BOLEHKAH SUAMI MELAKUKAN ONANI KARENA ISTERI SEDANG HAIDL

  • ﻧﻬﺎﻳﺔ ﺍﻟﺰﻳﻦ ﺹSUAMI٣٢ :
    ﻭﺍﻟﻌﺎﺷﺮ ﺍﻟﻤﺒﺎﺷﺮﺓ ﻓﻴﻤﺎ ﺑﻴﻦ ﺳﺮﺓ ﺍﻟﺤﺎﺋﺾ ﻭﺭﻛﺒﺘﻬﺎ ﻭﻟﻮ ﺑﻼ ﺷﻬﻮﺓ ﻷﻥ ﺫﻟﻚ ﻗﺪ ﻳﺪﻋﻮﻩ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺠﻤﺎﻉ ، ﻭﺧﺮﺝ ﺑﻤﺎ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺴﺮﺓ ﻭﺍﻟﺮﻛﺒﺔ ﺑﺎﻗﻲ ﺟﺴﺪﻫﺎ ﻓﻼ ﺗﺤﺮﻡ ﻣﺒﺎﺷﺮﺗﻪ.
    Dan yang kesepuluh (haram) mubasyaroh / menggauli pada anggota badan istri yang haid antara pusar dan lututnya walaupun tanpa ada gairah syahwat, karena hal demikian bisa menarik untuk bersenggama. Dan keluar dari kategori anggota badan antara pusar dan lutut yaitu sisa anggota badannya, maka tidak haram menggaulinya (selain anggota antara pusar dan lutut)
    ﺍﻹﻗﻨﺎﻉ ١/٨٨
    ﻭﺍﻟﺜﺎﻣﻦ ﺍﻹﺳﺘﻤﺘﺎﻉ ﺑﺎﻟﻤﺒﺎﺷﺮﺓ ﺑﻮﻁﺀ ﺃﻭﻏﻴﺮﻩ ﻣﻤﺎ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺴﺮﺓ ﻭﺍﻟﺮﻛﺒﺔ ﻭﻟﻮ ﺑﻼ ﺷﻬﻮﺓ -ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝ- ﻭﺧﺮﺝ ﺑﻤﺎ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺴﺮﺓ ﻭﺍﻟﺮﻛﺒﺔ ﻫﻤﺎ ﻭﺑﺎﻗﻲ ﺍﻟﺠﺴﺪ ﻓﻼ ﻳﺤﺮﻡ ﺍﻹﺳﺘﻤﺘﺎﻉ ﺑﻬﺎ.
    Dan yang kedelapan (haram) bersenang senang dengan cara menggauli baik deng menjima’ atau selainnya pada anggota badan antara pusar dan lutut meskipun tanpa syahwat -sampai pada perkataan pengarang kitab- dan keluar dari kategori anggota badan antara pusar dan lutut ialah sisa anggota badan(nya), maka tidak haram bersenang senang dengan menggunakan (anggota badan selain antara pusar dan lutut)
     
      
    Dalam al Baqarah: 222, jelas Allah telah
  • berfirman “.. hendaklah kamu menjauhkan diri(menyetubhi ) wanita dikala haid..”.
    Hal ini berlaku ketika suami tidak dalam keadaan syahwatnya yg menggebu dan khawatir jatuh pada zina. Maka kalau dia khawatir akan wuqu’ pada zina kecuali dg cara menjima’ istrinya yg sedang haid, jelas tidak haram dan boleh menjima’nya.
    Mengapa saya katakan boleh menjima’ istrinya yg sedang haid atas dasar kekhawatiran yg ada pada diri si suami, tentunya si Gemblung gak sembarangan merumuskan hukum :
  • ﻧﻬﺎﻳﺔ ﺍﻟﺰﻳﻦ 34 – 35 :
  • ﻭﺍﻟﺘﺎﺳﻊ ﺍﻟﻮﻁﺀ ﻭﻟﻮ ﺑﺤﺎﺋﻞ ﺛﺨﻴﻦ ﻭﻟﻮ ﺑﻌﺪ ﺍﻧﻘﻄﺎﻉ ﺍﻟﺪﻡ ﻭﻗﺒﻞ ﺍﻟﻐﺴﻞ-ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝ-ﻭﻣﺤﻞ ﺣﺮﻣﺘﻪ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﺨﻒ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﻓﺈﻥ ﺧﺎﻓﻪ ﻭﺗﻌﻴﻦ ﺍﻟﻮﻁﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻴﺾ ﻃﺮﻳﻘﺎ ﻟﺪﻓﻌﻪ ﺟﺎﺯ ﻷﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﺗﻌﺎﺭﺽ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺸﺨﺺ ﻣﻔﺴﺪﺗﺎﻥ ﻗﺪﻡ ﺃﺧﻔﻬﻤﺎ
    Dan yang kesembilan (haram) menjima’ (istri yang haid) meskipun (dzakarnya) disampul dengan penghalang yang tebal [kondom, misalnya], dan meskipun setelah terputusnya darah dan sebelum mandi -sampai pada perkataan pengarang kitab- dan letak keharamannya apabila dia (suami) tidak khawatir zina, lantas kalau dia khawatir berzina dan berjima’ pada waktu haid menjadi jalan satu2nya untuk menolaknya, maka boleh menjima’nya, karena ketika dua mafsadah saling bertentangan terhadap seseorang maka yang lebih ringan dari keduanya yang didahulukan
    ﻭﻟﻮ ﺗﻌﺎﺭﺽ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻮﻁﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻴﺾ ﻭﺍﻻﺳﺘﻨﻤﺎﺀ ﺑﻴﺪﻩ ﻓﺎﻟﺬﻱ ﻳﻈﻬﺮ ﺃﻧﻪ ﻳﻘﺪﻡ ﺍﻻﺳﺘﻨﻤﺎﺀ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻮﻁﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻴﺾ ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻛﺒﻴﺮﺓ ﺑﺨﻼﻑ ﺍﻻﺳﺘﻨﻤﺎﺀ ﻓﺈﻥ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﺬﺍﻫﺐ ﻳﻘﻮﻝ ﺑﺠﻮﺍﺯﻩ ﻋﻨﺪ ﻫﻴﺠﺎﻥ ﺍﻟﺸﻬﻮﺓ ﻭﻫﻮ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺻﻐﻴﺮﺓ
    Dan andai berjima’ pada waktu haid dan melakukan onani dengan tangannya (suami) bertentangan terhadapnya, maka yang jelas onani-lah yang didahulukan karena berjima’ pada waktu haid merupakan hal yang disepakati bahwa ia dosa besar. Berbeda halnya dengan onani dimana sebagian ulama madzhab memperbolehkannya ketita syahwat sedang menggebu gebu, dan onani menurut kalangan Syafi’iyyah adalah dosa kecil