PENJELASAN MENGENAI AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

NUUU

                         Kesetiaan pada tradisi ditegaskan oleh NU dengan menyatakan dirinya tergolong pada Ahlusunnah wal jamaah yang berarti penganut tradisi (kebiasaan) nabi Muhammad sebagaimana yang dilakukan oleh mayoritas umat Islam.(34) Ingin ditegaskan bahwa NU lebih mengutamakan tradisi daripada pertimbangan rasional dalam memberlakukan Islam di seluruh lapangan kehidupan. Ahmad Siddiq menjabarkan: “Ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabatnya.”(35) Dalam pendidikan di madrasah NU, ahlusunnah wal Jamaah, dirumuskan:

Pengikut ajaran Islam yang berlandaskan pada: (1) Al Quranul Karim (2) Sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrir) Nabi Muhammad SAW sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya, (3) Sunnah Khulafaurrasyidin Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.”(36)

Istilah ini sebenarnya bukanlah istilah yang baru. Menurut Harun Nasution sudah berkembang sebagai reaksi terhadap ajaran Mu’tazilah (yang sering disebut kaum rasional Islam) yang muncul kira-kira abad pertama dan kedua Hijrah.(37) Mu’tazilah bukan rasionalis dalam bidang theologi tetapi juga rasionalis dalam menilai sumber agama Islam seperti hadis-hadis,

Selanjutnya kaum Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena mereka ragu-ragu akan keoriginilan hadis-hadis yang mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena itu mereka dapat dipandang sebagai golongan yang tidak berpegang teguh pada sunnah.(38)

Walaupun golongan ini pernah berpengaruh kuat beberapa saat dalam masa dinasti Abbasiyah tetapi karena ajarannya yang rasional dan filosofis (pengaruh filsafat Yunani), ia tidak mendapat pengaruh luas di kalangan rakyat.(39) Terkenal dalam sejarah Islam dua orang theolog pembela ahlusunnah wal jamaah seperti al-Asy’ari (873-935 M) dan al-Maturidi (?- 944 M).(40)

Bagi NU memberlakukan ajaran Islam menurut aliran ahlusunnah wal jamaah tidak terlepas dari pengakuan terhadap ajaran keempat mazhab Islam (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali) dan peranan bimbingan para ulama. Hal ini ditegaskan oleh Hasyim Asyari perumus pengertian ahlusunnah wal jamaah, seperti yang dirumuskannya dalam Muktamar III (1928) � yang kemudian menjadi Muqadimah Qanun Asasi Nahdlatul Ulama (Pembukaan Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama):

Hai para ulama dan pemimpin yang takut kepada Allah dari kalangan Ahlusunnah wal jamaah dan pengikut mazhab imam empat! Kalian sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian, begitu pula generasi sebelumnya dengan bersambung sanadnya sampai pada kalian; dan kalian harus melihat dari siapa kalian mencari atau menuntut ilmu agama Islam.

Berhubung dengan caranya menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karena itu janganlah memasuki suatu rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya maka pencurilah namanya.(41)

Pengertian ahlusunnah wal jamaah menjadi berkembang; ia merupakan penegasan kaum tradisional menanggapi gerakan pembaharuan bahwa memahami Islam tidak cukup hanya berlandaskan Quran dan Hadis tapi harus melalui jenjang tertentu, yaitu ulama mazhab, hadis (sunnah) dan akhirnya pada sumber utama Quran itu sendiri. Itulah sebabnya pengertian ahlusunnah wal jamaah bagi NU adalah “para pengikut tradisi Nabi Muhammad dan ijma’ ulama.”(42) NU tidak menentang ijtihad (penalaran) tapi memikirkannya dalam konteks bagaimana suatu ijtihad dimengerti oleh umat. “Para kyai berpendapat bahwa Quran dan Hadis disarnpaikan kepada kaum muslimin dalam bahasa yang tidak mudah dipahami dan penuh dengan simbolisme yang dapat lebih mudah dimengerti melalui tafsiran-tafsiran yang diberikan oleh para imam dan ulama-ulama terpilih”.(43) Dengan kata lain para ulama memikirkan bagaimana ajaran Islam dapat dengan mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh umat. Dengan demikian NU telah mengembangkan sebuah metodologi tersendiri dalam mengembangkan ajaran Islam. Dalam pengakuannya terhadap keberadaan mazhab dan tradisi (kebiasaan-kebiasaan sebelumnya), NU tidak akan mudah jatuh kepada sikap fundamentalis karena ia mempunyai banyak rujukan untuk memberikan fatwanya. Dengan menerima keempat mazhab NU menjadi golongan yang berpengaruh luas; ia mampu menghimpun berbagai tradisi dan sekaligus potensi!

Untuk lebih memahami makna ahlusunnah wal jamaah perlu disimak penjabaran K.H. Bisyri Musthafa.

  1. Dalam bidang hukum-hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu mazhab empat. Dalam praktek, para kyai adalah penganut kuat daripada mazhab Syafi’i.
  2. Dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hassan Al-Asyari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi.
  3. Dalam bidang tasawwuf menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim Al-Junaid.(44)

Mengapa dikatakan NU penganut kuat mazhab Syafi’i dalam bidang hukum padahal ia adalah pembela ajaran empat mazhab? Farouq Abu Zaid dalam bukunya Hukum Islam Antara Tradisionalis dan Modernis, meruuskan watak para pendiri keempat mazhab dan menyebutkan Syafi’i sebagai Imam Kaum Moderat.(45) Watak Moderat itu disebabkan oleh latar belakang Syafi’i(767-820) sendiri yang mengembangkan ajarannya semula di Mekah dan Madinah kemudian di Bagdad dan terakhir di Mesir sehingga ajaran Syafi’i berkembang sesuai dengan masyarakat sekitarnya.(46) Mazhab Syafi’i bila perlu terbuka menerima suatu kebiasaan yang telah berlaku sebelumnya berlandaskan sebuah hadis yang berbunyi: “Apa yang dianggap oleh orang-orang Islam itu baik, maka ia di sisi Allah juga baik”.(47) Karena itu dengan menegaskan diri menganut mazhab Syafi’i “dimungkinkan adanya pilihan untuk menyesuaikannya dengan keadaan kehidupan yang nyata”.(48) Inilah yang membuat NU mampu tampil dalam segala situasi dan dalam merumuskan sikapnya tidak terpaku pada sesuatu keputusan masa lalu. Ia tidak menggantungkan diri pada kemampuan penalaran seseorang (individual interpretaion) yang justru akan memberi peluang kepada perdebatan atau perselisihan, yang pada akhirnya akan membingungkan masyarakat (awam). Kalau ia dianggap lamban atau kaku menurut pandangan luar, sebenarnya tidak tepat, karena para ulama hnya ingin menyatakan sikap yang berhati-hati menilai sesuatu. Berhubung luas dan panjangnya tradisi yang mesti diperhatikan maka NU mau tidak mau lebih mengutamakan pendapat bersama. Dengan sendirinya pula peranan ulama (sarjana agama), bukan kaum intelektual (sarjana non-agama) yang menentukan langkah-langkah NU! Sesuai dengan pilihannya itu juga NU mampu akrab dengan kultur Indonesia dan hal itu mempunyai dasar yang kuat dalam tradisi Islam!

Ajaran Tauhid (mempercayai Tuhan sebagai yang Esa) mempunyai arti luas, bukan hanya sekedar tentang sifat Tuhan saja. Ia merangkum segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan, pembuktiannya dan sumber-sumbernya.(49) Tauhid adalah “merupakan inti ajaran Islam. Tauhid berarti hanya ada Satu Tuhan Yang Maha Tinggi di alam semesta ini. Dia Maha Kuasa, Maha Ada dan merupakan Pemelihara alam semesta dan umat manusia.”(50)

Sebagaimana kita ketahui Mu’tazilah, kaum rasional Islam yang ditentang oleh Al-Asyari dan Maturidi. Mu’tazilah adalah tonggak pertama pertemuan Islam dengan filsafat Yunani, tema-tema pokok ajaran Islam sejak Mu’tazilah mulai diterangkan dalam bahasa filsafat.(51) Sejak kemunculannya, Islam mulai mengkonsolidasi ajarannya, yang disebut oleh Watt “Konsolidasi Faham Sunni”, karena perhatian mulai dicurahkan terhadap Sunnah Nabi.(52) Konsolidasi itu mencapai puncaknya pada kedua tokoh yang tersebut di atas. Dari keduanya al-Asyari yang paling utama.

Ada empat pokok penting yang ditekankan oleh Al-Asyari dalam menentang kaum Mu’tazilah. Pertama, karena Quran adalah sabda Tuhan maka dengan sendirinya adalah kekal sifatnya. Kedua, ungkapan antrhopomorfis tentang Tuhan (seperti wajah dan tangan Tuhan) harus diterima seadanya tanpa perlu diartikan secara kiasan. Ketiga, demikian pula tentang keakhiratan harus diterima seadanya. Keempat, kehendak bebas manusia diajarkan oleh Mu’tazilah ditolak karena dianggap mengurangi kekuasaan Allah; Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia tetapi manusia memperolehnya (acquisition), karena itu manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.(53) Al-Asyari sebagai bekas pengikut Mu’tazilah mampu mengembangkan argumen rasional, tetapi selain itu yang penting Quran dan Sunnah adalah landasan argumennya.

Tentang al-Asyari dan argumennya, Watt menyatakan:

Selain dalil-dalil Quran dan Sunnah ia juga mendasarkan argumen-argumen lainnya pada hasil pengamatan dan pengetahuan umum atau pada kesepakatan kaum Muslimin. Jadi berbeda dengan tampak luarnya, al-Asyari benar-benar memperkenalkan dalil-dalil atau argumen rasional, dan sekelumit ragi ini dengan segera menyebar ke seluruh tubuh teolog Islam.(54)

Menarik pula untuk dicatat bahwa bagi Al-Asyari seorang pelaku dosa besar tetap seorang mukmin (orang yang beriman) tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq ( percaya kepada Tuhan tetapi tidak mengamalkan perintahNya).(55) Dengan sikap-sikap demikian orang-orang tidak mudah jatuh ke dalam fanatisme terhadap sesama muslim.

Berdasarkan theologi Al-Asyari NU merumuskan karakter utama sebagai ahlusunnah wal jamaah. Choirul Anam dengan mengutip Achmad Siddiq rnerumuskan tiga karakter utama NU,

  1. Keseimbangan antara dalil aqli (rasio) dan dalil naqli (Al-Quran dan Hadits), dengan pengertian dalil aqli ditempatkan di bawah dalil naqli.
  2. Berusaha sekuat tenaga memurnikan aqidah dari segala campuran aqidah di luar Islam.
  3. Tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas seseorang yang karena satu dan lain sebab belum dapat memurnikan aqidah semurni-murninya.(56)

Melalui al-Asyari NU telah menunjukkan dirinya sebagai ahlusunnah wal jamaah di Indonesia dari serangan kaum rasional
yaitu kaum pembaharuan (modern). Ia seolah-olah ingm menegaskan bahwa kaum pembaharuan adalah kaum Mu’tazilah baru.
Sikap NU terhadap kaum pembaharuan mempunyai rujukan historis yang berwibawa. Para ulama bukanlah golongan yang reaksioner
dalam menanggapi perkembangan Islam setelah berhembusnya angin pembaharuan, melainkan ia ingin menegaskan sikapnya yang kritis dan sedapat mungkin berusaha menjaga agar perkembangan Islam selalu dalam batas-batas yang dianggap paling benar secara keagamaan. Dengan mengemukakan al-Asyari maka NU telah menunjukkan bahwa ia memahami siapa dirinya dan mengetahui dengan mendalam sejarah perkembangan Islam!

Penegasan bahwa NUmenganut tasawuf (sufisme) sudah tentu bukan hal yang ganjil mengingat perkembangan Islam di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh sufisme. Nurcholis Majid dalam tulisannya ‘Pesantren dan Tasauf’ menilai bahwa perkembangan tasawuf di pesantren-pesantren (yang umumnya bernaung di bawah NU) selalu dijaga agar serasi dengan doktrin ortodoks atau ahlu sunnah wal jamaah, berkat karya al-Ghazali yang sangat dikenal di pesantren.(57) “Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111) adalah pengikut al-Asyari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahlu Sunnah dan Jamaah.”(58)

Pemilihan ajaran Abu Qosim al-Junaid sebagai sandaran ajaran dalam bidang tasawuf merupakan bukti bahwa NU kritis menilai sufisme. Al-Junaid (meninggal 901) adalah seorang tokoh sufi asal Bagdad yang juga menguasai Hadis dan Fiqih (jurisprudensi).(59) Sebagaimana sudah menjadi watak umumnya, sufisme menekankan
kesadaran mistik,(60) maka tak jarang ia dituduh mengabaikan syari’at, sehingga pengikut-pengikut sufisme sering bentrok dengan kaum sunni sebagai mayoritas Islam. Namun demikian pada abad IX dalam tubuh sufisme muncul usaha-usaha untuk “menjaga Sufisme agar tetap berada dalam batas-batas yang wajar.” Dan dari antara mereka yang mengusahakan itu adalah al-Junaid dari Bagdad yang dijuluki oleh Rahman sebagai “tokoh kritik yang besar dalam sufisme yang awal serta perumus sufisme ortodoks.”(61) Dengan mengutuip L. Massignon, Rahman merumuskan tentang al-Junaid,

Junaid menjadikan klaim-klaim sufi sebagai sasaran kritik yang tak henti-hentinya dalam batas-batas pengalaman mereka maupun dalam praktek-praktek lahiriah mereka. Demikianlah, ia menolak untuk memberikan validitas obyektif apapun kepada konsep Sufi tentang ‘tahapan-tahapan’ dalam kesadaran manusia . . . Ia juga berusaha melakukan tindakan balasan terhadap kecenderungan-kecenderungan bergaya orang-orang yang acuh terhadap kepercayaan bentuk dan peradaban agama dalam praktek sufi dengan mengemukakan bahwa ‘pengetahuan’ (‘ilmu) mempunyai prioritas atas gnosis (ma’rifah) dan larangan memiliki prioritas terhadap pembolehan.(62)

Lebih lanjut dia mengatakan,

Sebagai hasil dari proses ini, doktrin sufi membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan kategori yang sebagian saling bertentangan dan sebagian juga saling melengkapi, dengan tujuan untuk mengintegrasikan dan berlaku adil terhadap kesadaran mistik maupun kesadaran kenabian, pengalaman dan kehidupan batin dari ruh dengan Syari’ah sebagai lembaga.(63)

Upaya mengintegrasikan sufisme dengan ortodoksi (sunni) mencapai puncakaya pada tokoh monumental al-Ghazali (meninggal 1111) yang pengaruhnya “tidak hanya membangun kembali Islam ortodoks, dengan menjadikan sufisme sebagai bagian integral dari padanya, tapi ia juga merupakan pembaharu sufisme yang besar, yang membersihkannya dari unsur yang tak Islamis dan mengabdikannya kepada paham Islam yang ortodoks.”(64) Dengan memilih al-Junaid untuk ditengahkan (dari sekian tokoh sufi yang alirannya terdapat di Indonesia), NU menerima kehadiran sufisme dan berupaya agar sufisme selalu dalam wawasan sunni.

Ketiga pokok rumusan Bisyri Musthafa di atas, tauhid, mazhab dan tasauf, dijabarkan oleh Choirul Anam sebagai Imam (yang berintikan tauhid), Islam (yang berlandasarkan syari’at menurut ketetapan mazhab) den Ihsan (kesucian jiwa yang didambakan oleh sufisme) “Ketiga-tiganya: Iman, Islam dan Ihsan harus diimplementasikan dalam perbuatan nyata secara serempak, terpadu den berkeseimbangan.”(65)

NU rneletakkan dasar religiusnya sebagai organisasi, yang membuat ia bersifat terbuka, fleksibel dan adaptif. Namun demikian ia Juga mampu bersikap radikal apabila dirasakan perkembangan di luar dirinya mengancam keberadaannya sebagai golongan tradisional, sehingga Nakamura dalam pengamatannya menjuluki NU sebagai tradisionalisme radikal.(66)

NU menerapkan doktrin ahlusunnah wal jamaah secara baru. Kalau semula ia dimengerti sebagai reaksi golongan ortodoksi (sunni) terhadap Syiah, maka bagi NU merupakan reaksi terhadap golongan pembaharuan.(67) Pengertian Ahlusunnah wal jamaah bagi NU adalah pengakuan terhadap tradisi Islam dalarn konteks Indonesia yaitu bagaimana Islam masuk ke Indonesia dalam tradisi mazhab dan sufisme. Ia tidak membuat polarisasi antara ortodoksi dan sufisme tetapi mengharmoniskannya. Pengakuannya terhadap sufisme membuat NU mempunyai potensi menerima elemen-elemen yang baru bersifat lokal karena sudah menjadi watak sufisme terbuka terhadap elemen lokal sepanjang dianggap meningkatkan intensitas keberagamaan, dalam pengakuan terhadap tradisi maka NU berusaha menjaga setiap perkembangan tidak menyimpang dari ajaran Islam.

Seperti para wali, NU membiarkan amal kebudayaan yang ada hidup dalam masyarakat, sambil mengisinya dengan jiwa dan semangat ajaran Islam. Dan malah salah satu sumber kekuatan NU, sehingga kebangkitan ulama yang ditandai oleh lahirnya NU tidak serta merta berhadapan dengan budaya yang ada di masyarakat, tetapi menyatakan aspirasi kebudayaan dengan aspirasi keislaman.

Inilah antara lain yang menyebabkan NU secara sangat cepat diterima oleh masyarakat Islam di Indonesia. Dan pada gilirannya nanti, kita melihat, NU kemudian mampu berkembang menjadi organisasi keagamaan yang terbesar di Indonesia.(68)

______________________
34. Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta, Universitas Indonesia, 1986), hlm. 64. Untuk selanjutnya disebut, Nasution, Teologi Islam.
35. Anam, op. cit, hlm. 135.
36. Ibid., hlm. 137.
37. Nasution, Teologi Islam, hlm. 61.
38. Ibid., hlm. 63-64.
39. Ibid., hlm. 63, Bandingkan, W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi Islam dan Filsafat Islam, terjemahan dari Islamic Theology and Philosophy, (Jakarta: P3M, 1987), hlm. 73-74. Untuk selanjutnya akan disebut, Watt, Pemikiran.
40. Lihat, Ibid., hlm. 61-78.
41. Anam, op.cit., hlm. 61 Cetak tebal dari saya. Naskah Muqadimah dari Hasyim Asyari ini juga menjadi lampiran Keputusan Muktamar ke 27 1984 di Situbondo. Lihat, Muktamar Situbondo, hlm. 161-172.
42. Dhofier, op,cit., hlm. 148.
43. Ibid., hlm. 151.
44. Ibid., hlm. 149; Umar Hasyim dalam bukunya Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlusunnah Wal-Jama’ah? menekankan pengertian Ahlu Sunnah Wal-Jamaah dianut oleh seluruh umat Islam kalangan Sunni dan menolak anggapan bahwa ahlu sunnah wal jamaah hanya dianut oleh golongan tradisi saja. Lihat, Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah?, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), hlm. 5-6. Secara terang-terangan Hasyim menolak ajaran Al-Junaid yang dinilainya sesat, bahkan ia menolak kehadiran sufisme dalam golongan yang disebut ahlusunnah wal jamaah. Lihat, Ibid., hlm. 194-204.
45. Farouq Abu Zaia. Hukum Islam Antara Tradisionalis dan Modernis, terjernahan dari ‘Al-Syari’at al-Islamiyah bayn al-Muhafizhin wa’l-Mutajaddidin’, (Jakarta P3M 1986) hlm. 28.
46. Ibid., hlm. 30-31.
47. Dikutip di dalarn Jalaluddin Abdurrahman A.S., Lima Kaidah Pokok dalam Fikih Syafi’i, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), hlm. 163; Bandingkan, hlm. 163-181.
48. Dhofier, op.cit. hlm. 159.
49. Lihat pengertian Tauhid dalam Kamus Istilah Agama, hlm. 369-370.
50. Kurshid Ahmad, “Islam: Prinsip-prinsip Dasar dan Karakteristik-karakteristiknya”, dalam Pesan Islam, ed. Kurshid Ahmad, terjemahan dari ‘Islam: Its Meaning and Message‘, (Bandung: Pustaka, 1983), hlm. 14-15.
51. Lihat, Watt, Pemikiran, hlm. 74. “Di zaman modern dan kemajuan ilmu pengetahuan serta tehnik sekarang, ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah yang bersifat rasional itu mulai timbul kembali dikalangan umat Islam terutama di kalangan kaum terpelajar. Secara tak sadar mereka telah mempunyai faham-faham yang sama atau dekat dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Mempunyai faham-faham yang demikian tidaklah membuat mereka ke luar dari Islam,” Nasution, Teologi Islam, hlm. 60.
52. Ibid., hlm. 88-98.
53. Ibid, hlm. 103-104.
54. Ibid., hlm, 102. Cetak tebal dari saya.
55. Nasution, Teologi Islam, hlm. 71; untuk Pengertian istilah mukmin dan fasiq saya mengikuti, Kamus Istilah Agama, hlm. 90-91, 225.
56, Choirul Anam, op.cit., hlm. 152. Ketiga karakter itu disimpulkan dalam tiga istilah: At Tawassuth, berarti pertengahan, Al I’tidal, berarti tegak lurus dan At Tawaazun, berarti keseimbangan. Ketiganya berasal dari ayat-ayat Quran Sura Al-Baqarah: 143, Al Maidah: 9 dan Al Hadid: 25. Ibid,, hlm. 151 lihat catatan no. 30.
57. Rahardjo, ed., op,cit., hlm. 103-105. “Kekuatiran perpisahan tasauf dan syariah ahlussunnah wal jama’ah memang selalu ada. Karena tu dalam salah satu kongresnya, Nahdlatul Ulama yang merupakan tempat bernaung sebagian besar gerakan tasauf di Indonesia, merasa perlu membuat perincian tentang tarekat mana yang sah (mu’tabarah) dan tarekat mana yang tidak sah sehingga tidak boleh diamalkan”. Ibid., hlm. 105.
58. Nasution, Teologi Islam, hlm. 73.
59. Abingdon Dictionary, hlm. 392 di bawah “Al-Junayd, Abi’l Qosim”.
60. Lihat, Rahman, Islam, hlm. 183-189.
61. Ibid., hlm. 197.
62. Ibid., hlm. 199.
63. Ibid. Cetak miring dari saya.
64. Ibid., hlm. 202.
65. Anam, op. cit., hlm. 169.
66. Mitsuo Nakamura, Agama dan Perubahan Politik, terjemahan dari The Radical Traditionalism of the Nahdlatul Ulama in Indonesia: A Personal Account of the 26th National Congress, June 1979, Semarang, (Surakarta. Hapsara, 1982) hlm. 22-24
67. Dhofier, op. cit., hlm 149. Golongan Syiah muncul akibat pertentangan Khalifah Ali dengan lawannya kelompok Ummayah, setelah Ali terbunuh para pengikutnya menuntut agar kekhalifahan dikembalikan kepada keturunannya (sebagai keturunan nabi Muhammad). Inilah satu-satunya skisma dalam Islam. Dalam perkembangan lebih lanjut Syiah tidak mengakui keutamaan ijma (konsensus) sebagaimana Islam Sunni dan peranan ijma digantikan oleh otoritas imam. Lihat, Rahman, Islam, hlm. 249-256.
68. Yusuf, et al., op. cit., hlm. 31.