PENJELASAN ANTARA SYARIAT TARIKAT DAN HAKIKAT

ALLLOH

  1. Syariat :

Adalah hukum Islam yaitu Al qur’an dan sunnah Nabawiyah / Al Hadist yang merupakan sumber acuan utama dalam semua produk hukum dalam Islam, yang selanjutnya menjadi Madzhab-madzhab ilmu Fiqih, Aqidah dan berbagai disiplin ilmu dalam Islam yang dikembangkan oleh para ulama dengan memperhatikan atsar para shahabat ijma’ dan kiyas. Dalam hasanah ilmu keislaman terdapat 62 madzhab fiqh yang dinyatakanmu’tabar (Shahih dan bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya) oleh para ulama. Sedangkan dalam hasanah ilmu Tuhid (keimanan), juga dikenal dengan ilmu kalam. Ahirnya ummat Islam terpecah menjadi 73 golongan / firqah dalam konsep keyakinan. Perbedaan ini terdiri dari perbedaan tentang konsep konsep, baik menyangkut keyakinan tentang Allah SWT, para malaikat, kitab kitab Allah, para Nabi dan Rasul, Hari Qiamat dan Taqdir.

Namun dalam masalah keimanan berbeda dengan Fiqih. Dalam Fiqh masih ada toleransi atas perbedaan selama perbedaan tersebut tetap merujuk pada Al Qur’an dan Sunnah, dan sudah teruji kebenarannya serta diakui kemu’tabarannya oleh para ulama yang kompeten. Akan tetapi dalam konsep keimanan, dari 73 golongan yang ada, hanya satu golongan yang benar dan menjadi calon penghuni surga, yaitu golongan yang konsisten / istiqamah berada dibawah panji Tauhidnya Rasulullah SWA dan Khulafa Ar Rasyidiin Al Mahdiyyin yang selanjutnya dikenal dengan Ahlu As Sunnah wal Jamaah. Sedangkan firqah / golongan lainnya dinyatakan sesat dan kafir. Jika tidak bertaubat maka mereka terancam masuk dalam neraka. Na’udzubillah.

  1. Thariqah :

Adalah jalan / cara / metode implementasi syariat. Yaitu cara / metode yang ditempuh oleh seseorang dalam menjalankan Syariat Islam, sebagai upaya pendekatannya kepada Allah Swt. Jadi orang yang berthariqah adalah orang yang melaksanakan hukum Syariat, lebih jelasnya Syariah itu hukum dan Thariqah itu prakteknya / pelaksanaan dari hukum itu sendiri.

Thariqah ada 2(dua) macam :

Thariqah ‘Aam : adalah melaksanakan hukum Islam sebagaimana masyarakat pada umumnya, yaitu melaksanakan semua perintah, menjauhi semua larangan agama Islam dan anjuran anjuran sunnah serta berbagai ketentuan hukum lainnya sebatas pengetahuan dan kemampuannya tanpa ada bimbingan khusus dari guru / mursyid / muqaddam.

Thariqah Khas : Yaitu melaksanakan hukum Syariat Islam melalui bimbingan lahir dan batin dari seorang guru / Syeikh / Mursyid / Muqaddam. Bimbingan lahir dengan menjelaskan secara intensif tentang hukum-hukum Islam dan cara pelaksanaan yang benar. Sedangkan bimbingan batin adalah tarbiyah rohani dari sang guru / Syeikh / Mursyid / Muqaddam dengan izin bai’at khusus yang sanadnya sambung sampai pada Baginda Nabi, Rasulullah Saw. Thariqah Khas ini lebih dikenal dengan nama Thariqah as Sufiyah / Thariqah al Auliya’.Thariqah Sufiyah yang mempunyai izin dan sanad langsung dan sampai pada Rasulullah itu berjumlah 360 Thariqah. Dalam riwayat lain mengatakan 313 thariqah. Sedang yang masuk ke Indonesia dan direkomendasikan oleh Nahdlatul Ulama’ berjumlah 44 Thariqah, dikenal dengan Thariqah Al Mu’tabaroh An Nahdliyah dengan wadah organisasi yang bernama Jam’iyah Ahlu Al Thariqah Al Mu’tabarah Al Nahdliyah.

Dalam kitab Mizan Al Qubra yang dikarang oleh Imam Asy Sya’rany ada sebuah hadits yang menyatakan :

ان شريعتي جا ئت على ثلاثما ئة وستين طريقة ما سلك احد طريقة منها الا نجا .(ميزان الكبرى للامام الشعرني : 1 / 30)

“Sesungguhnya syariatku datang dengan membawa 360 thariqah (metoda pendekatan pada Allah), siapapun yang menempuh salah satunya pasti selamat”. (Mizan Al Qubra: 1 / 30 )

Dalam riwayat hadits yang lain dinyakan bahwa :

ان شريعتي جائت على ثلاثمائة وثلاث عشرة طريقة لا تلقى العبد بها ربنا الا دخل الجنة ( رواه الطبرني )

“Sesungguhnya syariatku datang membawa 313 thariqah (metode pendekatan pada Allah), tiap hamba yang menemui (mendekatkan diri pada) Tuhan dengan salah satunya pasti masuk surga”. (HR. Thabrani)

Terlepas dari perbedaan redaksi dan jumlah thariqah pada kedua riwayat hadits diatas, mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita harus percaya akan adanya thariqah sebagaimana direkomendasi oleh hadits tersebut. Kalau tidak percaya berarti tidak percaya dengan salah satu hadits Nabi SAW yang Al Amiin (terpercaya dan tidak pernah bohong). Lalu bagaimana hukumnya tidak percaya pada Hadits Nabi yang shahiih?

Dari semua thariqah sufiyah yang ada dalam Islam, pada perinsip pengamalannya terbagi menjadi dua macam. Yaitu thariqah mujahadah dan Thariqah Mahabbah. Thariqah mujahadah adalah thariqah / mitode pendekatan kepada Allah SWT dengan mengandalkan kesungguhan dalam beribadah, sehingga melalui kesungguhan beribadah tersebut diharapkan secara bertahap seorang hamba akan mampu menapaki jenjang demi jenjang martabah (maqamat) untuk mencapai derajat kedekatan disisi Allah SWT dengan sedekat dekatnya. Sebagian besar thariqah yang ada adalah thariqah mujahadah.

Sedangkan thariqah mahabbah adalah thariqah yang mengandalkan rasa syukur dan cinta, bukan banyaknya amalan yang menjadi kewajiban utama. Dalam perjalanannya menuju hadirat Allah SWT seorang hamba memperbanyak ibadah atas dasar cinta dan syukur akan limpahan rahmat dan nikmat Allah SWT, tidak ada target maqamat dalam mengamalkan kewajiban dan berbagai amalan sunnah dalam hal ini. Tapi dengan melaksanakan ibadah secara ikhlash tanpa memikirkan pahala, baik pahala dunia maupun pahala ahirat , kerinduan si hamba yang penuh cinta pada Al Khaliq akan terobati. Yang terpenting dalam thariqah mahabbah bukan kedudukan / jabatan disisi Allah. tapi menjadi kekasih yang cinta dan dicintai oleh Allah SWT. Habibullah adalah kedudukan Nabi kita Muhammad SAW. (Adam shafiyullah, Ibrahim Khalilullah, Musa Kalimullah, Isa Ruhullah sedangkan Nabi Muhammad SAW Habibullah). Satu satunya thariqah yang menggunakan mitode mahabbah adalah Thariqah At Tijany.

Nama-nama thariqah yang masuk ke Indonesia dan telah diteliti oleh para Ulama NU yang tergabung dalam Jam’iyyah Ahluth Thariqah Al Mu’tabarah Al Nahdliyah dan dinyatakan Mu’ tabar (benar – sanadnya sambung sampai pada Baginda Rasulullah SAW), antara lain :

  1. Umariyah
  1. Naqsyabandiyah
  2. Qadiriyah
  1. Syadziliyah
  1. Rifaiyah
  1. Ahmadiyah
  1. Dasuqiyah
  1. Akbariyah
  1. Maulawiyah                   31. Buhuriyyah
  1. Kubrawiyyah               32. Haddadiyah
  1. Sahrowardiyah           33. Ghaibiyyah
  1. Khalwatiyah                34. Khodiriyah
  1. Jalwatiyah                   35. Syathariyah
  1. Bakdasiyah                 36. Bayumiyyah
  1. Ghazaliyah                  37. Malamiyyah
  1. Rumiyah                     38. Uwaisiyyah
  1. Sa’diyah                      39. Idrisiyah
  1. Jusfiyyah                     40. Akabirul Auliya’
  1. Sa’baniyyah                41. Subbuliyyah
  1. Kalsaniyyah                42. Matbuliyyah
  1. Hamzaniyyah              43. TIJANIYAH
  1. Bairumiyah                 44. Sammaniyah.
  1. Usysyaqiyyah
  1. Bakriyah
  1. Idrusiyah
  1. Utsmaniyah
  1. ‘Alawiyah
  1. Abbasiyah
  1. Zainiyah
  1. Isawiyah

  1. Haqiqah

Yaitu sampainya seseorang yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. di depan pintu gerbang kota tujuan, yaitu tersingkapnya hijab-hijab pada pandangan hati seorang salik (hamba yang mengadakan pengembaraan batin) sehigga dia mengerti dan menyadari sepenuhnya Hakekat dirinya selaku seorang hamba didepan TuhanNya selaku Al Kholiq Swt. bertolak dari kesadaran inilah, ibadah seorang hamba pada lefel ini menjadi berbeda dengan ibadah orang kebanyakan. Kebanyakan manusia beribadah bukan karena Allah SWT, tapi justru karena adanya target target hajat duniawi yang ingin mereka dapatkan, ada juga yang lebih baik sedikit niatnya, yaitu mereka yang mempunyai target hajat hajat ukhrawi (pahala akhirat) dengan kesenangan surgawi yang kekal.

Sedangkan golongan Muhaqqiqqiin tidak seperti itu, mereka beribadah dengan niat semata mata karena Allah SWT, sebagai hamba yang baik mereka senantiasa menservis majikan / tuannya dengan sepenuh hati dan kemampuan, tanpa ada harapan akan gaji / pahala. Yang terpenting baginya adalah ampunan dan keridhaan Tuhannya semata. Jadi tujuan mereka adalah Allah SWT bukan benda benda dunia termasuk surga sebagaimana tujuan ibadah orang kebanyakan tersebut diatas.

  1. Ma’rifah

Adalah tujuan akhir seorang hamba yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. (salik) Yaitu masuknya seorang salik kedalam istana suci kerajaan Allah Swt. ( wusul ilallah Swt). sehingga dia benar benar mengetahui dengan pengetahuan langsung dari Allah SWT. baik tentang Tuhannya dengan segala keagungan Asma’Nya, Sifat sifat, Af’al serta DzatNya. Juga segala rahasia penciptaan mahluk diseantero jagad raya ini. Para ‘Arifiin ini tujuan dan cita cita ibadahnya jauh lebih tinggi lagi, Mereka bukan hanya ingin Allah SWT dengan Ampunan dan keridhaanNYa, tapi lebih jauh mereka menginginkan kedudukan yang terdekat dengan Al Khaliq, yaitu sebagai hamba hamba yang cinta dan dicintai oleh Allah SWT.

(syariah dan Thariqah) kita bisa mempelajari teori dan praktek secara langsung, baik melalui membaca kitab-kitab / buku-buku maupun melalui pelajaran-pelajaran (ta’lim) dan pendidikan (Tarbiyah) bagi ilmu Thariqah. Sedangkan Haqiqah dan ma’rifah pada prinsipnya tidak bisa dipelajarisebagai mana Syariah dan Thariqah karena sudah menyangkut Dzauqiyah.

Haqiqah dan ma’rifah lebih tepatnya merupakan buah / hasil dari perjuangan panjang seorang hamba yang dengan konsisten (istiqamah) mempelajari dan menggali kandungan syariah dan mengamalkanya dengan ikhlash semata mata karena ingin mendapatkan ridha dan ampunan serta cinta Allah SWT.

Perumpamaan yang agak dekat dengan masalah ini adalah : ibarat satu jenis makanan atau minuman ( misalnya nasi rawon ). Resep masakan nasi rawon yang menjelaskan bahan bahan dan cara membuat nasi rawon itu sama dengan Syariah. Bimbingan praktek memasak nasi rawon itu sama dengan Thariqah. Resep dan praktek masak nasi rawon ini bisa melalui buku dan mempraktekkan sendiri (ini thariqah ‘am ) sedangkan resep dan praktek serta bimbingan masak nasi rawon dengan cara kursus pada juru masak yang ahli (itu namanya Thariqah khusus). Makan nasi rawon dan menjelaskan rasa / enaknya ini sudah haqiqah dan tidak ada buku panduannya, demikian juga makan nasi rawon dan mengetahuisecara detail rasa, aroma, kelebihan dan kekurangannya itu namanya ma’rifah.

Sumber :

Keputusan Kongres & Mubes Jam’iyah Ahli Thariqah Mu’tabaroh An Nahdliyah, pada hasil Mu’tamar kedua di Pekalongan tanggal 8 Jumadil Ula 1379 H / 9 November 1959. halaman 25.

ULAMA SUFI KETIKA BERKATA TIDAK BOLEH DI PAHAMI SECARA HARFIYAH SAJA

  apik            Dalam dunia sufi ada banyak hal yang harus kita perdalam pemahamanya sebelum menjadikannya sebagai sebuah amalan atau tendensi dari solusi masalah.

Karena ulama ulama sufi sering mengatakan hal hal yang terkadang masih dalam kondisi dirinya fana(tidak sadar karena mendapatkan tajalli dari sifatnya Alloh) sehingga terkadang ada ulama sufi yang mengatakan “La ilaha illa ana(tidak ada tuhan selain aku)”. Oleh karenanya ada baiknya bacalah tulisan ini sebagai tambahan ilmu kita agar kita bisa semakin tahu akan kebesaran dan luasnya ilmu Alloh swt.

PENDAHULUAN

Di ambil dari kitab “Umdatus Salik” juga bisa ditemukan dalam kitab “Tafrijul Khothir”

إذا سمعت كلمات من أهل التصوف والكمال ظاهرها ليس موافقا لشريعة الهدى من الضلال توفق فيها واسأل من الله العليم أن يعلمك مالم تعلم ولا تمل إلى الإنكار الموجب للنكال, لأن بعض كلماتهم مرموزة لاتفهم, وهي فى الحقيقة مطابقة لبطن من بطون القرأن الكريم وحديث النبي الرحيم. فهذا الطريق هوالأسلم القويم, والصراط المستقيم. .

“Apabila engkau mendengar beberapa kalimah-perkataan dari ahli Tashawwuf dan kesempurnaan zahirnya tidak sesuai bagi syariatnya Nabi yang menyatakan petunjuk dari segala kesesatan maka bertawaquflah (berdiamlah) engkau padanya dan bermohonlah (berserahlah) kepada Allah Yang Maha Mengetahui agar engkau di beri akan ilmu yang belum engkau mengetahuinya. Janganlah engkau cenderung mengingkarinya yang mengakibatkan kepada natijah yang buruk. Kerana sebagian dari pada kalimah atau perkataan mereka itu adalah isyarat yang tidak mudah difahami. Padahal hakikat-isinya itu sesuai dengan batinnya dari pada isi al Quran al Karim, dan haditsnya Nabi yang penyayang. Maka jalan ini lebih selamat sejahtera, dan jalan yang lurus.”

Tuan Syeikh Abdul Qodir Jaelani pernah berkata demikian ( Umdatus Salik)

أنت واحد فى السماء وانا واحد فى الارض

Artinya : “Engkau maha tunggal di langit dan aku tunggal di bumi”

Ini tidak boleh diartikan secara harfiyah,akan tetapi harus diartikan : “Engkau adalah Dzat yang maha esa yang menguasai langit dan bumi,adapun saya adalah orang yang mempersatukan jiwa ragaku di bumi ini semata-mata untuk musyahadah menyembahMU “

Susunan kalimat seperti ini dalam tata bahasa menurut ilmu balaghoh di sebut Badi’ Musyakalah .

Disinilah harus diakui bahwa memang ada garis pemisah yang terbentang antara kaum sufi yang ahli ilmu,ahli taqwa dan sudah mencapai tingkat tertinggi dalam ibadah dengan orang awam yang masih belajar agama.Oleh sebab itu orang-orang awam tidak boleh memahami pelajaran-pelajaran dari orang sufi secara harfiyah,tetapi memahaminya mesti melalui seorang guru sufi yang terpercaya keilmuannya dan ketaqwaannya,sebab kalo tidak…ia bisa sesat dan menyesatkan.

Tujuan dari tasawwuf adalah “ fana ” untuk mencapai ma’rifatullah, yaitu leburnya diri pribadi pada kebaqaan Allah, dimana perasaan keinsanan lenyap diliputi rasa Ketuhanan. Dalam keadaan demikian, semua rahasia yang membatasi diri dengan Allah tersingkap (kasyaf). Ketika itulah antara diri dengan Allah menjadi satu dalam baqa-Nya tanpa “ Hulul ” dan “ Ittihad ”. Artinya tanpa bersatu antara Abid dan Ma’bud dalam pengertian seolah-olah manusia dan Tuhan adalah sama.

Yang dimaksud Fana disini adalah seluruh makhluk, dunia dan diri hilang sama sekali dari ingatan hati, karena ia tenggelam dalam kesedapan dan kelezatan ingat kepada Allah semata-mata. Dan lenyaplah kesadaran hanya kepada Allah Yang Maha Esa saja. Fana yang demikian tidak akan terjadi, melainkan ia tersyuhud kepada salah satu dari keempat unsur dibawah ini:

1) Af’al Allah

2) Asma’ Allah

3) Sifat Allah

4) Zat Allah

Apabila hati orang sufi yang telah bersih teringat kepada perbuatan Allah (Af’al Allah) atau kepada Zat Allah, niscaya datanglah ketidak-sadaran

kepada dirinya dan kepada sesuatu yang lain, karena kelezatan Ingat kepada Allah. Inilah yang dinamakan Fana atau disebut juga maqam jama’.

Dalam hal Fana ini Syaidina Ali Bin Abi Thalib R.A, berkata:

ﻭﻔﻰ ﻔﻧﺎﺋﻰ ﻔﻧﺎ ﻔﻧﺎﺋﻰ ٬ ﻭﻔﻰ ﻔﻧﺎﺋﻰ ﻭﺟﺪﺖ ﺍﻧﺕ

aku bahkan itulah kefanaanku didalam tetapi ,kefanaanku leburlah ,fanaku didalam Dan ” : Artinya

.” (Tuhan) Engaku mendapatkan

Apabila seorang sufi telah fana, maka ketika itulah ia mengucapkan kata-kata yang ganjil dan sulit dipahami yang kadang-kadang tidak dapat diterima dengan pertimbangan akal. Karena ia bukanlah hal yang timbul dari akal semata, melainkan dari rasa. Kadang-kadang mereka berkata:

  • “ Anal Haq ” (Akulah Tuhan Yang Sebenarnya)
  • “ Ma fil jubabati Illallah ” (Tidak ada yang dalam Jubahku Melainkan Allah)
  • “ Ana Man Ahwa, Wa Man Ahwa Ana ” (Akulah Orang Yang Kurindui, Dan Orang Yang Kurindui Ialah Aku).

 

Perkataan demikian menimbulkan faham orang bahwa Tuhan dan manusia berpadu menjadi satu (Ittihad). Orang yang dalam keadaan tak sadar diri (Fana) dan mengeluarkan kata-kata ganjil itu, bukan berarti dia tidur atau tidak bergerak lagi badan kasarnya, tetapi mereka selalu berjalan seperti orang sehat dan berbicara dengan orang lain, tapi ia tak sadar kepada orang itu.

 

Kata Ittihad itu adalah ucapan-ucapan yang menimbulkan pengertian orang, bahwa Tuhan dan manusia itu adalah satu ”. Menurut istilah Tasawwuf, bila orang-orang Shufi yang dalam keadaan fana serta mengucapkan kata-kata seperti itu dinamakan “ Wihdatul Wujud ” atau disebut Al-Ittihad. Dan dalam keadaan demikian, mereka tidak terkena hukum taklif syara’ karena akal mereka hilang dari kesadaran alam sekitarnya.

Dan setiap seorang wali pada umumnya melalui jalan ini, tapi ada yang selamat dan terhindar dari fiitnah, dan ada pula yang tidak terselamatkan seperti Shufi besar Al-Hallaj yang dijatuhi hukuman mati.

 

Sayyidina Ali RA sering mengalami fana

 

atau wuquf dalam aktivitas dzikirnya untuk bertemu Tuhannya, ia berdialog dengan-Nya di alam fana, mengatakan:

 

وَفِى فَنَائِى فَنَا فَنَائِى وَفِى فَنَائِى وَجَدْتُ أَنْتَ

 

Artinya; Di dalam alam fanaku, leburlah aku. Dan dalam keadaan lebur itu, aku bertemu Engkau Tuhan.

 

Qoshidah ini ada yang menyebutnya dengan Qoshidah Al-Hallaj Al-irfaniyyah

 

قصيدة الحلاج العرفانيّة

 

فَـلَيسَ لِـلأَينِ مِـنكَ أَيـنٌ وَلَـيسَ أَيـنٌ بِـحَيثُ أَنتَ

 

أَنـتَ الَّـذي حُزتَ كُلَّ أَينٍ بِـنَحوِ لا أَيـن فاين أَنـتَ

 

فَـفي فَـنائي فَـنا فَـنائي وَفـي فَـنائي وُجِدتَ أَنتَ

 

في مَحو اِسمي وَرَسمِ جِسمي سَـأَلتُ عَـني فَـقُلتُ أَنتَ

 

أَنـتَ حَـياتي وَسِـرُّ قَلبي فَـحَيثُما كُـنتُ كُـنتَ أَنتَ

 

فَـمُـنَّ بِـالعَفوِ يـا إِلَـهي فَـلَيسَ أَرجـو سِواكَ أَنتَ

 

Referensi : kitab Iyqozhul Himam Syarh Matan Al-Hikam , karangan Ibnu ‘Ajiibah

 

فالحق تعالى واحد في ذاته وفي صفاته وفي أفعاله فلا شيء قبله ولا شيء بعده ولا شيء معه ثم ذكر الثامن فقال كيف يتصور أن يحجبه شيء وهو أقرب إليك من كل شيء قال تعالى ” ولقد خلقنا الإنسان ونعلم ما توسوس به نفسه ونحن أقرب إليه من حبل الوريد ” وقال تعالى ” ونحن أقرب إليه منكم ولكن لا تبصرون ” وقال تعالى ” وكان الله على كل شيء رقيباً وأن تجهر بالقول فإنه يعلم السر وأخفى ” وقربه تعالى قرب علم وإحاطة وشهود لأقرب مسافة إذ لا مسافة بينك وبينه وتقدم في الحديث وأن الله ما حل في شيء ولا غاب عن شيء وقال سيدنا علي كرم الله وجهه الحق تعالى ليس من شيء ولا في شيء ولا فرق شيء ولا تحت شيء إذ لو كان من شيء لكان مخلوقاً ولو كان فوق شيء لكان محمولاً ولو كان في شيء لكان محصوراً ولو كان تحت شيء لكان مقهوراً اه وقيل له يا ابن عم رسول الله صلى الله عليه وسلم أين كان ربنا أو هل له مكان فتغير وجهه وسكت ساعة ثم قال قولكم أين الله سؤال عن مكان وكان الله ولا مكان ثم خلق الزمان والمكان وهو الآن كما كان دون مكان ولا زمان اه وقال أبو الحسن الشاذلي رضي الله عنه قيل لي يا علي بي قل وعلى دل وأنا الكل اه هذا كما في حديث البخاري يقول الله تعالى بسب ابن آدم الدهر وأنا الدهر بيدي الليل والنهار وقال أيضاً صلى الله عليه وسلم لا تسبوا الدهر فإن الله هو الدهر وتفسيره ما في الحديث قبله والله تعالى أعلم ثم ذكر التاسع فقال كيف يتصور أن يحجبه شيء ولولاه لما ظهر وجود كل شيء قال تعالى ” وخلق كل شيء فقدره تقديراً ” وقال تعالى ” إنا كل شيء خلقناه بقدر ” فكل ما ظهر في عالم الشهادة فهو فائض من عالم الغيب وكل ما برز في عالم الملكوت فهو فائض من بحر الجبروت فلا وجود للأشياء إلا منه ولا قيام لها إلا به ولا نسبة لها معه إذ هي عدم محض وعلى توهم وجودها فهي حادثة فانية ولا نسبة للعدم مع الوجود ولا للحادث مع القديم ولذلك تعجب الشيخ من إجتماعهما فقال يا عجباً كيف يظهر الوجود في العدم أم كيف يثبت الحادث مع من له وصف القدم قلت وهذا هو العاشر فالوجود والعدم ضدان لا يجتمعان والحادث والقديم متنافيان لا يلتقيان وقد تقرر أن الحق واجب الوجود وكل ما سواه عدم على التحقيق فإذا ظهر الوجود أنتفي ضده وهو العدم فكيف يتصور أن يحجبه وهو عدم فالحق لا يحجبه الباطل قال تعالى ” فذلكم الله ربكم الحق فماذا بعد الحق إلا الضلال ” فلا وجود للأشياء مع وجوده فأنتفي القول بالحلول إذ الحلول يقتضي وجود السوي حتى يحل فيه معنى الربوبية والفرض أن السوي عدم محض فلا يتصور الحلول وإلى هذا أشار في العينية بقوله

ونزهه في حكم الحلول فما له … سوى وإلى توحيده الأمر راجع

والقديم والحادث لا يلتقيان فإذا قرن الحادث بالقديم تلاشي الحادث وبقي القديم قال رجل بين يدي الجنيد رضي الله عنه الحمد لله ولم يقل رب العالمين فقال له الجنيد كمله يا أخي فقال له الرجل وأي قدر للعالمين حتى يذكروا معه فقال الجنيد قله يا أخي فإن الحادث إذا قرن بالقديم تلاشي الحادث وبقي القديم اه فقد تقرر أن الأشياء كلها في حيز العدم إذ لا يثبت الحادث مع من له وصف القدم فأنتفى القول بالإتحاد إذ معنى الإتحاد هو إقتران القديم مع الحادث فيتحدان حتى يكونا شيئاً واحداً وهو محال إذ هو مبني أيضاً على وجود السوي ولا سوي وقد يطلقون الإتحاد على الوحدة كقول ابن الفارض

وهامت بها روحي بحيث تمازجا … إتحاداً ولا جرم تخلله جرم

فأطلق الإتحاد على إتصال الروح بأصلها بعد صفائها ولذلك قال بعده ولا جرم تخلله إلخ فتحصل أن الحق سبحانه واحد في ملكه قديم أزلي باق أبدي منزه عن الحلول والإتحاد مقدس عن الشركاء والأضداد كان ولا أين ولا مكان وهو الآن على ما عليه كان ومما ينسب لسيدنا علي كرم الله وجهه

رأيت ربي بين قلبي … فقلت لا شك أنت أنت

أنت الذي حزت كل أين … بحيث لا أيبن ثم أنت

فليس للأين منك أين … فيعلم الأين أين أنت

وليس للوهم فيك وهم … فيعلم الوهم كيف أنت

أحطت علماً بكل شيء … فكل شيء أراه أنت

وفي فنائي فنا فنائي … وفي فنائي وجدت أنت