KISAH KEHEBATAN SHOLAWAT YANG DI ALAMI IMAM SUFYAN ATS TSAURIY RAH.

Imam Sufyan At-Tsauri bercerita bahwa ketika sedang melakukan ibadah thawaf bersama ayahnya ia melihat seseorang yang hanya duduk berdiam. Ia tidak ikut thawaf bersama mereka yang thawaf. Tetapi, uniknya ia banyak membaca shalawat nabi.

“Wahai Tuan, Tuan telah meninggalkan tasbih dan tahlil. Tuan hanya membaca shalawat. Ada apa dengan tuan?” tegur Imam Sufyan At-Tsauri kepada pria yang hanya duduk membaca shalawat. “

“Anda ini siapa? Semoga Allah mengafiatkanmu,” tanya balik pria asing tersebut.

“Saya Sufyan At-Tsauri.”

“Sekiranya kau tidak gharib di tengah orang hari ini, niscaya kukabarkan tentang diriku dan kubuka rahasiaku,” kata pria tersebut.

Percakapan selesai. Sufyan At-Tsauri meninggalkan pria tersebut. Ia dan ayahnya kemudian melanjutkan aktivitas ibadah haji. Keduanya terus merampungkan rangkaian ibadah haji hingga sampai di satu titik ayahnya jatuh sakit. Kesehatannya menurun tajam. Sufyan At-Tsauri berusaha keras untuk mengobati ayahnya yang sudah tua. Ia duduk di sisi kepala ayahnya. Tetapi ayahnya tidak tertolong. Ayahnya meninggal dunia. Tetapi betapa sedihnya Sufyan At-Tsauri ketika wafat wajah ayahnya menghitam.

“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Ayahku telah wafat dan wajahnya menghitam,” kata Sufyan At-Tsauri. Ia kemudian menarik ke atas kain yang dikenakan ayahnya sehingga kain tersebut menutupi wajah ayahnya.

Sufyan At-Tsauri terserang ngantuk yang hebat. Ia pun tertidur. Ia bermimpi melihat seorang laki-laki yang sangat tampan, berpakaian sangat bersih, dan beraroma sangat harum. Laki-laki ini melangkah mendekati ayah Sufyan At-Tsauri yang tengah disemayamkan sebelum dimakamkan. Ia membuka kain yang menutupi wajah almarhum dan kemudian mengusapnya. Seketika wajah almarhum yang menghitam berubah kembali putih cerah.

Ketika hendak meninggalkan persemayaman almarhum, Sufyan At-Tsauri memegang ujung baju pria tersebut.

 “Tuan ini siapa? Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu. Allah telah mengaruniakan anugerah-Nya kepada ayahku melalui tangan tuan di tanah yang asing ini,” tanya Sufyan At-Tsauri.

Aku Muhammad bin Abdullah, shahibul Qur’an. Ayahmu termasuk orang yang melewati batas terhadap dirinya. Tetapi ia memang orang yang banyak membaca shalawat kepadaku. Ketika kesulitan alam kubur menderanya, ia meminta tolong kepadaku. Aku adalah penolong orang-orang yang banyak membaca shalawat kepadaku,” jawab laki-laki tersebut.

“Aku pun terjaga dari tidurku. Dan aku senang mendapati wajah ayahku kembali putih,” kata Sufyan At-Tsauri.

Riwayat ini dikutip dari Kitab Kifayatul Atqiya karya Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, (Indonesia, Haramain: tanpa catatan tahun), halaman 119.

Wallahu a’lam.

SEBAIKNYA JANGAN LANGSUNG MINUM AIR SETELAH BERDZIKIR

Dasar perintah berdzikir adalah Al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala berfirman

 يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا (٤١) وَسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَّأَصِيْلًا (٤٢)

“Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang” (QS al-Ahzab[33]: 41-42).

Dzikir merupakan aktivitas ibadah yang senantiasa dijalankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam hal berdzikir, Rasulullah lebih banyak memberikan contoh secara langsung kepada para sahabat dan menunjukkan keutamaan-keutamaannya. Seperti hadits berikut ini, tidak ada penyebutan kata perintah secara eksplisit, namun menunjukkan betapa pentingnya dzikir bagi kehidupan manusia.

 لَايَقْعُدُوْنَ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالَى اِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ تَعَالَى فِيْمَنْ عِنْدَهُ رواه مسلم

“Tidaklah duduk dan berkumpul suatu kaum dengan mengingat Allah (berdzikir) kecuali mereka dikepung oleh para malaikat, diliputi rahmat, diberikan ketenangan, dan Allah mengingat siapa saja yang berada di tengah-tengah perkumpulan tersebut” (HR. Muslim).

Setiap manusia membutuhkan rahmat, ketenangan, dan kasih sayang Allah subhanahu wata’ala. Salah satu media yang dapat digunakan untuk meraih itu semua adalah dzikir.

Dzikir berasal dari kata dzakara-yadzkuru-dzikrun yang berarti menyebut, mengucapkan (asma Allah) (Kamus Al-Bisyri, h. 221). Dalam pengertian lain, dzikir dapat diartikan mengingat, memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran, mengenal atau mengerti (Amin Syukur, Terapi Hati, h. 59).

Beliau menambahkan bahwa dzikir dalam Al-Qur’an berarti juga membangkitkan daya ingat dan kesadaran, ingat terhadap hukum-hukum Allah, mengambil peringatan, dan meneliti proses alam. Adab Berdzikir Pada prinsipnya, tujuan berdzikir adalah untuk membersihkan hati dari segala penyakit, melembutkan yang keras, menjernihkan yang kotor, dan menenteramkan yang bergejolak. Para ulama telah mengajarkan bagaimana cara berdzikir yang benar lagi efektif.

Sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, dzikir juga memiliki ketentuan-ketenutan yang harus diperhatikan oleh siapa saja yang hendak berdzikir.

Menurut Sayyid Utsman al-Batawi Sayid Abu Bakr dalam kitab Kifayatul Atqiya menjelaskan bahwa salah satu adab berdzikir adalah tidak minum baik di tengah maupun setelah selesai berdzikir,

 وَيَنْبَغِيْ أَنْ لَا يَشْرَبَ الْمَاءَ عَقِبَهُ أَوْ أَثْنَائَهُ لِأَنَّ لِلذِّكْرِ حَرَارَةً تَجْلِبُ الْأَنْوَارَ وَالتَّجَلِيَّاتِ وَالْوَارِدَاتِ وَشُرْبُ الْمَاءِ يُطْفِئُ تِلْكَ الْحَرَارَةَ

“Sebaiknya (orang yang berdzikir) tidak minum setelah atau di tengah-tengah berdzikir. Karena seseungguhnya dzikir memiliki panas yang dapat menarik cahaya, manifestasi (kekuasaan) Allah, (petunjuk) yang datang saat itu. Minum air dapat memadamkan panas itu” (Sayid Abu Bakr, Kifayatul Atqiya, Indonesaia: Daru Ihya, hal. 107).

Panasnya dzikir dapat melelehkan kotoran-kotoran yang menempel pada dinding-dinding hati, sebagaimana api melelehkan karat yang menempel pada besi. Cara seperti ini juga pernah diajarkan dan dipraktikkan langsung oleh salah seorang mursyid Thariqah Tijaniyah di Brebes, KH Sofwan Tarsyudi. Setiap hari Jumat sore, tepatnya setelah shalat Ashar beliau dan jamaah melakukan dzikir bersama yang dikenal dengan hailalah. Walaupun pelaksanaannya dari ashar hingga maghrib, tapi beliau melarang kepada jamaah minum, hingga beberapa saat setelah selesai dzikir. Barangkali inilah salah satu contoh implementasi dari penjelasan Sayid Abu Bakr tersebut.

Bacaan-bacaan dzikir yang dibaca dalam ukuran waktu dan hitungan-hitungan tertentu diyakini dapat membakar segala kotoran yang menempel pada hati, yaitu hawa nafsu yang selalu mengajak kepada kesesatan. Oleh karenanya ketika hati sedang mengalami panasnya dzikir sebaiknya tidak didinginkan dengan air.

Lebih lanjut Sayid Abu Bakr menjelaskan adab-adab lain dalam berdzikir, di antaranya; dzikir hendaknya dilakukan dalam keadaan suci, menghadap kiblat, menetralkan hati dari urusan duniawi, menumbuhkan kecintaan kepada Allah, dan memejamkan mata, karena hal ini mempercepat dalam memperoleh cahaya hati. Beliau menambahkan sebaiknya dzikir dilakukan minimal satu jam lamanya, karena yang demikian ini adalah sebaik-baik cara dalam berdzikir. Hati adalah tempat berpadunya kebaikan dan kejahatan. Oleh karenanya sang pemilik hati harus menyadari kondisi hatinya di setiap waktu.

Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi dalam kitab Maraqi al-‘Ubudiyah menjelaskan,

 (إِعْلَمْ أن الصفاتِ المذمومةِ في القلب كثيرةٌ) لأن الإنسان إجتمع عليه أربعة أنواع من الأوصاف وهي السبعية والبهمية والشيطانية والربانية وكل ذالك مجموع في القلب

“Ketahuilah sesungguhnya dalam hati terdapat banyak sifat tercela. Karena dalam diri manusia terdapat 4 macam sifat, yaitu sabu’iyyah, bahimiyyah, syaithaniyyah, dan uluhiyyah. Kesemuanya itu terkumpul di dalam hati.” (Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi, Maraqi al-‘Ubudiyah, Semarang: Toha Putra, hal, 76).

Keempat sifat manusia berdasarkan penjelasan syekh Nawawi dapat dijabarkan sebagai berikut: Pertama, sabu’iyyah (binatang buas). Jika manusia dikuasai oleh sifat tersebut, maka bisa jadi dengan mudahnya ia mencelakai, membunuh dan mengorbankan orang lain demi kepentingannya sendiri.

Kedua, bahimiyyah (kebinatangan/jinak). Manusia yang dikuasai oleh nafsu ini akan cenderung rakus, tamak, dan tidak puas diri. Sifat ini memungkinkan mendorong kepada kejahatan, seperti mencuri, korupsi, menipu, dan sejenisnya.

Ketiga, syaithaniyyah (sifat setan). Setan merupakan makhluk Allah yang kebiasaannya menggoda dan menyesatkan umat manusia. Jika manusia memiliki sifat ini, tentu perbuatannya tidak jauh seperti setan, suka menggoda, dan menyesatkan orang lain.

Keempat, uluhiyyah (sifat ketuhanan). Sifat ketuhanan yang dimaksud adalah otoritas Tuhan yang tidak boleh ditiru oleh makhluk-Nya, seperti sombong, memaksa, berkuasa, dan sebagainya.

Dalam hal ini Amin Syukur, dalam bukunya Terapi Hati (2012: 27) membagi dua sifat, yaitu sifat jalaliyyah dan sifat jamaliyyah. Sifat jalaliyyah atau sifat keagungan dan keperkasaannya inilah yang tidak boleh ditiru oleh siapa pun. Adapun sifat yang boleh ditiru adalah sifat jamaliyyah (kelembutan)-Nya, seperti penyayang, pengasih, dermawan, pengampun dan sebagainya.

PENJELASAN ISTILAH UKURAN ATAU PARAMETER DALAM KITAB KUNING : MIQDAR, MIKYAL, MIZAN DAN MASAFAH

Miqdar, Mikyal, Mizan & Musafah

    1 Sha’    :    4     Mud : 3 Kg : 2 Bambu

    1 ’Araq    :    41,25    Liter

    1 Faraq    :    8,25    Liter

    1 Faqiz    :    22    Liter

    1 Qullah Air    :    95    Liter

    1 Mud    :    0,688    Liter : 750    Gram

    1 Wusuq    :    165,60    Liter : 180    Kg

    1 Awqiyyah Perak    :    126,8    Gram

    1 Daniq Perak    :    0,495    Gram

    1 Dirham Perak    :    2,975    Gram

    1 Mitsqal Emas    :    4,25    Gram

    1 Farsakh    :    5.544    Meter : 3 Mil

    1 Mil    :    1.848    Meter

    Musafah Qasar    :    16 Farsakh : 4 Burud : 34 Mil : 88.704 Meter

    Nisab Zakat Emas    :    85 Gram 24 ‘Iyar

    Nisab Zakat Perak    :    595 Gram

    Nisab Zakat Zuru’    :    900 Kg

    Kifarat Sumpah    :    10 Mud : 7,5 Kg

    Kifarat Jima’     :    60 Mud : 45 Kg

    Diyat Sempurna    :    1.000 Dinar : 4.259 Gram Emas

    Zakat Fitrah    :    1 Sha’ : 4 Mud : 3 Kg

    Nisab Mencuri    :    ¼ Dinar : 1 Gram 62 Mili

Sumber : KITAB “MA’LUMAT TAHAMMUK” Karya :Syaikh Nuruddin Al-Marbu Al-BAnjari Al-Makkiy

TAFSIR SURAT AL-IKHLAS DAN KEISTIMEWAAN MEMBACANYA

Surah al-Ikhlas memiliki banyak nama. Ada hampir 20 nama. Surah al-Muqasqisah, surah an-Najaah, al-Jamaal, al-Amaan, an-Nisbah dan lain-lain. Surah ini merupakan wahyu yang ke-19.

Pada wahyu-wahyu pertama, tidak disebut kata Allah tapi memakai kata rabb yang berarti Tuhan. Misalnya dalam surah al-Alaq 1-5, surah al-Mudatsir 1-7, dan seterusnya. Ini menjadi tanda tanya, mengapa pada wahyu pertama tidak disebut nama Allah?

Jawabnya sederhana, yakni karena kaum musyrik (penyekutu Tuhan) juga percaya Allah. Akan tetapi kepercayaan mereka tentang Allah berbeda dengan orang Islam. Orang Islam misalnya percaya bahwa Allah Maha Esa, Maha Suci, tidak memiliki anak dan tidak ada yang sama dengannya.

Karena ayat-ayat pertama turun hanya memakai lafal “rabb”, maka orang-orang Yahudi bertanya,

“Hai Muhammad, Kau selalu menyebut ‘rabb’, selalu menyebut nama ‘Tuhan’. Seperti apa sebetulnya Tuhan yang Kau maksud? Terbuat dari emaskah? Terbuat dari kayukah atau terbuat dari perak? Bagaimana Sifatnya?”

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah dan menyampaikan wahyu surah al-Ikhlas. Demikian sebagaimana disebutkan dalam kitab Tafsir at-Tabari.

    Kata “Ikhlas” di dalam Tafsir al-Mishbah dimaknai dengan suatu upaya menyingkirkan segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan Tuhan sehingga yang tersisa hanya gambaran tentang Tuhan. Misalnya anggapan manusia pada waktu itu yang menganggap Tuhan lebih dari satu, bahwa Tuhan memiliki anak dan lain sebagainya.

Surah al-Ikhlas bila diterjemahkan seperti demikian:

Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.

Allah adalah zat yang Maha Esa. Kata Esa merupakan terjemahan dari kata ahad. Di dalam bahasa Arab, ada kata ahad, ada kata wahid. Keduanya bermakna satu. Apa bedanya? Ahad dalam zatnya, dalam sifatnya dan dalam perbuatannya. Misalnya jam tangan yang dipakai seseorang ada satu. Jam tangan tersebut satu namun terdiri atas beberapa unsur. Jam tangan membutuhkan jarum dan beberapa bahan. Satu yang terdiri atas beberapa unsur seabagaimana contoh jam tangan menggunakan kata wahid. Sedangkan Tuhan yang Maha Esa tidak membutuhkan unsur yang lain untuk keesaannya. Inilah yang disebut dengan ahad.

Suatu riwayat disandarkan kepada Ibnu ‘Abbas ra, menyatakan bahwa ash-shamad berarti: “tokoh yang telah sempurna ketokohannya, mulia dan mencapai puncak kemuliaan, yang agung dan mencapai puncak keagungan, yang penyantun dan tiada yang melebihi santunannya, yang mengetahui lagi sempurna pengetahuannya, yang bijaksana dan tiada cacat dalam kebijaksanaannya.”

Al-Allamah Ismail Haqqy dalam Tafsir Ruhul Bayan menyebutkan bahwa kata ash-shamad yang berpola Fa’al maknanya berpola maf’ul. Maknanya yang dituju oleh siapa saja yang memohon pertolongan. Yakni, Allah adalah Tuan yang dituju, tempat bergantung segala sesuatu dan tempat memohon segala jenis permohonan. Selain Allah pasti membutuhkan Allah dalam seluruh aspeknya. Di alam raya ini tidak ada yang pantas dituju selain Allah.

Adapun makna dari firman Allah lam yalid wa lam yuulad, Ibnu ‘Abbas menafsirkan, bahwa makna dari firman Allah (لَمْ يَلِدْ) “Dia tiada beranak.” Adalah: Allah tidak beranak seperti halnya Maryam. (وَ لَمْ يُوْلَدْ) “dan tiada pula diperanakkan.” Yakni: Allah tidak diperanakkan seperti halnya ‘Isa dan ‘Uzair.

Ayat ini sekaligus menjadi sindiran terhadap orang-orang Nashrani dan Yahudi yang menganggap ‘Isa dan ‘Uzair adalah Anak Allah. Setiap yang terlahirkan pasti akan mati, dan setiap yang mati pasti akan mewariskan, sedangkan Allah tidak akan pernah mati dan tidak pula mewariskan.

(وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ) “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” Yakni: tidak ada yang menyerupai-Nya. “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” Adalah: Allah tidak serupa atau setara dengan siapapun, dan tidak ada yang dapat menyerupai atau menyetarakan-Nya.

Pada ayat yang terakhir ini terdapat taqdim dan ta’khir (kata yang “dimajukan” dan kata yang “diakhirkan”), di mana khabar kana (yaitu kata (كُفُوًا)) dimajukan terhadap isim kana (أَحَدٌ). Biasanya kalimat yang menyebutkan kata kana seperti ini, maka yang disebutkan setelahnya adalah isim-nya dahulu baru setelah itu khabar-nya. Namun untuk menyesuaikan irama akhir-akhirnya ayat agar terbentuk menjadi satu, maka khabar kana pada ayat ini diakhirkan, dan bentuk kalimat seperti ini merupakan bentuk bahasa yang sangat tinggi.

Demikianlah penjelasan singkat mengenai surah al-Ikhlas. Tujuan utama kehadiran Alquran adalah memperkenalkan Allah dan mengajak manusia untuk mengesakan-Nya serta patuh kepada-Nya. Surah ini memperkenalkan Allah dengan memerintahkan Nabi Muhammad untuk menyampaikan sekaligus menjawab pertanyaan sementara orang tentang Tuhan yang beliau sembah.

Surah al-Ikhlas memiliki beberapa khasiat. berikut adalah khasiat Surah al-Ikhlas. Pertama, orang yang membaca Surah al-Ikhlas lima puluh kali, ia akan mendapatkan panggilan masuk surga di hari kiamat. Jabir bin Abdullah  meriwayatkan bahwa Kanjeng Nabi Muhammad bersabda,

“Siapa yang membaca Surah al-ikhlas setiap hari 50 kali, maka pada hari kiamat, ia akan dipanggil dari kuburnya ‘Bangkitlah, wahai orang yang memuji Allah, dan masuklah ke dalam surga!” (HR. Thabrani).

Kedua, orang yang membaca surah al-Ikhlas sebanyak tujuh kali sesudah salat Jumat bersama-sama surah al-Falaq dan an-Nas, maka dirinya akan dijaga oleh Allah Swt, dari berbagai kejahatan sampai hari Jumat berikutnya.

Ketiga, surah al-Ikhlas, dikenal pula sebagai sepertiga Alquran, disebutkan dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari, Kanjeng Nabi Muhammad kepada para sahabatnya, “Apakah tidak ada yang mampu di antara kalian untuk membaca sepertiga Alquran dalam satu malam?”

Karena hal itu dirasa sulit bagi mereka, maka mereka menjawab, “Mana mungkin di antara kami ada yang mampu melakukannya, wahai Kanjeng Nabi?”

Rasulullah pun menjawab, “Qul huwa Allahu aḥad, Allahussamad adalah sepertiga Alquran.”

Keempat, keutamaan membaca surah al-Ikhlas adalah terhindar dari kefakiran. Cara pengamalannya adalah dengan membacanya setiap kali masuk rumah. Hal ini berdasarkan riwayat berikut, Rasulullah bersabda.

“Barang siapa membaca ‘Qul Huwallahu Ahad’ ketika akan masuk rumah, maka akan dijauhkan dari kefakiran dalam rumah dan tetangganya.” (HR. Ath-Thabrani dari Jarir ra).

Tentu saja masih ada banyak sekali khasiat membaca surah Al-Ikhlas yang tidak tertulis di sini. Wa ila-Allahi turja’ul umuur.

Referensi:

Tafsir Al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab

Al Jaami’ liahkamil Qur’an karya Imam al-Qurtubhy

Jami’ al-Bayan ’an ta’wil al-Qur’an karya Imam Al-Tabari

Tafsir Ruhul Bayan karya Al-Alamah Ismail Haqqy

MACAM- MACAM JENIS TIDUR DAN HAL-HAL YANG MENYEBABKAN FAQIR JUGA MISKIN

Macam – Macam Tidur

(فائدة)

النوم على سبعة أقسام نوم الغفلة ونوم الشقاوة ونوم اللعنة ونوم العقوبة ونوم الراحة ونوم الرحمة ونوم الحسرات أما نوم الغفلة فالنوم في مجلس الذكر ونوم الشقاوة النوم في وقت الصلاة ونوم اللعنة النوم في وقت الصبح ونوم العقوبة النوم بعد الفجر ونوم الراحة النوم قبل الظهر ونوم الرحمة النوم بعد العشاء ونوم الحسرات النوم في ليلة الجمعة اهـ من هامش الحصن الحصين

Allah menciptakan manusia dalam keadaan yang sangat sempurna, karena pada diri manusia terdapat dua unsur yang tidak dimilki oleh makhluk-makhluk lain yaitu akal dan nafsu, jika manusia dominan dipengaruhi akal niscaya ia naik tingkatan malaikat, namun jika sebaliknya dipengaruhi nafsu ia akan turun derajatnya dan akan lebih rendah dari hewan.

Sungguh Allah maha adil yang telah memberikan kita berbagai nikmat, salah satunya Allah menciptakan waktu-waktu yang dianjurkan untuk istirahat, bias dengan tidur atau yang lainya, diantara waktu-waktu untuk istirahat ada yang baik, namun ada juga yang kurang afdhal.

Berikut ini penjelasan TIDUR dari Al-‘alamah Syaikh Sulaiman bin Mansur, salah satu ulama bermazhab Syafi’i yang wafat pada tahun 1204 H.

Tidur Ada Tujuh Macam

  1. Tidur lalai
  2. Tidur celaka
  3. Tidur laknat
  4. Tidur siksaan
  5. Tidur senang (istirahat)
  6. Tidur rahmat
  7. Tidur rugi

Penjelasan :

1) Tidur lalai ialah tidur di majelis zikir/ilmu

2) Tidur celaka ialah tidur saat sudah waktu shalat

3) Tidur laknat ialah tidur di waktu subuh

4) Tidur siksaan ialah tidur sesudah fajar

5) Tidur senang (istirahat) ialah tidur sebelum zuhur

6) Tidur rahmat ialah tidur setelah Isya

7) Tidur rugi ialah tidur di malam Jum’at

Kitab Hasyiah Jamal Juz I Hal. 274

 

34 Sebab yang Menyebabkan Fakir-Miskin

  1. Tidur dalam keadaan telanjang
  2. Kencing dalam keadaan telanjang
  3. Makan dalam keadaan berjunub
  4. Makan sambil tiduran
  5. Membiarkan berserakannya sisa makanan.
  6. Membakar kulit bawang merah dan bawang putih.
  7. Menyapu lantai dengan sapu tangan.
  8. Menyapu rumah di malam hari
  9. Membiarkan sampah mengotori rumah.
  10. Memanggil orangtua dengan nama keduanya.
  11. Mencongkel gigi dengan benda kasar.
  12. Mencuci tangan dengan lumpur dan debu.
  13. Duduk di beranda pintu.
  14. Besandar pada kaki gawang pintu.
  15. Berwudhu’ di tempat Qada hajat (Buang air besar dan kecil).
  16. Menjahit pakaian yang sedang dipakai.
  17. Mengelap wajah dengan kain.
  18. Membiarkan sarang laba-laba dirumah.
  19. Meremehkan shalat.
  20. Bersegera keluar dari mesjid sesudah shalat subuh.
  21. Pergi ke pasar di pagi buta.
  22. Berlama-lama di pasar.
  23. Membeli potongan makanan dari fakir yang meminta (mengemis).
  24. Berdoa keburukan kepada anak.
  25. Mematikan lampu (lilin) dengan cara meniup.
  26. Menulis dengan pena rusak.
  27. Menyisir rambut dengan sisir rusak.
  28. Tidak mau berdoa dengan kebagusan bagi orang tua.
  29. Memakai sorban sambil duduk.
  30. Memakai celana sambil berdiri.
  31. Bersikap kikir.
  32. Terlalu hemat.
  33. Berlebihan dalam kehidupan.
  34. Suka menunda dan meremehkan pekerjaan.

Sumber : Kitab Ta’lim Muta’alim hal.43-44

WALAUPUN KEINGINAN DAN HAJAT TERTUNDA JANGANLAH BERPUTUS ASA

لا يكن تأخر أمد العطاء مع الإلحاح في الدعاء – موجبا ليأسك ؛ فهو ضمن لك الإجابة فيما يختاره لك لا فما تختار لنفسك وفي الوقت الذي يريد ، لا في الوقت الذي تريد

Janganlah engkau putus asa karena tertundanya pemberian, padahal engkau telah mengulang-ulang doa. Allah menjamin pengabulan doa sesuai dengan apa yang Dia pilih untukmu, bukan menurut apa yang engkau pilih sendiri, dan pada saat yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang engkau ingini.

Di antara syarat diterimanya doa adalah apabila dilaksanakan dengan penuh harapan dan tidak berputus asa. Belum terkabulnya doa seorang hamba, padahal ia telah berulang-ulang berdoa jangan sampai menjadikannya putus asa, karena Allah berfirman,

”Berdoalah kalian kepada-Ku maka Aku akan mengabulkanmu.” (Ghâfir: 60)

Allah SWT. akan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya. Namun demikian, terkabulnya doa tidaklah terikat dengan kemauan si hamba akan tetapi lebih terikat dengan kehendak dan rencana Allah. Karena Allah Maha Mengetahui akan kondisi hamba-hamba-Nya; terkadang Allah menolak permintaan seorang hamba, karena memang yang terbaik adalah tidak terkabulnya doa itu. Dalam konteks ini, ketika Allah menolak suatu doa sebenarnya secara tersirat memberi, sebagaimana dikatakan oleh syaikh Atha’, ”Ketika Allah menolak sebuah permintaan sebenarnya memberi dan ketika memberi sebenarnya menolak.” Untuk memperkuat pandangan ini, simaklah ayat berikut ini,

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (216)

”Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Maha Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)

Penolakan Allah dalam merealisasikan suatu doa, mempunyai substansi pemberian yang tepat bagi manusia. Demikian juga, Dia mengabulkan sebuah doa pada waktu yang ditentukan-Nya, bukan pada waktu yang engkau tentukan. Jadilah seperti Musa yang sabar, karena sabar dan tidak tergesa-gesa merupakan sifat yang utama bagi seorang hamba. Simaklah kisah Musa dan Harun yang berdoa agar Fir’aun dan kaumnya beriman kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, ”Ya Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau.” (Yûnus: 88) Sampai akhir ayat yang mengisahkan tentang permohonan Musa dan Harun agar kaumnya beriman kepada Allah, dan ternyata permohonan itu baru dikabulkan setelah empat puluh (40) tahun berlalu, sebagaimana firman Allah berikutnya,

”Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu teteplah kalian berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui.” (Yûnus: 89)

Dalam sebuah hadits disebutkan, ”Sesungguhnya Allah menyukai kesabaran dalam doa.”

Juga dalam hadits lain disebutkan, ”Sesungguhnya hamba yang shaleh apabila berdoa kepada Allah, malaikat Jibril berkata: Wahai Tuhanku, hamba-Mu fulan telah berdoa, maka kabulkanlah. Kemudian Allah berfirman: Berdoalah wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku senang mendengar suaramu.”

Demikianlah, tata krama dalam berdoa yang telah ditunjukkan oleh Allah agar menjadi pedoman bagi umat Islam. Terkadang Allah mengabulkan atau mengganti dengan hal lain yang notabene merupakan kebaikan dan tambahan yang lebih baik.

HUKUM BERPARTAI DAN GAJIH DARI PARTAI YANG LAMA DAN BARU

Tahun ini di negara kita banyak bermunculan berbagai partai baru, sehingga situasi seperti ini telah dibuat kesempatan oleh sebagian warga yang berkedudukan di partai lama, ikut bekecimpung dalam partai baru.

Pertanyaan :

  1. Bagaimana hukumnya kita berpartai ?.
  2. Bagaimana hukum mengambil gaji dari partai lama, padahal ia sudah berkecimpung dalam partai lain ?.
  3. Dan bagaimana hukumnya menerima gaji dari partai baru ?.

Jawaban a. :

Hukumnya Fardlu Kifayah, kalau memang :

  1. Berpartisipasi.
  2. Partainya bertujuan menegakkan agama Islam.
  3. Tidak menimbulkan perpecahan, sedangkan simpati pada partai tersebut hukumnya Fardlu ‘Ain.

Referensi :

1. Fatawa Syaikh Kisyik Juz.I Hal.141.

  1. Syarhul Jadid Li Jauharotit Tauhid Hal. 157.
  2. Imamatul ‘Udhma Hal. 158.
  3. Bughyatul Mustarsyidin Hal. 251.
  4. Wahdatul Ummah Al Islamiyyah Hal. 48 – 49.

1-وفى فتاوى الشيخ كشك للشيخ عبد الحميد كشك ما نصه :

موقف الإسلام من الأحزاب ليس رفضا مطلقا او اباحة مطلقة انما يتحدد الموقف من الأحزاب السياسية فى النظرة الإسلامية بالموقف الذى تفقه هذه الأحزاب ذاتها من مبادئ الإسلام السياسية والإقتصادية والإجتماعية وبصفة عامة مبادئ الإسلام المتعلقة بتنظيم الحياة العامة فى الدولة وقد سئل ابن تيمية عن موقف الإسلام من الأحزاب السياسية فأجاب بأن الأحزاب التى تدعو الى خير وحق ويؤدى وجودها الى تحقيق مصالح الناس تدخل فى نطاق قوله تعالى عن المؤمنين {أولئك حزب الله ألا ان حزب الله هم المفلحون} وان الأحزاب التى

تقوم على محاداة الله ورسوله تدخل فى وصف الله سبحانه وتعالى للضالين بأنهم {حزب الشياطين}.

2-وفى شرح الجديد لجوهرة التوحيد ما نصه :

المعنى أنه يجب وجوبا كفائيّا على جماعة المسلمين أن ينصبوا عليهم إماما يقوم بتنفيذ أحكامهم وإقامة حدودهم وسدِّ ثُغورهم . وتجهيز جيوشهم وأخذ صدقاتهم وقهر المتغلّبة والمتلصّصة وقطّاع الطريق واقامة الجمعة والاعياد وقطع المنازعات الواقعة بين العباد وقبول الشهادات القائمة على الحقوق وتزويج الصغار والصغائر الذين لا أولياء لهم وقسمة الغنائم اهـ.

3-وفى إمامة العظمى ما نصه :

قلنا الإمامة وسيلة الى إقامة الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر بمفهومه الواسع – وهذا واجب على أفراد الأمة الإسلامية حيث انه لا يمكن به على وجه الأكمل إلا بعد تنصيب إمام للمسلمين يقودهم وينظمونهم طريق الوصول الى القيام بهذا الواجب اهـ.

4-وفى بغية المسترشدين للسيد عبد الرحمن بن محمد بن حسين بن عمر ما نصه :

{مسئلة ج} ونحوه أى الأمر بالعروف والنهي عن المنكر قطب الدين فمن قام به من أيّ المسلمين وجب على غيره إعانته ونصرته ولا يجوز لأحد التقاعد عن ذلك والتغافل عنه وإن علم أنه لا يفيد.

5-وفى وحدة الأمة الإسلامية للشيخ الدكتور زكريا عبد الرزاق المصري ما نصه :

وعند ما تغفل الأمة عن قضية الولاء فيما بينها يدب فيها الضعف والتفكك فيطمع فيها الأعداء على اختلاف أصنافهم ومذاهبهم وتياراتهم للإجهاز على هذه الأمة وتقطيع أوصالها وتحويلها الى خلايا حية فى أجساد أعدائها كما تتحول الأطعمة فى المائدة الى خلايا فى جسد المتحلقين عليها من الأكلين كما أخبر النبى صلى الله عليه وسلم  عن هذه الحقيقة الصارخة والماثلة امام أعيننا بكل وضوح نحس بها فى الليل وفى النهار فى السر وفى العلانية بقوله :

” يوشك أن تداعى عليكم الأمم كما تداعى الأكلة الى قصعتها قالوا : أمن قلة نحن يومئذ يا رسول الله ؟ قال : بل أنتم كثير ولكنكم غثاء كغثاء السيل – اى مفككون لا محبة ولا مناصرة فيما بينكم – ولينـزعن الله المهابة من صدور عدوكم منكم وليقذفن الله فى قلوبكم الوهن، قيل : وما الوهن يا رسول الله، قال : حب الدنيا وكراهية الموت “، وحب الدنيا يؤدى الى التنافس عليها مما يجر الى التباغض بين المتنافسين، وكراهية الموت يؤدى الى الجبن عن التناصر حبا فى السلامة، فيكون الضعف والهوان والذل وطمع العدو فيهم بسبب زوال هيبة المؤمنين من قلوب أعدائهم بتعدد ولائهم وتفكك أواصرهم وانفصال أجزاء جسدهم بعضها عن بعض فيتجرأ عليهم العدو كما تتجرأ القطط على سبع مقطع الأوصال لا رأس له ولا أطراف .

ومن هنا جاء النكير الشديد فى القرآن الكريم وفى السنة النبوية على الفرقة والنـزاع والخلاف المؤدى الى التناحر والتدابر والتكفي والإستنصار على المؤمنين بغير المؤمنين لما يؤدى اليه ذلك من هدم كيان الأمة وتطويعه للكفر وأهله .اهـ

*) Catatan :

    Membentuk pimpinan hukumnya Fardlu Kifayah, sedangkan di negara kita – Indonesia – partai adalah satu-satunya sarana untuk membentuk pimpinan sekaligus sebagai salah satu sarana Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang efektif terhadap pemerintah karena DPR sebagai kepanjangan tangan partai kedudukannya seimbang dengan pemerintah. Kesimpulan inilah yang dibuat acuan jawaban diatas وللوسائل حكم المقاصد  .

Jawaban b. :

  • Hukumnya HALAL, apabila gajinya dari pemerintah.
  • Dan HARAM, kalau memang gajinya dari donatur yang menyaratkan tidak berkecimpung pada partai lain.

Referensi : 1. Ihya’ ‘Ulumuddin Juz II  hal. 153.

  1. Bughyatul Mustarsyidin Hal. 273.
  2. Hamisy syarhirroudl Juz II Hal. 412.
  3. Al Majmu’ Juz III Hal. 127.

1-وفى إحياء علوم الدين للإمام الغزالى  ما نصه :

ولنفرض المال من الأموال المصالح كأربعة أخماس الفيء والموارث فإنما أداه مما قد تعين مستحقه إن كان من وقف أو صدقة أو خمس فيء أو خمس غنيمة وما كان من ملك السلطان مما أحياه أو اشتراه فله أن يؤتي ما شاء لمن شاء ، وانما النظر فى الأموال الضائعة وما للمصالح فلا يجوز صرفه إلا الى من فيه مصلحة عامة أو هو محتاج اليه عاجز عن الكسب فأما الغني الذى لا مصلحة فيه فلا يجوز صرف مال بيت المال اليه هذا هو الصحيح وإن كان العلماء قد اختلفوا فيه اهـ

2-وفى بغية المسترشدين للسيد عبد الرحمن بن محمد بن حسين بن عمر  ما نصه :

{مسئلة ى} أرزاق القضاة كغيرهم من القائمين بالمصالح العامة من بيت المال يعطى كل منهم قدر كفايته اللائقة من غير تبذير فإن لم يكن أو استولت عليه يد عادية ألزم بذلك مياسير المسلمين وهم من عنده زيادة على كفاية سنة .

3-وفى هامش شرح الروض ما نصه :

لو استأجر بالإمامة ولو لنافلة كالتراويح لم يصح (قوله لو استأجر إلى آخره) ظن بعضهم أن الجامكية على الإمامة والطلب ونحوهما من باب الإجارة حتى لا يستحق شيئا إذا أخل ببعض آياته أو الصلاة وليس كذلك بل هو من باب الإرصاد . والأرزاق المبني على الإحسان والمسامحة بخلاف الإجارة فإنها من باب المعاوضة ولهذا يمتنع أخذ الأجرى على القضاء ويجوز أرزاقه من بيت المال عن الإجتماع .

4-وفى المجموع على شرح المهذب للإمام زكريا محى الدين بن شرف النووى  ما نصه :

قال صاحب الذخائر : الفرق بين الرزق والأجرة أن الرزق أن يعطيه كفايته هو وعياله والأجرة ما يقع به التراضى .

Jawaban c :

dapat difaham pada jawaban B.

HUKUM MEMBACA AL-QUR’AN TULISAN LATIN BAGI YANG TIDAK BISA MEMBACA ARAB

Banyak beredar di masyarakat buku-buku Yasin Tahlil yang juga menggunakan tulisan latin. Dengan tujuan untuk membantu orang-orang yang tidak mampu membaca tulisan Arab.

Pertanyaan: Bagaimana hukumnya membaca Qur’an tapi dengan bantuan tulisan latin karena sudah tua dan hanya bisa baca tulisan latin?

Jawaban:

Al Qur’an tidak boleh ditulis dengan bahasa latin, karena huruf selain arab tidak bisa mewakili sepenuhnya dengan huruf-huruf arab sementara membaca al qur’an harus sesuai dengan bahsanya (Arab)

Catatan:

Bagi orang yang tidak mampu membaca tulisan Arab (Al Qur’an) KARENA SUDAH TUA DAN TIDAK BISA BELAJAR LAGI, sebaiknya mengikuti bacaan orang yang fashih bacaanya atau dengan cara diimami oleh orang yang bacaanya fasih.

الفتاوى الفقهية الكبرى – (ج 1 / ص 37)

وَسُئِلَ نَفَعَ اللَّهُ بِعُلُومِهِ هل تَحْرُمُ كِتَابَةُ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ بِالْعَجَمِيَّةِ كَقِرَاءَتِهِ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ قَضِيَّةُ ما في الْمَجْمُوعِ عن الْأَصْحَابِ التَّحْرِيمُ وَذَلِكَ لِأَنَّهُ قال وَأَمَّا ما نُقِلَ عن سَلْمَانَ رضي اللَّهُ عنه أَنَّ قَوْمًا من الْفُرْسِ سَأَلُوهُ أَنْ يَكْتُبَ لهم شيئا من الْقُرْآنِ فَكَتَبَ لهم فَاتِحَةَ الْكِتَابِ بِالْفَارِسِيَّةِ فَأَجَابَ عنه أَصْحَابُنَا بِأَنَّهُ كَتَبَ تَفْسِيرَ الْفَاتِحَةِ لَا حَقِيقَتَهَا ا هـ

 فَهُوَ ظَاهِرٌ أو صَرِيحٌ في تَحْرِيمِ كِتَابَتِهَا بِالْعَجَمِيَّةِ فَإِنْ قُلْت كَلَامُ الْأَصْحَابِ إنَّمَا هو جَوَابٌ عن حُرْمَةِ قِرَاءَتِهَا بِالْعَجَمِيَّةِ الْمُتَرَتِّبَةِ على الْكِتَابَةِ بها فَلَا دَلِيلَ لَكُمْ فيه قُلْت بَلْ هو جَوَابٌ عن الْأَمْرَيْنِ وَزَعْمُ أَنَّ الْقِرَاءَةَ بِالْعَجَمِيَّةِ مُتَرَتِّبَةٌ على الْكِتَابَةِ بها مَمْنُوعٌ بِإِطْلَاقِهِ فَقَدْ يُكْتَبُ بِالْعَجَمِيَّةِ وَيُقْرَأُ بِالْعَرَبِيَّةِ وَعَكْسُهُ فَلَا تَلَازُمَ بَيْنَهُمَا كما هو وَاضِحٌ وإذا لم يَكُنْ بَيْنَهُمَا تَلَازُمٌ كان الْجَوَابُ عَمَّا فَعَلَهُ سَلْمَانُ رضي اللَّهُ عنه في ذلك ظَاهِرًا فِيمَا قُلْنَاهُ على أَنَّ مِمَّا يُصَرَّحُ بِهِ أَيْضًا أَنَّ مَالِكًا رضي اللَّهُ عنه سُئِلَ هل يُكْتَبُ الْمُصْحَفُ على ما أَحْدَثَهُ الناس من الْهِجَاءِ فقال لَا إلَّا على الْكَتْبَةِ الْأُولَى أَيْ كَتْبَةِ الْإِمَامِ وهو الْمُصْحَفُ الْعُثْمَانِيُّ قال بَعْضُ أَئِمَّةِ الْقُرَّاءِ وَنَسَبْتُهُ إلَى مَالِكٍ لِأَنَّهُ الْمَسْئُولُ وَإِلَّا فَهُوَ مَذْهَبُ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ

 قال أبو عَمْرٍو وَلَا مُخَالِفَ له في ذلك من عُلَمَاءِ الْأُمَّةِ وقال بَعْضُهُمْ وَاَلَّذِي ذَهَبَ إلَيْهِ مَالِكٌ هو الْحَقُّ إذْ فيه بَقَاءُ الْحَالَةِ الْأُولَى إلَى أَنْ يَتَعَلَّمَهَا الْآخَرُونَ وفي خِلَافِهَا تَجْهِيلُ آخِرِ الْأُمَّةِ أَوَّلَهُمْ وإذا وَقَعَ الْإِجْمَاعُ كما تَرَى على مَنْعِ ما أَحْدَثَ الناس الْيَوْمَ من مِثْلِ كِتَابَةِ الرِّبَا بِالْأَلْفِ مع أَنَّهُ مُوَافِقٌ لِلَفْظِ الْهِجَاءِ فَمَنْعُ ما ليس من جِنْسِ الْهِجَاءِ أَوْلَى وَأَيْضًا فَفِي كِتَابَتِهِ بِالْعَجَمِيَّةِ تَصَرُّفٌ في اللَّفْظِ الْمُعْجِزِ الذي حَصَلَ التَّحَدِّي بِهِ بِمَا لم يَرِدْ بَلْ بِمَا يُوهِمُ عَدَمَ الْإِعْجَازِ بَلْ الرَّكَاكَةَ لِأَنَّ الْأَلْفَاظَ الْعَجَمِيَّةَ فيها تَقْدِيمُ الْمُضَافِ إلَيْهِ على الْمُضَافِ وَنَحْوُ ذلك مِمَّا يُخِلُّ بِالنَّظْمِ وَيُشَوِّشُ الْفَهْمَ

 وقد صَرَّحُوا بِأَنَّ التَّرْتِيبَ من مَنَاطِ الْإِعْجَازِ وهو ظَاهِرٌ في حُرْمَةِ تَقْدِيمِ آيَةٍ على آيَةٍ كِتَابَةً كما يَحْرُمُ ذلك قِرَاءَةً فَقَدْ صَرَّحُوا بِأَنَّ الْقِرَاءَةَ بِعَكْسِ السُّوَرِ مَكْرُوهَةٌ وَبِعَكْسِ الْآيَاتِ مُحَرَّمَةٌ وَفَرَّقُوا بِأَنَّ تَرْتِيبَ السُّوَرِ على النَّظْمِ الْمُصْحَفِيِّ مَظْنُونٌ وَتَرْتِيبُ الْآيَاتِ قَطْعِيٌّ

 وَزَعْمُ أَنَّ كِتَابَتَهُ بِالْعَجَمِيَّةِ فيها سُهُولَةٌ لِلتَّعْلِيمِ كَذِبٌ مُخَالِفٌ لِلْوَاقِعِ وَالْمُشَاهَدَةِ فَلَا يُلْتَفَتُ لِذَلِكَ على أَنَّهُ لو سَلِمَ صِدْقُهُ لم يَكُنْ مُبِيحًا لِإِخْرَاجِ أَلْفَاظِ الْقُرْآنِ عَمَّا كُتِبَتْ عليه وَأَجْمَعَ عليها السَّلَفُ وَالْخَلَفُ

شرح البهجة الوردية – (ج 2 / ص 85)

( فَرْعٌ ) يَجُوزُ كِتَابَةُ الْقُرْآنِ بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ وَلَهَا حُكْمُ الْمُصْحَفِ فِي الْمَسِّ وَالْحَمْلِ دُونَ قِرَاءَتِهِ وَيَحْرُمُ جَعْلُ أَوْرَاقِهِ وِقَايَةً لِغَيْرِهِ نَعَمْ لَا يَحْرُمُ الْوِقَايَةُ بِوَرَقَةٍ مَكْتُوبٍ فِيهَا نَحْوُ الْبَسْمَلَةِ ق ل وَظَاهِرٌ أَنَّ مَحَلَّهُ إذَا لَمْ يَقْصِدْ امْتِهَانَهُ أَوْ أَنَّهُ يُصِيبُهَا الْوَسَخُ لَا مَا فِيهَا وَإِلَّا حَرُمَ بَلْ قَدْ يَكْفُرُ سم عَلَى التُّحْفَةِ .

ا هـ

TANGGUNG JAWAB SIAPA KALAU BARANG PESANAN RUSAK KETIKA DI KIRIM

Beberapa kali kita mendengar adanya musibah. Segala musibah sudah menjadi ketentuan Allah ﷻ. Manusia hanya bisa berencana, namun Allah ﷻ jua yang menjadi penentu akhirnya.

Dalam setiap musibah, selalu ada saja korban. Tidak hanya nyawa, namun harta benda juga terpaksa melayang. Akibat gempa bumi, banyak bangunan rusak berat, termasuk gudang tempat penyimpanan barang dagangan ikut hancur sehingga barang-barang dagangan pun menjadi ikut hancur karenanya.

Pada musibah lain seperti kapal tenggelam, terkadang banyak melibatkan barang dagangan milik pedagang dari pulau seberang juga ikut raib karenanya. Tidak hanya puluhan juta, bahkan kadang mencapai ratusan juta hilang melayang. Itulah takdir Allah ﷻ. Sekali lagi, semua musibah ini mengingatkan kita akan sifat lemah seorang hamba di hadapan kemahakuasaan-Nya.

Yang sering menyisakan persoalan, adalah apabila terjadi musibah kapal tenggelam yang melibatkan raibnya harta pedagang sebelum sampai diterima oleh pemesan adalah siapakah sejatinya yang memiliki tanggung jawab/kewajiban untuk mengganti barang tersebut? Apakah pihak pemesan barang, ataukah pihak pedagang? Inilah yang akan menjadi fokus kajian fiqih muamalah kita kali ini. Tujuan kajian ini hanyalah berusaha mendudukkan fiqih sebagai wasit yang menengahi antara pedagang dan pembeli.

Sebelum kita mengupas mengenai hukum barang yang ikut raib dalam suatu musibah, terlebih dahulu kita perlu memerinci cara-cara pembeli dalam memesan barang. Setidaknya ada beberapa cara yang biasa dilakukan oleh pembeli dewasa ini dalam memesan barang, yaitu:

  1. Pemesanan via telepon langsung ke pihak pedagang supplier. Pemesanan via ini tidak syak lagi adalah dilakukan dengan jalan akad salam. Pemesan hanya menunjukkan daftar barang yang dipesan, selanjutnya meminta agar pihak supplier mengirimkan barang dagangan lewat jasa layanan transportasi/ekspedisi yang diinformasikan oleh pedagang pembeli.
  2. Pemesanan via telepon melalui wakil untuk diteruskan via pedagang supplier. Pemesanan via ini biasanya masuk kelompok akad wakalah. Pemesan melalui wakilnya mendatangi pedagang supplier dan menyerahkan daftar harga, kemudian barang diterima oleh wakil untuk dikirimkan via ekspedisi yang ditunjuk oleh pedagang pemesan.
  3. Pemesanan via telepon melalui makelar. Pemesanan via ini biasanya masuk kelompok akad samsarah. Pemesan biasanya meminta kepada seorang makelar untuk mencarikan barang sebagaimana daftar yang dibutuhkan, yang selanjutnya pihak makelar menentukan harga masing-masing barang tersebut.

Berdasarkan tipologi cara pemesanan pedagang pembeli ke pedagang supplier ini, maka selanjutnya kita bisa memilah hukum dari masing-masing tipologi pemesanan terhadap status barang yang dibeli. Sebelum lebih jauh melangkah ke hukum, ada sebuah kaidah dasar dalam ilmu fiqih, sebagaimana disampaikan Syekh Zainuddin al-Malaibary dalam kitabnya Fathu al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain berikut ini:

المبيع قبل قبضه من ضمان البائع

Artinya: “Barang dagangan sebelum diterima oleh pembeli adalah jaminan penjual.” (Zainuddin al-Malaibary, Fathu al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain, Surabaya: Al-Hidayah, tt., 70).

Berdasarkan kaidah ini, status barang yang masih dalam proses pengiriman, pada dasarnya adalah merupakan tanggung jawab pedagang supplier. Alasan sederhananya adalah karena barang tersebut belum sampai ke tangan pedagang pembeli, sehingga statusnya masih merupakan milik pedagang supplier. Jika suatu ketika terdapat kerusakan yang terjadi pada barang dagangan akibat cacat atau rusak karena pengiriman, maka cacat dan kerusakan itu adalah tanggung jawab dari pedagang supplier. Dan bila pedagang supplier tidak menjamin atas barang tersebut, maka akad jual beli otomatis menjadi fasakh (rusak) sehingga pedagang supplier wajib mengembalikan harganya kepada pembeli. Hal ini berdasar kelanjutan dari Syekh Zainuddin al-Malaibary di atas sebagai berikut:

بمعنى انفساخ البيع بتلفه أو إتلاف بائع وثبوت الخيار بتعيبه أو تعييب بائع أو أجنبي وبإتلاف أجنبي فلو تلف بآفة أو أتلفه البائع: انفسخ البيع

Artinya: “[Barang dagangan yang belum diterima pembeli termasuk jaminan pedagang supplier], maknanya adalah rusaknya akad jual beli adalah sebab rusaknya barang dagangan atau rusak oleh pedagang supplier sendiri. Tetapnya khiyar (mengembalikan barang) adalah (bergantung) pada sebab kecacatan barang, atau kecacatan yang disebabkan pedagang atau cacat akibat keteledoran orang lain atau bahkan cacat akibat dirusak orang lain. Oleh karena itu, bila barang rusak akibat suatu bencana atau rusak akibat keteledoran pedagang sendiri, maka rusaklah akad jual beli.” (Zainuddin al-Malaibary, Fathu al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain, Surabaya: Al-Hidayah, tt., 70).

Ibarat terakhir ini secara tegas menetapkan bahwa barang dagangan yang belum sampai ke pembeli dan rusak akibat adanya bencana (âfât), adalah merupakan bagian dari jaminan pedagang supplier sehingga pihak pedagang pembeli bisa mengajukan khiyar batalnya akad jual beli dan meminta kembali harga yang sudah diserahkan.

Bagaimana bila barang tersebut dibebankan kepada pedagang pembeli? Abu Ishaq Al-Syairazy dalam Al-Tanbīh fi al-Fiqhi al Imâm al-Syâfi’iy menjawabnya sebagai berikut:

لا يدخل المبيع في ضمان المشتري الا بالقبض ولا يستقر ملكه عليه الا بالقبض فان هلك قبل القبض انفسخ البيع

Artinya: “Barang dagangan tidak bisa masuk dalam jaminan pembeli kecuali lewat penerimaan. Status kepemilikan barang belum bisa ditetapkan padanya kecuali lewat penerimaan. Dan jika terjadi kerusakan sebelum penerimaan pembeli, maka rusak akad jual belinya.” (Abu Ishaq al-Syairazy, al-Tanbih fi al-Fiqhi al-Imâm al-Syâfi’iy, Beirut: Daru al-Kutub al-Ilmiyah, tt.: 1/87)

Berdasarkan keterangan ini, maka tetap sudah bahwa barang yang belum diterima oleh pedagang pembeli, adalah tidak bisa dibebankan kepada pedagang pembeli tersebut. Sepenuhnya barang yang masih ada dalam proses ekspedisi atau pengiriman adalah tanggung jawab supplier itu sendiri.

Apakah tanggung jawab pedagang supplier ini berlaku untuk ketiga jenis tipologi pemesanan barang sebagaimana sudah diungkapkan di atas?

Sebagaimana diketahui bahwa tipologi pemesanan barang yang pertama adalah dengan akad salam. Pada akad salam, transaksi jual beli terjadi secara langsung antara pedagang dan pembeli tanpa adanya pihak yang memperantarai. Penerimaan barang disampaikan via jasa ekspedisi pengiriman yang bisa dipilih dan disepakati bersama oleh pedagang ataupun pembelinya. Sifat kepemilikan barang oleh pembeli pemesan, adalah ditetapkan manakala barang tersebut telah sampai ke tangannya. Dengan demikian, selama dalam perjalanan itu, maka barang adalah masih status kepemilikan pedagang supplier, sehingga bila terjadi bencana di tengah pengiriman, maka pedagang supplier-lah yang menjadi penjamin barang tersebut.

Hal ini berbeda manakala pihak pedagang pembeli menyuruh orang sebagai wakilnya untuk membelikan barang. Bilamana hal ini terjadi, maka ketika wakil menerima barang, maka saat itu status kepemilikan barang sudah menjadi milik pihak yang mewakilkan yang diterima lewat tangan wakil. Bila terjadi kerusakan atau bencana dalam masa pengiriman oleh wakil, maka pihak pedagang pembeli sendirilah yang bertanggung jawab atas barang miliknya. Dengan demikian, pihak pedagang supplier bisa lepas tangan terhadap kerusakan barang.

Berbeda manakala pihak pedagang pembeli meminta bantuan makelar (samsarah). Karena pihak samsarah berperan mengambil harga baru terhadap barang dagangan yang dipesan oleh pembeli, maka bila terjadi kerusakan atau bencana dalam pengiriman barang sehingga barang tidak sampai kepada pembeli, pihak makelar-lah yang bertanggung jawab atas jaminan barang tersebut. Hal ini disebabkan kedudukan makelar tidak bisa disamakan dengan wakil. Status wakil adalah sama dengan muwakkil (orang yang mewakilkan). Ia digaji oleh orang yang mengangkatnya sebagai wakil dan hanya bertugas mewakilinya dalam akad transaksi. Sementara pihak samsarah seolah berperan sebagai pedagang baru yang menengahi antara supplier dengan pihak pedagang pembeli.

Wallahhu a’lam bish shawab.

HIKMAH PENCIPTAAN SYAITAN DAN CARA MENGHADAPI TIPUDAYANYA

Hikmah Diciptakannya Setan

Tiada Allah menciptakan sesuatu dengan manfaat dan tujuannya. Begitupun dengan penciptaan setan. Mungkin sebagian orang menganggap setan tiada guna, hanya karena setan selalu menjerumuskan anak Adam ke jalan yang kurang baik. Yang perlu diketahui adalah bahwa setan yang tidak pernah lepas dari manusia, sebab dia yang paling bersemangat menghancurkan orang yang taat kepada Allah.

Sebab itulah Ibnu Athaillah As Sakandari menuliskan petuah bijaknya dalam kitab “Al Hikam” sebagai berikut:

جعله لك عدوا ليوحشك به إليه وحرك عليك النفس ليدوم إقبالك عليه

“Allah menjadikan setan sebagai musuhmu agar kau benci kepadanya dan berlindung kepada-Nya. Dia juga tetap menggerakkan nafsumu supaya kau selalu menghadap kepada-Nya”

Dalam kitab tersebut disebutkan juga jika setan memang musuh yang nyata bagi segenap manusia. Namun yang seperti itu dimaksudkan agar kau benci kepadanya, dan selalu memohon perlindungan kepada Allah semata. Manusia sadar jika ia tidak akan mampu menghadapi setan sendirian, karena itu ia terdorong untuk meminta bantuan kepada sang Maha Kuat dan Maha Perkasa.

Permusuhan itulah yang mengembalikan manusia kepada Allah. manusia menjadi lebih dekat dan selalu bergantung hanya kepada Allah. inilah tujuan utama diciptakannya setan sebagai musuh manusia. Namun gambaran di atas tidak berlaku kepada manusia yang sudah mengarahkan tekadnya kepada yang Maha Haq, karena manusia yang masuk golongan ini sudah terbiasa menggantungkan dirinya kepada Allah. tidak lagi butuh ‘musuh’ untuk menjadikannya kembali kepada Allah. sebagaimana tersurat dalam QS An Nahl ayat 99:

إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya”

Allah juga menggerakkan nafsu setiap manusia agar selalu menghadap kepada-Nya. Manusia tidak akan mampu melawan hawa nafsunya dan mengekang gelora yang sudah menyatu dengan darah dagingnya kecuali berlindung kepada Dzat yang lebih kuat darimu, yaitu Allah.

Alhasil, rupanya setan diciptakan untuk mendekatkan manusia kapada Allah, bukan menjauhkann dari-Nya. Kita yang mengerti bahwa setan adalah musuh yang nyata dalam kehidupan, karena itu mari kita mohon perlindungan kepada Allah semaksimal mungkin, sebab kita tidak akan bisa menghadapi setan sendirian. Kita butuh Allah untuk mengalahkannya. Ternyata setan menjadikan manusia lebih dekat pada-Nya.

Strategi Setan agar Manusia Enggan Bersedekah

Jalan kehidupan manusia di dunia ini tak semulus yang kita bayangkan, semuanya butuh perjuangan yang nyata, maupun kasat mata. Meski begitu kita tetap dianjurkan bersedekah dan saling menolong sesama, akan tetapi setan selalu mencari cara untuk menyengsarakan manusia dengan berbagai strateginya hingga menyurutkan niat bersedekah.

Salah satu Sahabat Nabi yang bernama Ibnu Abbas pernah berkata, ada dua hal dari pengaruh setan agar kita enggan bersedekah, kemudian beliau membaca Surat Al Baqarah,  Ayat 268:

(الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ ۖ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ)

Artinya: Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia-Nya kepadamu. Dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.

Menurut Imam Thobari dalam Tafsirnya, beliau menjelaskan bahwa setan memberi janji kepada manusia bahwa orang yang menyedekahkan hartanya ia akan menjadi fakir miskin, serta setan selalu membisikkan kepada manusia dengan segala cara agar manusia melakukan maksiat, atau kejahatan yang dilarang oleh Allah.

Sementara itu, Ibnu Abbas menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada kita

untuk selalu taat kepada Allah dan menyedekahkan sebagian hartanya supaya mendapatkan ampunan dan anugerah dari Allah.

Maka dari itu, kita seharusnya lebih hati-hati dengan memperbanyak ilmu agama agar terhindar dari pengaruh setan, sehingga kita menjadi manusia yang diampuni oleh Allah, serta mulia dalam kehidupan ini.

 

Setan Selalu Mengintai, Ini Nasihat Ibn ‘Athaillah untuk Menghadapinya

Selama nafas msih berhembus, setan akan selalu mengintai manusia dengan berbagai cara. Setan membisiki manusia untuk melanggar batas ketentuan Allah. tidak ada kata malas bagi setan untuk mendorong manusia dalam keburukan. Sebab itulah manusia harus selalu waspada dan berhati-hati. Seringkali bisikan yang dikira berasal dari hati yang terdalah adalah bisikan setan untuk menjerumuskan.

Ibn Atha’illah berpesan menuliskan sebuah nasehat dalam kitabnya “Al hikam” sebagai berikut:

إذا علمت أن الشيطان لا يغفل عنك فلا تغفل أنت عمن ناصيتك بيده

“ Jika kau mengetahui bahwa setan tidak pernah lalai lupa kepadamu, maka jangan kau lalai terhadap Dzat yang menggenggam nasibmu”

Nasehat beliau mengingatkan bahwa setan memang tidak pernah bosan menyesatkan, menggoda, dan menjerumuskan manusia. Sebab itu pula, manusia jangan pernah lengah untuk memohon perlindungan kepada Dzat yang Maha Kuasa. Dijelaskan dalam Alquran jika setan telah berjanji untuk terus menggoda manusia. Difirmankan oleh Allah dalam QS: Al A’raf [7]: 17,

ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

”Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)”

            Dalam kita “Al Hikam” juga diceritakan bahwa dalam satu riwayat disebutkan bahwa setiap manusia memiliki setan yang menaruh belalainay di hati mausia. Jika manusai lupa berdzikir kepada Allah, maka setan akan membisikkannya. Sebaliknya jika manusia berdzikir, setan akan mundur dan menutup diri. Sebab itu jangan lupa kepada Dzat yang menentukan nasib setiap manusia, yaitu Allah. Dalam QS: Al Mu’minun [23]: 97 tersurat sebagai berikut,

وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ

“Dan katakanlah, “Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan.”

Sedahsyat apapun setan menginatai, yakinlah bahwa perlindungan Allah jauh lebih kuat dari semua tipu daya setan. Karena itu, yuk kita lebih sering-sering lagi berdzikir kepada Allah agar setannya mundur dan menutup diri.