MASALAH MASALAH DALAM SHOLAT BERJAMAAH DENGAN BAHASA TERJEMAH

Shalat Berjama’ah Dengan Tarjemah

     YUSMAN GEMBLUNG      DULU telah terjadi pelaksanaan sholat berjamaah dengan keharusan pembacaan terjemah mengiringi bacaan surat al fatihah dan surat pilihan, baik oleh imam maupun makmum. Seperti diketahui bahwa tuntunan model sholat tersebut telah disebar luaskan oleh Yusman Roy selaku Pengasuh Pondok I’tikaf Jamaah Lelaku Lawang Kabupaten Malang lewat CD. Menurut Yusman Roy model sholat ini ia lakukan berdasarkan keinginan untuk memahami makna bacaan sholat dan sholat itu sendiri. Menurutnya, banyak umat Islam yang melanggar ajarannya karena tidak memahami makna sholat.

Bahkan ia memperkuat argumennya tersebut dengan Firman Allah Surat An Nisa ayat 43 :

يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَقْرَبُوْا الصَّلاَةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu hampiri sembahyang (mengerjakannya) sedang kamu dalam keadaan mabuk, hingga kamu sedar dan mengetahui akan apa yang kamu katakan.

Sebagai akibat dari perbuatan Yusman Roy tersebut, timbullah beberapa masalah.

Status Hukum Keharusan Pembacaan Terjemah

Soal
Bagaimana status hukum keharusan pembacaan terjemah (salinan arti kedalam bahasa selain bahasa wahyu) mengiringi bacaan surat al fatihah dan surat pilihan dalam sholat berjamaah baik oleh imam maupun makmum ?

Jawaban

Sholat itu adalah tergolong ibadah mahdlah (murni) yang berdimensi melambangkan pendekatan diri yang murni dari seorang hamba kepada Tuhannya. Dan dalam pelaksanaannya harus mengacu kepada pedoman yang disyari’atkan Allah, baik melalui Al Quran maupun peragaan sunnah amaliyah oleh Rasulullah (Amrun Tauqiifiy) . Sehingga cara baku yang diperagakan Rasulullah saw setiap kali sholat harus dijadikan pedoman oleh segenap umat, termasuk gerak-gerik (hai’ah) dan bacaan Al Quran maupun redaksi doanya.

Dengan demikian mengharuskan pembacaan terjemah mengiringi bacaan al fatihah atau surat pilihan tergolong perbuatan “Bid’ah Haqiqiyah“ (Bid’ah yang nyata) atau “Bid’ah Dhalalah” (Bid’ah sesat dan tertolak) karena tidak ada petunjuk dalil syar’i, terutama sunnah amaliyah dari Rasulullah saw.

Dasar Pengambilan

Al Quran Surat Al Hasyr : 7

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Dan apa jua perintah yang dibawa oleh Rasulullah (s.a.w) kepada kamu maka terimalah serta amalkan, dan apa jua yang dilarangNya kamu melakukannya maka patuhilah laranganNya. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah; sesungguhnya Allah amatlah berat azab seksaNya (bagi orang-orang yang melanggar perintahNya).

Nailul Awthar Juz 2 hal. 146 :

وَعَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلُّوْا كَمَا رَأَيْـتُمُوْنِيْ أُصَلِّي (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْبُخَارِيُّ)

Diriwayatkan dari Malik : Sesungguhnya Nabi saw bersabda : Sholatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihatku melakukannya. (HR. Ahmad dan Bukhori)

Riyadhus Sholihin hal. 62 :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

Dari Aisyah ra., ia berkata, Rasulullah saw bersabda; Barang siapa mengadakan sesuatu yang baru dalam urursanku (yakni agama ini) yang bukan dari agama maka ia ditolak. (HR. Bukhori-Muslim)

I’anathut Thalibin Juz 1 hal 313 :

وَقَالَ ابْنُ حَجَرٍ فِي فَتْحِ الْمُبِيْنِ فِي شَرْحِ قَوْلِهِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هذَا مَالَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ) مَا نَصُّهُ : قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَا اَحْدَثَ وَخَالَفَ كَِتَابًا أَوْسُنَّةً أَوْ إجْمَاعًا أَوْ أَثَرًا فَهُوَ الْبِدْعَةُ الضَّالَةُ.

Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Mubin dalam menjelaskan sabda Rasulullah saw (Barang siapa membuat baru dalam urursanku yakni agama ini yang tidak ada di dalamnya urrusanku maka ia tertolak) dengan teks berikut ini : As Syafi’i ra. berkata ; Sesuatu baru yang diadakan dan menyalahi Al Quran atau Sunnah atau Ijma’ atau Atsar (perkataan shahabat) maka ia dinamakan Bid’ah Dhalalah.

Manhaj as Salaf fi Fahmi an Nushus baina an Nadhariyah wa Tathbiq, hal 430 :

وَمِنْ هذِهِ الْقَوَاعِدِ الْجَامِعَةِ قَاعِدَةُ الْعِباَدَاتِ وَهِيَ أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لاَ يُعْبَدُ إِلاَّ بِمَا شُرِّعَ وَلِذلِكَ كَانَتِ الْعِبَادَاتُ كُلُّهَا تَوْقِفِيَّةٌ لاَ تُعْلَمُ إِلاَّ مِنْ جِهَةِ اللهِ تَعَالَى.

Dan termasuk kaidah-kaidah yang menyeluruh yaitu kaidah ibadah. Yaitu bahwa sesungguhnya Allah SWT tidak disembah kecuali dengan hal-hal yang telah disyariatkan. Oleh karena itu setiap ibadah bersifat Tauqifiyyah (mengikuti ketentuan dan tata cara yang telah ditetapakan syariah) yang tidak diketahui kecuali dari petunjuk Allah SWT.

Hukum Shalat Berjama’ah Menggunakan Bahasa Terjemah

Soal:

Bagaimana hukum sholat jamaah seperti hal di atas ?

Jawaban

Sholatnya tidak sah, baik bagi imam maupun makmum, karena tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.

Dasar Pengambilan

Shohih Muslim Juz 1 hal 242 :

عَنْ مُعَاوِيَةَ ابْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ قاَلَ … قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ هذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيْهَا مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيْحُ وَالتَّكْبِيْرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ …(رَوَاهُ مُسْلِمٌ)

Dari Mu’awiyah bin Al Hakam Al Sulami, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Tidak layak dalam shalat ini sedikitpun (untuk mengucapkan) perkataan manusia, kata-kata dalam sholat hanyalah berupa tasbih, takbir dan membaca Al Quran. (HR Muslim)

Shohih Muslim Juz 1 hal 243 :

عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصًَّلاَةِ يُكَلِّمُ الرَّجُلُ صَاحِبَهُ وَهُوَ إِلَى جَنْبِهِ فِي الصَّلاَةِ حَتَّى نَزَلَتْ ( وَقُوْمُوْا للهِ قَانِتِيْنَ ) فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوْتِ وَنُهِيْنَا عَنِ الْكَلاَمِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).

Dari Zaid bin Arqam, ia berkata : Kami pernah berbicara saat sholat, salah seorang dari kami berbicara kepada temannya yang berada di sampingya saat sholat, hingga turun ayat, Berdirilah karena Allah (dalam sholatmu) dengan khusyu. (QS. Al Baqarah : 238). Maka kami diperintah agar diam dan dilarang berbicara.” (HR. Muslim)

Mughni al Muhtaj Juz 1 hal. 357 :

وَلاَ التَّرْجَمَةُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى {إِنّآ أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا}فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْعَجَمِيَّ لَيْسَ بِقُرْآنٍ.

Dan bukan terjemahan karena firman Allah (Sesungguhnya Kami menurunkan kitab itu sebagai Quran yang dibaca dengan bahasa Arab). Maka ayat tersebut menunjukkan bahwa perkataan ‘ajam (non arab) bukanlah termasuk Al Quran.

Bajuri Juz 1 hal 148 :

وَشُرُوْطُ الْفَاتِحَةِ أَحَدَ عَشَرَ … وَأَنْ يَقْرَأَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ وَلاَ يُتَرْجِمَ عَنْهَا لِفَوَاتِ الإِعْجَازِ فِيْهَا

Syarat-syarat membaca Al Fatihah ada 11,…: hendaknya musholli (orang yang sholat) membacanya dengan bahasa arab dan tidak menterjemahkannya karena hilangnya unsur i’jaz.

Subulus Salam Juz 1 hal138 :

وَلِلْحَدِيْثِ سَبَبٌ حَاصِلُهُ … وَالْمُرَادُ مِنْ عَدَمِ الصَّلاَحِيَّةِ عَدَمُ صِحَّتِهَا وَمِنَ الْكَلاَمِ مُكَالَمَةُ النَّاسِ وَمُخَاطَبَتُهُمْ كَمَا هُوَ صَرِيْحُ السَّبَبِ. فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْمُخَاطَبَةَ فِي الصَّلاَةِ تُبْطِلُهَا سَوَاءٌ كَانَتْ لإِصْلاَحِ الصَّلاَةِ أَوْ غَيْرِهَا.

Dan Hadits ini memiliki sebab yaitu ……dan yang dimaksud dengan tidak adanya keabsahan adalah tidak sahnya sholat. Termasuk kalam yakni percakapan dan pembicaraan manusia (hal ini seperti kejelasan sebab hadits). Maka hadits ini menunjukkan bahwa pembicaraan di dalam sholat membatalkan sholat baik itu untuk kebaikan sholat atau lainnya.

Kifayatul Akhyar Juz 1 hal. 122 :

إِذَا تَكَلَّمَ الْمُصَلِّي عَامِدًا بِمَا يَصْلُحُ لِخِطَابِ الآدَمِيِّيْنَ بَطَلَتْ صَلاَتُهُ سَوَاءٌ كَانَ يَتَعَلَّقُ بِمَصْلَحَةِ الصَّلاَةِ أَوْغَيْرِهَا وَلَوْ كَلِمَةً.

Jika orang yang sholat berbicara secara sengaja dengan apa-apa yang patut untuk pembicaraan dengan manusia maka sholatnya batal. Baik itu berhubungan dengan kemaslahatan sholat atau yang lainnya meskipun hanya satu kata.

Alasan Menggunakan Bahasa Terjemah Dalam Shalat

Soal

Bagaimana mengenai alasan bahwa penterjemahan itu untuk memahami makna bacaan sholat dan sholat itu sendiri ?

Jawab

Nuansa “ta’abbudi” shalat amat mentolelir kemungkinan orang menunaikan shalat sementara ia belum mampu menghayati makna simbolik dari setiap gerak (hai’ah) maupun bacaan sholat termasuk bacaan ayat-ayat Al Quran. Dalam hal ini standar baku yang disepakati adalah adanya kemampuan untuk mengucapkan teks bacaan berbahasa Arab, baik bacaan Al Fatihah, bacaan ayat Al Quran atau yang lain. Walaupun tetap dianjurkan bagi setiap muslim untuk berusaha memahami makna bacaan sholat, tetapi tidak dengan jalan membaca terjemahannya ketika menjalankan sholat, melainkan dengan belajar memahami bahasa arab di luar sholat.

Disamping itu segala macam bacaan sholat semuanya bersumber dari perintah Allah baik dalam Al Quran maupun Hadits, termsuk bacaan Al Fatihah dan surat pilihan. Sehingga korelasi bacaan Al Quran dengan sholat sebagai media komunikasi hamba dengan Tuhan-Nya menjadi efektif bila berunsurkan firman-firmann-Nya karena hal itu sesuai dengan kehendak-Nya terlepas hamba itu mampu memahami firman itu atau tidak.

Dasar Pengambilan

Al Mizan Al Kubra Juz 1 hal. 153 :

وَقَدْ سَمِعْتُ سَيِّدِيْ عَلِيًّا الْخَوَّاصَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى يَقُوْلُ قَدْ كَلَّفَ اللهُ الأَكَابِرَ بِالاطِّلاَعِ عَلَى جَمِيْعِ مَعَانِي الْقُرْآنِ الظَّاهِرَةِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَرَأَوْا ذلِكَ كُلَّهُ يَحْصُلُ لَهُمْ مِنْ قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ فَلَزِمُوْا قِرَاءَتَهَا وَلَمْ يُكَلَّفِ الأَصَاغِرُ بِذلِكَ لِعَجْزِهِمْ عَنْ مِثْلِ ذلِكَ.

Dan sungguh saya (Al Anshoriy) mendengar tuanku Ali Al Khowwas berkata, “Sungguh Allah membebani para wali Allah dengan keharusan mengerti akan keseluruhan makna dhohir Al Quran dalam setiap rakaat.” Kemudian para ulama berpendapat bahwa hal tersebut bisa berhasil dengan cara membaca al fatihah, sehingga mereka mewajibkan pembacaan al fatihah. Dan untuk orang awam tidak dibebani (diwajibkan) mengerti makna Al Quran dikarenakan ketidakmampuan mereka halam hal tersebut.

Dalil Tentang Pelaksanaan Shalat

Soal

Apakah maksud dari surat An Nisa ayat 43 tersebut?

Jawaban

Al Quran An Nisa ayat 43 memberikan pemahaman bahwa persiapan pelaksanaan sholat yang terpenting adalah kesadaran penuh (akal berfungsi sempurna), tidak terganggu ingatan, sehingga terkesan dan merasakan bahwa yang bersangkutan sedang menghadap Allah. Oleh karena itu orang yang mabuk setelah mengkonsumsi minuman keras atau mengkonsumsi narkoba tidak boleh menunaikan sholat. Karena dalam keadaan mabuk ia tidak mengerti apa yang diucapkannya, apakah ucapan (bacaan sholatnya) benar atau salah. Demikian juga orang yang tidak sadar karena dibius tidak dituntut menjalankan sholat.

Dasar Pengambilan

Rawai’u al Bayan Tafsir Ayati al Ahkam Min al Quran Juz 1 hal 480

رَوَى التُّرْمِذِيُّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ أَنَّهُ قَالَ صَنَعَ لَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ طَعَامًا فَدَعَانَا وَسَقَانَا مِنَ الْخَمْرِ فَأَخَذَتِ الْخَمْرُ مِنَّا وَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَقَدَّمُوْنِي فَقَرَأْتُ قُلْ يَآأَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ لآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَ وَنَحْنُ نَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَ قَالَ فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى (يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَقْرَبُوْا الصَّلاَةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ)

At turmudzi meriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib beliau berkata ; Abdurrahman bin Auf membuatkan untuk kami makanan lalu mengundang kami serta memberikan kami minuman khomr (ketika masa minuman keras belum diharamkan) maka khomr itu pun telah mengambil kesadaran kami. Maka kemudian datang waktu sholat, saya menjadi imamnya maka saya membaca “qul yaa ayyuha al-kaafiruun laa a’budu maa ta’buduun, wa nahnu na’budu maa ta’buduun (surat al kafirun yang dibaca secara salah). Beliau berkata : maka Allah menurunkan ayat “ Yaa ayyuha al-ladziina aamanuu la taqrabuu al-sholaata wa antum sukaaroo hattaa ta’lamuu maa taquuluuna.”

Soal

Bagaimana jika dikaitkan dengan surat Ibrahim ayat 4 yang artinya

“Dan Kami tidak mengutuskan seseorang Rasul melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia menjelaskan (hukum-hukum Allah) kepada mereka.”_

Jawab

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ…

Surat Ibrahim ayat 4 di atas, memberikan pengetian bahwa para Rasul memiliki tugas menjelaskan risalah kepada kaumnya dengan menggunakan bahasa yang difahami oleh kaumnya. Hal ini merupakan segi rasionalitas dari metode dakwah untuk menyampaikan risalah yang diajarkan oleh Islam. Dengan bahasa kaumnya diharapkan agar mereka memahami tujuan risalah secara sempurna. Pemahaman ini tidak dapat ditafsirkan bahwa para ulama dan para da’I diharuskan membacakan terjemah Al Quran ketika menjadi imam sholat karena masalah tata caranya telah dijelaskan oleh Rasulullah secara rinci.

Begitu pula merupakan tugas Rasulullah saw adalah menjelaskan lebih lanjut pelaksanaan perintah-perintah dalam Al Quran yang bersifat global (mujmal) seperti sholat, puasa, zakat, haji dan sebagainya dengan menjelaskan secara rinci tentang cara pelaksanaannya. Perintah sholat misalnya, dalam Al Quaran disebutkan antara lain dengan “wa aqiimuu al sholaata” (tegakkanlah sholat). Al Quran tidak menjelaskan secara rinci bagaimana tata cara pelaksanaan sholat. Maka Rasulullah saw. lah yang menjelaskan tata caranya sebagaimana sabdanya “ tunaikanlah sholat seperti kalian melihat tata caraku tengah menunaikan sholat “. Adapun selanjutnya yang bertanggung jawab melanjutkan tugas Rasulullah saw ini adalah para ulama, karena mereka adalah pewaris para Nabi. Disinilah keharusan para ulama dan dai memberikan penerengan kepada masyarakat berkaitan dengan ajaran Islam ini dengan cara yang difahami oleh masyarakatnya.

Dasar Pengambilan

al Manhalu al Lathifu fi Ushuli al Hadits al Syarif hal. 12-13

صِلَّةُ السُّنَّةِ بِالْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ عَظِيْمَةٌ وَوَثِيْقَةٌ جِدًّا إِذَا عَلِمْنَا أَنَّ وَظِيْفَةَ السُّنَّةِ النَّبَوِيَّةِ تَفْسِيْرُ الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ وَالْكَشْفُ عَنْ أَسْرَارِهِ وَتَوْضِيْحُ مُرَادِ اللهِ تَعَالَى مِنْ أَوَامِرِهِ وَأَحْكَامِهِ … والثَّانِي أَنْ تَكُوْنَ بَيَانًا لِمَا أُرِيْدَ بِالْقُرْآنِ، وَأَنْوَاعُ هذَا الْبَيَانِ مَا يَأْتِي : (١) بَيَانُ الْمُجْمَلِ وَذَلِكَ مِثْلُ الأَحَادِيْثِ الَّتِيْ بَيَّنَتْ جَمِيْعَ مَا يَتَعَلَّقُ بِصُوَرِ الْعِبَادَاتِ وَالأَحْكَامِ مِنْ كَيْفِيَّاتٍ وَشُرُوْطٍ وَأَوْقَاتٍ وَهَيْئَاتٍ فَإِنَّ الْقُرْآنَ لَمْ يُبَيِّنْ عَدَدَ وَوَقْتَ وَأَرْكَانَ كُلِّ صَلاَةٍ مَثَلاً وَإِنَّمَا بَيَّنَتْهُ السُّنَّةُ.

Hubungan as sunnah dengan al Quran al Karim sangat besar dan erat sekali. Jika kita mengerti bahwa sesunguhnya fungsi sunnah nabi adalah menafsiri al Quran dan menguak (menyikap) rahasia-rahasia al Quran dan menjelaskan maksud dari perintah-perintah Allah dan hukum-hukum-Nya”(hal 12).

Yang kedua (dari fungsi as sunnah) sebagai penjelas hal-hal yang dikehendaki Al Quran. Dan jenis-jenis penjelasan ini seperti hal berikut ini ; (1) Penjelasan akan hal-hal yang bersifat global (mujmal) seperti hadits-hadits yang menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk ibadah dan hukum yakni dari segi tata cara, syarat, waktu dan keadaan. Karena sesunguhnya Al Quran tidak menjelaskan jumlah, waktu dan rukun-rukun dari setiap sholat, misalnya. Dan sesungguhnya yang menjelaskannya adalah as sunnah”.