SHALAT JAMAK

Menjamak shalat adalah menggabung shalat Dhuhur dengan Asar, atau Maghrib dengan Isya, Jamak terdapat dua cara, yaitu Jamak Taqdim dan jamak Ta’khir. Jamak Taqdim adalah menjamak shalat dhuhur dengan asar di waktu dhuhur, dan atau shalat magrib dengan isya di waktu maghrib. Jamak Ta’khir adalah menjamak shalat dhuhur dan asar di waktu asar dan shalat magrib dan isya di waktu isya. Jamak adalah untuk dalam perjalanan dan sakit, namun tak boleh Qashar bila kurang dari 82km. Meng-Qashar adalah menyingkat shalat yang berjumlah 4 rakaat (Dhuhur, Asar dan Isya) masing – masing menjadi 2 rakaat, ini dikhususkan untuk perjalanan yang lebih dari marhalatain (dua marhalah) yaitu 82km. Shalat yang di Jamak maka rakaatnya tidak berubah, namun shalat yang di Qashar maka hanya 3 waktu shalat, yaitu Dhuhur, dan Isya, yaitu menjadi 2 rakaat. Sedangkan Maghrib dan tak bisa di Qashar. Mengenai shalat subuh maka tak bisa di jamak dan tak bisa di Qashar, ia tetap pada waktunya dan jumlahnya.

Hal – hal yang saya jelaskan di atas adalah berdasarkan hadits – hadits riwayat Shahih Bukhari dan lainnya, dan diakui oleh seluruh Madzhab Misalkan, bila anda ke Bandung (misalnya dari Jakarta), maka anda boleh pilih, mau Jamak saja, atau Qashar saja, atau Jamak Qashar pun boleh. Misalnya anda berangkat dari Jakarta jam 10 pagi, beristirahat di Cianjur pk 14.00wib, nah.. anda boleh :

  1. Menggabung dhuhur dan asar sekaligus saat itu (di waktu dhuhur, atau diwaktu asar)
  2. Menggabung dhuhur dan ashar dilakukan saat itu dan masing masing disingkat menjadi 2 rakaat saja. jadi shalat dhuhurnya 2 rakaat, lalu shalat asarnya 2 rakaat. (yaitu Jamak Qashar)
  3. Menyingkat shalat dhuhur menjadi 2 rakaat, dan tak mengerjakan shalat asar disaat itu, tapi nanti saja kalau sudah di Bandung/tujuannya.

Yang dimaksud Jamak dan Jamak Qashar, cuma bedanya kalau Jamak adalah untuk mereka yang dalam perjalanan dekat atau jauh, namun kalau qashar adalah mesti perjalanan lebih dari 82km. Jamak tak mesti qashar, dan Qashar tak mesti jamak.

  1. Shalat jamak terikat dengan wilayah dan bukan jarak, jika sudah keluar wilayah maka sudah boleh jamak, misalnya rumah anda hanya berjarak dekat bahkan puluhan meter saja dari batas wilayah, misalnya antara bekasi dan jakarta, anda sudah boleh jamak.
  2. Jakarta termasuk satu wilayah, walau mempunyai 5 bagian perkotaan, namun selama masih disebut Jakarta, maka terhitung satu wilayah, walaupun saya pernah dengar pendapat bahwa antara wilayah Jakarta Selatan, Utara atau lainnya sudah boleh jamak karena berbeda wilayah, namun saya tidak berani memastikan pendapat itu. Mengenai wilayah – wilayah jakarta ini masih ikhtilaf fuqaha kita, ada yang mengatakan bahwa Jakarta Timur dengan Jakarta lainnya misalnya, itu sudah boleh jamak, karena keluar wilayah, namun ada juga fuqaha kita yang mengatakan bahwa itu masih dalam wilayah Jakarta, tak boleh jamak, namun wilayah bekasi dengan Jakarta maka itu boleh jamak, Depok dengan Jakarta pun demikian, karena berbeda propinsi dan wilayah

Mengenai batasan Jamak ini, apakah per wilayah atau per kecamatan atau per propinsi, Berikhtilaf para Ulama akan hal ini, karena di masa dahulu setiap wilayah ada batasnya, keluar dari wilayah berarti kosong tak ada rumah, sampai desa berikutnya, maka walau berjarak kurang dari 1km pun sudah boleh jamak. Namun berbeda khususnya di Pulau Jawa yang penduduk atau rumahnya padat, hingga tak ada batas kota atau wilayah, semua bersambung dan berpadu, kecuali batas wilayah kabupaten dan propinsi. Maka untuk wilayah diluar perkotaan, ia terbatas dengan Kabupaten, kalau di Jabodetabek maka dari Bekasi masuk Jakarta Selatan sudah boleh jamak walau rumah kita misalnya di Bekasi, hanya berjarak beberapa meter saja ke batas DKI, sudah boleh jamak jika masuk wilayah DKI. Demikian Jakarta – Bogor, atau Depok – Bekasi, atau DKI dengan Depok, namun Jakarta yang terbagi dengan 5 wilayah tetap dianggap 1 wilayah, walaupun besar dan luas, karena ia tak berbeda nama wilayahnya, yaitu Jakarta Selatan, Jakarta Utara, dll. Maka masih dinamakan Jakarta, maka masih satu wilayah, demikian kota lainnya, keluar dari kota Surabaya sudah boleh jamak, dan selain perkotaan maka diikutkan pada Kabupaten. Ini pendapat yang dipakai oleh guru – guru kita

Bagaimana jika terjebak kemacetan? Pendapat saya, saya mengambil jalan tengah, bila saya terjebak macet dan tak mungkin lagi menyelamatkan shalat maghrib biasanya, karena waktunya pendek dan disaat sangat padatnya lalu lintas dan kemacetan pada puncaknya, bila saya terjebak macet maka saya menjamak ta’khirnya ke Isya, sebab tak ada jalan lain. Atau kondisi kondisi lain dimana anda terjebak untuk tak mungkin lagi anda memperkirakan bisa melakukan shalat fardhu hingga waktu akhirnya, maka segeralah niat jamak ta’khir. Namun hal ini jika tujuan kita bukan pulang kerumah, karena jika sudah sampai dirumah atau tempat kita niat mukim, maka tak boleh lagi jamak, maka satu – satunya adalah bertayammum walau di mobil/kendaraan, lalu shalat dengan sebisanya, lalu nanti sampai ditujuan kita meng Qadha nya kembali. Kemacetan tidak bisa menjadi udzur jamak, demikian pendapat yang mu’tamad (terkuat), namun bila terjebak maka sebaiknya ia shalat hurmatulwaqt sebagaimana saya jelaskan diatas, di kendaraannya walau dengan tayammum, lalu jika sampai maka ia qadha shalatnya, namun jika kejadian itu disengaja maka ia terkena dosa.

Bagaimana jika pergi kerja?, apakah boleh jamak walau tiap hari?, Jika kantornya sudah berbeda wilayah, maka boleh jamak, karena safar adalah keluar dari wilayahnya menuju wilayah lainnya, walau setiap hari pulang dan pergi, jamak tetap diperbolehkan. Adakah dalil qadha shalat?, Sabda Rasulullah saw : “Barangsiapa yang lupa melakukan shalat, maka hendaknya ia shalat jika ingat akannya, dan tak ada kaffarat (cara membayarnya) kecuali dengan melakukan shalatnya itu” (Shahih Bukhari hadits No.562). Hadits ini dijadikan dalil bahwa shalat yang tertinggal dengan sengaja atau tidak maka wajib di qadha, karena dalam hadits lainnya Rasul saw bersabda : Hutang kepada Allah lebih berhak didahulukan untuk diselesaikan daripada hutang pada makhluk-Nya (Shahih Bukhari) Kita boleh jamak shalat dan qashar hanya dalam perjalanan, jika sudah sampai rumah, atau niat bermukim disuatu tujuan kita, maka tidak boleh jamak lagi. Apa yang dimaksud bermukim dalam hal ini..?, yaitu Jika anda niat tinggal 6 hari atau lebih di wilayah tersebut (4 hari selain hari datang dan hari pulang) maka itu dinamakan mukim, maka sudah tidak boleh jamak.

Jika niat lebih dari 6 hari maka sudah tidak boleh jamak jika sudah memasuki wilayah tersebut, kecuali melewati kabupaten lainnya, misalnya anda tinggal di Tangerang, menuju Bekasi dan akan mukim 6 hari atau lebih di bekasi, melewati Jakarta, maka anda tidak boleh jamak di wilayah anda (Tangerang), namun boleh jamak hanya di Jakarta karena masih dianggap dalam perjalanan, ketika sudah masuk Bekasi sudah tak boleh jamak, karena niat tingggal di Bekasi lebih dari 6 hari. Walau kejadiannya anda hanya 1 hari di wilayah tersebut, tetap sudah tak boleh jamak jika sudah masuk wilayah tujuan karena niatnya anda tinggal 6 hari atau lebih, Sebaliknya jika anda niat cuma 3 hari atau 4 hari hari di wilayah tersebut, lalu kejadiannya setelah tiba di wilayah tsb urusan anda belum selesai, tertunda lagi beberapa hari, anda masih tetap boleh jamak, lalu tertunda lagi, lagi dan lagi, tetap boleh jamak, sebagian ulama membatasinya hingga 6 bulan. Kecuali jika anda tidak tahu berapa lama tinggal di wilayah itu, maka tidak boleh jamak, misalnya anda punya suatu urusan bisa selesai 6 hari, bisa seminggu, bisa sebulan, bisa sehari saja, ini sudah tak boleh jamak mulai masuk wilayah tersebut karena tidak ada niat yang pasti. Namun jika sudah niat yang pasti, kemudian tertunda lagi dan lagi maka jamak terus berlanjut, namun ketika anda di wilayah itu sudah tertunda berkali – kali, lalu anda niat tinggal 7 hari lagi, maka mulai anda niat itu sudah tak boleh jamak lagi.

TIDAK BOLEH MENJAMAK SHALAT TANPA UDZUR
Teriwayatkan dalam riwayat Shahih bahwa Rasul saw pernah sekali menjamak shalatnya tanpa udzur, maka berikhtilaf para Imam Madzhab akan hadits ini, sebagian berpendapat bahwa itu kekhususan bagi Rasul saw, karena Rasul saw tak mengajarkan sahabat berbuat demikian, dan Rasul saw mengajarkan jamak adalah pada safar dan sakit saja. Sebagian lain berpendapat bahwa hal itu boleh dilakukan sekali saja seumur hidup, sebagaimana Rasul saw melakukannya sekali saja. Dan tak ada satu madzhab pun yang membolehkan jamak shalat tanpa udzur dengan berkesinambungan, karena waktu shalat telah jelas yaitu 5 waktu.

Namun jika dalam keadaan sangat darurat, misalnya keadaan sangat darurat adalah dikejar musuh atau ingin menyelamatkan nyawa orang, atau keadaan yang sangat darurat, dalam hal ini boleh ta’khir, boleh taqdim, dan hindari qadha. Jika berusaha shalat sebelum keluar waktu, namun terlambat hingga sudah keluar waktu, maka qadha. Jamak shalat hanya boleh dalam perjalanan atau sakit, hanya itulah izin untuk menjamak shalat. Faktor kesulitan masuk kepada darurat, dan itu adalah udzur syar’i, maka misalnya anda terjebak macet di tol, tidak mungkin turun mencari air untuk berwudhu dan shalat maka boleh jamak, namun segala udzur syar’i hanya boleh jika terjadi secara mendadak, jika kita sudah tahu akan terjebak macet dan tak akan keburu shalat di waktunya maka tak boleh kita jamak, namun hendaknya menunggu waktu shalat dulu baru melanjutkan pulang atau pergi kerja atau lainnya.

Namun jika sudah diperkirakan misalnya anda keluar kantor jam 17.00wib, anda sudah perkirakan masuk tol (atau jalanan yang tak ada masjid atau tempat berhenti sekedar shalat), dan anda yakin akan sampai ketujuan sebelum isya dan sempat magrib, lalu saat anda berangkat ternyata terjebak macet yang bukan biasanya, atau biasanya tidak selama itu, maka boleh meng-qadhanya dan tidak terkena dosa. Karena jika sudah sampai di rumah maka tidak boleh lagi jamak di rumah, dalam madzhab syafii tidak dibolehkan melakukan jamak di wilayah sendiri apalagi dirumah sendiri dalam jamak taqdim dan ta’khir, kecuali ditempat pekerjaan maka bukan rumah kita, dengan syarat kita tidak niat tinggal di tempat itu selama 6 hari (4 hari selain hari datang dan hari pulang), maka boleh jamak di tempat tersebut.

TIDAK BOLEH MENJAMAK SHALAT TERUS MENERUS (DENGAN TIDAK TERIKAT LUAR WILAYAH)
Jumhur (kesepakatan) seluruh madzhab tidak membenarkan shalat terus dijamak, karena tidak ada contohnya dari Rasul saw, juga dari para sahabat yang Ahlul Bait dan bukan Ahlul Bait. Ibn Abbas ra melakukannya sekali itu, sebagai bayan bahwa hal itu pernah terjadi di masa Rasul saw, namun melakukannya secara berkesinambungan adalah batil dan penuh kesesatan, karena Allah swt sudah mengatur shalat itu 5 waktu, yaitu waktu subuh, waktu Dhuhur, waktu Asar, waktu Magrib dan waktu Isya.

Siapapun yang berusaha mengubahnya maka ia telah terjebak pada kesesatan yang nyata. Rasul saw selalu menjamak shalatnya jika safar, jika tidak ada udzur maka Rasul saw tidak pernah melakukannya kecuali sekali, maka tidak dibenarkan melakukannya berkesinambungan. Berbeda dengan hal – hal yang sunnah, jika Rasul saw melakukannya sekali, maka sudah bisa diambil kesimpulan bahwa hal itu boleh saja dilakukan, namun dalam hal – hal yang fardhu kita tidak bisa menyamakannya dengan hal yang sunnah, hal yang fardhu mestilah selalu sejalan dengan apa yang diperbuat oleh Rasul saw, jika Rasul saw melakukannya sekali, maka tidak ada kebolehan melakukannya berkesinambungan.

Dan juga mesti dibedakan antara Safar ’Aashiy bissafar dengan Aashiy fissafar, yaitu beda antara Aashiy bissafar maka ia tak boleh jamak sebagaimana dijelaskan diatas, namun beda dengan ‘Aashiy fissafar, maka ini boleh Jamak dan atau Qashar. ’Aashiy bissafar adalah safar untuk bermaksiat, misalnya untuk mencuri, membunuh, atau niat maksiat lainnya walaupun kemudian niatnya urung, namun selama ia mengadakan safar dengan niat itu maka ia tak boleh Jamak dan atau qashar. ‘Aashiy fissafar adalah Niat safar bukan untuk maksiat, namun ia bermaksiat di dalam perjalanannya, misalnya ia niat silaturahmi pada ayah ibunya di kampung, namun di perjalanan ia mencuri, mencaci, mendholimi orang dlsb, ia TETAP boleh Jamak dan atau Qashar, ia berdosa namun jamaknya dan atau qasharnya sah.

Walillahitaufiq