CARA MENSUCIKAN AIR KENCING BAYI
Air kencing bayi dalam keluarga muslim dari segi status kenajisan dan cara mensucikannya adalah problem yang umum terjadi dan akan senantiasa berulang selama pernikahan dan kelahiran terus terjadi. Bagi sebagian pasangan suami-istri yang memiliki bayi, hukum fikih terkait persoalan ini mungkin belum diketahui atau diketahui namun dalam bentuk yang samar-samar. Tulisan ini dimaksudkan memberikan sumbangan bagi mereka. Mudah-mudahan bermanfaat.
Air kencing bayi dihukumi najis tanpa membedakan apakah bayinya laki-laki maupun perempuan, masih menyusu maupun sudah disapih, hanya makan ASI saja maupun sudah makan makanan tambahan selain ASI. Semuanya dihukumi najis berdasarkan dua dalil, yaitu; dalil keumuman najisnya air kencing manusia dan dalil khusus najisnya air kencing bayi.
Dalil yang menunjukkan najisnya air kencing manusia diantaranya adalah hadis berikut;
صحيح البخاري (1/ 370)
عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ
dari Yahya bin Sa’id berkata, “Aku mendengar Anas bin Malik berkata, “Seorang ‘Arab badui datang lalu kencing di sudut Masjid, maka orang-orang pun melarangnya dengan bentakan, tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencegah mereka. Setelah orang itu selesai dari kencingnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan disediakan setimba air lalu disiramkan pada bekasnya.” (H.R.Bukhari)
Perintah Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam terhadap shahabat agar menuangi air kencing badui di dalam masjid menunjukkan tempat yang terkena air kencing tersebut harus disucikan. Keharusan mensucikan air kencing menunjukkan air kencing manusia dihukumi najis.
Adapun dalil khusus yang menunjukkan air kencing bayi najis diantaranya adalah hadis berikut;
مسند أحمد (56/ 12)
عَنْ أُمِّ كُرْزٍ الْخُزَاعِيَّةِ قَالَتْ
أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِغُلَامٍ فَبَالَ عَلَيْهِ فَأَمَرَ بِهِ فَنُضِحَ وَأُتِيَ بِجَارِيَةٍ فَبَالَتْ عَلَيْهِ فَأَمَرَ بِهِ فَغُسِلَ
dari Ummu Kurz Al Khuza’iyyah dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditangankan kepada beliau seorang bayi laki laki yang kemudian mengencinginya, beliau lalu memerintahkan untuk memercikinya, lantas sisa kencingnya itu pun diperciki air. Dan didatangkan kepada beliau pula seorang bayi perempuan, ketika bayi itu mengencinginya, beliau memerintahkan untuk mencucinya,.” (H.R.Ahmad)
Perintah Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam untuk memerciki air kencing bayi laki-laki dan mencuci/membasuh air kencing bayi perempuan yang mengenai beliau menunjukkan bahwa air kencing bayi dihukumi najis tanpa membedakan bayi laki-laki maupun perempuan.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa air kencing bayi suci dengan dalil bahwa Nabi hanya memerintahkan memerciki air kencing bayi laki-laki, bukan membasuhnya, maka argumentasi ini tidak bisa diterima karena perintah memerciki tidak menunjukkan suci namun hanya menunjukkan bahwa najisnya Mukhoffafah (ringan). Lagipula Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan membasuh air kencing bayi perempuan, padahal dari segi bayi, tidak ada bedanya antara bayi laki-laki maupun perempuan. Tambahan lagi, Nash-Nash yang memerintahkan mensucikan badan, pakaian, dan tempat dari air kencing bersifat umum bagi semua air kencing dari segi air kencing manusia. Oleh karena itu air kencing bayi termasuk keumuman lafadznya sehingga dihukumi Najis.
Adapun cara mensucikannya, maka hal ini perlu diperinci.
Jika bayinya laki-laki, maka cara mensucikannya cukup dengan cara Nadh tanpa perlu dibasuh/dicuci. Maksud Nadh disini adalah; percikilah dengan air bagian yang terkena air kencing, kemudian usaplah dengan air semua bagian yang terkena najis dengan usapan yang lembut, tanpa menggosok, menekan keras, atau memeras. Mencuci/membasuh selalu disertai mengalirnya air sementara Nadh tidak disertai mengalirnya air.
Dalil yang menunjukkan bahwa mensucikan air kencing bayi laki-laki cukup dengan Nadh (memerciki dan mengusap) adalah hadis yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu lafadz;
عَنْ أُمِّ كُرْزٍ الْخُزَاعِيَّةِ قَالَتْ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِغُلَامٍ فَبَالَ عَلَيْهِ فَأَمَرَ بِهِ فَنُضِحَ
dari Ummu Kurz Al Khuza’iyyah dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditangankan kepada beliau seorang bayi laki laki yang kemudian mengencinginya, beliau lalu memerintahkan untuk memercikinya, lantas sisa kencingnya itu pun diperciki air… (H.R.Ahmad)
Lafadz ini menunjukkan air kencing bayi laki-laki diperlakukan berbeda dengan air kencing bayi perempuan. Mensucikan air kencing bayi laki-laki cukup dengan cara Nadh, tidak perlu sampai membasuh/mencuci.
Dalil lain yang menguatkan adalah hadis riwayat Ahmad berikut;
مسند أحمد (2/ 7) صحيح البخاري (19/ 438)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُؤْتَى بِالصِّبْيَانِ فَيَدْعُو لَهُمْ فَأُتِيَ بِصَبِيٍّ فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَتْبَعَهُ إِيَّاهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ
dari Aisyah bahwa pernah didatangkan kepada Nabi Shallallahu’alaihiwasallam seorang anak kecil supaya beliau mentahniknya (mengunyahkan makanan lalu menyuapkannya-pent), lalu beliau mendudukkannya di kamar. Kemudian anak tersebut kencing di atasnya, lalu beliau meminta air dan mengusapkan air tersebut pada baju beliau dan tidak mencucinya.” (H.R.Ahmad)
Riwayat lain Ahmad yang menguatkan;
مسند أحمد (54/ 312)
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ قَالَتْ
رَأَيْتُ كَأَنَّ فِي بَيْتِي عُضْوًا مِنْ أَعْضَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ فَجَزِعْتُ مِنْ ذَلِكَ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ خَيْرًا تَلِدُ فَاطِمَةُ غُلَامًا فَتَكْفُلِينَهُ بِلَبَنِ ابْنِكِ قُثَمٍ قَالَتْ فَوَلَدَتْ حَسَنًا فَأُعْطِيتُهُ فَأَرْضَعْتُهُ حَتَّى تَحَرَّكَ أَوْ فَطَمْتُهُ ثُمَّ جِئْتُ بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَجْلَسْتُهُ فِي حِجْرِهِ فَبَالَ فَضَرَبْتُ بَيْنَ كَتِفَيْهِ فَقَالَ ارْفُقِي بِابْنِي رَحِمَكِ اللَّهُ أَوْ أَصْلَحَكِ اللَّهُ أَوْجَعْتِ ابْنِي قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ اخْلَعْ إِزَارَكَ وَالْبَسْ ثَوْبًا غَيْرَهُ حَتَّى أَغْسِلَهُ قَالَ إِنَّمَا يُغْسَلُ بَوْلُ الْجَارِيَةِ وَيُنْضَحُ بَوْلُ الْغُلَامِ
dari Ummi Fadll dia berkata, “Aku melihat seakan-akan di rumahku ada bagian dari bagian tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga aku pun menjadi cemas, aku lalu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyebutkan akan hal itu, beliau lalu bersabda: “Kabar baik, Fatimah akan melahirkan seorang anak, lalu kamu yang mengasuhnya dengan susu anakmu, Qutsam.” Ummu Fadll berkata, “kemudian Fatimah melahirkan Hasan, kemudian aku memberinya, aku susui hingga ia bergerak -menyampihnya-, setelah itu bayi tersebut aku bawa ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku dudukkan di pangkuannya. Namun anak itu kencing hingga aku pun memukul antara kedua pundaknya, maka beliau pun bersabda: “Bersikap lembutlah kepada anakku semoga Allah merahmatimu -atau, semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu-, kamu telah menyakiti cucuku.” Aku lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, lepaslah sarungmu dan pakailah kain yang lain hingga aku mencucinya, ‘ beliau bersabda: “Hanyasanya yang dicuci itu adalah dari kencing bayi perempuan, adapun bayi laki-laki maka cukup dipercikkan saja.” (H.R.Ahmad)
Riwayat Abu Dawud yang menguatkan;
سنن أبى داود – م (1/ 144)
أَبُو السَّمْحِ قَالَ كُنْتُ أَخْدُمُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَكَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَغْتَسِلَ قَالَ « وَلِّنِى قَفَاكَ ». فَأُوَلِّيهِ قَفَاىَ فَأَسْتُرُهُ بِهِ فَأُتِىَ بِحَسَنٍ أَوْ حُسَيْنٍ – رضى الله عنهما – فَبَالَ عَلَى صَدْرِهِ فَجِئْتُ أَغْسِلُهُ فَقَالَ « يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ »
Dari Abu As Samh dia berkata; Saya pernah melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila beliau hendak mandi, beliau bersabda: “Belakangilah aku”. Maka saya pun membelakangi beliau, lalu saya menutupi beliau (sewaktu mandi) dengan cara membelakangi beliau itu. Setelah itu dibawalah Hasan dan Husain radliallahu ‘anhuma kepada beliau, lalu mereka kencing di atas dada beliau. Maka saya datang untuk mencucinya, namun beliau bersabda: “Kencing anak perempuan itu di cuci, sedangkan kencing anak laki-laki cukup diperciki”. (H.R.Abu Dawud)
Riwayat Abu Dawud yang lain yang menguatkan;
سنن أبى داود (1/ 457)
عَنْ لُبَابَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ قَالَتْ
كَانَ الْحُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي حِجْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَالَ عَلَيْهِ فَقُلْتُ الْبَسْ ثَوْبًا وَأَعْطِنِي إِزَارَكَ حَتَّى أَغْسِلَهُ قَالَ إِنَّمَا يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْأُنْثَى وَيُنْضَحُ مِنْ بَوْلِ الذَّكَرِ
dari Lubabah binti Al Harits dia berkata; Pernah Husain bin Ali radliallahu ‘anhu berada di pangkuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu dia kencing di atas pangkuan beliau. Maka saya berkata; Pakailah (gantilah) pakaian, dan berikanlah aku kain sarungmu itu untuk saya cuci. Beliau bersabda: “Sesungguhnya yang dicuci hanya kencing anak perempuan, sedangkan kencing anak laki-laki, hanya di perciki”. (H.R.Abu Dawud)
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa air kencing bayi laki-laki juga dibasuh sebagaimana air kencing manusia dewasa, maka pendapat ini tidak bisa diterima karena argumentasinya adalah mengqiyaskan pada air kencing manusia dewasa, bukan karena ada dalil tersendiri. Sementara dalil yang shahih telah menunjukkan perlakuan khusus pada air kencing bayi laki-laki, yaitu cukup diperciki dan diusap saja tanpa harus dibasuh/dicuci.
Hanya saja, disyaratkan bayi laki-laki tersebut belum makan makanan tambahan apapun selain air susu ibu (ASI). Jika bayi laki-laki tersebut telah memakan makanan tambahan selain ASI seperti pisang, bubur, roti, sayur dll maka perlakuan khusus tersebut dicabut dan hukum air kencingnya menjadi seperti air kencing pada umumnya yang hanya bisa disucikan dengan cara dibasuh/dicuci sampai hilang warna, bau dan rasanya.
Dalil yang menunjukkan bahwa belum memakan makanan adalah syarat perlakuan khusus pada air kencing bayi laki-laki adalah hadis riwayat Bukhari berikut;
صحيح البخاري (1/ 373)
عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ
أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ لَمْ يَأْكُلْ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجْرِهِ فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ
dari Ummu Qais binti Mihshan, bahwa dia datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa anaknya yang masih kecil dan belum makan makanan. Rasulullah lalu mendudukkan anak kecil itu dalam pangkuannya sehingga ia kencing dan mengenai pakaian beliau. Beliau kemudian minta diambilkan air lalu memercikkannya dan tidak mencucinya.” (H.R.Bukhari)
Qotadah memperjelas syarat ini sebagaimana dalam hadis yang diriwatkan At-Tirmidzi berikut ini;
سنن الترمذى (2/ 495)
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي بَوْلِ الْغُلَامِ الرَّضِيعِ يُنْضَحُ بَوْلُ الْغُلَامِ وَيُغْسَلُ بَوْلُ الْجَارِيَةِ
قَالَ قَتَادَةُ وَهَذَا مَا لَمْ يَطْعَمَا فَإِذَا طَعِمَا غُسِلَا جَمِيعًا
dari Ali bin Abu Thalib radliallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda mengenai air kencing bayi yang masih menyusu: ” Pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki cukup diperciki air sedangkan jika terkena air kencing bayi perempuan maka harus dicuci.” Qatadah berkata, hal ini jika keduanya belum memakan makanan, jika sudah memakan makanan maka keduanya harus dicuci. (H.R.At-Tirmidzi)
Menurut Ibnu Syihab Az-Zuhri, ketentuan ini telah menjadi Sunnah yang berlaku dan dilaksanakan generasi Awal. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
مصنف ابن أبي شيبة (1/ 121)
عَنِ ابْنِ شِهَابٍ ، قَالَ : مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّهُ يُرَشُّ بَوْلُ مَنْ لَمْ يَأْكُلَ الطَّعَامَ ، وَمَضَتِ السُّنَّةُ بِغَسْلِ بَوْلِ مَنْ أَكَلَ الطَّعَامَ مِنَ الصِّبْيَانِ.
“Dari Ibnu Syihab beliau berkata; Telah berlaku Sunnah bahwasanya air kencing bayi yang belum makan makanan diperciki, dan telah berlaku Sunnah untuk membasuh/mencuci air kencing bayi yang telah memakan makanan” (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
Yang dimaksud belum makan makanan dalam hadis tersebut adalah belum memakan makanan tambahan selain air susu, atau makanan tambahan yang tidak dimaksudkan sebagai makanan dan berfungsi seperti makanan. Ibnu Hajar Al-‘Asqolani berkata dalam Fathu Al-Bari;
فتح الباري لابن حجر (1/ 351)
قَوْله : ( لَمْ يَأْكُلْ الطَّعَامَ )
الْمُرَاد بِالطَّعَامِ مَا عَدَا اللَّبَن الَّذِي يَرْتَضِعُهُ وَالتَّمْر الَّذِي يُحَنَّكُ بِهِ وَالْعَطَل الَّذِي يَلْعَقُهُ لِلْمُدَاوَاةِ وَغَيْرهَا فَكَانَ الْمُرَاد أَنَّهُ لَمْ يَحْصُلْ لَهُ الِاغْتِذَاء بِغَيْرِ اللَّبَنِ عَلَى الِاسْتِقْلَالِ
Ucapan: “belum memakan makanan” (dalam hadis tersebut) maksudnya adalah makanan selain susu yang disusuinya dan kurma yang digunakan untuk mentahniknya, dan madu yang dijilatnya untuk pengobatan atau selainnya. Jadi yang dimaksud (dalam hadis tersebut) adalah bahwa bayi itu belum makan selain susu (ASI) saja. (Fathu Al-Bari vol 1, hlm 351)
Untuk susu formula seperti susu krim, susu kedelai atau susu dari hewan, maka semuanya dihukumi makanan tambahan yang membuat tercabut perlakuan khusus terhadap air kencing bayi laki-laki. Artinya, jika bayi laki-laki selain minum asi juga diberi susu formula atau susu hewan, maka air kencingnya tidak mendapat perlakuan khusus lagi untuk mensucikannya,dan disucikan sebagaimana cara mensucikan air kencing biasa. Alasannya, tiruan sesuatu bukanlah sesuatu itu sendiri, meskipun terdapat kesamaan. Tiruan daging bukanlah daging itu sendiri sehingga dihukumi Tho’am (makanan-tambahan) yang disebutkan dalam hadis.
Adapun air kencing bayi wanita, maka berdasarkan Nash-Nash yang telah dipaparkan sebelumnya, tidak ada perlakuan khusus terkait cara mensucikannya sehingga dihukumi sebagaimana air kencing biasa yakni dibasuh/dicuci sampai hilang warna, rasa dan baunya.
Jika bayinya berkelamin ganda, maka harus ditahqiq (diteliti) untuk memutuskan jenis kelaminnya. Keharusan Tahqiq ini dikarenakan Syara tidak mengakui kelamin banci, sehingga pada kasus bayi berkelamin ganda maka harus diputuskan berdasarkan faktanya apakah lebih cenderung ke laki-laki ataukah perempuan, misalnya dengan melihat dari mana air kencing keluar, organ-organ reproduksi dalam, hormon dll.
Untuk mensucikan harus dengan air, tidak cukup panas matahari, setrika, angin, atau mesin pengering. Hal itu dikarenakan Nash yang ada menunjukkan bahwa alat penyuci yang syar’I hanyalah air, kecuali ada Nash lain yang mengkhususkan seperti cara menyucikan jilatan anjing pada bejana atau mensucikan kulit bangkai. Wallahua’lam.