TENTANG MENGERJAKAN UMROH SUNAH BERKALI KALI SEBELUM WUQUF
- Bagaimana hukum mengerjakan umrah sunnah berulang kali sambil menunggu saat pelaksanaan wuquf di Arafah?
- Apa alasan harus mengambil miqat umrah dari Ji’ranah atau Tan’im?
- Apakah tidak boleh miqat umrah dari pondokan masing-masing?
Jawaban:
-
- Pendapat yang populer di lingkungan madzhab Maliki menganjurkan pelaksanaan umrah sunnah. Bila dipaksakan mengerjakannya dihukumi makruh.
المغني لابن قدامة : 3 : ص 280
رَوَي اَبُوْ دَاوُدَ بِإِسْنَادِهِ عَنْ سَعْيْدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ رَجُلاً مِنْ اَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم اَتَى عُمَرَ فَشَهِدَ عِنْدَهُ اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَنْهَى عَنِ الْعُمْرَةِ قَبْلَ الْحَجِّ .
Abu Dawud meriwayatkan dengan isnadnya dari Sa’id bin Al-Musayyab bahwa ada seorang pria dari para sahabat Rasulullah saw datang pada Umar dan dia menyaksikan di sisi Umar, bahwa beliau mendengar Rasulullah saw melarang melakukan umrah sebelum haji.
اَلْفِقْهُ اْلإِسْلاَمِيُّ وَأَدِلَّتُهُ ، وَهْبَة الزُّحَيْلِي : 3 : ص 16
وَكَرِهَ الْمَالِكِيَّةُ تِكْرَارَ الْعُمْرَةِ فِي السَّنَةِ . وَقَالَ النَّخَعِيُّ : مَا كَانُوْا يَعْتَمِرُوْنَ فِي السَّنَةِ اِلاَّمَرَّةً . وَ ِلأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَفْعَلْهُ .
Madzhab Maliki menghukumi makruh mengulang-ulang umrah dalam satu tahun. An-Nakho’i berkata, “Mereka tidak melakukan umrah dalam satu tahun kecuali satu kali, karena Nabi saw tidak melakukannya.”
- Asy-Syarqawi membolehkan perulangan umrah sunnah dan sebagian ulama Syafi’iyah memandang perulangan umrah sebagai hal yang sunnah hukumnya. Akibat dari perulangan umrah sunnah tidak mengakibatkan berbilangnya dam.
المغني لابن قدامة المقدسي : 2 : صـ 226
لاَ بَأْسَ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ اَنْ يَعْتَمِرَ فِي السَّنَةِ مِرَارًا ، ِلأَنَّ عَائِشَةَ اِعْتَمَرَتْ فِي شَهْرٍ مَرَّتَيْنِ بِأَمْرِ النَّيِيِّ صلى الله عليه وسلم عُمْرَةً مَعَ قِرَانِهَا وَعُمْرَةً بَعْدَ حَجِّهَا ، وَ ِلأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : اَلْعُمْرَةُ اِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَابَيْنَهُمَا
Tidak apa-apa menurut madzhab Syafi’i dan madzhab Hambali untuk umrah dalam satu tahun berulang-ulang, karena sesungguhnya ‘Aisyah melakukan umrah dalam satu bulan dua kali dengan perintah Nabi saw, satu kali umrah dengan haji qirannya, dan satu kali umrah sesudah hajinya. Karena sesungguhnya Nabi saw bersabda, “Satu umrah sampai umrah yang lain adalah kafarat (tebusan dosa) bagi apa yang ada di antara keduanya.”
Perihal beban dam akibat perulangan umrah (sunnah), Imam Ar-Raimiy sependapat dengan Imam Al-Baghawi yang memfatwakan perlipatan dam (sesuai dengan jumlah perulangan umrah).
كِفَايَةُ الْمُحْتَاجِ : فَخْرُ الدِّيْنِ اَبِى بَكْرٍ بْنِ عَلِي بِنْ ظَهِيْرَةْ الشَّافِعِى صـ 160
مِمَّا يُسْأَلُ عَنْهُ كَثِيْرًا إِذَا كَرَّرَ الْمُتَمَتِّعُ الْعُمْرَةَ فِي اَشْهُرِ الْحَجِّ ، هَلْ يَتَكَرَّرُالدَّمُ أَمْ لاَ ؟ اَفْتىَ الرَّيْمِيُّ فِي شَرْحِ التَّنْبِيْهِ : بِالتَّكَرُّرِ تَبَعًا لِلإِْمَامِ الْبَغَوِيِّ . وَاْفَتىَ بَعْضُ مَشَايِخِنَا بَعَدَمِهِ وَهُوَ الظَّاهِرُ .
Dari apa-apa yang ditanyakan dengan sering adalah apabila orang yang melakukan haji tamattu’, mengulang-ulang umrah dalam bulan-bulan haji. Apakah dia harus berulang-ulang membayar dam atau tidak? Ar-Raymi dalam Syarah At-Tanbih memberi fatwa dengan membayar dam berulang-ulang karena mengikuti Imam Al-Baghawi. Dan sebagian dari guru-guru kita memberi fatwa dengan tidak berulang-ulang membayar dam. Dan itulah pendapat yang jelas.
حاشية الشرقاوي : 1 : ص 166
وَلَوْ تَكَرَّرَ الْمُتَمَتِّعُ الْعُمْرَةَ فِي اَشْهُرِ الْحَجِّ لَمْ يَتَكَرَّرِ الدَّمُ عَلَى الرَّاجِحِ قَالَ صَاحِبُ كِفَايَةِ الْمُحْتَاجِ : قُلْتُ وَعَلَى تَقْدِيْرِ التَّكَرُّرِ فَالظَّاهِرُ التَّدَاخُلُ لأَِنَّ الدَّمَيْنِ مُتَجَانِسَانِ فَيَتَدَاخَلاَنِ كَمَا قَالَهُ السُّبْكِى
Andaikata orang yang melakukan haji tamattu’, berulang-ulang melakukan umrah dalam bulan-bulan haji. Maka dia tidak berulang-ulang membayar dam menurut pendapat yang jelas. Pengarang kitab “Kifayatul Muhtaj” berkata, “Berdasar perkiraan berulang-ulang, maka yang jelas adalah saling masuk. Karena dua dam tersebut adalah sejenis sehingga saling masuk. Sebagaimana pendapat As-Subki.”
- Penetapan Tan’im sebagai miqat umrah diperoleh dari perintah Nabi saw kepada ‘Aisyah. Sedangkan Ji’ranah terbaca dari pelaksanaan umrah Nabi saw.
اِبْنِ بَازْ : التَّحْقِيْقُ واْلإِيْضَاحُ صـ 24-25
لَكِنْ مَنْ اَرَادَ الْعُمْرَةَ وَهُوِ فِي الْحَرَمِ فَعَلَيْهِ اَنْ يَخْرُجَ اِلِى الْحِلِّ وَيُحْرِمَ بِالْعُمْرَةِ فِيْهِ لأَِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَمَّا طَلَبَتْ مِنْهُ عَائِشَةُ الْعُمْرَةَ اَمَرَ اَخَاهَا عَبْدَ الرَّحْمَـنِ اَنْ يَخْرُجَ بِهَا اِلَى الْحِلِّ فَتُحْرِمَ مِنْهُ . دَلَّ ذَلِكَ عَلَى اَنَّ الْمُعْتَمِرَ لاَ يُحْرِمُ بِالْعُمْرَةِ مِنَ الْحَرَمِ ، وَإِنَّمَا يُحْرِمُ بِهَا مِنَ الْحِلِّ .
Akan tetapi orang yang ingin umrah sedangkan dia berada di tanah haram, maka dia wajib keluar ke tanah halal dan berihram umrah di tempat tersebut. Karena Nabi saw tatkala ‘Aisyah meminta umrah dari beliau, beliau memerintahkan saudara laki-laki ‘Aisyah, yaitu Abdurrahman untuk keluar dengan ‘Aisyah ke tanah halal dan berihram dari tempat tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa orang yang umrah itu tidak boleh berihram umrah dari tanah haram. Dan sesungguhnya dia berihram umrah hanya boleh dari tanah halal.
لَبَّيْكَ اللَّـَهُمَّ لَبَّيْكَ ، اَلسَيِّدْ مُحَمَّدْ بِنْ عَلْوِيْ الْمَالِكِيْ صـ 121
قَالَ فِي كَشَّافِ الْقَنَاعِ : مَنْ كَانَ فِي الْحَرَمِ مِنْ مَكِّيٍّ وَغَيْرِهِ خَرَجَ اِلَى الْحِلِّ فَأَحْرَمَ مِنْ اَدْنَاهُ ، وَمِنَ التَنْعِيْمِ اَفْضَلُ .
قَالَ ابْنُ سِيْرِيْن : بَلَغَنِيَ اَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَقَّتْ لأَِهْلِ مَكَّةَ التَّنْعِيْمَ .
/Dalam kitab “Kasysyaaful Qona'”, Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki Al-Husaini berkata, “Barangsiapa yang berada di tanah haram, dari penduduk Makkah atau lainnya, maka dia keluar ke tanah halal kemudian melakukan ihram dari tempat yang paling dekat. Dan dari Tan’im adalah lebih utama.”
Ibnu Sirin berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa Nabi saw telah menentukan miqat bagi penduduk Makkah di Tan’im.”/
القرى لقاصد ام القرى ص 615
عَنْ مِحْرَشِ الْكَعْبِى اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ مِنَ الْجِعْرَانَةِ لَيْلاً مُعْتَمِرًا وَجَاءَ مَكَّةَ لَيْلاً فَقَضَى عُمْرَتَهُ ثُمَّ خَرَجَ مِنْ لَيْلَتهِ وَاَصْبَحَ فِيْ الْجِعْرَانَةِ كَبَائِتٍ . أَخْرَجَهُ اَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِي
Diriwayatkan dari Mihrasy al-Ka’bi bahwa Rasulullah saw telah keluar dari Ji’ranah pada malam hari dalam keadaan umrah dan datang di Makkah pada malam hari. Kemudian menunaikan umrah beliau, kemudian keluar pada malam hari itu dan masuk pada waktu pagi di Ji’ranah seperti orang yang menginap. HR. Ahmad dan at-Tirmidzi.
المغنى في فقه الحج والعمرة : سعيد بن عبد القادر باشنفر ص 64
أَمَّا الْمِيْقَاتُ الْمَكَانِيُّ : فَاْلأَفَقِيُّ مِيْقَاتُهُ لِلْحَجِّ هُوَ مِيْقَاتُهُ لِلْعُمْرَةِ ، أَمَّا الْمَكِّيُّ فَجَمَاهِيْرُ أَهْلِ الْعِلْمِ اَنْ لاَ يُهِلَّ بِالْعُمْرَةِ مِنْ مَكَّةَ بَلْ يَخْرُجُ اِلَى الْحِلِّ وَيُحْرِمُ مِنْهُ . وَهُوَ قَوْلُ اْلأَئِمَّـَةِ اْلأَرْبَعَةِ .
Adapun miqat makani, maka orang-orang yang tidak mempunyai miqat tertentu, miqatnya untuk ihram haji adalah miqatnya untuk ihram umrah. Adapun orang Makkah, maka jumhur (sebagian besar ahli ilmu), sesungguhnya dia tidak boleh berihram untuk umrah dari kota Makkah, akan tetapi keluar ke tanah halal dan melakukan ihram dari tempat tersebut. Dan itulah pendapat dari imam madzhab empat.
قَالَ الْمُحِبُّ الطَّبَرِيُّ : لاَ اَعْلَمُ اَحَدًا جَعَلَ مَكَّةَ مِيْقَاتًا لِلْعُمْرَةِ . وَكَذَا قَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ الْعَسْقَلاَنِيَّ فِي فَتْحِ الْبَارِي .
Al-Muhib at-Thabari berkata, “Saya tidak mengetahui seseorang pun yang menjadikan kota Makkah sebagai miqat untuk ihram umrah. Dan seperti inilah al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata dalam kitab “Fathul Bari”.
- Tidak boleh. Karena tata laksana memulai ihram umrah berbeda dengan cara memulai ihram haji.
اِبْنِ بَازْ : التَّحْقِيْقُ واْلإِيْضَاحُ صـ 34-35
وَهَذَا الْحَدِيْثُ يُخَصِّصُ حَدِيْثَ ابْنِ عَبَّاسٍ الْمُتَقَدِّمَ “مَنْ كَانَ دُوْنَ ذَلِكَ فَمُهَلُّهُ مِنْ اَهْلِهِ حَتىَّ اَهْلِ مَكَّةَ يُهِلُّوْنَ مِنْ مَكَّةَ” اَخْرَجَهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ وَيَدُلُّ عَلَى اَنَّ الْمُرَادَ مِنْ قَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم “حَتىَّ اَهْلِ مَكَّةَ يُهِلُّوْنَ مِنْ مَكَّةَ” هُوَ اْلإِهْلاَلُ بِالْحَجِّ لاَ عُمْرَةٍ . اِذْ لَوْ كَانَ اْلإِهْلاَلُ بِالْعُمْرَةِ جَائِزًا مِنْ الْحَرَمِ ِلأَذِنَ عَائِشَةَ رضي الله عنها فِي ذَلِكَ وَلَمْ يُكَلِّفْهَا بِالْخُرُوْجِ اِلَى الْحِلِّ . وَهَذَا اَمْرٌ وَاضِحٌ وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُوْرِ. وَهُوَ اَحْوَطُ لِلْمُؤْمِنِ ، ِلأَنَّ فِيْهِ الْعَمَلَ بِالْحَدِيْثَيْنِ جَمِيْعًا .
/Hadits ini adalah mentakhsis (mengkhususkan) hadits dari Ibnu ‘Abbas yang terdahulu, yaitu, “Barangsiapa yang tempat tinggalnya kurang dari jarak tersebut. Maka tempat ihramnya adalah dari keluarganya. Sehingga penduduk Makkah melakukan ihram dari kota Makkah.” Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud dari sabda Nabi saw, “Sehingga penduduk Makkah melakukan ihram dari kota Makkah”, adalah “ihram haji dan bukan ihram umrah”. Karena andaikata ihram untuk umrah itu diperbolehkan dari tanah haram, niscaya Nabi saw mengizinkan ‘Aisyah ra dalam hal tersebut dan tidak memaksanya keluar ke tanah halal. Dan ini adalah perkara yang jelas, dan inilah pendapat jumhur, dan pendapat yang lebih hati-hati bagi orang mukmin. Karena di dalamnya terdapat pengamalan bagi kedua hadits semuanya./
لَبَّيْكَ اللَّـَهُمَّ لَبَّيْكَ ، اَلسَيِّدْ مُحَمَّدْ بِنْ عَلْوِيْ الْمَالِكِيْ صـ 121
قَالَ اْلإِمَامُ الشَّافِعِيُّ فِي اْلأُمِّ : وَإِذَا اَهَلَّ بِحَجٍّ ثُمَّ اَرَادَ الْعُمْرَةَ ، اَنْشَأَ الْعُمْرَةَ مِنْ أَيِّ مَوْضِعٍ شَاءَ اِذَا خَرَجَ مِنَ الْحَرَمِ ، أَيْ اِلَى الْحِلِّ .
Imam Asy-Syafi’i dalam Kitab “Al-Um” berkata, “Apabila seseorang berihram haji kemudian dia ingin umrah, maka dia memulai umrah dari tempat yang manapun dia inginkan apabila dia keluar dari tanah haram, artinya pergi ke tanah halal.”