CARA MERAWAT JENAZAH ATAU TAJHIZUL MAYYIT LENGKAP

Tajhizul mayit artinya merawat atau mengurus seseorang yang telah meninggal. Hukum tajhiz adalah fardlu kifayah bagi setiap orang mukallaf yang mengetahui atau menyangka atas kematian seseorang.

STATUS MAYIT YANG AKAN DIRAWAT DIPERINCI SEBAGAI BERIKUT;

  1. Muslim Ghoiru Syahid Wa Ghoiru Siqti

Yaitu mayit muslim dewasa serta bukan mati syahid

Kewajiban yang harus dilakukan terhadap mayit ini adalah :

  1. Memandikan
  2. Mengkafani
  3. Menshalati
  4. Memakamkan
  5. Mayit Muslim Al Syahid (Syahid Dunia Dan Akhirat)

Yaitu mayit yang mati waktu perang dengan non muslim (orang kafir)

Hal-hal yang harus dilakukan kaum muslimin terhadap mayit seperti ini adalah :

  1. Mengkafani dengan pakaian perangnya. Bila tidak cukup maka ditambah dengan kain kafan lain sehingga bisa menutupi seluruh badannya
  2. Memakamkan.

Untuk mayit syahid dunia akhirat ini haram di sholati dan dimandikan meski ia menanggung hadast besar.

  1. Mayit Al-Muslim As-Siqtu (Bayi Prematur)

Yaitu bayi atau janin yang lahir sebelum mencapai usia 6 bulan. Dalam kitab-kitab salafi menangani bayi ini diperinci sebagai berikut,

Lahir dalam keadaan hidup, yang bisa diketahui dengan jeritan, gerakan atau yang lainnya.

Kewajiban terhadap bayi ini adalah sama seperti mayit muslim dewasa yaitu: memandikan, mengkafani, menyolati, dan menguburkan.

Lahir dalam bentuk bayi sempurna, (sudah berusia 4 bulan), namun tidak diketahui tanda-tanda kehidupan.

Kewajiban terhadap bayi ini adalah : memandikan, mengkafani dan menguburkan. Adapun hukum mensholatinya tidak diperbolehkan.

Belum berbentuk manusia (belum berusia 4 bulan). Bayi yang demikian, tidak ada kewajiban apapun, namun disunahkan membungkusnya dengan kain dan memakamkannya[1].

Keterangan :

Bayi yang lahir mencapai usia 6 bulan, maka menurut pendapat yang kuat, harus ditahjiz seperti orang dewasa meski tidak ada tanda-tanda kehidupan.[2]

  1. Kafir Dzimmi[3]

Yaitu kafir yang tidak memusuhi orang islam.

Kewajiban yang harus dilakukan hanya ada dua macam yaitu;

a.Mengkafani

b.Memandikan

Hukum memandikannya boleh (jawaz), namun haram untuk disholati.

_______________________________________

[1] At-tarmasy juz III hal 453-461

[2] Hasyiyatul jamal juz 2 hal 191 / I’anatut tholibin juz 2 hal;123

[3] At-tarmasi juz 3 hal. 453-461

MEMANDIKAN MAYIT

Batas minimal memandikan mayit adalah :

  1. menghilangkan najis yang ada pada tubuh mayyit
  2. mengguyurkan air secara merata ke seluruh tubuh mayit termasuk juga farjinya tsayyib (kemaluan wanita yang sudah tidak perawan) yang tampak ketika duduk atau bagian dalam alat kelamin laki-laki yang belum dikhitan (kulup)[1]

Keterangan:

Kusus mengenai anak laki-laki yang belum dikhitan (berkelopak kulit) jika air tidak bisa sampai kebawahnya maka hukumnya diperinci sebagai berikut :

a.Jika di bawah kelopak kulitnya suci, maka sebagai ganti membasuh adalah di tayammumi

b.Jika dibawah kelopak kulitnya najis yang tidak bisa dihilangkan kecuali dipotong. Maka haram memotongnya.

Mengenai penanganan laki-laki ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’ :

Menurut imam romli : cukup dikafani dan dikubur tanpa disholati

Menurut imam ibnu hajar : ditayammumi kemudian disholati dan dikubur. Pendapat ibnu hajar ini mendapat dukungan dari syeikh al fadani, sebab mengubur mayit dengan tanpa disholati menandakan kurang adanya penghormatan.[2]

Sedangkan cara mentayammumi mayit yang praktis sebagai berikut :

Kedua tangan orang yang tayammum diletakkan pada debu

Tangan kanannya diusapkan pada wajah mayit, seraya niat :

نويت التيمم عن تحت القلفة هذاالميت لله

Tangan kiri diusapkan pada tangan kanan mayit. Tangan kanan diletakkan pada debu lagi untuk diusapkan pada tangan kiri mayit.

Cara memandikan yang lebih sempurna, sebagai berikut :

1.Tempat memandikan sepi, tertutup dan tidak ada orang masuk kecuali orang yang bertugas.

2.Ditaburi wewangian, semisal dengan membakar dupa, yang berguna untuk mencegah bau yang keluar dari tubuh mayit, selain juga karena ada ulama yang berpendapat supaya malaikat turun memberikan rahmatnya (mahfudz at-tarmasi juz 3 hal. 399-402)

3.Mayit dibaringkan dan diletakkan di tempat yang agak tinggi, seperti di atas dipan atau dipangku oleh tiga atau empat orang. Hal ini dilakukan guna mencegah mayit supaya tidak terkena percikan air

4.Mayit dimandikan dalam keadaan tertutup semua anggota tubuhnya, jika tidak memungkinkan atau mengalami kesulitan, maka cukup auratnya saja yang ditutup yaitu antara pusar sampai lutu

5.Orang yang memandikan wajib memakai alas tangan ketika menyentuh auratnya (antara pusar sampai lutut). Dan sunah beralas tangan ketika menyentuh bagian tubuh selain aurat.

6.Perut mayit diurut dengan tangan kiri secara perlahan oleh orang yang memandikan secara berulang-ulang agar kotoran yang ada di perut mayit dapat keluar.

7.Membersihkan dua lobang kemaluan dengan menggunakan tangan kiri yang wajib dibungkus dengan kain.

8.Membersihkan gigi mayit dan kedua lubang hidungnya dengan jari telunjuk tangan kiri yang beralaskan kain basah dan jika terkena kotoran maka harus disucikan terlebih dahulu.

9.Mewudhukan mayyit persis seperti wudlunya orang yang hidup, baik rukun maupun sunnahnya, niatnya mewudlukan mayyit adalah :

نويت الوضوء لهذا الميت

“saya niat mewudlukan pada mayit ini”

10.Membasuh mayyit mulai kepala hingga telapak kaki dengan air sabun, sampo atau daun bidara dengan cara :

  • Mengguyurkan air ke kepala mayyit
  • Mengguyur sebelah kanan bagian depan anggota tubuh mayit dimulai dari leher sampai telapak kaki mayit
  • Mengguyur sebelah kanan bagian belakang anggota tubuh mayit dengan agak memiringkan posisinya, mulai leher sampai kaki. Kemudian sebelah kiri juga dimulai dari bagian leher sampai kaki.

Keterangan : Untuk basuhan nomer 8 ini, belum dihitung basuhan yang wajib dalam memandikan mayit, sebab air yang digunakan bukan air yang thohir muthohir.

Mengguyur seluruh tubuh mayit mulai kepala sampai kaki dengan air yang murni (tidak tercampur dengan sabun atau daun widara) untuk membilas sisa-sisa daun bidara, sabun atau sesuatu yang ada pada tubuh mayit, dengan posisi mayit dimiringkan.

Keterangan : Basuhan ini juga tidak bisa dihukumi basuhan yang wajib sebab air tersebut (meski air murni) namun akhirnya akan berubah (thahir goiru muthohir) sebab terkena bekas sabun, sampo, daun bidara yang berada pada tubuh mayit

Mengguyur seluruh tubuh mayit yang ketiga kalinya dengan memakai air yang dicampur sedikit kapur barus, yang tidak sampai merubah kemutlakan air atau bisa dengan cara diguyur dengan air bersih murni (tanpa kapur barus) sampai rata keseluruh tubuh mayit, lalu tubuh mayit diperciki dengan air kapur barus

Keterangan : Basuhan ini merupakan basuhan yang wajib dalam memandikan mayit. Pada saat basuhan terakhir ini disunahkan untuk membaca niat :

نويت الغسل لاستباحة الصلاة عليه نويت الغسل عن هذه الميت

“saya niat memandikan mayyyit ini / saya niat memandikan untuk memperbolehkan menyolatinya”

Menyisir rambut dan jenggot mayit yang tebal dengan perlahan (jika rambutnya acak acakan) memakai sisir yang longgar agar tidak ada rambut yang rontok. Jika ada rambut yang rontok maka harus diambil dan dikembalikan, namun kesunnahannya dibungkus dengan kain kafan kemudian dikebumikan bersama mayit.

Hal ini jika mughtasil (orang yang memandikan) menghendaki membasuh sebanyak tiga kali, apabila menghendaki yang lebih sempurna lagi maka mayit bisa dimandikan dengan 5/7 basuhan.

Untuk lima kalli basuhan maka dengan urutan sebagai berikut :

  1. Air sabun/daun widara
  2. Air pembilas (muzilah)
  3. Basuhan ke 3, 4 dan 5 memakai air bersih yang dicampur sedikit kapur barus atau sejenisnya

Untuk 7 kali basuhan maka dengan urutan sebagai berikut :

  1. Air sabun/daun widara
  2. Air pembilas (muzilah)
  3. Air sabun/daun widara
  4. Air pembilas (muzilah)
  5. Basuhan ke 5,6 dan 7 air bersih yang dicampur sedikit kapur barus dan sejenisnya

Tambahan :

Paling sempurna memandikan mayit adalah Sembilan basuhan, berbeda dengan pendapat al-muksyi yang mengatakan bahwa tujuh basuhan adalah batas maksimal kesempurnaan memandikan mayit, lebih dari itu hukumnya makruh karena termasuk Isrof(berlebihan)

Haram menelungkupkan mayit pada saat memandikan sebab hal tersebut menandakan penghinaan kepada mayit.

SYARAT ORANG YANG MEMANDIKAN

Harus sejenis atau ada hubungan mahrom atau ada ikatan suami istri, atau mayit adalah seorang anak kecil yang belum menimbulkan potensi syahwat. Jika tidak di temukan, maka mayit cukup ditayammumi dengan ditutupi semua anggota badannya selain anggota tayammum. Dan orang yang menayammumi harus beralas tangan (Ibrahim al-bajuri juz 1 hal. 246)

Memiliki keahlian dalam memandikan mayit

Orang yang memandikan dan orang yang membantunya harus memiliki sifat amanah (dapat di percaya), dalam artian : seandainya dia memberitahukan suatu kondisi menggemvirakan yang Nampak dari mayit, maka beritanya dapat dipercayai kebenarannya. Sebaliknya, jika melihat hal-hal yang tidak menggembirakan, maka ia mampu untuk merahasiakannya (Ibrahim al-bajuri juz 1 hal. 246)

PERINGATAN : Harom melihat aurotnya mayit, kecuali untuk kesempurnaan memandikan, seperti untuk memastikan bahwa air yang digunakan sudah merata atau untuk menghilangkan kotoran yang dapat mencegah sampainya air pada kulit mayit

Disunahkan pula memakai air dingin, karena lebih menguatkan daya tahan tubuh mayit. Kecuali di saat cuaca dingin maka disunahkan memakai air hangat

________________________________________

[1] At-turmusi juz 3 hal; 399-402

[2] Nihayah zain hal. 151 / kasifatus saja hal;101

TATA CARA PEMAKAMAN

Mengubur jenazah di pekuburan lebih utama daripada di tempat khusus. Dalam membawa jenazah ke pekuburan disunnahkan menaruh posisi kepala di arah depan walaupun bukan arah kiblat.[1]

Sedangkan lubang kubur, minimal harus memenuhi beberapa persyaratan diantaranya:

  1. Bisa menutupi dari bau busuknya mayit dan bisa melindungi mayit dari binatang buas (tidak bisa digali dan dimakan binatang buas)
  2. Berupa galian, tidak cukup jika berupa bangunan di atas tanah sekalipun bisa melindungi dari binatang buas.

Sedangkan yang paling utama yaitu membuat galian yang luas dan dalam setinggi orang normal berdiri dengan mengangkat tangannya ke atas atau sekitar 4 ½ dzira’ atau 2,25 M Galian ini bisa berbentuk dua macam yaitu : Lahd, yaitu melubangi bagian bawah dari lubang kubur pada sisi arah kiblat setelah menggali sedalam 2,25 M. Ini lebih utama (afdol) di daerah dengan struktur tanah yang keras.

Syaq, yaitu membuat galian di tengah-tengah lubang kubur seperti galian sungai. Ini lebih utama(afdol) di daerah dengan struktur tanah yang gembur dan lunak.

Tata cara penguburan mayit yang paling sempurna dan sesuai dengan kesunahan adalah sebagai berikut :

1.Meletakkan jenazah sebelum dimasukkan ke liang kubur di posisi kaki kubur (sebelah selatan liang lahat).

2.Mengangkat jenazah, lalu diturunkan ke liang kubur dengan posisi kaki terlebih dahulu.

3.Dikubur tanpa memakai alas, bantal atau peti. Hukum menggunakan ini semua makruh kecuali dalam keadaan darurat seperti ketika lahatnya berair.

4.Orang yang masuk ke dalam liang lahat disunnahkan ganjil, afdolnya tiga orang.

5.Menutup liang kubur dengan kain ketika prosesi pemakaman supaya tidak terlihat aurat mayit jika terbuka.

6.Mayit diletakkan berbaring miring dan sisi tubuh bagian kanan (lempeng kanan) menempel di tanah, makruh bila menggunakan sisi tubuh bagian kiri. Adapun menghadapkan ke kiblat hukumnya wajib.

7.Sunnah bagi yang menguburkan mengucapkan :

“بسم الله وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وآله وسلم “

8.Melepas ikatan kafan mayit pada kepala mayit dan membuka kafan yang menutupi pipi mayit lalu menempelkannya ke tanah.

9.Meletakkan bantalan dari tanah (biasanya berbentuk bulat) pada bagian belakang tubuh mayit seperti belakang kepala dan punggung, kemudian menekuk sedikit bagian tubuh mayit ke arah depan supaya tidak mudah untuk terbalik atau menjadi terlentang.

10.Adzan dan iqomah dengan lirih, lalu menutup liang dengan papan sebelum ditutup dengan tanah dengan menaikkan sedikit urukan tanah setinggi jengkal.

11.Setelah proses penguburan selesai, berdiam sebentar untuk dibacakan talqin serta memperbanyak istighfar bagi mayit.

REFRENSI :

.[1] حواشي الشرواني – (ج 3 / ص 130)

قوله: (إلى تنكيس رأس الميت) يؤخذ منه أن السنة في وضع رأس الميت في حال السير أن يكون إلى جهة الطريق سواء القبلة وغيرها كما قاله السيد عمر بصري

التقريرات السديدة ص387

رابعا :دفن الميت

أحكام الدفن ثلاثة :

  1. واجب للمسلم والكافر الذمي غير السِّقط الذي لم يظهر فيه مبدأ خلق آدمي .
  2. مندوب : للسّقط الذي لم يظهر فيه مبدأ خلق آدمي .
  3. مباح : للكافر الحربي، إلا إذا تأذّى الناس برائحته، فيجب .

أقل الدفن ( الواجب ) : حفرة تكتم رائحته وتحرسه من السباع حتى لا تنبشه وتأكله، ولا يكفي البنأ مع إمكان الحفر .

كيفيات الدفن : له كيفيتان، لحد وشَقّ :

اللحد : هو أن يحفر ما يسع الميت في أسفل جانب القبر من جهة القبلة بعد أن يحفر – بعمق – قدر قامة وبسْطة : ” أربعة أذرع ونصف “، وهي أفضل من الشق إن صلبت الأرض كالمدينة المنورة.

الشق : هو أن يحفر في وسط القبر كالنهر، ويكون أفضل إذا كانت الأرض رَُخْوة كمكة المكرمة

TALQIN MAYIT

Telah umum dalam masyarakat kita, selesai jenazah dimakamkan salah seorang dari pihak keluarga mayit duduk disamping makam lalu mulai melafadzkan bacaan talqin[i] bagi mayit. Namun dewasa ini, ada satu kelompok yang mengklaim dirinya paling mengikuti al-Qur’an dan sunnah dengan pemahaman para sahabat dan tabi’in menyatakan bahwa talqin mayit adalah bid’ah karena tidak memiliki landasan dalam syari’at serta tidak bermanfaat bagi si mayit. Permasalahan semacam ini telah menjadi polemik dalam masyarakat, benarkah talqin mayit tidak memiliki landasan syari’at padahal telah dilakukan oleh para ulama’ pendahulu kita ?.

Oleh karena itu, kami akan membahas tentang dalil-dalil yang menjadi landasan talqin mayit agar bisa memberikan kejelasan pada masyarakat.

Dasar hukum talqin mayit

Salah satu dasar hukum mengenai talqin adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, imam Abi Dawud, dan imam An Nasai :

لقنوا موتاكم لا إله إلا الله

“Talqinilah orang-orang mati kalian dengan Laa ilaaha illalloh “

Memang mayoritas ulama mengatakan bahwa yang dimaksud lafadz موتاكم dalam hadits di atas orang-orang yang hampir mati bukan orang-orang yang telah mati, sehingga hadits tersebut menggunakan arti majas (arti kiasan) bukan arti aslinya.

Akan tetapi, tidak salah juga jika kita artikan lafadz tersebut dengan arti aslinya yaitu orang yang telah mati. karena menurut kaidah bahasa arab, untuk mengarahkan suatu lafadz kepada makna majasnya diperlukan adanya qorinah (indikasi) baik berupa kata atau keadaan yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan perkataan tersebut adalah makna majasnya bukan makna aslinya. Sebagai contoh jika kita katakan “talqinillah mayit kalian sebelum matinya” maka kata-kata “sebelum matinya” merupakan qorinah yang mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan kata mayit dalam kalimat ini bukan makna aslinya (yaitu orang yang telah mati) tapi makna majasnya (orang yang hampir mati).

Sedangkan dalam hadits tersebut tidak diketemukan Qorinah untuk mengarahkan lafadz موتاكم kepada makna majasnya, maka sah saja jika kita mengartikannya dengan makna aslinya yaitu orang-orang yang telah mati bukan makna majasnya. Pendapat inilah yang dipilih oleh sebagian ulama seperti Imam Ath Thobary, Ibnul Humam, Asy Syaukany, dan Ulama lainya.

Selain hadits di atas, masih ada hadits lain yang menunjukkan kesunahan mentalqini mayit setelah dikuburkan, yaitu :

إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلا يُجِيبُ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَقُولُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللَّهُ، وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ، فَلْيَقُلْ: اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ، وَيَقُولُ: انْطَلِقْ بنا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ، فَيَكُونُ اللَّهُ حَجِيجَهُ دُونَهُمَا”، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ:”فَيَنْسُبُهُ إِلَى حَوَّاءَ، يَا فُلانَ بن حَوَّاءَ. رواه الطبراني

“Jika salah satu diantara kalian mati, maka ratakanlah tanah pada kuburnya (kuburkanlah). Hendaklah salah satu dari kalian berdiri di pinggir kuburnya dan hendaklah berkata : “wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati, pent) anak fulanah (sebutkan ibu orang yang mati, pent)” sebab dia bisa mendengarnya tapi tidak bisa menjawabnya. Kemudian berkata lagi : “wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati, pent) anak fulanah (sebutkan ibu orang yang mati, pent)” sebab dia akan duduk. Kemudian berkata lagi : “wahai fulan (sebutkan nama orang yang mati, pent) anak fulanah (sebutkan ibu orang yang mati, pent)” sebab dia akan berkata : “berilah kami petunjuk –semoga Allah merahmatimu-“ dan kalian tidak akan merasakannya. Kemudian hendaklah berkata : “ sebutlah sesuatu yang kamu bawa keluar dari dunia, yaitu persaksian bahwa tiada Tuhan kecuali Allah SWT, Muhammad hamba dan utusan Nya, dan sesungguhnya kamu ridlo Allah menjadi Tuhanmu, Muhammad menjadi Nabimu, dan Al Quran menjadi imammu”, sebab Mungkar dan Nakir saling berpegangan tangan dan berkata : “mari kita pergi. Kita tidak akan duduk (menanyakan) di sisi orang yang telah ditalqini (dituntun) hujjahnya (jawabannya), maka Allah menjadi hajiij (yang mengalahkan dengan menampakkan hujjah) baginya bukan Mungkar dan Nakir”. Kemudian seorang sahabat laki-laki bertanya : wahai Rasulullah ! Jika dia tidak tahu ibu si mayit ?Maka Rasulullah menjawab : nisbatkan kepada Hawa, wahai fulan bin Hawa”(H.R. Thabrani) (2).

Berdasarkan hadits ini ulama Syafi`iyah, sebagian besar ulama Hanbaliyah, dan sebagian ulama Hanafiyah serta Malikiyah menyatakan bahwa mentalqini mayit adalah mustahab (sunah)(3).

Hadits ini memang termasuk hadist yang dhaif (lemah), akan tetapi ulama sepakat bahwa hadits dhaifmasih bisa dijadikan pegangan untuk menjelaskan mengenai fadloilul a`mal dan anjuran untuk beramal, selama tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat (hadits shohih dan hadits hasan lidzatih) dan juga tidak termasuk hadits yang matruk (ditinggalkan)(4). Jadi tidak mengapa kita mengamalkannya.

Selain itu, hadist ini juga diperkuat oleh hadist-hadits shohih seperti :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ وَقَالَ : اسْتَغْفِرُوا ؛ لِأَخِيكُمْ وَاسْأَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ ، فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ . رَوَاهُ أَبُو دَاوُد ، وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ .

“Apabila Rasulullah SAW selesai menguburkan mayit, beliau berdiri di dekat kuburan dan berkata : mintalah kalian ampunan untuk saudara kalian dan mintalah untuknya keteguhan (dalam menjawab pertanyaan Mungkar dan Nakir) karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya” (H.R. Abu Daud dan dishahihkan oleh Hakim)(5).

Juga hadits yang diriwayatkan Imam Muslim r.a :

وعن عمرو بن العاص – رضي الله عنه – ، قَالَ : إِذَا دَفَنْتُمُونِي ، فَأقِيمُوا حَوْلَ قَبْرِي قَدْرَ مَا تُنْحَرُ جَزُورٌ ، وَيُقَسَّمُ لَحمُهَا حَتَّى أَسْتَأنِسَ بِكُمْ ، وَأعْلَمَ مَاذَا أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ رَبِّي . رواه مسلم

Diriwayatkan dari `Amr bin Al `Ash, beliau berkata : Apabila kalian menguburkanku, maka hendaklah kalian menetap di sekeliling kuburanku seukuran disembelihnya unta dan dibagi dagingnya sampai aku merasa terhibur dengan kalian dan saya mengetahui apa yang akan saya jawab apabila ditanya Mungkar dan Nakir(6).

Semua hadits ini menunjukkan bahwa talqin mayit memiliki dasar yang kuat. Juga menunjukkan bahwa mayit bisa mendengar apa yang dikatakan pentalqin dan merasa terhibur dengannya.

Salah satu ayat yang mendukung hadits di atas adalah firman Allah SWT :

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ [الذاريات/55]

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. “

Ayat ini memerintah kita untuk memberi peringatan secara mutlak tanpa mengkhususkan orang yang masih hidup. Karena mayit bisa mendengar perkataan pentalqin, maka talqin bisa juga dikatakan peringatan bagi mayit, sebab salah satu tujuannya adalah mengingatkan mayit kepada Allah agar bisa menjawab pertanyaan malaikat kubur dan memang mayit di dalam kuburnya sangat membutuhkan peringatan tersebut (7). Jadi ucapan pentalqin bukanlah ucapan sia-sia karena semua bentuk peringatan pasti bermanfaat bagi orang-orang mukmin.

Wallohu a’lam.

Referensi :

(1)شرح النووي على صحيح مسلم – (6 / 219(

(2)المعجم الكبير للطبراني – (ج 7 / ص 286(

المقاصد الحسنة للسخاوي ج 1 ص 167

(3)الأذكار ج 1 ص 162

الجوهرة النيرة ص2 ج2

فتاوى ابن حجر الهيثمي ج 5 ص 226

مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج ج 1 ص 447

سبل السلام – (ج 3 / ص 155(

(4)أضواء البيان ج 6 ص 225

المجموع شرح المهذب ج 5 ص 226

(5)سبل السلام – (ج 3 / ص 151)

(6)رياض الصالحين – (ج 1 / ص 477)

(7)التاج والإكليل لمختصر خليل ج 3 ص 3

لسان العرب

تفسير تنوير الأذهان ص 125 ج 3.

أنوار المسالك شرح عمدة السالك ص135