MENILIK TATANAN NORMAL BARU, APAKAH SIAP DENGAN SEGALA RESIKONYA?

Pemerintah mewacanakan kebijakan tatanan normal baru (new normal) yang merupakan cara hidup baru berdampingan dengan Covid-19. Terdapat kekhawatiran, jumlah kasus menjadi semakin tidak terkendali kalau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kembali dilonggarkan ketika jumlah kasus masih tinggi. Konsekuensinya, korban meninggal akan semakin bertambah atau situasi secara keseluruhan bukannya membaik, tapi berisiko memburuk.

Di sisi lain, masyarakat juga sudah bosan diminta tinggal di rumah lebih dari dua bulan tanpa kepastian sampai kapan hal ini berakhir. Aktivitas kerja dari rumah selama seminggu penuh tidak sepenuhnya efektif karena ada banyak hal yang harus dikerjakan di kantor. Penderitaan paling besar dialami oleh pekerja harian lepas atau mereka yang bekerja di sektor-sektor informal yang selama PSBB ini aktivitasnya ditutup. Tanpa upaya relaksasi, maka beban ekonomi yang ditimbulkannya semakin besar. Para ahli epidemi dan mereka yang berkecimpung dalam bidang kesehatan mengingatkan pemerintah akan dampak besar yang ditimbulkan dengan adanya pelonggaran ini jika waktunya belum siap. Mereka merupakan kelompok paling terdampak karena menjadi garda terdepan untuk merawat pasien yang jumlahnya semakin hari semakin banyak. Baru-baru ini viral di media sosial tagar “Indonesia Terserah” yang dilakukan oleh seorang tenaga medis karena keprihatinan banyak orang yang tidak mematuhi aturan PSBB. Sejumlah perawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Depok tertular Covid-19 sehingga memaksa polikliniknya ditutup. Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya juga ditutup karena jumlah pasien melebihi kapasitas perawatannya dan beberapa perawat tertular Corona.

Sementara itu, kalangan pengusaha menyambut gembira relaksasi ini karena selama periode PSBB, pendapatan mereka benar-benar tercekik sedangkan sebagian beban operasional dan cicilan pinjaman tetap harus dibayarkan. Semakin lama PSBB diterapkan, semakin besar risiko kerugian dan kebangkrutan yang harus ditanggung. Sebagian pekerja telah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan jumlah ini akan terus bertambah jika situasi tidak membaik. Tak mudah menciptakan keseimbangan antara berbagai kepentingan dalam situasi pandemi ini. Menciptakan kebijakan yang kurang tepat dengan hanya memperhatikan satu aspek saja, akan mengorbankan aspek lainnya. Sangat ketat melakukan pembatasan sosial demi alasan kesehatan, menimbulkan korban sektor ekonomi karena pemerintah juga tidak mampu memberi dukungan sepenuhnya terhadap kelompok yang terdampak pandemi.

Pelonggaran untuk menggerakkan sektor ekonomi pada saat pandemi masih tinggi atau tanpa panduan yang jelas dan kepatuhan masyarakat akan menimbulkan risiko peningkatan kasus baru. Kesadaran masyarakat yang rendah terhadap perilaku hidup yang bersih dan sehat berpengaruh besar terhadap penyebaran Covid-19. Jepang tetap menerapkan kehidupan normal dalam menghadapi pandemi ini karena dari dulu masyarakatnya biasa memakai masker dan menggunakan hand sanitizer atau berperilaku hidup sehat lainnya. Ditambah dengan sistem kesehatan yang bagus, hal ini mampu mengurangi tingkat penyebaran virus ini. Masyarakat Indonesia, baru belajar membudayakan diri dengan menggunakan masker ketika keluar rumah. Ada ketidaknyamanan yang dirasakan sehingga sebagian orang mengabaikan. Rutin menggunakan cairan pembersih tangan juga perlu pembiasaan. Dalam negara demokrasi yang masyarakatnya memiliki kebebasan berbicara, maka instruksi dan kebijakan pemerintah seringkali mendapatkan penentangan. Apalagi jika kebijakan yang diambil kurang konsisten. Bagi pihak oposisi, jika ada kebijakan yang kurang tepat, segera saja menjadi sasaran untuk melakukan kritik sementara jika ada kebijakan yang kurang pas, mereka diam. Berbagai kompleksitas persoalan ini menambah ketidakpastian sampai kapan Covid-19 ini akan berakhir di Indonesia.

Sejumlah negara yang menerapkan kebijakan yang tepat dan konsisten serta masyarakatnya patuh terbukti berhasil memenangkan pertarungan dengan Covid-19. Tak semuanya negara kaya dan makmur seperti Jepang atau Selandia Baru. Vietnam yang merupakan tetangga dekat Indonesia yang kapasitas ekonominya masih di bawah Indonesia sangat berhasil menekan penyebaran virus ini. Malaysia dan Thailand juga telah berhasil membatasi kasus penyebaran di negaranya sampai kemudian membuka kembali sektor ekonominya.

Sebelum kebijakan baru tersebut benar-benar dilaksanakan, protokol dan panduan yang diberikan harus sudah benar-benar jelas dan masyarakat memahami betul bagaimana melaksanakannya. Ini merupakan prasyarat supaya dampak yang diinginkan tercapai. Untuk memastikan masyarakat mematuhi berbagai protokol kesehatan, maka aparat memiliki peran sangat penting. Memahami protokol kesehatan bukan berarti mematuhinya. Karena itu, tanpa upaya penegakan aturan, maka sebagian masyarakat akan berperilaku sebagaimana biasanya, tidak dalam rangka ‘normal baru’ yang membiasakan hal baru di tengah pandemi.

Soal rencana pembukaan tempat ibadah harus jelas protokolnya, misalnya bagaimana pengaturan jarak antar-shaf saat shalat berjamaah. Bagaimana shalat Jumat tetap dapat dilaksanakan tetapi juga tetap aman secara kesehatan bagi para jamaah menjadi sangat krusial, dan lainnya. Termasuk di antaranya rencana pembukaan sekolah, madrasah, atau pesantren. Jika tidak dikelola dengan tepat, maka Covid-19 bisa menyebar di tempat-tempat belajar tersebut. Penanganan pandemi yang menyebar dalam skala masif ini merupakan pengalaman baru. Kita dapat belajar dari keberhasilan atau kegagalan negara lain. Kebijakan coba-coba tanpa prinsip kehati-hatian dapat menimbulkan bencana karena menyangkut nyawa banyak manusia. Masih banyak ruang yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah perluasan penyebaran virus ini tanpa menimbulkan risiko tambahan seperti memperbanyak tes dan pelacakan orang-orang yang berhubungan dengan orang yang terkena Covid-19, akses pengobatan yang lebih baik, perlindungan yang lebih maksimal kepada para tenaga kesehatan dan lainnya.