harozim masuk kealam ghoib, dan orang-orang menyangka bahwa ia telah mati, lalu merekapun menguburnya hidup-hidup, dan seandainya mereka tidak menguburnya, niscaya mereka akan mendengarkan penjelasannya tentang rahasia ilmu dan makrifat yang tidak akan pernah mereka dapatkan dari kitab.

Syeikh Ahmad berkata : “Siapa diantara kalian yang melihat ada orang yang membawa rokok didalam majlis wirid wazhifah, usirlah orang-orang itu!”

Syeikh Ahmad ra sangat mencintainya dan banyak menaruh perhatian kepadanya, bahkan beliaupun pernah berkirim surat wasiat kepada Sayyid Mahmud At-Tunisy ra di antaranya adalah :

Surat ini ditujukan kepada kekasih kami

Sayyid mahmud At-Tunisyah ra

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Kamu pernah bertanya kepadaku tentang wirid wazifah ?

Dengarkan dan perhatikanlah jawabanku ini :

Aku berwasiat kepadamu, janganlah sekali-kali kamu meninggalkan wirid wazifah, sebab barang siapa yang meninggalkan wirid wazifah, maka ia telah kehilangan satu kebajikan dan satu keuntungan yang sangat besar bahkan tak ada satu amalanpun yang dapat menggantikan keagungannya.

Dan sebaiknya, kamu mengamalkan wirid wazifah secara berjamaah, karena hal itu lebih utama dan lebih besar fadillahnya tapi jika kamu tidak mendapatkan seorang ikhwan yang dapat diajak berjamaah, maka kerjakaanlah sendiriian, dan kerjakanlah satu kali dalam sehari semalam. Awas, jangalah sekali-kali kamu meninggalkan wirid wazifah, walaupun cuma satu kali. Dan barang siapa yang mendapatkan seorang ikhwan yang dapat diajak berjamaah, tapi ia mengerjakannya seindirian maka ia telah melakukan kesalahaan dan kekeliruan yang besar. Sekian.

Sulthonul A’rifin Sayyidis Syeikh Ahmad bin muhammad At-Tijany ra pernah berpesan kepada semua ikhwan: “Didalam ajaran tarekat kami, ada tata cara berziarah kepada Rosululloh saw, yaitu dengan membaca sholawat jauharotul kamal sebanyak 20 kali dengan niat berjiarah kepada Nabi, karena pada saat bacaan yang ke 7, beliau hadir mendatangi kita dengan wujud zatnya yang mulia dan terus duduk bersama kita hingga bacaan kita selesai. Apa bila kita mengamalkannya maka sama seperti kita berziarah langsung ke makamnya di roudhoh Syarif Madinah dan kita pun mendapatkan ganjaran pahala seperti berziarah kepada seluruh wali di dunia ini, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. bahkan Allah swt akan memberikan pahala yang sangat besar dan tak ternilai kadarnya, tapi semua ganjarannya itu di rahasiakan dan tidak di jelaskan kadarnya di dunia, dan baru akan kita ketahui nanti di negeri akhirat”.

Syeikh Ahmad ra berkata : “Wajib bagi kalian semua untuk menjaga adab apabila sedang berhadapan dengan Syeikh (guru), karena sesungguhnya seseorang akan naik derajatnya dididik Allah jika ia menjaga adab, dan akan hina kedudukannya bila ia meremehkan adab. Dan ketahuilah wahai saudaraku, apabila aku memberikan keringanan kepadamu, maka sulit bagimu untuk mendapatkan martabat yang mulia bila kamu tidak mengamalkan adab”.  murid untuk memiliki hanya satu jalan dalam wiridan dan satu panduan arah untuk diikutimurid untuk memiliki hanya satu jalan dalam wiridan dan satu panduan arah untuk diikuti.

MENERIMA ATAU RIDLO DENGAN KETENTUAN ALLOH SWT.

Pengertian Ridho

Ridho adalah kata sifat yang mudah diucapkan, namun juga kata kerja yang sulit dilakukan. Ridho terhadap ketentuan Allah SWT secara mutlak berarti tidak menunjukkan keengganan ataupun penentangan terhadap takdir-Nya, manis atau pahit. Abdullah ibn Alwi ibn Muhammad al-Haddad al-Husaini (tt: 37) mengatakan:

“Ridho terhadap ketetapan Allah adalah buah termulya dari Mahabbah dan Ma’rifah. Salah satu ukuran cinta adalah ridho terhadap perbuatan kekasihnya, baik itu manis ataupun pahit adanya. Oleh karenanya, ridho dengan makna yang demikian adalah suatu keniscayaan untuk menyatakan keimanan seseorang terhadap Tuhan-Nya.

Dalam makna yang lain, Ridho dimutlakkan sebagai sikap senang dan bahagia bagaimanapun keadaan hidup yang dialami (Ma’luful Anam, Lc: 2010). Sebagaimana ucapan para arif billah, “Ridho adalah mengeluarkan seluruh ketidaksukaan terhadap ketentuan takdir dari dalam hati, sehingga tak ada padanya kecuali rasa senang dan bahagia terhadap ketentuan itu atau ia adalah kebahagiaan hati dalam merasakan pahitnya takdir sebagaimana merasakan manisnya atau juga ia adalah menerima hukum ilahi dengan senang hati” (Ahmad Fadlun ZR: 2010: 2).

Al-Samarkandi dalam “Tanbih al-Ghafilin” mengatakan:

“Keputusan Allah itu jauh lebih baik dari pada ketetapan seseorang terhadap dirinya sendiri, (Ketahuilah wahai anak cucu Adam), apa yang telah ditetapkan Allah, (namun) kamu benci itu (sesungguhnya) lebih baik dari pada keputusanmu sendiri yang kamu sukai (Al- Samarkandi : tt: 221).

Rabi’ah al-Adawiyah, Seorang sufi wanita, pernah ditanya,” Kapankah seorang hamba menjadi Ridho?”, Ia menjawab : “Bila ia merasa bahagia oleh keburukan (takdir) sebagaimana ia merasa bahagia oleh kenikmatan”. Sebagian Ulama’ salaf juga mengatakan: Jikalau tubuhku hancur karena sebab penyakit kusta yang menggerogoti dagingku, itu lebih baik dari pada saya harus mengatakan atas ketetapan Tuhan: “Seandainya hal ini tidak terjadi?”. (Al-Ghazali: tt: IV: 340).

Ridho atas ketentuan Allah berarti ikhlas dan nrimo atas semua ketentuan yang Allah berikan, baik itu berupa nikmat maupun ujian. Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Dien dalam bab al-Qaul fi Ma’na al-Ridho bi Qadhai Allah wa Haqiqatih wa Ma Warada fi Fadhilatih (tt: IV: 333-345), menjelaskan bahwa Ridho adalah buah dari cinta, Ia merupakan maqam tertinggi yang dapat mendekatkan diri pada Allah. Ridho merupakan sababu dawami raf’i al-hijab atau sebab yang dapat melanggengkan untuk menghilangkan hijab (penghalang) dalam mendekatkan diri pada Allah SWT.

Walaupun demikian, sebenarnya ridho tidak dapat digambarkan, adapun jika ridho timbul sebagai akibat dari cinta, mahabbah, bila gambaran mahabbah dan mabuk cinta, maka tidak dapat disamarkan bahwa cinta menyebabkan ridho terhadap tingkah dan perbuatan orang yang dicintainya, mahbubih, bahkan sampai-sampai panca indera tidak dapat merasakan sakit atas luka yang mengenai tubuhnya, sebab jika hati (al- kalb ) telah tenggelam dimabukkan oleh sesuatu yang mengasikkan, ia tidak dapat merasakan apapun selain hal tersebut. (al-Ghazali: IV: 337).

Dari ilustrasi diatas, kemudian bisa menimbulkan rasa “cuek” terhadap apa yang diperbuat oleh Sang Kekasih, apakah itu baik atau buruk, maka akan diterima dengan lapang dada dan ridho, sebagai mana ucapan Umar r.a :

“Aku tidak akan perduli, saya akan jadi kaya atau miskin, karena saya tidak mengetahui mana yang terbaik dari keduanya” (al – Ghazali: IV: tt: 343).

Berbagai terpaan cobaan dan ujian yang diberikan oleh Tuhan, haruslah senantiasa diterima dengan penuh kerelaan dan lapang dada, karena bukankah tidak ada seorang mukminpun yang mampu merasakan manisnya iman kecuali dia memperoleh timpahan bencana, kemudian ia ridho dan bersabar, sabda Nabi : “barang siapa yang sakit semalam, serta sabar dan ridho kepada Allah Ta’ala, maka dosa-dosanya bersih, laksana baru dilahirkan ibunya” (Al-Ghazali: tt: 21).

Menerima Ketentuan Allah dengan Lapang Dada

Seorang salik yang sudah bisa menata hatinya dengan ridho, maka ia tidak menentang cobaan dari Tuhan, tetapi bahkan menerimanya dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan tidak pula minta dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika mala petaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta pada Tuhan. Di sini ia telah dekat dengan Tuhan dan ia pun akhirnya sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan mata hatinya, untuk selanjutnya ia akan bersatu dengan Tuhan. (Amin Syukur : 1999: 52).

Bahkan Abu Sulaiman al-Darani mengatakan: “Seandainya semua makhluk dimasukkan ke dalam Surga, dan aku dijerumuskan ke Neraka, maka aku akan ridho terhadap hal itu”. (Al-Ghazali: tt: IV; 339).

Sikap menerima segala ketentuan Allah dengan perasaan senang, dan ridho ini akan membuahkan ridho Allah, dalam sebuah hadits disebutkan:

“Barang siapa yang ridha atas rizqi sedikit yang diberikan oleh Allah, maka Allah juga Ridha atas amal sedikitnya”.

Walaupun hadits ini dinilai dhaif, (al-Ghazali: IV: tt: 334), namun hal ini bisa menjadi motivasi bersama bahwa persoalan ridho atas ketentuan Allah adalah persoalan yang sangat utama. Ridho Allah adalah dambaan setiap muslim yang menyadari bahwa itulah harta termahal yang pantas diperebutkan oleh manusia. Tanpa ridho Allah, hidup kita akan hampa, kering, tidak dapat merasakan nikmat atas segala apa yang telah ada di genggaman kita, bermacam masalah silih berganti menyertai hidup kita. Harta berlimpah, makanan berlebih namun ketika tidak ada ridho-Nya, semua menjadi hambar. Tidak tahu kemana tujuan hidup, merasa bosan dengan keadaan, seolah hari berlalu begitu saja,begitu cepat namun tanpa disertai dengan perubahan kebaikan hari demi hari.

Apa sebenarnya ridho Allah?, Mari simak ayat Al-Quran yang membahas hal ini:

“Maka berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalananan. Itulah yang lebih baik bagi orang yang mencari keridhaan Allah. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ar-Rum : 38).

Dalam Ayat diatas, ridho Allah ternyata di-lafald-kan dengan wajha Allah. Sering kita dengar perumpamaan ‘ih orang itu cari muka

[wajah]

‘  maksudnya cari perhatian. Demikian pula jika kita mencari “wajah Allah” atau perhatian Allah atau yang lebih populer ridho-Nya, maka ada beberapa hal yang mesti kita lakukan, yaitu: memberikan hak kerabat dekat, hak orang miskin, hak orang yang sedang dalam perjalanan.

Memberikan hak orang yang dimaksud Allah bukan hanya bisa dilakukan oleh orang yang kelebihan harta namun bisa dilakukan oleh orang yang sadar dan ikhlas bahwa letak ketentraman hidup itu ada pada restu, ridho dan rahmat Allah. Boleh jadi rezeki yang Allah berikan pada kita hanya pas untuk makan sehari hari dan biaya hidup keluarga, namun ketika Allah telah berkenan memberi ridho-Nya, rezeki yang pas itu menjadi berkah, sehingga hari hari yang dilalui dalam hidup penuh dengan rasa syukur.

Orang yang mengenal (ma`rifat) kepada Tuhan, akan merasa ridho atas apapun yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, selanjutnya iapun faham apa yang disukai dan yang tidak disukai oleh Nya. Jika orang merasa hidupnya diridhoi Tuhan maka ia pun merasa dirinya bermakna, dan dengan merasa bermakna itu, ia merasa sangat berbahagia. Sebaliknya jika seseorang merasa hidupnya tak diridhoi Tuhan, maka ia merasa semua yang dikerjakanya tidak berguna, dan bahkan iapun merasa dirinya tak berguna.

Orang yang merasa kehadirannya berguna bagi orang lain maka ia akan memiliki semangat hidup, semangat bekerja, semangat berjuang, yang berat terasa ringan, pengorbanannya terasa indah. Sedangkan orang yang merasa dirinya tak berguna maka ia tidak memiliki semangat hidup, tidak memiliki semangat bekerja, merasa sepi di tengah keramaian dan lebih sepi lagi dalam kesendirian.

Banyak hadits yang memerintahkan kita untuk selalu ridho atas semua pemberian Tuhan, daantaranya sebagaimana yang ditulis al-Ghazali, adalah sebagi berikut:

“Hai golongan orang fakir, berikanlah ridho (terhadap ketetapan) Allah dari lubuk hatimu, maka kamu akan beruntung dengan sebab pahala kefakiranmu, jika tidak, maka tidak dapat pahala”. (al-Ghazali: IV: tt: 337).

Bahkan, seseorang yang tidak mau ridho atas ketetapan Tuhan, disuruh untuk mencari tuhan selain Allah:

“Aku adalah Allah, Tidak ada Tuhan selain Aku, siapa yang tidak sabar terhadap cobaan-Ku, tidak bersyukur terhadap nikmat-Ku, dan tidak ridho terhadap keputusan-Ku, maka buatlah tuhan selain Aku”. (al-Ghazali: IV: tt: 337).

Dalam redaksi yang dikutip oleh Abdullah al-Husaini, berbunyi:

“Barang siapa yang tidak ridho terhadap keputusan-Ku, dan tidak sabar atas cobaan-Ku, hendaklah ia melangkah mencari tuhan selain-Ku. (Abdullah al-Husaini: tt: 37).

Bercermin pada Hati Nurani untuk mencapai Ridha

Semangat mencari ridho Tuhan sudah barang tentu hanya dimiliki oleh orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang tidak mengenal Tuhan, tidak mengenal agama, maka boleh jadi pandangan hidupnya sesat dan perilakunya juga sesat, tetapi mungkin juga pandangan hidupnya mendekati pandangan hidup orang beragama minus Tuhan, karena toh setiap manusia memiliki akal yang besa berfikir logis dan hati yang di dalamnya ada nilai kebaikan.

Metode mengetahui ridho Tuhan juga diajarkan oleh Nabi dengan cara bertanya kepada hati sendiri,  istafti qalbaka. Al-Ghazali bahkan memandang bahwa hakikat manusia adalah hati (qalb) (Dr. Simuh: 996: 87), Ia menggambarkan hati manusia sebagai “cermin”, sebagaimana dalam ungkapannya:  “itulah hati, apabila manusia mengenal hatinya, maka sungguh ia akan mengenal diri pribadinya. Dan apabila ia mengenal diri pribadinya, maka sungguh ia akan mengenal Tuhannya. Sebaliknya, jika manusia jahil terhadap hatinya, maka sungguh ia jahil terhadap dirinya, dan apabila ia jahil terhadap dirinya, maka sungguh ia jahil terhadap Tuhannya. Dan barang siapa jahil terhadap hatinya, maka terhadap lainnya jauh lebih jahil lagi” (al-Ghazali : III : tt : 2).

Ungkapan diatas, menunjukkan betapa pentingnya hati, kalbu manusia, karena orang bisa berdusta kepada orang lain, tetapi tidak kepada hati sendiri . Hanya saja kualitas hati orang berbeda-beda. Hati yang sedang gelap, hati yang kosong, hati yang mati tidak bisa ditanya. Hati juga sering tidak konsisten, oleh karena itu pertanyaan yang pali ng tepat adalah kepada hati nurani, atau ke lubuk hati yang terdalam. Nurani berasal dari kata nur, nuraniyyun yang artinya cahaya, yakni “cahaya ketuhanan” yang ditempatkan Tuhan di dalam hati manusia, nurun yaqdzifuh Allah fi al- qalb. Jika hati sering tidak konsisten, maka hati nurani selalu konsisten terhadap kejujuran dan kebenaran. Orang yang nuraninya hidup maka ia selalu menyambung dengan ridho Tuhan. Problem hati nurani adalah cahaya nurani sering tertutup oleh keserakahan, egoisme dan kemaksiatan.

Persoalan dan problematika hidup manusia memang mengalami pasang surut, susah – senang, sedih – bahagia, dll merupakan sunnatullah yang memang harus dihadapi dengan lapang dada. Karena sudah menjadi hal yang lumrah bahwa semua yang terjadi pasti terkandung hikmah, adapun hikmah dibalik sikap ridho atas semua ketentuan Allah itu adalah:

a. Membersihkan dan memilih mana orang mukmin sejati dan orang munafiq;

b. Mengangkat derajad dan menghapus dosa;

c. Mengungkapkan hakikat manusia itu sendiri, sehingga Nampak jelas kesabarannya dan ketaatannya;

d. Membentuk dan menempa kepribadiannya menjadi pribadi yang benar-benar tahan menderita dan tahan uji;

e. Latihan dan pembiasaan dalam berprinsip. (Hajjudin Alwi: 200: 43).

Untuk mencari ridho Allah, para kaum sufi senantiasa mewirid-kan do’a yang berbunyi:

“Oh Tuhanku, Engkaulah Tujuanku dan ridha-Mulah yang kucari. Anugerahilah aku akan cinta kasih-Mu dan ma’rifat-Mu” (Kharisudin Aib: 999: 96)

Kisah Wafatnya Al Qomah r.a. (Ridho Seorang Ibu) :

Dikisahkan, pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada seorang pemuda bernama ‘Alqamah. Ia seorang yang menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, mengerjakan sholat, shiam, dan bersedekah. Suatu hari ia sakit dan semakin hari semakin parah. Istrinya pun menyuruh seseorang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menyampaikan, “Suamiku, Alqamah sedang sekarat. Dengan ini aku bermaksud mengabarkan keadaannya kepadamu, wahai Rasulullah.”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengutus ‘Ammar, Shuhaib dan Bilal. Beliau bersabda, ”Berangkatlah kalian, dan talqinkanlah ia dengan kalimat syahadat.” Mereka bertiga berangkat dan memasuki rumahnya. Mereka mendapati ‘Alqamah sedang sekarat sehingga dengan segera mereka mentalqinnya dengan ucapan ‘Laa ilaaha illalLah’. Namun lidah ‘Alqamah kelu, tak mampu mengucapkan kalimat syahadat. Sahabat bertiga menyuruh seseorang menemui Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam mengabarkan bahwa ‘Alqamah tidak mampu mengucapkan kalimat syahadat.

Nabi bertanya, “Adakah salah seorang ibu-bapaknya yang masih hidup?” seseorang menjawab, “Wahai Rasulullah seseorang ibu yang sudah sangat renta.” Maka beliaupun mengutus seseorang dan berpesan, “Katakan kepadanya jika ia kuat berjalan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memanggilnya. Namun jika tidak hendaknya ia tetap tinggal dirumah, Rasulullah akan menemuinya.” Utusan itu sampai kepadanya dan menyampaikan pesan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Wanita itu berucap, “Jiwaku siap menjadi tebusan jiwanya. Aku lebih pantas mendatangi beliau.” Maka wanita itupun berdiri dengan bertelekan tongkat dan berjalan menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ia berucap salam dan beliaupun menjawabnya. Lalu Rasulullah Shalallahu ’Alaihi wa Sallam bertanya, “Wahai Ummu ‘Alqamah, jujurlah kepadaku. Kalaupun kamu berdusta akan turun wahyu dari Allah Ta’ala. Bagaimana keadaan anakmu ‘Alqamah?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, ia rajin menunaikan shalat, shiyam dan banyak bersedekah.” Rasulullah bertanya lagi. ”Lalu bagaimana dengan dirimu?”. Wanita itu menjawab,”Wahai Rasulullah aku murka dengannya.”. “Mengapa?” tanya beliau.

“Karena ia lebih mengutamakan istrinya dari pada diriku dan ia tidak mau taat kepadaku.”, jawab Ummu ‘Alqamah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya murka Ummu ‘Alqamah menghalangi lisannya untuk mengucapkan syahadat.” Beliau melanjutkan, “Bilal, pergi dan bawakan untukku kayu bakar yang banyak.”. Wanita itu bertanya, “Apa yang akan Anda lakukan, Wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab “Aku hendak membakarnya dihadapanmu” Wanita itu menimpali, “Wahai Rasulullah, ia adalah anaku. Hatiku tidak akan kuat menyaksikannya dibakar dihadapanku.” . “Wahai Ummu ‘Alqamah, adzab Allah lebih dahsyat lagi kekal. Jika kamu senang terhadap ampunan Allah baginya, ridhailah dia.

Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, shalat, shiyam, dan sedekahnya tidak mendatangkan manfaat baginya selama kamu murka.”, sabda nabi. Mendengarnya wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku bersaksi di hadapan Allah, para malaikat, dan siapa saja yang hadir disini dari kaum muslimin bahwa aku telah ridha kepada anakku,’Alqamah.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Bilal, berangkat dan lihatlah apakah ‘Alqamah sudah dapat mengucapkan ‘Laa ilaaha illallah’ atau belum. Bisa saja Ummu ‘Alqamah tadi mengatakan yang bukan dari lubuk hatinya karena malu kepadaku” Bilal beramgkat dan melihat kondisi ‘Alqamah. Ia berkata,”Wahai sekalian orang, murka Ummu ‘Alqamah menghalangi lidahnya dari syahadat, dan ridhanya telah melepaskan kekeluan lidahnya.”

Pada hari itu juga ‘Alqamah meninggal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam hadir, memerintahkan untuk memandikan dan mengkafaninya. Lalu beliau menshalatkan dan menghadiri prosesi penguburannya. Beliau berdiri di ujung kuburnya bersabda, “Wahai sekalian Muhajirin dan Anshar, barangsiapa mengedepankan istrinya dari pada ibunya niscaya akan mendapatkan laknat dari Allah, para malaikat, dan manusia semuanya. Allah tidak akan menerima infaqnya juga sikap adilnya sehingga ia bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berbuat baik kepada-Nya serta memohonkan keridoan-Nya. Keridloan Allah terletak pada keridloannya, kemurkaan Allah terletak pada kemurkaannya.”

Kita memohon kepada Allah semoga membimbing kita untuk menggapai keridlaan-Nya dan menjauhkan kita dari sikap durhaka kepada orang tua. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah, Maha Mulia, Maha Penyayang, lagi Maha Pengasih.

Kesimpulan

1. Ridho adalah kata sifat yang mudah diucapkan, namun juga kata kerja yang sulit dilakukan. Ridho terhadap ketentuan Allah swt secara mutlak berarti tidak menunjukkan keengganan ataupun penentangan terhadap takdir-Nya, manis atau pahit.

2. Dalam makna yang lain, Ridho dimutlakkan sebagai sikap senang dan bahagia bagaimanapun keadaan hidup yang dialami

3. Ridho atas ketentuan Allah berarti ikhlas dan nrimo atas semua ketentuan yang Allah berikan, baik itu berupa nikmat maupun ujian.

4. Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Dien menjelaskan bahwa Ridho adalah buah dari cinta, Ia merupakan maqam tertinggi yang dapat mendekatkan diri pada Allah. Ridho merupakan sababu dawami raf’i al-hijab atau sebab yang dapat melanggengkan untuk menghilangkan hijab (penghalang) dalam mendekatkan diri pada Allah SWT

5. Metode mengetahui ridho Tuhan diajarkan oleh Nabi dengan cara bertanya kepada hati sendiri,  istafti qalbaka.

KETIKA MARAHNYA ISTRI DIJADIKAN SEBAGAI RIYADLOH MENEMPA DIRI

Syeikh Ali al-Khawwash pernah berkata, “Tidak jarang wali Allah yang berada di bawah cengkeraman istrinya. Mereka seringkali menerima ucapan dan sikap menyakitkan dari istri mereka.”

Tokoh sufi berada di bawah tekanan istri: ada yang aslinya memang seperti itu, ada pula yang disengaja untuk seperti itu. Maksudnya, si sufi memang sengaja memilih wanita yang judes sekaligus buruk rupa karena sebuah tujuan mulia, yaitu untuk menempa diri atau untuk menghindarkan orang lain dari keburukan wanita tersebut.

Syeikh Nuruddin asy-Syauni, mursyid majelis shalawat di Mesir, bercerita tentang pengalamannya dengan Syeikh Ustman al-Hatthab, ulama sufi yang masih tetangga dekatnya. Di suatu malam yang sangat dingin Syeikh Nuruddin keluar untuk berwudhu. Di jalan menuju tempat wudhu, beliau mendapati seseorang yang sedang rebah berselimut. Asy-Syauni menghampiri orang itu, lalu menggoyang-goyang tubuhnya.

“Siapakah gerangan?” tanya Asy-Syauni.

“Utsman.”

“Ya Sayyidi. Mengapa Tuan tidur di sini?”

“Ummu Ahmad mengusirku dari rumah.”

Apakah orang setingkat Syeikh Utsman al-Hatthab begitu takut kepada istrinya. Tentu saja tidak. Syeikh Utsman al-Hatthab bukan tipologi ‘suami yang takut istri’. Beliau bertahan dengan istrinya yang pemarah, karena beliau termasuk tipologi ‘suami yang sabar memperlakukan istri’. Boleh jadi, beliau ingat dengan kisah Sayyidina Umar bin al-Khatthab yang diam saja ketika istrinya marah-marah. Atau, dengan hadits-hadits Nabi yang berpesan agar kaum lelaki memperlakukan istri-istrinya dengan baik.

Syeikh Ali al-Khawwash, pencetus maqâlah di atas, termasuk tokoh sufi yang sering menjadi ‘korban’ dari sang istri yang masih sepupunya sendiri. Imam asy-Sya’rani memiliki banyak cerita mengenai hal itu dalam kitabnya, Lawâqih al-Anwâr al-Qudsiyyah. Bagi Syeikh Ali, tidak disapa oleh istrinya sampai berbulan-bulan, sudah merupakan hal yang sangat biasa. Bahkan, beliau pernah melakukan perjalanan dari Mesir ke Hijaz bersama sang istri. Sejak berangkat hingga pulang, sang istri tidak menyapa sepatah katapun kepada Syeikh Ali al-Khawwash.

Pernah suatu ketika Syeikh Ali meminum air menggunakan gelas yang biasa dipakai oleh istrinya. Melihat hal itu sang istri berang dan mendamprat Syeikh Ali. Lalu, dia menggosok bekas mulut Syeikh Ali di gelas itu karena tidak ingin mulutnya menyentuh bekas mulut Syeikh Ali. Selama lima puluh tujuh tahun menikah, Syekh Ali tidak pernah dalam satu malam pun tidur dengan sang istri dalam keadaan akur. Namun demikian, mereka tetap hidup serumah seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Demikian cerita Imam Asy-Sya’rani tentang salah satu guru spiritualnya itu.

Ini adalah anomali, tapi anomali yang positif. Menurut Imam asy-Sya’rani, pada dasarnya, kita diperintahkan untuk memilih istri yang lembut, bersikap menyenangkan serta subur dan produktif. Rasulullah bersabda:

تَزَوَّجُوا الْوَلُودَ الْوَدُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Nikahilah wanita yang subur dan menyayangi (suaminya) karena aku akan berlomba-lomba melalui kalian dengan para nabi di hari kiamat (dalam hal jumlah umat).” (HR Ibnu Hibban dari Anas bin Malik)

Standar syariatnya seperti itu. Nikahilah wanita yang berbudi pekerti baik agar kita benar-benar merasakan keberadaan istri sebagai anugrah, sehingga kita terdorong untuk bersyukur. Jika seseorang menikah dengan wanita yang judes atau buruk rupa, maka sangat mungkin dia akan menganggap keberadaan istri tersebut sebagai petaka. Hal itu berpotensi besar menyebabkan dia merasa tidak rela dengan takdir jodohnya. Maka dari itu, syariat memerintahkan kita untuk menikahi istri yang berpenampilan menarik dan bersikap menyenangkan di hadapan suami.

Akan tetapi, kata Imam Asy-Sya’rani, memang ada kalangan sufi yang sedang dalam maqam riyâdhatun-nafsi (menempa diri), sehingga dia sengaja memikul beban-beban kesengsaraan untuk melatih ketahanan dirinya. “Untuk konteks ini, tentu hukumnya berbeda,” tegas Imam asy-Sya’rani dalam Lawaqih al-Anwar.

Menurut beliau, memang ada sebagian tokoh sufi yang ‘gemar’ menikahi wanita-wanita yang bermuka buruk atau bersikap judes. Dia membetahkan diri untuk berumah-tangga dengan wanita tersebut selama puluhan tahun. Mengenai pilihannya itu dia berkata, “Aku lebih berhak untuk mendapatkan dia. Biarlah wanita ini menjadi beban di pundakku, agar tidak menjadi beban bagi saudara-saudara Muslimku yang lain.”

Dalam kisah yang sangat masyhur, seperti disebutkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Al-Kaba’ir, ada seorang syeikh yang selama bertahun-tahun begitu sabar menghadapi istrinya yang sangat judes. Sehari-hari dia bekerja mencari kayu bakar ke hutan. Ajaibnya, setiap kali pulang dari hutan, dia selalu diantar oleh singa yang memikul kayu-kayu tersebut di punggungnya hingga ke halaman rumah.

Syahdan, ketika istrinya yang judes itu meninggal dunia, dia menikah lagi dengan seorang wanita yang shalehah dan bersikap menyenangkan. Tentu saja, rumah tangganya berubah menjadi menjadi sangat indah dan penuh ketentraman. Namun anehnya, ketika Syeikh tersebut mencari kayu ke hutan, sudah tidak ada lagi singa yang datang dan takluk di hadapannya. Sehingga, dia harus bersusah payah memikul sendiri tumpukan kayu bakar tersebut.

Syeikh itu memiliki seorang teman yang sering berkunjung ke sana. Dia merasa heran dengan perubahan tersebut dan menanyakan hal itu. Syeikh itu menjawab, “Dulu, saat hidup dengan istriku yang pertama, aku merasakan kesengsaraan yang luar biasa, tapi aku menghadapinya dengan penuh kesabaran. Maka, Allah menaklukkan singa itu untukku, sebagaimana yang telah biasa engkau lihat. Namun, ketika aku menikahi istriku yang shalehah ini, hidupku penuh dengan ketentraman. Akibatnya, singa itu sudah tidak datang lagi padaku.”

Karena itulah, ada beberapa wali Allah yang terlihat sangat sabar menghadapi istrinya yang judes, sekali lagi bukan karena takut pada istri, tapi sebagai bentuk tirakat dalam upaya melatih ketahanan diri. Dan, penempaan diri tersebut bagi mereka tidak hanya berlaku dalam urusan istri, tapi juga dalam hal-hal yang lain.

Menurut Imam asy-Sya’rani, kadangkala mereka sengaja membeli keledai yang sulit dikendalikan, juga keledai yang sangat lambat dalam berjalan. Sehari-hari mereka merawat dan menungganginya dengan penuh kesabaran, tanpa merasa kesal sedikitpun, apalagi sampai memukulnya. Bahkan, kata Imam asy-Sya’rani, jika dia disalahi oleh orang, maka dialah yang justru datang meminta maaf. “Maafkan saya, sayalah yang bersalah, bukan Anda. Seandainya saya menuruti apa yang Anda mau, tentu saja Anda tidak akan memaki saya,” katanya.

MARTABAT TUJUH ALAM DALAM PANDANGAN SUFI

Alkisah, pada suatu hari, Abu Yazid al-Bustami bersama seorang muridnya mencuci pakaian di padang pasir, ketika hendak menjemur pakaian yang telah dicuci, muridnya mengusulkan agar menjemur pakaian di ranting pohon.Mendengar ide itu, kontan Abu Yazid menolaknya. Dia berkata, “Jangan menjemur pakaian di dahan, nanti bisa membuatnya patah”. Kemudian, muridnya mengusulkan agar menjemur pakaian telah dicuci itu agar dijemur di rerumputan. Sang guru kembali menampakkan wajah ketidaksenangan dengan usul si murid, karena rumput adalah makanan binatang.

Lewat ilustasi cerita dari Abu Yazid al-Bustami tersebut, dalam tulisan ini saya ingin mendedahkan secara singkat tentang ajaran tasawuf Islam tentang “penciptaan alam”.

Martabat Tujuh

Alam bagi para sufi adalah sarana Tuhan mengenalkan diri-Nya pada manusia. Terdapat hadis qudsi (hadis yang isinya dari Allah Swt sedangkan redaksi teksnya berasal dari Nabi Muhammad saw) yang menyatakan bahwa “Aku  adalah Perbendaharaan yang tersembunyi dan Aku rindu untuk dikenal, maka Aku ciptakan makhluk-makhluk agar Aku dikenal”. Sebagai sarana untuk mengenal Tuhan, maka alam dimaknai berbeda oleh sufi, yaitu sesuatu yang penting karena melalui alam para sufi bisa mengenal apa yang disebut oleh Nasr sebagai “the Utlimate Environment” atau Tuhan. 

    Oleh karena itu, para sufi dalam pendakian spiritualnya tidak pernah lepas dari guiden book, yaitu Alquran. Di dalam kitab suci itu, terdapat banyak ayat yang menjelaskan arti penting alam.

Satu jenis tumbuhan atau hewan tidaklah diciptakan dengan sembarangan dan tanpa tujuan, keberadaan suatu jenis atau makhluk pastilah ada maksudnya. Setiap makhluk, menurut para sufi yang merujuk Alquran setiap saatnya selalu sedang “bertasbih” atau mengangungkan dan mensucikan Allah Swt.

Selain itu, pandangan sebagian para sufi tentang penciptaan alam dikenal dengan “martabat tujuh”. Martabat tujuh selain sebagai teori penciptaan juga sebagai tahapan dari pendakian spiritualitas sufi.

Dalam ajaran spiritual ini, martabat yang pertama adalah ‘Alamul Ahadiyyah yaitu alam kosong sebelum makhluk, sebab Allah tidak membutuhkan tempat. Alam ini adalah martabat pertama Allah Swt yang mutlak sendiri, hanya dzat semata, belum disertai sifat, dan belum mencipta atau memberi apa pun.

Martabat kedua adalah ‘Alamul Wahdah yaitu yang berkaitan dengan dzat Allah yang tidak ada sesuatu pun yang menyerupai menjadi sifat Allah, bentuknya terang benderang yang disebut jauhar awwal (cahaya yang pertama yang biasa disebut juga dengan hakikat Muhammad). Intinya, dalam tahap ini Allah memiliki sifat atau ta’ayyun awwal, mulai ada yang nyata pada martabat sifat qadim, azali, dan abadi Allah Swt.

 Martabat ketiga adalah ‘Alamul Wahidiyyah. Pada martabat ini, Allah mulai mengadakan perihal (wujud) yang lain tanpa memerlukan sarana. Melalui “Kun”, maka terjadilah semua ke-ada-an yang serba mungkin itu, yakni keadaan di mana segala sesuatu “mewujud” tanpa simpang siur dan campur baur, serta tanpa kesalahan.

Martabat keempat adalah ‘Alamul Arwah, tahap ini adalah martabat di mana nyawa (ruh) sudah ada namun belum menerima nasib, dan nyawa itu masih merupakan cahaya suci yang akan dijadikan awal kehidupan, sehingga disebut “nyawa rahmani”. Nyawa atau ruh ini terbuat dari cahaya yang merupakan esensi api, air, angin, dan tanah.

Martabat kelima adalah ‘Alamul Mitsal, yaitu tatkala “nyawa rahmani” telah menerima nasib, atau ketika ia terpecah dalam bentuk nyawa-nyawa yang telah dibebani ketentuan hidup, keadaan nyawa tersebut oleh Allah telah dijadikan sebagai nyawa yang mempunyai jism (wadah). Pada martabat ini, nyawa-nyawa telah mempunyai peran sendiri-sendiri, sehingga muncullah istilah ‘nyawa nabati’, ‘nyawa hewani’, ‘nyawa jasmani’, dan ‘nyawa ruhani’. Alam dan apa yang ada di semesta ini adalah gambaran dari alamal mitsal tersebut.

Martabat keenam adalah ‘Alamul Ajsam, yaitu keadaan di mana jasad halus yang diistilahkan ruhiyyah mulai mewujud yang kemudian juga siap menerima keberadaan pancaindra lahir dan batin, serta perihal yang lain. Jasad seperti ini disebut jasad halus yang telanjang. Martabat ini menggambarkan ciptaan Allah yang telah tersusun rapi dan dapat dibagi-bagi atau telah menerima setiap susunannya, khususnya manusia.

Sedangkan martabat ketujuh adalah ‘Alamul Insanul Kamil. Pada martabat ini Allah meniupkan nyawa yang diistilahkan dengan ruh idhafi ke dalam jasmani Adam.

Artian, jika kita menerka konsep penciptaan menurut sufi, maka laiklah kita merenungkan apa yang diungkapkan oleh seorang sufi Nusantara, Muhammad Nafis al-Banjari. Dia mengatakan bahwa untuk mendekatkan diri kepada Allah, seseorang harus memiliki pandangan tawhidul af’al, yakni memandang bahwa perbuatan kita adalah perbuatan yang semu yang hilang karena hakekatnya hanya ada perbuatan Allah, sebagaimana hilangnya cahaya lampu di dalam sinar matahari yang jauh lebih terang.

Lebih lanjut, Muhammad Nafis berpandangan bahwa wujud yang hakiki hanya wujud Allah, semua makhluk atau nama di alam semesta ini adalah perwujudan dari nama Allah. Dalam bahasa Nafis, pandangan yang demikian disebut sebagai tauhidul asma’ (ke-Esa-an Nama). Dalam tauhidul asma’ semua nama yang banyak terdapat di alam pada hakikatnya hanya satu wujud, yaitu esensi Allah dan diri Allah adalah manifestasi dari seluruh nama makhluk ini.

Maka para sufisme tidak akan berlaku sewenang-wenang terhadap alam semesta dan makhluk hidup yang terdapat di dalamnya. Karena itu, semua adalah manifestasi dari wujud Tuhan.

Mungkin saja, dengan mengubah paradigma kita tentang alam dengan paradigma sufisme, alam akan terselamatkan karena tidak ada lagi manusia yang berlaku sewenang-wenang terhadap alam. Seyogyanya, kehidupan harmonis semua makhluk yang menghuni bumi ini akan terwujud.

NIKMATNYA MENJADI HAMBA YANG SELALU MENGHAMBA KEPADA ALLOH SWT.

قَالَ الإِمَامُ الحَبِيْبُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَلَوِي الحَدَّادُ : “مَا تَرَكَ مِنَ الكَمَالِ شَيْئاً مَنْ أقَامَ نَفْسَهُ مِنْ رَبِّهِ مَقَامَ عَبْدِهِ مِنْ نَفْسِهِ

“Barangsiapa menempatkan dirinya di sisi Tuhannya layaknya hamba sahaya )yang tunduk dan patuh( yang ia miliki, maka ia telah mencapai puncak (kehambaan) yang sangat sempurna.”

Harapan setiap dari Anda manakala mempunyai hamba sahaya adalah hamba yang berkarakter dan berperilaku penurut, berbudi pekerti luhur, bekerja dengan profesional selain juga berpenampilan bersih, rapi, dan disiplin.

Pertanyannya, apakah saat Anda mengidam-idamkan budak seperti ini, terbetikkah bagaimana selayaknya Anda bersikap kepada Tuhan. Tentunya, sebagaimana Anda senang memperoleh budak semacam di atas tersebut, maka Allah pun juga akan gembira mendapati hamba-Nya yang senantiasa tunduk, patuh, beradab, rendah diri, menunaikan perintah-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya. Oleh sebab itulah, Anda belum dikatakan telah mencapai kesempurnaan selama Anda tidak mengambil posisi diri di hadapan Tuhan seperti Anda meletakkan budak Anda di hadapan diri Anda sendiri. Yaitu menjadikan hubungan Anda dengan Tuhan layaknya kemauan Anda dengan budak yang Anda miliki.

Sehubungan dengan itu, kala Anda memiliki budak yang durhaka, membangkang, selalu ingkar janji atau tidak bermoral, Anda pun akan menjatuhkan hukuman, bisa berupa cambukan, pengisolasian dan sebagainya. Sama persis ketika Allah mendapati hamba-Nya yang tidak menurut, durhaka, melanggar ajaran-Nya, secara otomatis hamba itu akan memperoleh murka Allah swt dengan berbagai implikasinya.

Cobalah Anda sedikit melakukan kontemplasi. Apa yang Anda impikan dari anak Anda. Sudah barang tentu Anda memiliki harapan yang tinggi kepadanya, “Oohh.. aku ingin mempunyai anak yang mendengarkan untaian nasihatku, yang bisa membuat aku bangga, membuat aku bahagia, hormat kepadaku, dan memuliakanku.” Sejatinya, impian Anda ini tidak berbeda dari keinginan Allah terhadap hamba-Nya, dimana Dia  menginginkan agar hamba-Nya tersebut menghargai-Nya, mengagunggkan-Nya, dan taat kepada-Nya.

Saat Anda menjadi seorang guru, harapan besar segera “menyergap” Anda yaitu sebuah asa agar santri Anda menjadi santri yang sukses, berhasil, selalu belajar, rajin, ulet yang kelak akan menjadi cendekiawan muslim. Seperti itu pula harapan Allah. Dia mengharapkan supaya Anda lulus sebagai hamba yang berpredikat sukses, berhasil, meningkat pangkat dan derajatnya sehingga bisa masuk ke dalam surga-Nya.

Pedihnya, acap kali kita marah dan kesal pada budak, santri atau anak kita yang nakal, berperangai buruk, bertindak kurang ajar kepada kita tapi kita berleha-leha bahkan merasa tidak bersalah di saat kita tidak taat kepada Allah. Tal ayal, ini merupakan hal yang sangat keliru. Jangan hanya pandai menuntut budak kita untuk senantiasa bersikap patuh namun kita abai akan sikap dan perilaku kita di hadapan Allah, merasa masa bodoh bahkan menganggapnya ringan begitu saja. Kalau yang “kecil” (dosa) Anda remehkan, bersiaplah menikmati kekerdilan Anda di genggaman kebesaran-Nya

وَتَحْسَبُوْنَهُ هَيِّناً وَهُوَ عِنْدَ اللهِ عَظِيْمٌ

“Kamu mengganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia di sisi Allah adalah besar.” (Qs. An Nur [24]: 15).

Gambaran Keindahan Surga bagi Hamba yang Bertaqwa

Demikian pentingnya kesadaran penghambaan kita kepada Allah, maka peningkatan volume penghambaan kita kepada Allah yang berkualitas dan berkuantitas merupakan sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ، يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِ ي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا وَذلِكَ الفَوْزُ العَظِيْمُ. وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ، وَيَتَعَدَّ حُدُوْدُهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيْهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِيْنٌ

“Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah keberuntungan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan.” (Qs. Al Nisa` [04]: 13-14).

Ayat ini mengingatkan jati diri kita selaku hamba Allah agar selalu mengerjakan perintah-Nya dan Rasul-Nya serta seraya meninggalkan segala larangan-larangan-Nya. Buah yang akan dinikmati berupa surga yang digambarkan dengan begitu indah oleh Allah. Gambaran surga yaitu mengalirnya sungai-sungai di bawahnya dengan berbagai rasa kesegarannya, antara lain:

    Surga yang sumbernya mengeluarkan susu yang tidak pernah rusak warnanya. Beda halnya dengan keadaan susu di dunia. Susu di dunia diperah dari sapi namun susu di surga langsung menjadi sumber yang mengaliri anak sungai di surga.

    Sungai yang bersumber dari madu murni. Jangan dibandingkan dengan madu di dunia yang keluar dari tubuh tawon yang sebenarnya menjijikkan itu (pantat tawon).

    Sungai dari Khomer yang nikmat bagi yang meneguknya. Bukan Khomer di dunia yang kita kenal selama ini. Khomer yang mengeluarkan bau tak sedap, membuat wajah dan mata memerah, ditambah dengan efek yang membuat orang yang meneguknya berjalan terhuyung-huyung. Namun Khomer di surga tersebut terasa nikmat. Sebuah kenikmatan yang bisa membuatnya terbang untuk melihat keindahan surga dari atas. Kata Rasul saw:

مَنْ شَرِبَ الخَمْرَ فِى الدُّنْياَ لَمْ يَشْرَبْهَا فِى الأَخِرَةِ

“Barangsiapa meminum khomer (minuman keras) di dunia, ia tidak akan bisa meminum khomer yang ada di akhirat.”

Selain itu, keadaan surga juga diilustrasikan oleh Allah dalam ayat lainnya:

وَفِيْهَا مَا تَشْتَهِيْهِ الأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الأَعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ

“Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata serta kamu kekal di dalamnya.” (Qs. Az Zukhruf [43]: 71).

Untuk memahami lebih jauh ayat ini, baiknya kita simak penuturan Nabi saw dalam haditsnya yang menjelaskan maksud “yang diingini oleh hati”. Bila kita melihat burung sedang terbang lantas terbetik di benak kita untuk menikmatinya sebagai hidangan makanan, secara otomatis burung tersebut menjadi hidangan di depan mata kita. Ditambah pula dengan bidadari yang sungguh teramat cantik nan jelita bak permata-permata indah yang memikat hati orang yang memandangnya. Terkadang, perempuan beriman terbakar api cemburu disebabkan wujud bidadari di surga yang Allah sediakan di surga-Nya. Menurut perempuan beriman tadi, apa tidak ada bidadara di surga? Perasaan demikian ini sah-sah saja namun jangan sampai membuat kecil hati. Perempuan yang beriman, kelak bakal lebih cantik di surga ketimbang bidadari sekalipun. Anda yang tercipta sebagai makhluk berjenis kelamin perempuan akan menjadi ratu sedang bidadari-bidadari tersebut justru menjadi pembantu Anda, meski Anda di dunia tidak berparas ayu. Karena itu, jadilah perempuan yang solehah. Jika tidak, keadaannya tidak akan berubah bahkan lebih buruk. Nah, bila Anda selaku istri mengharap suami Anda tidak tertawan hatinya oleh bidadari di surga, maka tingkatkanlah ibadah Anda, hiasilah diri Anda dengan banyak wudhu, sujud kepada Allah, bangun malam yang semua itu akan membantu Anda tampil lebih cantik daripada bidadari di akhirat.

Nabiullah Muhammad saw pernah menceritakan bahwa di surga itu ada satu pasar. Pasar tersebut berbeda dengan pasar di dunia. Di dalamnya tidak ada transaksi jual-beli dan hanya dibuka setiap hari Jumat. Isinya gambar wajah laki-laki yang tampan dan wanita yang cantik. Bila Anda bosan dengan wajah Anda, maka Anda bisa memilih  model wajah yang terpampang yang Anda inginkan. Fasilitas ini disediakan Allah untuk semua penghuni surga tanpa perlu melakukan operasi plastik atau pergi ke salon kecantikan. Apa yang terpaparkan memang tidak rasional. Apakah Anda masuk ke dalam surga dengan akal. Cukup bagi Anda mengimaninya. Titik. Sebab hal ini bukan lagi persoalan akal namun urusan iman.

Fasilitas-fasilitas ini semuanya disediakan bagi orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk sampai ke sana hanya membutuhkan satu syarat: taat kepada Allah dan Rasulullah. Apa beratnya kita taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Meskipun begitu, mengapa masih ada di antara kita yang tidak patuh?

Ancaman Siksa Api Neraka

Di samping itu, barangsiapa berani maksiat, melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya, maka dengarkan baik-baik firman Allah : “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan.” (Qs. Al Nisa` [04]: 14).

Sebagai tamsil, jika kita masuk ke kebun binatang kemudian di situ ada pagar pembatas yang membatasi antara kita dengan kandang singa, kita tidak berani mendekatinya karena khawatir menjadi santapan lezat bagi singa tersebut. Anehnya, mengapa batas-batas yang telah digariskan oleh Allah, masih saja didekati bahkan diterjang. Tidakkah muncul perasaan takut masuk ke dalam neraka-Nya, menghadapi beragam siksa yang maha pedih di dalamnya. Kita takut kepada singa tapi kebencian, laknat, dan kemarahan Allah tidak kita khawatiri. Simaklah sebagian kecil penuturan Al Qur`an tentang keadaan penghuni neraka:

وَإِنْ يَسْتَغِيْثُوْا يُغَاثُوْا بِمآءٍ كَالمُهْلِ يَشْوِي الوُجُوْهَ، بِئْسَ الشَّرَابُ وَسآءَتْ مُرْتَفَقاً

“Dan jika meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istrirahat yang paling  jelek” (Qs. Al Kahfi [18]: 29)

Sungguh teramat mengerikan untuk membayangkan neraka. Neraka adalah jurang yang sangat dalam; berdindingkan batu bara; api berwarna hitam yang menjilat-jilat. Semua jenis warna api di dunia ini berasal dari api akhirat. Pembentukannya melalui beberapa proses “penyaringan”. Api neraka dicelupkan ke dalam air sebanyak tujuh puluh kali, barulah menjadi api dunia. Itu pun masih bisa membakar baja. Bisa kita bayangkan bagaimana panasnya. Sekali berada di dalamnya, seseorang akan berada di sana selama-lamanya.

Alangkah malang dan hinanya nasib seseorang yang masuk ke dalamnya. Ia menjerit-jerit, “HAUS…HAUS..HAUS..”. Dia mohon kepada Allah agar diberi keringanan, “Jika meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka.” Ia akan diberi minum dengan air seperti timah yang dipanaskan. Sekali meneguknya, lelehnya semua wajahnya. Alih-alih meminum timah, terkena saja bisa dibayangkan rasa sakit yang mendera. Keadaan ini berlangsung terus-menerus tiada berhenti sejenak pun. Hal itu terjadi akibat kelalaian seseorang dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia telah berani dan lancang melanggar ajaran Nabi Muhammad serta batas-batas syariat Islam. Ganjaran setimpalnya adalah mendekam di “hotel” api neraka untuk selama-selamanya.

Diceritakan, seandainya penghuni neraka diberi kabar bahwa jika dunia ini menjadi keranjang yang diisi dengan biji-biji jagung, satu biji dimasukkan ke dalam keranjang untuk setiap satu tahunnya sebagai penanda hukuman yang telah dijalaninya di dalamnya, niscaya penduduk neraka akan bersorak-sorai karena masih mempunyai harapan untuk keluar dari siksa neraka. Sayangnya, janji ini tidak pernah dijumpai kapan pun. Mereka justru kekal abadi. Sama sekali tidak ada kesempatan untuk keluar sehingga mereka menjadi orang yang putus asa, berada dalam keadaan sakit yang menyiksa.

Duhai betapa hina keadaan mereka. Perhatikanlah keadaan di sekitar kita. Lihatlah orang yang berada dalam keadaan sakit parah. Penyakit ganas menggrogoti tubuhnya. Dia tidak punya biaya berobat. Untuk makan sehari-hari saja sulitnya setengah mati. Menjadi pengemis akhirnya menjadi pilihan baginya. Berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya. Betapa naïf dan hinanya ibarat pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga.” Namun ketahuilah, penduduk neraka lebih hina dan celaka daripada itu.  Oleh karena itu, jangan coba-coba untuk berani melanggar hukum-hukum Allah. Siapa kita yang berani maksiat kepada-Nya.

Sebagai kesimpulan, sesungguhnya Allah tidak pernah membutuhkan ibadah dan dzikir kita. Justru kitalah yang beribadah kepada-Nya dan hanya untuk-Nya ibadah kita yang haus akan guyuran Rahmat-Nya. Saat kita bersujud, kita mendulang samudera Ampunan-Nya. Sekaranglah waktu untuk bertaubat. Niatkan sisa usia kita untuk meningkatkan ibadah kepada Allah. Jangan ada lagi keinginan yang melintas di dalam kalbu untuk bermaksiat agar kita selamat dunia dan akhirat.

SYARAT AGAR BISA BERTEMU NABI KHIDIR AS.

Di dalam kitab “Al-Asror Rabbaniyyah wal Fuyudhatur Rahmaniyyah” karya Syeikh Ahmad Shawi Al-Maliki halaman 5 diterangkan yang artinya sebagai berikut:

Telah berkata guru dari guru-guru kami, Sayyid Mushtofa Al-Bakri: Telah berkata Al-‘Ala’i di dalam kitab tafsirnya bahwa sesungguhnya Nabi Khidir dan Nabi Ilyas as hidup kekal sampai hari kiamat. Nabi Khidir as berkeliling di sekitar lautan sambil memberi petunjuk kepada orang-orang yang tersesat di lautan.

Sedangkan, Nabi Ilyas berkeliling di sekitar gunung-gunung sambil memberi petunjuk kepada orang-orang yang tersesat di gunung-gunung. Inilah kebiasaan mereka di waktu siang hari. Sedangkan di waktu malam hari mereka berkumpul di bukit Ya’juj wa Ma’luj (يأجوج و مأجوج) sambil mereka menjaganya.

Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi Khidir dan Nabi Ilyas berjumpa pada tiap-tiap tahun di Mina (Saudi Arabia). Mereka saling mencukur rambutnya secara bergantian. Kemudian mereka berpisah dengan mengucapkan kalimat:

بسم الله ما شاء الله لا يسوق الخير الا الله

بسم الله ما شاء الله لا يصرف السو ء الا الله

بسم الله ما شاء الله ما كان من نعمة فمن الله

بسم الله ما شاء الله لا حول و لا قوة الا بالله

Maka barangsiapa mengucapkan kalimat-kalimat ini pada waktu pagi dan sore hari, maka ia akan aman dari tenggelam, kebakaran, pencurian, syaitan, sultan, ular, dan kalajengking.

Dan telah dikeluarkan oleh Ibnu ‘Asakir bahwa sesungguhnya Nabi Khidir dan Nabi Ilyas itu berpuasa Ramadhan di Baitul Maqdis (Palestina) dan mereka melakukan ibadah haji pada tiap-tiap tahun. Mereka minum air zamzam dengan sekali tegukan, yang mencukupkan mereka seperti minuman dari Kabil.

Sebagian ulama menceritakan bahwa sesungguhnya Nabi Khidir itu putera Nabi Adam as yang diciptakan dari tulang iganya. Menurut segelintir kecil ulama lagi beliau putera Halqiya. Ada yang mengatakan putera Kabil bin Adam. Adapula yang mengatakan beliau itu cucunya Nabi Harun as, yaitu putera bibinya Iskandar Dzul Qarnain. Dan Perdana Menterinya benar-benar aneh mengatakan bahwa Nabi Khidir itu dari golongan malaikat.

Sedangkan, menurut pendapat ulama yang paling shohih adalah bahwa Khidir itu adalah seorang Nabi. Menurut ulama jumhur beliau itu masih hidup dan beliau tidak akan pernah meninggal terkecuali pada hari kiamat apabila Al-Qur’an telah diangkat dan Dajjal telah membunuhnya. Kemudian, Allah menghidupkannya kembali. Sesungguhnya, beliau itu masa hidupnya panjang sekali. Karena, beliau meminum air kehidupan.

AGAR BISA BERTEMU NABI KHIDIR AS.

Syekh Ali berkata “Termasuk syarat seseorang dari golongan auliya’ dapat bertemu Nabi Khidir adalah tidak menyimpan makanan untuk besok, siapa orang menyimpan makanan untuk esok hari maka tidak akan bisa bertemu dengan Nabi Khidir walaupun dia beribadah sebanyak ibadah seluruh jin dan manusia”

Abu Abdillah al-Yasari salah satu wali tersohor di zamannya sering bertemu Nabi Khidir dalam keadaan terjaga dan bercakap-cakap dengannya. Suatu ketika Syekh Ali lama tidak bertemu dengan Nabi Khidir dalam keadaan terjaga tetapi hanya bertemu dalam mimpi. Lantas beliau bertanya tentang sebab terputusnya pertemuannya secara terjaga.

Nabi Khidir menjawab: “Aku tidak mau berteman dengan orang yang menyimpan makanan untuk besok. Dan engkau pernah berkata kepada istrimu di waktu itu, “Ambil uang ini dan simpanlah untuk belanja besok”

Lalu Syekh Ali melanjutkan ceritanya, “Kejadian itu memang benar terjadi akan tetapi aku telah bertobat tidak lagi menyimpan makanan untuk besok”

Sejak kejadian itu Nabi Khidir tetap tidak pernah datang lagi menemui beliau dalam keadaan terjaga.

Wallahu a’lam.

( Tanbiihul- Mughtarriin. hal.129 )

KACAMATA TASAWUF DALAM MENELAAH DIAOG QURBAN ANTARA NABI IBROHIM DAN NABI ISMAIL ‘ALAIHIMAS SALAM

Ibadah kurban yang dikenal sampai saat ini tidak dapat dilepaskan dari Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail (sebagian riwayat menyebut Nabi Ishak). Ibadah kurban berawal dari perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail AS. Riwayat keduanya dapat ditemukan pada Surat As-Shaffat ayat 102. Riwayat tersebut menceritakan ungkapan Nabi Ibrahim AS kepada Ismail AS atas mimpinya selama tiga malam terakhir. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sungguh aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?’”

Apa yang terjadi dalam mimpi Ibrahim AS dipahami oleh dirinya dan Ismail AS sebagai perintah Allah SWT. Pasalnya, mimpi para nabi, kata Ibnu Abbas RA, adalah wahyu ilahi. Muhammad bin Ka’ab mengatakan, wahyu ilahi mendatangi para nabi saat mereka terjaga dan tertidur. Oleh karena itu, keduanya memiliki pengertian yang sama atas takwil mimpi Ibrahim AS.

“Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar,” jawab Ismail AS.

Abu Ali Ad-Daqaq mengisahkan ulang perintah kurban yang melibatkan Ibrahim AS dan Ismail AS dari kajian tasawuf. Menurutnya, perintah kurban berkaitan erat dengan kewajiban untuk berjaga agar tidak tertidur. Tidur bagi sebagian orang saleh adalah sebuah kesalahan karena orang yang tidur adalah orang yang lalai kepada Allah. Sedangkan Ibrahim AS dengan sedih menceritakan mimpinya kepada Ismail AS.

“Bapakku, inilah balasan orang yang tidur melalaikan Kekasihnya (Allah). Seandainya bapak tidak tidur, niscaya bapak tidak diperintahkan untuk menyembelih anak sendiri,” jawab Ismail. (Abul Qasim Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, [Kairo, Darus Salam: 2010 M/1431 H], halaman 210).

Tidur malam hari (semalam suntuk) bagi sebagian orang saleh pada tingkat tertentu merupakan sebuah kesalahan sebagaimana kaidah “Hasanatul abrār sayyi’ātul muqarrabīn” atau kebaikan bagi mereka di maqam abrār adalah kesalahan bagi muqarrabīn. Oleh karena itu, ulama tasawuf membuat syair sebagai berikut, “Sungguh aneh mereka yang mengaku para pecinta (Allah). Bagaimana mereka dapat tertidur nyenyak? Padahal tidur bagi para pecinta diharamkan.” (Al-Qusyairi, 2010 M/1431 H: 210).

Wallahu a’lam.